Debi tersenyum saat melihat bayangannya di cermin. Cantik, itulah pujian pertama yang terucap dari bibir ranumnya. Debi mengambil tas kerjanya. Dengan kaki yang ringan. Debi melangkahkan kakinya keluar dari dalam kamar.
Langkah Debi terus berderap keluar dari dalam kos-kosannya. Huh, udara sejuk membelai mesra wajah cantik Debi. Debi tersenyum menambah kecantikannya. Bahkan sang mentari pun sampai tersipu malu di ufuk timur. Merasa tak rela menerpa wajah cantik Debi dengan sinarnya."Aku harus semangat bekerja. Yah, ini demi kelangsungan hidupku."Seperti biasa. Debi melangkahkan kakinya menuju tempat kerja.Sesampainya Debi di tempat kerja. Debi sudah disambut dengan obrolan Maya yang tidak mengenakkan hatinya. Debi berjalan mendekati dan sembunyi di balik pintu dapur."Jangan sentuh aku," bentak Maya pada Lisa."Kalau kamu tidak mau aku menyentuhmu. Cepat kerja dan jangan banyak tingkah kamu.""Apa kamu tuli? Bukankah tadi aku sudah bilang sama kamu, kalau hari ini aku akan keluar dari cafe ini.""Tidak usah banyak gaya kamu. Kalau kamu keluar dari sini, kamu mau makan apa? Mau jadi gembel kamu? Aku tahu orang tua kamu itu tidak tajir. Tapi tingkah kamu sok-sokan kayak anak orang kaya.""Jaga ya ucapakan kamu. Aku memang tidak terlahir dari keluarga yang kaya, tapi sekarang aku punya pacar, dan pacarku itu tajir melintir. Jika aku menggunakan uangnya, itu tidak akan habis tujuh turunan.""Masih tidur kamu? Bangun. Mimpi jangan ketinggian kamu. Kalau jatuh sakit tahu rasa kamu.""Aku tidak sedang bermimpi. Aku berkata yang sebenarnya."Lisa pun tertawa, hingga tawanya menggema keseluruh ruangan. Maya yang melihat itu pun semakin kesal. Maya mengepalkan tangannya. Merasa tidak terima karena telah ditertawakan Lisa."Sekarang kamu bisa tertawa, tapi aku yakin setelah kamu tahu pacarku, kamu akan langsung pingsang karena iri denganku.""Maya, Maya, kamu pikir aku orang b*doh. Mana ada laki-laki yang mau sama wanita kejam seperti nenek sihir kayak kamu ini.""Jaga ya ucapan kamu.""Kenapa? Aku bicara yang sebenarnya bukan?"Debi mengerutkan keningnya. Debi merasa penasaran dengan sosok laki-laki yang dikatakan Maya tadi."Maya punya pacar? Sejak kapan Maya punya pacar? Perasaan seingatku Maya gak punya pacar deh."Debi tersadar dari pikirannya saat mendengar suara gaduh. Debi kembali melihat Lisa dan juga Maya. Saat itu Debi melihat mereka yang tengah bertengkar."Ya Tuhan, Lisa, Maya."Debi berlari mendekati mereka yang saling menjambak."Lisa, Maya, hentikan."Debi berusaha melerai mereka, namun Debi terpental karena dorong Maya. Debi berdiri dari lantai. Ia pun kembali mendekati mereka."Lisa, Maya, hentikan. Jika kalian ketahuan sama manager kita. Bisa-bisa kalian kena hukuman.""Diam kamu. Jangan ganggu kami," bentak Maya yang masih sibuk menjambak rambut Lisa, begitu juga Lisa sebaliknya.Pertengkaran mereka pun mengundang perhatian dari karyawan lainnya. Mereka berkerumun sembari melihat kearah mereka. Namun ada salah satu diantara mereka yang juga melaporkan kejadian itu kepada manager mereka."Lisa, hentikan. Lihat, kamu ditonton sama banyak karyawan.""Tidak bisa Debi. Aku tidak bisa membiarkan si nenek sihir ini. Aku harus membalasnya. Enak saja tadi dia menamparku."Mereka masih terus bertengkar. Meski Debi berulang kali melerai mereka, tetap saja Debi tidak bisa."Hentikan."Satu ucapan keras mampu mengehentikan pertengkaran Maya dan juga Lisa. Mereka menundukkan kepala mereka sembari merasakan kecemasan dan khawatir."Apa-apaan kalian ini. Bukannya bekerja malah bertengkar. Memangnya saya menggaji kalian untuk bertengkar dan membuat keributan di sini?"Maya diam begitu juga Lisa. Mereka tidak berani menjawab ucapan manager mereka yang terkenal kiler."Sekarang kalian berdua ikut dengan saya ke ruangan saya sekarang juga.""Ba-baik Pak."Lisa dan juga Maya melangkahkan kaki mereka berjalan di belakang manager mereka."Masuk.""I-iya Pak."Pak Gibran masuk ke dalam ruangan, dan langsung duduk di kursi kebesarannya. Sementara Maya dan juga Lisa duduk berhadapan dengan manager mereka."Ceritakan. Kenapa kalian bisa bertengkar tadi?""Ini semua gara-gara Lisa, Pak.""Bohong Pak. Kalau tadi Maya tidak menampar saya dulu. Saya tidak mungkin membalasnya.""Kalau kamu tidak menghina aku, aku juga tidak mungkin menampar kamu.""Aku tidak menghina kamu, tapi aku sedang berbaik hati mengingatkan kamu yang sedang mengkhayal tinggi."BrakkkkSeketika Maya dan juga Lisa terdiam saat Pak Gibran menggebrak meja."Sudah cukup berdebatnya? Sekarang diam dan jawab pertanyaan saya dengan dengan.""Ma-maaf Pak."Maya dan juga Lisa tertunduk. Mereka merasa khawatir dengan hukuman yang akan diberikan manager mereka kepada mereka.Di tengah kesibukan Debi mengantarkan pesanan ke meja pengunjung. Pandangan Debi sesekali melihat ruangan managernya. Debi menunggu Lisa yang tak kunjung keluar dari dalam ruangan managernya. Debi khawatir jika Lisa akan mendapatkan hukuman berat dari managernya. Secara Debi tahu betul bagaimana kilernya managernya."Mbak."Debi mengalihkan pandangannya saat mendengar seseorang memanggilnya. Ternyata itu pengunjung yang baru saja datang. Debi melangkahkan kakinya berjalan mendekati mereka."Iya Mas, ada yang bisa saya bantu?""Saya mau pesan makanan dan juga minuman Mbak.""Iya Mas, mau pesan apa?"Setelah Debi mencatat semua pesanan pengunjung itu, ia pun langsung pamit pergi."Di tunggu pesanan ya Mas! Kalau begitu saya permisi dulu."Tap tap tapLangkah Debi berderap menuju dapur untuk mengantarkan penasaran pengunjung.CklekDebi mengalihkan pandangannya. Saat itu Debi melihat Lisa dan juga Maya yang tengah berjalan masuk ke dalam dapur."Syukurlah kamu sudah keluar dari dalam ruangan Pak Gibran," kata Debi tersenyum senang."Iya, setelah aku mendapatkan omelan dan juga hukuman," balas Lisa dengan wajah kesal."Memangnya kamu mendapatkan hukuman apa?""Pak Gibran memintaku untuk membersihkan toilet setiap kali mau pulang kerja.""Tidak apa-apa, itu masih untung daripada kamu dipecat.""Semua ini gara-gara nenek sihir itu. Jika dia tidak membuat masalah, aku tidak mungkin dihukum seperti ini."Maya yang saat itu masih berada di dalam ruangan itu pun mendengar ucapan Lisa."Heh, kamu pikir aku juga tidak dihukum? Aku juga dihukum yang sama seperti kamu tahu.""Kalau kamu sih memang pantas dihukum, tapi tidak denganku. Kamu kan memang pembuat masalah.""Apa kamu bilang?"Maya melangkahkan kakinya berjalan mendekati Lisa. Tatapan tak bersahabat lagi-lagi diberikan Maya."Tadi kamu bilang apa?""Aku bilang kalau kamu memang pembuat masalah.""Jaga ya ucapan kamu!""Kenapa? Kamu mau marah? Orang benar kamu tukang pembuat masalah.""Mulut kamu ini benar-benar minta dijejelin pakek sambel ya!"Maya melayangkan tangannya. Maya menggenggam tangannya, dan siap ia layangkan kepada Lisa."Cukup!""Dia apa Renata? Jawab!!!!!" Deg Renata terkejut saat Rafa membentaknya. Renata melihat Rafa tak percaya. Ini pertama kalinya Renata melihat Rafa membentaknya, dan itu dia lakukan karena Debi. Renata sedih. Renata semakin membenci Debi saat itu. "Malah diam. Ayo jawab." "Pak Rafa, sudah Pak. Semua ini salah saya." "Mana bisa aku membiarkan orang yang hampir saja melukai kamu, Debi." "Tapi ini salah saya, Pak. Kak Renata tidak salah. Tidak sepantasnya Kak Renata dimarahi seperti ini." "Tidak. Dia memang pantas dimarahi seperti ini."Hati Renata semakin dibalut luka. Mendengar setiap ucapan yang keluar dari mulut Rafa, laki-laki yang sangat ia cintai. Begitu sakit rasanya. Bahkan, Renata sangat mencemburui itu. Renata sampai tidak sanggup melihat pemandangan di hadapannya. "Kenapa diam? Jawab alasannya apa tadi?""Maaf Pak Rafa, saya salah." "Nah, gitu dong. Kalau salah ya minta maaf. Sekarang minta maaf sama Debi." "Baik Pak Rafa," balas Renata yang mengalihkan pandangannya.
"Ini Sapu tangan Om, Marko." DegMarko terkejut mendengar ucapan omnya. Saking terkejutnya Marko sampai bengong. "Terima kasih ya sudah menemukan sapu tangan Om," sambung Rafa. Rafa tersenyum, namun tak mendapatkan respon dari keponakannya. Rafa tak memperdulikan itu, dia memilih kembali melangkahkan kakinya. Marko tertegun di tempatnya. Ucapan omnya terus terngiang-ngiang di telinganya. Rasanya Marko tak percaya dengan yang didengarnya tadi. "Jika yang aku temukan tadi sapu tangan Om Rafa. Berarti yang menolong Debi?"Perasaan Marko tak karuan. Marko cemas dan juga khawatir. Yah, Marko tidak mau yang ditakutkannya akan benar terjadi. "Enggak, enggak mungkin. Pasti hanya kebetulan saja. Siapa tahu Om Rafa ke kampusku hanya untuk jalan-jalan. Om Rafa kan memang suka kayak gitu. Iya, pasti benar seperti itu." BrukkkkRafa menghempaskan badannya di tempat tidur. Hemzzztttt, nyaman sekali. Tangan Rafa meraih benda pipih yang ada di dalam saku bajunya. "Kira-kira Debi lagi ngapain y
"Debi."DegDebi terkejut saat tiba-tiba mendengar seseorang memanggilnya. Ternyata itu Rafa yang saat ini berdiri di depannya."Kamu sedang mikirin apa Debi?""Tidak sedang mikirin apa-apa kok Pak.""Enggak sedang mikirin apa-apa kok sampai enggak denger aku panggil dari tadi.""Iya, itu karena kurang konsentrasi aja Pak," balas Debi tersenyum malu. "Kalau ada masalah cerita ya. Jangan dipendam sendiri. Gak baik buat kesehatan mental." "Iya Pak, tapi aku tidak sedang ada masalah kok Pak." "Alhamdulillah kalau begitu " "Iya Pak.""Ya sudah, aku antar pulang kamu sekarang ya." "Iya Pak Rafa." Dengan jalan berdampingan. Debi dan Rafa berjalan keluar dari dalam rumah makan. Hari ini jalanan beraspal tak seramai biasanya. Mobil yang Debi tumpangi bebas hambatan tanpa macet sedikitpun. Meski ada pemandangan yang bisa menyejukkan mata Debi di sepanjang jalan. Namun hal itu tak mengalihkan Debi dari lamunannya. "Ya Tuhan, bagaimana ini? Apakah aku bilang saja sama Rafa ya. Kalau aku
"Debi, kamu tidak usah khawatir. Semua sudah.......""Tolong." Deg Jantung Rafa berdegup kencang saat Debi memeluknya. Tangan Rafa bergetar membalas pelukan Debi padanya. "Jangan takut. Ada aku yang akan menolongmu." Debi semakin mengeratkan pelukannya, begitu pun Rafa sebaliknya.Debi mulai tenang. Seiring itu Debi mulai melepaskan pelukannya. Debi melihat Rafa yang tersenyum kepadanya. "Maaf.""Tidak apa-apa, jika kamu butuh sandaran. Bahuku siap untuk kamu buat sandaran.""Kenapa kamu begitu baik padaku. Padahal aku jahat. Aku sudah menolak cintamu." "Kamu tidak jahat. Kamu punya hak untuk menolak cinta laki-laki yang tidak kamu cintai." "Tapi bukankah seharusnya kamu membenciku? Menjauhiku? Seperti mereka yang melakukan itu padaku." "Tidak ada alasan bagiku untuk menjauhimu. Aku mencintaimu, tapi bukan berarti kamu harus menerima cintaku juga. Inilah yang dinamakan dewasa." Debi melihat Rafa takjub. Dia laki-laki yang sangat baik padanya. Bahkan pemikirannya pun juga sang
"Pak Rafa." Rafa menghentikan langkahnya. Ia membalikkan badannya dan melihat Debi dan Doni berjalan mendekatinya. "Terima kasih ya Pak sudah menolong saya." ."Iya Debi, sama-sama. Tapi kamu tidak kenapa-kenapa kan?" "Iya Pak, saya tidak kenapa-kenapa kok.""Syukurlah kalau begitu," balas Rafa lega. Entah perasaan apa yang tiba-tiba menyelimuti hati Debi. Rasanya Debi begitu nyaman. Bahkan Debi merasa aman saat berada di dekat Rafa. Mungkinkah ini cinta? Entahlah, hati Debi tak berhenti bertanya.Tanpa Debi dan yang lainnya sadari. Renata yang sedari tadi berdiri di depan pintu bar. Tak berhenti mengepalkan tangannya. Renata tidak suka melihat pemandangan di depannya. Apalagi melihat perhatian Rafa yang terlihat jelas untuk Debi. Renata pun cemburu dibuatnya. "Dasar enggak tahu terima kasih," ucapnya yang langsung pergi dari sana. Malam pun semakin larut. Bar pun juga mulai sepi, saat jam tutup telah tiba. Semua karyawan menuju loker untuk mengambil barang-barang milik mereka.
Deg Debi terkejut saat Doni memanggilnya. Ya Tuhan, tubuh Debi bergetar hebat. Pasti Maya mendengarnya. Debi semakin tak berkutik di tempatnya. "Oh, ternyata kamu."Tubuh Debi langsung gemetaran. Perasaan takut pun memenuhi hatinya. Debi seperti trauma akan kejadian penusukan waktu itu. "Masih hidup kamu. Aku kira udah mati," sambung Maya yang diikuti gelak tawa. Debi tetap diam tanpa ingin merespon mereka. "Tuli ya kamu!!!!!" bentak Maya membuat mereka yang ada di sekitar sana pun menjadi mereka pusat perhatian. Tak terkejut Doni yang terlihat terkejut dan juga penasaran. "Maaf Maya, aku mau bekerja," balas Debi yang langsung turun dari tempat duduknya. BrukkkkDebi yang hendak berjalan pun terjatuh saat Maya menjagal kakinya. "Mau kemana kamu? Takut ya kalau pekerjaan kamu ini sampai terbongkar sama kita." "Aku enggak ada urusan sama kalian," balas Debi sembari berdiri. Debi kembali melangkahkan kakinya, namun lagi-lagi Maya menjagal kakinya, dan Debi pun terjatuh kembali.
"Aku dapat." Deg Debi dan Rafa sampai terkejut mendengar suara Lisa. "Mas ganteng, ini sosmed nya nenek sihir itu," kata Lisa yang menunjukkan ponselnya pada Rafa. "Oh, jadi ini yang namanya Maya." "Iya Mas ganteng. Jadi gimana? Apakah dia bisa dimasukkan ke dalam penjara?" "Iya, bisa. Aku akan memprosesnya.""Tolong secepatnya masukkan dia ke penjara ya Mas ganteng. Dia kalau berkeliaran akan semakin membuat korban lagi." "Iya, kamu tidak usah khawatir." "Wah, terima kasih banyak Mas ganteng," balas Lisa tersenyum senang. "Iya, sama-sama." Hari itu, Rafa banyak bercerita. Bukan bersama Debi ia melakukannya. Melainkan bersama Lisa yang terlihat excited mendengarkannya. Bahkan Lisa juga sangat penasaran dengan kehidupan Rafa. "Wah, hebat ya Mas ganteng. Sejak kecil udah jadi yatim pintu dan hanya tinggal bersama kakaknya saja.""Iya mau bagaimana lagi. Yang namanya kehidupan harus terus berjalan. Mau bagaimana pun keadaannya.""Iya Mas ganteng, ceritanya Mas ganteng benar-be
Deg Mata Debi yang terpejam seketika membelalak. Debi melihat Lisa tak percaya. Bisa-bisanya dia mengatakan itu di depan Rafa. Debi melirik Rafa. Dia terlihat tenang tanpa menoleh sedikitpun. Tapi Debi yakin pasti dia mendengarnya. "Apa? Kenapa kamu ngelihatin aku sampai kayak gitu? Yang aku katakan benar kan?" "Kamu ini enggak capek Lisa. Dari tadi ngomong terus.""Enggak, aku malah seneng bisa naik mobil sebagus ini.""Kamu jadian gih sama Mas ganteng." "Lisa, tolong dikondisikan ucapan kamu," bisik Debi tepat di telinga Lisa. "Apa sih Debi, yang aku katakan emang benar kan?" balasnya lantang, sampai Debi merasa malu dan juga canggung. "Mas ganteng, tadi kok bisa ke rumah sakit? Bukannya Mas ganteng udah pulang dua hari yang lalu ya?" tanya Lisa pada Rafa yang sedari tadi diam."Oh, itu karena aku mau jenguk Debi. Eh, enggak tahunya dia malah udah pulang." "Wah, ternyata Mas ganteng sengaja ke rumah sakit mau jenguk Debi ya.""Iya." "Mas ganteng baik banget sih, tapi sayang
Hari berganti minggu, dan selama itu pula keadaan Debi mulai membaik. Bahkan dokter juga sudah mengizinkannya untuk pulang. Huh, Debi senang sekali mendengarnya. Akhirnya hari yang ditunggunya tiba. "Sudah kamu pastikan tidak ada barang yang ketinggalan Lisa?" "Sudah tidak ada yang ketinggalan Debi." "Ya sudah, ayo kita pulang," balasnya tersenyum senang. Cklek"Selamat pagi." "Pagi suster." "Nona Debi pulang hari ini?" "Iya suster." "Jangan lupa sebelum pulang nona Debi untuk melunasi biaya rumah sakit dulu." Debi dibuat diam seketika itu. Senyumnya pun hilang. Debi baru sadar jika masih ada biaya rumah sakit yang belum ia bayar. Dan Debi tidak punya uang untuk membayarnya. "Nona Debi." "Eh, iya suster?" balas Debi yang tersadar dari lamunannya. "Jangan lupa ya dilunasi dulu biaya rumah sakitnya." "Iya suster." "Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu." "Iya suster." Pintu ruangan tertutup. Debi pun langsung duduk di tempatnya. Wajahnya murung. Debi benar-benar bingun