DegDebi dikejutkan saat tiba-tiba ponselnya berbunyi. Yah, saat itu Debi panik dan ketakutan. Huh, suasana dan ponselnya berbunyi di saat yang tidak tepat. "Huh, ngagetin saja."Ponsel Debi terus berbunyi, membuat Debi mengambilnya di dalam tas. Debi mengerutkan keningnya saat melihat seseorang yang melakukan panggilan kepadanya. "Ini nomornya siapa ya?" kata Debi saat melihat nomor baru yang tengah menelponya. Karena merasa penasaran. Debi pun mengangkat panggilan itu. "Halo, ini siapa ya?""Ini saya, Mbak. Istri dari laki-laki yang kamu tabrak."DegDebi pun langsung terkejut. Debi baru ingat jika dia masih punya beban untuk membayar biaya rumah sakit laki-laki tua yang ia tabrak. "Halo.""Eh, iya Bu.""Bagaimana Mbak? Kapan kamu bisa melunasi biaya rumah sakit? Pihak rumah sakit terus menanyakannya sama saya.""Eh, iya Bu. Secepatnya akan saya bayar kok Bu.""Kapan Mbak? Saya tidak mau dibohongi.""Saya janji, saya tidak akan membohongi Ibu. Saya akan bertanggung jawab sesuai
"Berhenti Pak.""Iya Mbak.""Ini ongkosnya ya Pak!""Iya Mbak, terima kasih."Debi langsung berlari menuju rumah sakit. Langkahnya berderap masuk menuju ruangan laki-laki yang ia tabrak. "Mbak Debi," kata istri laki-laki yang Debi tabrak."Bagaimana Bu? Apakah Ibu sudah bilang sama dokter?""Belum Mbak, soalnya saya belum melihat dokternya masuk ruangan suami saya. Sementara saya tidak tahu ruangan dokternya Mbak.""Nanti biar saya urus.""Iya Mbak, tolong bantu ya Mbak. Soalnya saya tidak tahu bagaimana caranya.""Iya Bu, biar saya ke ruangannya dokter.""Iya Mbak."Debi pun melangkahkan kakinya menuju ruangan dokter yang tidak jauh dari tempatnya saat ini. Baru saja Debi sampai di depan ruangan. Saat itu Debi langsung disambut suster yang keluar dari ruangan dokter."Ada yang bisa saya bantu Mbak?""Maaf suster, dokter yang merawat pasien di ruang Mawar nomor 18 apakah sudah datang?" "Belum Mbak, ini sedang perjalanan ke sini.""Memangnya ada apa ya Mbak?""Itu suster pasien yang
Deg Debi pun langsung panik saat dia melupakan jika hari ini, hari di mana ia harus masuk kerja."Debi, kamu dengar ucapanku atau tidak?""Eh, iya Lisa. Aku dengar kok." "Ya sudah, kalau begitu cepat berangkat.""Iya."Debi mengakhiri panggilan itu, dan memasukkan ponselnya ke dalam tas. Debi buru-buru berjalan masuk ke dalam ruangan."Mbak Debi, ada apa?" tanya istri laki-laki tua yang ia tabrak. Ia melihat Debi yang terlihat buru-buru."Saya harus pulang Bu.""Lo, bukannya Mbak Debi sudah janji kalau hari ini Mbak Debi akan melunasi biaya rumah sakit suami saya?""Iya Bu, tapi saya harus pulang, karena pagi ini saya harus masuk kerja. Nanti kalau saya sudah pulang kerja. Saya akan mengurus biaya rumah sakit suami Ibu.""Tapi janji ya Mbak? Jangan sampai membohongi saya.""Iya Bu, saya janji.""Kalau begitu saya pamit pulang dulu.""Iya Mbak Debi, hati-hati di jalan.""Iya."Debi melangkahkan kakinya kembali untuk keluar dari dalam ruangan. Tap tap tapDebi berlari keluar dari dal
Debi memijat keningnya yang terasa pusing. Debi bingung dengan cara apa dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Mungkin jika dengan meminjam, Debi bisa mendapatkannya, tapi sayangnya Debi bingung harus meminjam pada siapa. "Ya Tuhan, aku benar-benar bingung sekarang. Tidak ada orang yang bisa aku mintai bantuan kecuali........"Debi menghentikan ucapannya. Debi merenung. Memang tidak ada lagi yang bisa menolongnya kecuali Rafa, tapi Debi tidak mungkin meminta bantuan padanya."Aku tidak mungkin minta bantuan sama Rafa. Mau ditaruh mana wajahku ini. Tapi kalau aku gak minta bantuan sama Rafa. Terus aku bisa dapat uang 50 juta dari mana?"Di tengah kebingungan Debi. Debi pun memutuskan untuk menekan egonya. "Aku minta nomornya Rafa sama Kak Renata deh. Pasti dia punya."Debi mengambil ponselnya. Tidak ingin mengulur waktu. Debi langsung menghubungi seniornya."Halo, Kak Renata.""Halo Debi. Tumben telpon. Ada apa?""Itu Kak Renata. Aku mau minta nomor.""Mau minta nomor? Nomornya siap
Baru saja sampai di depan pintu masuk rumah sakit. Debi langsung disambut istri dari laki-laki tua yang ia tabrak."Syukurlah, akhirnya kamu datang juga Mbak Debi.""Iya Bu, maaf saya agak telat.""Iya Mbak Debi, tidak apa-apa. Ayo Mbak Debi, kita lunasi sekarang biaya rumah sakit suami saya.""Iya Bu."Debi melangkahkan kakinya, sementara Rafa berjalan di belakangnya. Di depan petugas administrasi. Debi menghentikan langkahnya. Debi melihat Rafa yang berdiri di sampingnya. "Ada yang bisa saya bantu Mbak?""Saya mau membayar biaya rumah sakit pasien yang ada di ruang Mawar nomor 18.""Oh iya, sebentar ya Mbak saya cek dulu.""Iya."Setelah menunggu cukup lama. Petugas itu pun melihat Debi."Jadi semua totalnya 70 juta Mbak.""Apa? 70 juta?" balas Debi terkejut. Pasalnya baru saja beberapa hari yang lalu Debi menanyakan biaya rumah sakit, dan hari ini sudah naik sebanyak itu. "Bukannya kemarin katanya 50 juta ya?""Iya, itu belum ditotal sama biaya pasien tiga hari ini. Bagaimana Mb
Seperti yang Debi lakukan setiap harinya. Debi berjalan dari satu meja ke meja lainnya. Ada banyak sekali pengunjung yang datang hari ini, membuat Debi merasa kelelahan. Untungnya meja yang Debi datangi adalah meja terakhir. Huh, setelah Debi selesai menaruh pesanan. Debi melangkahkan kakinya berjalan menuju bartender."Capeknya," kata Debi sembari duduk."Yang namanya bekerja ya capek.""Iya Mas Doni, hari ini benar-benar sangat melelahkan.""Kamu pikir kamu saja yang lelah. Aku juga sama.""Hari ini tidak seperti biasanya ya Mas. Ada banyak sekali pelanggan yang berdatangan.""Iya, mungkin karena pelayanan yang kita berikan baik. Selain itu, management Pak Juna juga sangat bagus." "Oh iya."Mendengar nama Rafa disebutkan. Seketika itu Debi terdiam. Huh, entahlah kenapa itu bisa terjadi. Debi merasa ada yang aneh dengan dirinya. Apalagi saat Debi tahu bagaimana perasaan bosnya itu kepadanya.Doni yang ada di depan Debi pun menyadari perubahan sikap Debi. Yah, Doni tahu apa yang ter
BrakkkkRafa membanting pintu mobil. Seperti Debi yang tengah menghempaskan harapannya. Setelah Rafa menghidupkan mesin mobilnya. Rafa melajukannya pergi meninggalkan tempat itu. Mobil Rafa melaju di tengah jalan raya yang tengah ramai. Meski jam sudah hampir menunjukkan pukul tengah malam, namun Rafa melihat masih ada banyak sekali kendaraan yang lewat di sampingnya. Rafa tak peduli akan hal itu. Rafa terus melajukan mobilnya tanpa peduli akan keselamatannya. Mungkin itu karena pikiran Rafa tengah kacau saat ini. "Semua wanita yang aku cintai. Tidak ada yang membalas cintaku. Apa mungkin aku ditakdirkan untuk sendirian?"Rasa kesal menemani perjalanan Rafa, membuat pikiran Rafa kacau. Rafa terus menambah kecepatan mobilnya. Rafa seolah tak peduli jika mau tengah menyambutnya. Di tengah mobil Rafa yang melaju kencang. Tiba-tiba Rafa dikagetkan saat sebuah truk melaju di depannya dengan kecepatan yang juga tak kalah kencangnya. Rafa pun panik dan membanting stir mobilnya. Brakkkk
Di tengah kesibukan karyawan. Tiba-tiba mereka dikejutkan saat salah satu karyawan meminta mereka untuk berkerumun. "Ada apa kamu meminta kamu berkerumun?""Kalian sudah denger belum, kalau Pak Juna kecelakaan.""Apa? Pak Juna kecelakaan?" balas mereka terkejut dan kompak."Iya, Pak Juna kecelakaan.""Jangan menyebarkan berita yang tidak-tidak kamu.""Eh, aku tidak menyebarkan berita hoak. Apa yang aku katakan ini benar. Pak Juna memang kecelakaan, dan sekarang Pak Juna dibawa ke rumah sakit. Kalau kalian tidak percaya, baca saja di berita."Mereka pun berbisik, dan mengikuti ucapannya. Dan benar saja, saat mereka membuka berita. Mereka mendapati kabar jika bos mereka kecelakaan dan keadaan mobilnya sangat mengenaskan."Ya Tuhan, mobil Pak Juna sampai terbakar seperti ini. Lalu bagaimana kabar Pak Juna saat ini?" ucap yang lainnya."Katanya keadaan Pak Juna sangat parah.""Benarkah?""Iya, aku tidak bohong."Mereka pun masih sibuk membicarakan bos mereka sembari melihat berita yang t