Laila, dengan hati yang masih menyimpan kenangan manis masa lalu, kembali dipertemukan dengan Raka, cinta pertamanya. Pertemuan tak terduga ini terjadi dalam sebuah proyek besar yang menyatukan perusahaan tempat mereka bekerja. Namun, kebahagiaan bertemu kembali seketika sirna ketika Laila melihat Raka kini duduk di kursi roda. Perubahan drastis ini membuatnya terkejut sekaligus merasa iba. Ternyata, Raka mengalami kecelakaan yang mengubah hidupnya selamanya. Luka fisiknya sembuh, namun luka batinnya jauh lebih dalam. Ia merasa terasing dan kehilangan harapan. Kehadiran Laila bagaikan oase di tengah gurun pasir yang tandus. Ketulusan dan keteguhan hati Laila perlahan-lahan mencairkan dinding pembatas yang dibangun Raka. Namun, perjalanan cinta mereka tidak semulus yang dibayangkan. Raka merasa tidak layak untuk Laila, sementara Laila harus berjuang melawan pandangan masyarakat yang seringkali menghakimi orang dengan keterbatasan fisik. Mereka dihadapkan pada berbagai rintangan dan cobaan yang menguji kekuatan cinta mereka.
View MoreAngin pagi mengelus lembut wajah Laila saat ia berjalan menyusuri koridor kantor yang modern dan elegan. Langkah-langkahnya terdengar tegas, namun di balik penampilannya yang anggun dan berwibawa, hatinya tak pernah sepi dari kerinduan yang tertahan. Laila adalah wanita yang telah menggapai banyak hal—karier yang gemilang, prestasi yang diakui, dan kehormatan di mata rekan-rekan kerjanya. Namun, di kedalaman jiwanya, masih ada ruang kosong yang tak pernah terisi, sebuah bayang-bayang dari masa lalu yang terus menghantui, sebuah nama yang tak pernah bisa dilupakan: Raka.
Setiap kali Laila menatap keluar dari jendela kaca besar di ruang kantornya, matanya sering kali tertuju jauh ke cakrawala, seakan mencari sosok yang pernah menjadi pusat dunianya. Ia teringat kembali pada masa-masa ketika dunia terasa begitu sederhana, ketika cinta pertama menghampiri dengan tulus dan polos. Nama Raka selalu muncul di antara desah napasnya, bagai angin yang tak bisa dihalau, tak peduli seberapa keras ia mencoba melupakannya. Dulu, Raka adalah pria yang penuh semangat, dengan senyum yang meneduhkan dan hati yang sehangat mentari pagi. Bersama Raka, Laila merasa hidupnya penuh dengan warna, seolah dunia berputar lebih lambat saat mereka bersama. Cinta itu datang tanpa diminta, tumbuh di antara mereka tanpa disadari, lalu mekar menjadi sesuatu yang tak tergantikan. Namun, seiring waktu, takdir membawa mereka berpisah, menyisakan luka kecil yang terus menganga di hatinya. “Laila?” Suara lembut namun tegas dari Maya, sahabat dan rekan kerjanya, membuyarkan lamunannya. “Oh, ya, ada apa?” Laila tersentak, mengalihkan pandangannya dari jendela. “Kamu melamun lagi. Apa kamu baik-baik saja? Hari ini ada rapat penting dengan tim proyek gabungan. Kamu sudah siap?” tanya Maya, dengan nada yang sedikit khawatir namun penuh perhatian. Laila menarik napas dalam, menguatkan dirinya. “Aku siap, jangan khawatir. Ini hanya soal pekerjaan, dan aku bisa menanganinya.” Namun di balik senyumnya yang tenang, Laila tahu bahwa bukan pekerjaan yang menyita pikirannya. Ada perasaan yang tak kunjung usai, sesuatu yang terus membisik di dalam dirinya. Setiap kali ia mencoba fokus, bayangan masa lalu itu selalu kembali, membawanya pada ingatan-ingatan manis yang begitu kuat. Dan entah mengapa, hari ini, kenangan itu terasa lebih dekat dari biasanya. Rapat dimulai seperti biasa, suasana formal dengan diskusi mendalam tentang strategi dan target yang harus dicapai. Laila duduk di ujung meja, memimpin presentasi dengan ketenangan yang sudah menjadi ciri khasnya. Tapi saat salah satu peserta rapat menyebutkan nama tim dari perusahaan lain yang akan bekerja sama dengan mereka, tubuh Laila menegang. “Perusahaan Mitra Sejahtera,” sebut salah satu peserta. “Tim mereka dipimpin oleh Raka Ardiansyah.” Seolah dunia berhenti berputar, nama itu menusuk telinga Laila. Raka Ardiansyah. Cinta pertama yang selama ini hanya hidup dalam kenangan, kini disebutkan di hadapan semua orang, seolah takdir sedang mempermainkannya. Laila merasa jantungnya berdegup lebih cepat, tetapi ia berusaha keras untuk mempertahankan ketenangan. Maya, yang duduk di sebelahnya, melirik dengan tajam, seolah menyadari perubahan kecil di wajah Laila. “Kamu baik-baik saja?” bisik Maya pelan. “Ya, aku... aku baik-baik saja,” jawab Laila cepat, meskipun ada ketegangan dalam suaranya yang tak bisa disembunyikan. Rapat berlanjut, tetapi bagi Laila, kata-kata yang keluar dari mulut para peserta rapat mulai terdengar jauh, seolah ada jarak yang terbentang antara dirinya dan kenyataan. Nama Raka terus terngiang di benaknya, seperti alunan musik lama yang enggan berhenti. Perasaan yang dulu ia simpan dalam-dalam kini muncul ke permukaan, membuat hatinya bergetar tanpa ia bisa kendalikan. Setelah rapat selesai, Laila berjalan keluar dari ruang pertemuan dengan langkah sedikit tergesa. Maya, yang telah lama mengenal Laila, mengikuti dari belakang. Mereka berdua menuju kantin, sebuah tempat di mana mereka biasa berbincang lebih santai. Setibanya di sana, Maya langsung mengajukan pertanyaan yang sejak tadi membayangi pikirannya. “Laila, aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu. Kamu bisa bercerita padaku,” ujar Maya sambil menyodorkan secangkir kopi pada Laila. Laila menggenggam cangkir itu, matanya menatap kosong ke permukaan hitam pekat di dalamnya. “Aku tidak pernah menyangka akan mendengar nama itu lagi. Raka Ardiansyah... Dia adalah cinta pertamaku.” Maya terkejut, meskipun ia sudah menduga sesuatu yang besar terjadi. “Kamu tidak pernah cerita soal dia. Apa yang terjadi?” Laila menghela napas panjang, menahan gejolak di dadanya. “Dulu, kami sangat dekat. Dia adalah orang yang selalu ada di sisiku, seseorang yang membuatku merasa... utuh. Tapi, hidup kami berjalan ke arah yang berbeda. Aku mengejar karier, dan dia... kami terpisah, dan sejak saat itu, aku tidak pernah mendengar kabarnya lagi. Hingga hari ini.” Maya terdiam, mencoba memahami perasaan sahabatnya. “Jadi, kamu masih menyimpan perasaan untuknya?” “Aku tidak tahu, Maya. Aku pikir, semua sudah terkubur dalam waktu. Tapi, mendengar namanya lagi... rasanya seperti luka lama yang terbuka kembali.” Maya mengangguk perlahan, memahami betapa dalamnya emosi yang Laila rasakan. “Kamu yakin ingin bertemu dengannya lagi?” Laila terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi satu hal yang pasti, aku harus tahu apa yang terjadi padanya selama ini.” Di dalam hati Laila, kerinduan yang selama ini terpendam mulai mencuat. Ada rasa takut, namun juga harapan, bahwa mungkin, pertemuan ini akan membawa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini mengganggunya. Tapi satu hal yang pasti, pertemuannya dengan Raka tidak akan mudah. Sesuatu dalam dirinya berkata, bahwa hidup Raka kini telah berubah, dan ia tidak tahu apakah perubahan itu akan membawa kebahagiaan atau justru kesedihan yang lebih dalam. Namun, apapun yang terjadi, Laila tahu bahwa ia tidak bisa lagi lari dari masa lalu. Ia harus menghadapi apa pun yang menantinya, dan melihat apakah cinta pertama yang pernah ia simpan masih memiliki kekuatan untuk menyembuhkan atau justru menghancurkannya. Langit sore mulai merona jingga ketika Laila kembali ke ruangannya. Gedung tinggi yang menjulang di sekitarnya seakan berbaur dengan warna senja, membentuk lukisan alam yang menenangkan. Namun, hatinya masih dipenuhi gejolak. Nama itu—Raka—berdengung di kepalanya, seperti gema masa lalu yang terus berulang, menolak untuk hilang. Saat Laila duduk di kursi kerjanya, ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan memeriksa beberapa dokumen proyek yang baru saja diserahkan oleh timnya. Namun, perasaan ganjil itu masih membayang, seakan ada sesuatu yang lebih besar sedang menunggu di ujung jalan. Tak lama kemudian, sebuah email masuk. Notifikasi kecil di layar komputernya menampilkan nama pengirim: Divisi Proyek Gabungan. Laila mengklik email tersebut, membaca instruksi yang tertulis dengan cermat. Isi email itu tampak biasa, sebuah pemberitahuan formal bahwa perusahaan telah resmi bekerja sama dengan perusahaan mitra untuk proyek besar ini. Namun, kalimat terakhir membuat tangannya terhenti sejenak. "Tim dari Mitra Sejahtera akan dipimpin oleh Raka Ardiansyah, dan Anda akan menjadi koordinator utama dari pihak kami yang berkolaborasi dengan mereka." Jantung Laila berdetak kencang. Dunia di sekitarnya terasa berputar lebih cepat. Sesuatu yang telah lama ia takutkan akhirnya menjadi kenyataan. Laila mencoba menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk tetap tenang, tetapi perasaan itu terlalu kuat. Takdir benar-benar mempertemukan mereka kembali, bukan hanya melalui kenangan, tetapi juga dalam kenyataan. Kursi roda. Kata itu melintas dalam pikirannya seperti angin dingin yang menusuk. Ia ingat kabar samar-samar dari Maya tentang kondisi Raka, bahwa pria yang dulu penuh semangat itu kini duduk di kursi roda. Kabar yang membuatnya merasa tersentuh sekaligus cemas. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Bagaimana kecelakaan itu mengubah hidupnya? Tak ada jalan untuk mundur. Proyek ini adalah tanggung jawab besar, dan Laila tahu bahwa dirinya tak bisa menolak tanpa alasan yang jelas. Ia harus bersikap profesional, meskipun hatinya tak berhenti bergejolak. Perasaan yang sudah lama ia coba kubur kini kembali hadir dengan lebih kuat, membuatnya merasa tak siap menghadapi pertemuan yang tak terhindarkan ini. Malam itu, Laila berdiri di depan cermin kamarnya, menatap bayangan dirinya sendiri. Pikirannya melayang-layang, terjebak antara masa lalu dan kenyataan yang baru saja ia hadapi. Bayangan wajah Raka di dalam benaknya masih sama—muda, penuh senyum, dengan mata yang memancarkan semangat hidup. Namun, kini ada keraguan yang menyusup. Seperti apa sosok Raka yang sekarang? Keesokan harinya, di kantor, suasana sibuk. Laila mengenakan setelan formalnya, mempersiapkan diri sebaik mungkin. Hari ini adalah hari pertemuan pertama dengan tim dari perusahaan Mitra Sejahtera. Di luar, udara pagi terasa segar, namun ada ketegangan yang menggantung di udara seolah alam ikut merasakan kegelisahannya. Laila melangkah menuju ruang rapat utama dengan langkah yang tampak tegas, namun hatinya berdebar tak menentu. Pintu kaca besar itu terasa berat ketika ia dorong, seakan menyembunyikan sesuatu yang lebih besar dari sekadar pertemuan bisnis. Di dalam, tim dari kedua perusahaan sudah berkumpul, saling bersalaman dan bertukar sapa. Namun, saat Laila memasuki ruangan, matanya langsung tertuju pada sosok yang duduk di ujung meja. Pria itu duduk di kursi roda, dengan postur tegap dan wajah yang sedikit pucat, namun tetap memancarkan aura keanggunan. Wajah yang tak mungkin ia lupakan. Raka. Waktu seakan berhenti. Laila merasa seperti terseret ke dalam putaran memori masa lalu, ketika mereka masih muda, ketika Raka berdiri di sampingnya dengan senyumnya yang menawan. Namun kini, pria yang ia lihat jauh berbeda dari apa yang ada di ingatannya. Wajah yang dulu penuh kehidupan itu kini menyimpan luka dan keletihan yang mendalam. Mata Raka bertemu dengan mata Laila. Dalam sekejap, mereka saling mengenali, meski tak ada kata-kata yang terucap. Laila menahan napas. Ada jeda panjang di antara mereka, sebuah ruang yang penuh dengan kenangan yang tak terucap. Namun, Raka hanya menatapnya sejenak sebelum ia mengalihkan pandangannya, seakan ingin menghindar dari bayang-bayang masa lalu. "Laila," suara Maya terdengar dari belakang, membuyarkan keheningan yang terasa berat. "Ini Raka, kepala tim dari Mitra Sejahtera." Laila mengangguk, mencoba mengumpulkan dirinya. Ia tersenyum tipis dan mendekati Raka, mengulurkan tangan dengan sikap profesional. "Senang bertemu lagi, Raka," katanya dengan nada tenang, meskipun hatinya bergetar hebat. Raka menatap tangannya sejenak sebelum mengulurkan tangannya untuk menyambut. Jemarinya terasa dingin di genggaman Laila, tetapi ada kekuatan yang terselip di balik kulitnya yang pucat. Sekejap, Laila merasakan gemuruh perasaan yang sudah lama ia pendam kembali ke permukaan—rindu, haru, dan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata. "Senang bertemu lagi, Laila," jawab Raka singkat, dengan senyum tipis yang sulit dibaca. Kehadiran Raka dalam ruangan itu, meskipun duduk di kursi roda, membawa aura yang tetap memancarkan wibawa. Namun, Laila bisa merasakan bahwa ada dinding tak kasatmata yang ia bangun di antara mereka—dinding yang lebih tinggi dan lebih tebal daripada yang pernah ada. Sebelum kecelakaan, Raka adalah pria yang penuh semangat dan percaya diri. Sekarang, meskipun ia masih tampak tegar di luar, ada sesuatu yang telah hilang—cahaya dalam matanya, semangat yang dulu selalu bersinar. Pertemuan berlangsung formal dan penuh profesionalisme. Laila memaparkan rencana proyek dengan detail, dan Raka menyampaikan perspektif dari timnya. Mereka berdua berbicara dengan nada yang tenang dan terukur, seolah-olah tidak ada masa lalu yang mengikat mereka. Namun, setiap kali Laila mencuri pandang ke arah Raka, ia bisa merasakan beban yang dibawa oleh pria itu. Ia tak bisa lagi melihat Raka yang dulu, pria yang selalu mampu membuat segalanya terasa lebih ringan dengan senyumnya yang lebar. Yang ada sekarang adalah sosok yang lebih pendiam, lebih tertutup, seolah ada beban berat yang tak terlihat di pundaknya. Waktu terasa berjalan begitu lambat selama pertemuan itu, dan Laila harus berusaha keras untuk tetap fokus. Namun, di sela-sela presentasi dan diskusi, pikirannya terus melayang pada kenyataan baru ini. Raka, cinta pertamanya, pria yang dulu selalu bisa membuat hatinya berdebar, kini hadir kembali dalam hidupnya—tetapi dalam keadaan yang jauh berbeda dari yang ia bayangkan. Ketika pertemuan akhirnya selesai, para anggota tim mulai berkemas dan meninggalkan ruangan. Laila, yang biasanya selalu menjadi yang pertama keluar, kali ini memilih untuk tinggal sejenak. Ia masih duduk di kursinya, menatap dokumen di depannya, tetapi pikirannya berada jauh dari sana. Saat semua orang sudah pergi, Laila mendengar suara roda kursi bergerak pelan di belakangnya. Ia berbalik, melihat Raka yang sedang mengatur posisi kursi rodanya. Mereka berdua kini sendirian di ruang rapat yang besar itu. Hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara halus pendingin ruangan yang berdengung. “Laila,” Raka memecah keheningan, suaranya serak dan terdengar berat. Laila menoleh, menatapnya. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan—tentang kecelakaan itu, tentang bagaimana hidup Raka berubah, tentang bagaimana perasaannya kini. Namun, kata-kata itu terasa tersangkut di tenggorokannya. “Aku tahu ini pasti mengejutkan bagimu,” lanjut Raka pelan, “melihatku dalam kondisi seperti ini.” Laila menggeleng, mencoba mengusir perasaan iba yang perlahan merasuk ke dalam hatinya. “Bukan soal kondisi, Raka. Hanya saja... Aku tak menyangka kita akan bertemu lagi di sini, dalam situasi seperti ini.” Raka menatapnya sejenak, ada keheningan yang panjang di antara mereka sebelum ia tersenyum kecut. “Aku juga tidak menyangka. Hidup ini lucu, ya?” Laila menunduk, menghela napas panjang. “Kenapa kau tak pernah menghubungiku? Setelah semuanya terjadi… Aku bahkan tak tahu apa yang terjadi padamu, sampai Maya memberitahuku.” Raka menghela napas dalam-dalam, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku… Aku tidak ingin kau melihatku seperti ini, Laila. Aku bukan lagi orang yang sama seperti dulu. Kecelakaan itu mengubah segalanya. Aku merasa… tak layak lagi untuk orang-orang di sekitarku. Terutama untukmu.” Kata-kata itu menembus hati Laila. Ia menatap Raka, menyadari betapa dalam luka batin yang pria itu rasakan. Ini bukan hanya tentang fisik, tetapi tentang harga diri dan perasaan tidak berdaya yang selama ini ia simpan sendiri. “Raka…” Laila berbisik lembut, berusaha menyusun kata-kata yang bisa membuat Raka merasa lebih baik. “Kondisi fisikmu tak pernah mengubah siapa dirimu. Kau tetap Raka yang sama di mataku. Tak ada yang berubah.” Raka tertawa kecil, suara tawanya terdengar pahit. “Kau salah, Laila. Banyak yang berubah. Dan mungkin… mungkin sudah terlambat untukku.” “Jangan bicara seperti itu,” potong Laila tegas. “Kau bukan hanya orang yang duduk di kursi roda. Kau lebih dari itu. Kau masih orang yang sama—orang yang dulu selalu tahu bagaimana membuatku tersenyum, yang selalu penuh ide brilian, yang selalu tahu caranya bertahan meski dunia ini tak bersahabat. Kau harus percaya pada dirimu sendiri.” Raka terdiam. Ia menatap Laila dengan mata yang penuh luka, tetapi di balik tatapan itu, Laila bisa melihat ada kerinduan yang tak terucap. Sebuah keinginan untuk kembali menjadi dirinya yang dulu, untuk percaya bahwa ia masih punya harapan. “Aku tak bisa melupakan apa yang terjadi, Laila,” ujar Raka pelan. “Terlalu banyak yang harus kuhadapi sekarang. Dan aku tak yakin aku bisa melewati semua ini.” “Kita bisa melaluinya bersama,” jawab Laila, suaranya bergetar penuh emosi. “Aku di sini sekarang. Dan aku tak akan pergi lagi.” Kata-kata itu menggantung di udara, menyelimuti mereka berdua dalam keheningan yang penuh arti. Di saat itu, Laila tahu bahwa meski perjalanan ini akan sulit, ia tak akan menyerah. Raka adalah bagian dari hidupnya yang tak pernah bisa ia lupakan. Dan jika ada kesempatan untuk menyembuhkan luka yang pria itu rasakan, ia akan melakukannya—meski harus melalui rintangan yang tak mudah. Namun, di balik segala keteguhan hatinya, Laila tahu bahwa ini baru permulaan. Sebuah permulaan dari perjalanan panjang yang akan penuh dengan ujian.Pagi itu, matahari terbit dengan keindahan yang seakan dirancang khusus untuk mereka, memberikan pancaran lembut ke seluruh penjuru. Di dalam ruangan yang dipenuhi dengan wangi bunga melati dan mawar, suasana terasa sakral, seolah alam semesta turut memberi restu atas persatuan dua jiwa yang telah melalui perjalanan panjang penuh suka dan duka. Hari ini adalah hari yang telah lama mereka nantikan, hari yang ditetapkan oleh cinta dan keteguhan mereka.Laila berdiri di depan cermin, mengenakan gaun putih sederhana namun anggun yang menjuntai hingga ke lantai. Ia memandang dirinya, melihat pantulan wajah yang penuh dengan kebahagiaan dan keteguhan hati. Ada kilatan air mata di sudut matanya, tetapi ia berusaha menahannya, takut merusak riasan yang telah dipersiapkan dengan cermat. Namun, ini bukanlah air mata sedih, melainkan air mata syukur, air mata dari perasaan yang begitu penuh dan meluap-luap di hatinya.Saat pintu diketuk, Laila berbalik, mendapati ayahnya berdiri di sana dengan s
Malam itu, gemerlap bintang tampak lebih terang, seakan alam semesta turut merayakan keheningan yang menyelimuti hati Laila dan Raka. Mereka duduk terpisah, Laila bersama keluarganya dan sahabat-sahabatnya, sementara Raka menghabiskan waktu dengan orang-orang terdekatnya. Meski berjarak, hati mereka seakan saling terhubung, seiring pikiran yang merenung tentang perjalanan yang telah mereka tempuh hingga sampai di malam ini.Di kamar yang dihiasi oleh kilau cahaya lilin lembut, Laila duduk bersandar di ranjang sambil menatap gaun pernikahan yang tergantung di sudut ruangan. Gaun putih yang anggun itu seperti simbol murni dari segala harapan yang ia miliki, tentang cinta, tentang kebersamaan, dan tentang kehidupan baru yang akan dimulai besok. Jemarinya menyusuri kain lembut itu, seolah ingin meresapi setiap benang yang tersulam di sana—benang-benang harapan yang telah ia bangun bersama Raka.Sahabat-sahabat Laila duduk di sekitarnya, wajah mereka memancarkan kebahagiaan yang tulus. Mer
Pagi itu, udara terasa sejuk, sinar matahari menyelinap di antara dedaunan, memancarkan cahaya lembut yang menenangkan hati. Laila, yang duduk di teras rumahnya, merasakan kebahagiaan mengalir dalam dadanya. Hari-hari menuju pernikahan begitu dekat, dan setiap saat terasa seperti mimpi yang indah. Namun, di tengah kedamaian pagi itu, ponselnya bergetar, menandakan ada pesan masuk. Ketika membuka pesan itu, senyum di wajah Laila perlahan memudar. Pesan dari nomor yang tidak dikenalnya, sebuah pesan singkat namun mengganggu: “Aku tahu masa lalu Raka. Jika kamu ingin tahu kebenarannya, hubungi aku. Jika tidak, kebahagiaanmu mungkin hanya sementara.” Pesan itu membuatnya terdiam. Ada keanehan dalam kata-katanya, seperti sebuah ancaman tersembunyi, namun juga seperti tawaran untuk membuka tabir yang mungkin selama ini tertutup. Laila menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tetapi perasaannya terlanjur bergejolak. Di hatinya, ia percaya pada Raka. Namun, bisikan ketakutan muncul,
Malam mulai menyelimuti kota dengan kedamaiannya, seolah ikut memahami perjuangan hati sepasang kekasih yang duduk di taman kecil, jauh dari hiruk-pikuk dunia. Di sana, di bawah rembulan yang memancarkan sinarnya yang lembut, Raka dan Laila saling menatap dengan mata yang penuh tekad. Keputusan yang akan mereka ambil bukanlah hal mudah, namun mereka tahu bahwa cinta mereka mampu menjadi pelita di tengah ketidakpastian.Laila menghela napas dalam, mencoba mengendapkan perasaan yang bergemuruh di dalam hatinya. Meski kecemasan masih terselip, ia merasa keyakinan yang mendalam bahwa cintanya pada Raka tidak goyah. Ia tahu bahwa hidup tak selalu berjalan seperti yang mereka rencanakan, tetapi dalam hatinya, ia percaya bahwa cinta mereka memiliki kekuatan untuk mengatasi segala rintangan."Raka," ucap Laila dengan suara lembut, memecah kesunyian di antara mereka. "Aku tahu kondisimu mungkin belum stabil, tapi… apakah kamu yakin kita tidak akan menunda pernikahan ini?"Raka tersenyum tipis,
Hari itu kembali dipenuhi dengan keheningan yang sarat beban. Raka dan Laila duduk di ruang konsultasi dokter, dan meski kehangatan sinar matahari pagi menembus jendela, suasana di dalam ruangan terasa dingin, sunyi, seperti terkurung di antara dinding ketidakpastian. Laila duduk di samping Raka, menggenggam tangannya erat seolah-olah mengalirkan kekuatan yang tak terlihat. Raka hanya bisa diam, menatap lurus ke depan, mencoba menahan perasaan cemas yang perlahan merambat ke dalam hatinya.Dokter memandang mereka dengan tatapan lembut namun tegas, seolah memahami beratnya kabar yang hendak ia sampaikan. Dengan suara rendah, ia mulai menjelaskan, “Pak Raka, dari hasil pemeriksaan terakhir, kami menemukan bahwa kondisi jaringan di sekitar luka lama Anda memburuk. Hal ini memerlukan perawatan khusus dan waktu pemulihan yang mungkin tidak singkat. Kami perlu memastikan bahwa peradangan tidak menyebar lebih luas, karena itu dapat berdampak serius pada kesehatan Anda.”Kata-kata dokter tera
Di tengah hiruk-pikuk persiapan yang semakin menuntut perhatian, ada sesuatu yang diam-diam menggulung dalam benak Raka. Ia mencoba menepis perasaan itu, menguburnya di antara lembaran undangan yang belum terkirim, daftar tamu yang terus bertambah, dan keputusan warna dekorasi yang belum selesai. Namun, seiring waktu, rasa sakit itu justru semakin kuat, mengusik ketenangan yang susah payah ia bangun bersama Laila.Raka memegang sisi tubuhnya, tepat di tempat luka lamanya berada. Rasa nyeri itu datang bagai kenangan yang menggores kembali, sebuah ingatan yang tak ia ingin ingat. Luka itu sudah ia lupakan sejak lama—setidaknya, itulah yang ia yakini. Tapi kini, tubuhnya seakan mengingatkan kembali, sebuah peringatan bahwa ia pernah mengalami rasa sakit yang lebih dari sekadar fisik. Ada luka batin yang sepertinya ikut berdenyut bersama rasa nyeri itu.Dengan napas yang berat, Raka meraba daerah yang terasa sakit, mendapati dirinya diliputi kecemasan. Bukan hanya rasa sakit itu yang meri
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments