Share

Tawar Menawar

Setelah mengucapkan terima kasih kepada Shafa. Aku dan Alif langsung turun dari mobilnya. Lalu aku dan Alif berjalan menuju toko yang menjual berbagai macam gerobak. 

"Mau beli apa, Mas?" tanya karyawan toko ramah.

"Gerobak Mas," jawabku. Jujur, aku terkekeh dalam hati, gimana gak mau terkekeh coba, lah dia tanya mau beli apa, ya pasti beli gerobak. Tak mungkin beli baju, iya kan? Karena di toko ini hanya jual khusus gerobak aja, tak ada yang lain atau dia tanya seperti itu hanya untuk berbasa-basi ya, biasanya kan emang gitu.

"Silahkan di pilih, Mas. Di sini ada 32 gerobak dengan model dan tentu dengan harga yang berbeda juga, tergantung kualitas dan kerumitannya saat membuat," ucap karyawan toko mempersilahkan.

"Kayu yang di pakai buat gerobak ini kayu apa, Mas?" tanya Ilham, ia sedikit tau perihal masalah kayu.

"Ada yang pakai kayu jati, kayu mahoni, kayu trembesi, kayu jati Belanda, kayu sungkai dan kayu mindi," jawabnya lancar, dia seperti faham juga tentang macam-macam kayu.

"Paling bagus yang kayu Jati ya, Mas?" tanya Ilham.

"Iya mas, harganya bahkan paling murah itu 3.500.000 untuk grobak kecil beda dengan yang lain. Kalau yang lain, ada yang paling murah itu 1.200.000 udah dapat. Tapi ya itu mas, kalau pakai kayu jati sangat awet, terus tahan terhadap benturan. Bahkan kayu jati di sini itu termasuk primadona loh mas bahkan bisa di katakan salah satu jenis kayu premium. Soalnya kalau kayu jati itu kan butuh waktu sampai puluhan tahun baru bisa di gunakan untuk bahan mebel sama furniture makanya mahal. Apalagi kan banyak yang nyari sedangkan stok terbatas, makanya tambah mahal sudah kayunya. Orang berada biasanya kalau nyari buat jualan ya nyari yang kayu jati, soalnya lebih awet gitu di banding yang lain karena kan kayu jati sendiri memiliki kandungan minyak alami dalam jumlah banyak," jelas karyawan itu secara detail.

"Gimana, Lif. Beli yang mana, kalau yang murah, aku takutnya gak sampai setahun udah rusak dan harus ganti lagi, beda sama yang mahal, kalau mahal paling gak awet sampai beberapa tahun ke depan," tanyaku, bagaimanapun aku tak mungkin memutuskan sendiri, ada Alif yang harus di ajak bermusyawarah.

"Iya sudah beli yang mahal aja," jawab Alif santai.

"Masalahnya uangku gak cukup, aku kan juga harus beli peralatannya sama bahan-bahan bue roti bakar, dan itu butuh biaya yang gak sedikit,"

"Kita kan patungan, Ham," kata Alif mengingatkan aku bahwa untuk beli peralatan tak hanya memakai uangku saja, tapi juga menggunakan uangnya.

"Iya juga, sih. Tapi tetap saja, uangku gak cukup."

"Gini aja deh, biar gerobaknya aku yang beli. Kamu beli peralatannya sama bahan-bahannya aja, gimana?"

"Tapi kamu yakin, ini gak murah loh," tanyaku memastikan. 

"Kan di tawar dulu, Ham. Siapa tau bisa di kuranginlah dikit-dikit," jawab Alif terkekeh.

"Gimana, Mas? Ini harga pas, apa masih bisa di tawar, Mas?" tanyaku ke karyawan toko itu.

"Wah di sini harga pas semua Mas, gak bisa di tawar-tawar," balas karyawan itu tersenyum, mungkin ia merasa ini lelucon, sudah tau di setiap gerobaknya ada harga yang tertera, yang artinya memang segitu harganya dan tak bisa di tawar lagi.

"Beneran gak bisa di tawar?" tanyaku sekali lagi.

"Beneran, Mas," jawabnya.

"Iya sudah beli aja deh, gak papa. Aku ada kog uang segitu," ucap Alif. Aku pun menganggukkan kepala.

"Iya sudah. Aku pilih dulu ya, Mas," tuturku.

"Iya mas, silahkan."

Aku dan Alif pun mulai mencari-cari gerobak yang cocok, tentu gerobak yang akan di pilih harus terbuat dari kayu jati. Dan untungnya di setiap gerobak sudah tertera nama kayu dan juga harganya, sehingga pembeli tak akan terkecoh.

Setelah melihat semua gerobak yang terbuat dari kayu jati, pilihanku jatuh di gerobak yang mungil namun elegant. Dan Alif pun juga suka dengan pilihanku.

"Mas, aku pilih yang ini ya. OH ya kalau sama nyewa jasa antar barang, berapa ya Mas?" tanyaku. 

"Selama masih daerah Surabaya, gak perlu bayar Mas. Tapi untuk pengantarannya sekitar jam 3 sore, karena kan harus nunggu sopir yang sekarang lagi keliling antar pesanan yang lain,"

"Nanti sore juga gak papa Mas, yang penting di antar dan selamat sampai tujuan,"

"Beres mas."

Setelah menyelesaikan pembayarannya, Aku mengajak Alif ke tempat jualan peralatan dapur buat beli pemanggang roti dan juga tabung gas, regulator, selang sama kompor gas satu tungku.

Di tempat penjualan itulah, aku bisa tawar menawar dengan para pedagang.

"Bu, ini pemanggang rotinya berapaan?" tanyaku.

"400 ribu, Mas," jawab ibu ibu itu.

"Mahal amat bu, gak bisa tah kalau 200 ribu?" tawarku yang membuat Alif kaget, mungkin ia tak mengira aku bisa menawar sampai separuh harga. Sedangkan aku, karena mungkin sudah terbiasa jadi ya rileks aja.

"Gak bisalah mas, rugi saya, kalau segitu. Tiga ratus lima puluh deh kalau mau," ucap ibu itu.

"Yaelah bu, masih kemahalan itu, 280 ribu aja deh,"

"Tambahin dua puluh ribu, saya kasih dah," ucap ibu itu sekali lagi.

"Oke, 300 ribu ya bu,"

"Iya, saya bungkus ya,"

"Iya bu."

Setelah itu, ibu itu pun memberikan pemanggang roti yang sudah di bungkus dan aku langsung menerimanya, tak lupa aku juga memberikan uang sebesar 300 ribu sebagai kesepatakan tadi. Lumayan, yang 100 ribu bisa buat beli yang lain Hehe.

"Ayo Lif, kita beli gas, regulator sama kompornya sekalian," ajakku sambil memegang alat pemanggang roti.

"Ayo." 

Aku dan Alif pergi ke toko sebelah untuk membeli peralatan yang lain. Tak lupa aku juga  membeli beberapa perlengkapan untuk nanti jika di perlukan, dan terakhir aku membeli roti tawar, mentega, selai, meses, susu, keju, dan yang lainnya.

Setelah selesai beli ini dan itu, barulah aku dan Alif pulang dengan naik angkot. Kenapa memilih angkot, tentu karena harganya murah cuma lima ribu per orang. Sedangkan jika taxi bisa 35 ribu untuk dua orang.

Sesampai di kosan, aku dibantu oleh Alif langsung menaruh semua barang itu di kamarku karena kamarku terlihat lebih luas dan ada tempat untuk menaruh barang. Beda dengan Alif, walaupun ruanganya sama tapi karena banyak barang yang ia punya, akhirnya terasa sempit.

"Kita istirahat dulu bentar, lalu mandi, sholat dhuhur lalu cari makan bareng yuk, aku dah lapar," ajakku karena perutku sudah keronyongan sejak tadi.

"Oke, jangan lupa nanti gerobaknya jam 3 mau di antar," sahut Alif mengingatkan.

"Iya aku gak mungkin lupa,"balasku. Ya kali aku lupa, itu kan sangat penting, terlebih harganya gak murah. Pasti aku ingat.

"Nanti jadi kan, jualan roti bakarnya?" tanyanya memastikan.

"Jadi dong, habis sholat maghrib ya kita berangkat," jawabku. Menunda-nunda itu kan tak baik, jika nanti malam bisa, kenapa mesti nunggu besok atau lusa.

"Tapi jualannya di mana?" tanyanya lagi seakan bingung memikirkan harus jualan dimana.

"Deket taman aja, cari tempat yang pas gitu," jawabku santai. Aku emang sudah memikirkan hal itu sepanjang jalan, dan pilihanku jatuh di deket taman aja. 

"Iya deh, kita jualan dari jam berapa sampai jam berapa?" Alif emang suka nanya. Jika ada yang ganjal, ia langsung bertanya dan itu  hal yang aku suka dari pada diem, karena aku sendiri juga tak mungkin menjelaskannya jika ia tak bertanya.

"Minimal sih jam 10, maksimal jam 12 malam. Karena kan juga kita butuh istirahat biar gak gampang sakit," jawabku. Cari uang boleh, tapi jangan sampai lupa waktu. Tubuh ini juga butuh istirahat yang cukup, percuma banyak uang jika tubuh ini sakit, yang ada malah menghabiskan banyak uang buat berobat.

"Oke deh, aku setuju, moga nanti banyak pembelinya ya," doanya yang langsung aku amini.

"Aamiin."

Usaha menjual roti bakar akan di mulai nanti malam, dan aku berharap usaha yang aku kerjakan bersama Alif bisa memberikan keuntungan agar kami bisa membiayai kehidupan kami sendiri di sini dan bisa membayar biaya kuliah tanpa harus menunggu kiriman dari orang tua.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status