"Assalamu'alaikum," sapanya sambil duduk di tepi ranjang."Wa'alaikumsalam. Kamu sudah pulang?" Pertanyaan yang sangat antusias dari Barra."Ya, barusan.""Aku mencarimu di villa. Rupanya kamu nggak ke sana. Kemarin pergi ke mana?""Aku nggak ke villa.""Lalu ke mana?"Delia tidak memberitahu. "Maaf, Mas. Aku mau mandi dulu.""Aku akan datang ke situ.""Aku mau istirahat. Besok baru kita bertemu. Assalamu'alaikum." Tanpa menunggu balasan salam dari Barra, Delia mengakhiri panggilan dan meletakkan ponselnya di atas ranjang. Hatinya mulai tenang sekarang. Memilih memahami diri sendiri saja, membiarkan kehidupan mengalir sebagaimana mestinya. Jika besok harus bertemu, tak mengapa. Memang waktunya untuk bertemu. Karena mau sampai kapan menghindar yang justru tidak akan menyelesaikan permasalahan.Kalau ikutkan kata hati, ada amarah yang masih berkejaran dengan rasa legowo menerima keadaan. Rasa ikhlas itu memang tidak segampang yang diucapkan. Namun ia akan berusaha tetap tegar, supaya o
Cinta yang Kau Bawa PergiPart 30 Perempuan dan Keputusannya"Nggak nyangka kita bertemu di sini," kata Xavier sambil tersenyum senang. Delia menyambut sikap ramah pria muda di sebelahnya. Bukan bersikap genit, bukan untuk membuat Barra cemburu. Dia melakukannya untuk menunjukkan sikap profesionalnya. Yang pasti mereka akan menjadi partner kerja. Xavier sendiri belum tahu kalau Delia adalah putri dari pemilik PT Mahakarya Construction. Yang ia tahu, wanita itu adalah staf dari Pak Feri, pria yang baru dikenalnya beberapa bulan ini.Jujur diakui, Delia memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Bisa menjawab semua pertanyaan Barra dan beberapa sanggahannya. Menjelaskan secara terperinci sambil menyertakan alasannya. Xavier tidak tahu kalau Delia sedang berdebat dengan suaminya sendiri."Bu Delia, rencana pembangunan kantor di lantai dasar apartemen sebaiknya fokus dengan efisiensi penggunaan tempatnya. Yang penting fungsi kantornya," bantah Barra saat Delia setuju dengan konsep desain in
Mobil memasuki Tunjungan Plaza Surabaya ketika suasana benar-benar redup karena hujan deras. Keduanya langsung menuju ke lantai atas, ke Solaria. Mengambil tempat duduk paling pinggir karena hanya tempat itu yang tersisa, soalnya ramai pengunjung di sana sore itu."Kamu mau makan apa?" "Nggak, aku pesan black currant saja.""Beneran nggak mau makan?" tanya Barra sekali lagi.Delia menggeleng. "Aku masih kenyang."Barra pergi memesan minuman. Karena harus pesan dan membayar dulu baru dilayani kalau makan di Solaria."Aku mencarimu ke Malang kemarin." Barra mulai bicara, membuat Delia memasukkan kembali ponsel ke dalam tasnya."Untuk apa mencariku?""Kamu kan istriku."Delia tersenyum simpul. Baru sekarang bilang istri. Empat bulan ini dia malah seperti pihak ketiga di antara hubungan Barra dan Tiara."Malam ini kita pulang ke apartemen," ajak Barra."Aku ke sana hanya untuk mengambil berkas, karena malam ini aku janjian bertemu Mas Samudra."Mendengar nama pria itu disebut, membuat ro
"Aku mau pulang, Mas." Delia berdiri sambil meraih tali tasnya. Barra juga ikut berdiri dan meraih kunci mobilnya di atas meja. "Kuantar!"Sebentar kemudian mereka berkendara membelah malam dan hujan. Di sisi lain, Delia sadar posisinya sebagai istri yang harus taat pada suami. Barra memang salah, tapi sejauh mana kesalahannya, Delia tidak tahu. Apakah mereka pernah berhubungan lebih dari sekedar berpelukan atau sudah ke ranah ranjang? Sekecil apapun kecurangan pasangan, sakitnya memang tak mudah dihilangkan."Kita makan dulu!" Barra membelokkan mobilnya ke sebuah rumah makan ikan bakar. Jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam saat itu. Antara dirinya dan Delia pun belum ada yang mandi. Aroma asap dari bumbu bercampur dengan bau agak hangus ikan yang di bakar menguar ke udara yang basah. Membangkitkan selera setiap perut lapar yang menantikan hidangan.Delia bersemangat untuk menunggu pesanannya di antar. Perutnya memang sudah terasa lapar, makanya tidak menolak saat diajak ma
Barra malah heran dengan permintaan istrinya. Selama menikah mereka tidak pernah mengurusi ponsel pasangan. Memeriksa, ngotak-ngatik, bahkan hanya sekedar memegang. Sama sekali tidak pernah."Penelepon tadi mencari, Mas."Pria itu memandang istrinya. Apa dia Cintiara yang meneror Delia karena sejak tadi meneleponnya dan tidak dijawab. Karena penasaran dan khawatir Cintiara mengganggu Delia, Barra segera mengambil ponsel dan menjawabnya.Melihat rona wajah Barra yang tampak kaget itu, membuat Delia hanya diam memperhatikan. Barra tak bicara sedikit pun, hanya mendengarkan perempuan yang meradang di seberang."Sudah tahu kan siapa yang meneleponku?" tanya Delia tanpa menatap suaminya. "Sekarang Mas pergilah, selamatkan kekasihmu. Selesaikan urusan Mas dengannya biar aku yang ngurusi perceraian kita. Jangan sampai Mas menyesal karena kehilangan perempuan kesayanganmu." Diam. "Pergilah, aku nggak apa-apa. Jangan sampai besok pagi ada pihak berwajib mencari Mas karena keluarganya melapor
[Barra, Tiara nggak bunuh diri seperti pengakuan kakaknya. GERD-nya kambuh dan dia muntah kemudian pingsan setelah minum obat. Terus dibawa ke rumah sakit oleh keluarganya.] Sebuah pesan dikirim orang kepercayaan Barra jam sepuluh malam.[Oke, thanks, Bro.] Balas Barra kemudian menunjukkan pesan itu pada Delia.Sang istri membaca sebentar kemudian memandang suaminya. "Itu bukan urusanku, Mas. Semoga saja dia lekas sembuh," respon Delia dan mereka saling berpandangan untuk beberapa saat. Dalam kondisi kecewa pun Delia masih sempat memberikan doa untuk rivalnya. Soal ikhlas tidaknya, hanya Allah yang maha tahu dan bisa menilai. "Mas, nggak pulang ke apartemen?""Enggak. Seperti katamu tadi, kita harus saling mengevaluasi diri. Tapi daripada kita tinggal berasingan bukankah kita bisa duduk berdua membahasnya."Dari laki-laki cuek yang tidak mempedulikannya waktu itu, kini menjadi sosok keras kepala di hadapan Delia. Barra tidak peduli penolakan, jika masih ada kesempatan dia akan berj
Kurang baik apa mereka pada dirinya, sudah menyakiti hati Delia, tapi masih menghargainya sebagai menantu. Mungkin yang dikatakan orang tuanya benar, mereka berniat menjodohkannya dengan Delia tentu bukan semata-mata karena balas budi. Mereka menginginkan yang terbaik untuknya. Sebab record buruk kakaknya Cintiara sudah sangat melekat dalam keluarga besar mereka. Jadi sampai kapanpun, hubungannya dengan gadis itu tidak akan pernah mendapatkan restu. Tidak hanya orang tuanya yang menolak, seluruh keluarga besar mereka akan turut mengecam. Mereka tidak akan pernah lupa sosok Siska yang membuat hancur rumah tangga sepupunya Barra.Barra mengambil bluetooth earphone dari dalam dasbor. Kemudian menghubungi Delia, tapi panggilannya tidak dijawab. Dua kali tidak dijawab semua. Padahal Barra yakin kalau Delia pasti belum keluar kamar. Apakah sebenarnya dia marah? Tapi ditutupi dengan sikapnya yang tenang.Ketika Delia bisa tenang dengan caranya sendiri, ganti Barra yang kelabakan karena gelis
"Hayo, berani nggak, Mas?" tanya Delia sambil tersenyum."Jebakan ini," sahut Samudra cepat. Membuat Delia ganti yang terkekeh. Entahlah, Delia sangat penasaran. Tidak pernah sekali saja sang kakak menceritakan sosok gadis yang ditaksirnya. Terkadang terbesit pertanyaan konyol, 'Apa kakaknya termasuk pria tak normal?'"Mas, bulan depan usia Mas genap tiga puluh dua tahun. Hmm, kapan mau ngenalin calon istri pada kami?"Samudra tersenyum simpul. Tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan itu. Seperti rekan-rekannya, dia juga ingin menikah dan memiliki keluarga. Tiap pertemuan alumni, mereka datang bersama keluarga kecilnya. Dengan bangga mengenalkan istri dan anaknya. Sungguh momen yang selalu dinantikan oleh insan lajang seperti dirinya. Samudra mengangkat wajah menatap adiknya. "Bukan sekarang, Delia. Kalau sudah ketemu yang tepat, pasti Mas kenalkan pada keluarga."Delia menyangga dagunya dengan kedua tangan dan menenung lekat pria di hadapannya. Dia tidak menyadari bahwa tatapan lembu