Fidella dan Sagara sedang dalam perjalanan menuju penthouse Central Park West, kediaman Sagara. Sudah sejak lima tahun lalu Sagara menjadi salah satu pemilik hunian yang digadang-gadang sebagai apartemen atau penthouse termewah di Amerika itu.
Karir cemerlangnya sebagai salah seorang ahli bedah di departemen HPB rumah sakit Downtown, berhasil memberikan pundi-pundi yang terbilang fantastis. Tidak heran hunian dengan luas 626,5 meter persegi, yang dibandrol dengan harga sekitar US$ 88 juta itu bisa dengan mudah Sagara dapatkan dari hasil kerja kerasnya selama ini.
Pria berusia dua puluh delapan tahun itu memang terbilang anak yang mandiri dan hebat. Di usia muda sekitar dua puluh satu tahun, ia sudah berhasil menyelesaikan pendidikan kedokterannya di Tokyo University dengan nilai IPK Cum Laude yang mampu membuat semua mahasiswa di muka bumi ini menjerit iri.
<Lima belas menit berlalu, akhirnya pasangan suami istri itu tiba di penthouse mewah yang selama ini menjadi hunian seorang Sagara Affandra Ramirez. Penthouse condominium ini berada di lantai paling atas gedung apartemen tersebut.Sejak pertama kali menginjakkan kaki di kediaman suaminya, Fidella tak jemu-jemu berdecak kagum. Matanya berbinar menyaksikan hunian yang lebih terlihat seperti taman surga ini.Ruang tengah yang menjadi lobi utama rumah itu sangat luas. Sepanjang mata memandang ruangan itu hanya menyuguhkan keindahan yang tidak bisa Fidella sanggah kenyataannya. Ia tidak peduli dengan cibiran Sagara yang mengatakan jika dirinya terlihat seperti orang bodoh dan kampungan.Marmer crem dengan corak garis seperti akar pohon menjadi pijakannya. Gaya arsitektur bangunan ini klasik dan sangat elegan. Cocok dengan kepribadian
Sagara meringis kesakitan, tangisnya semakin kencang dan cukup untuk mengundang perhatian banyak orang. Mereka yang melihat hanya sekedar menjadi penonton tanpa niat turut campur. Tidak ada prihatin bagi si kecil, tidak ada uluran tangan yang bersedia menepuk punggungnya, menenangkan, juga menyeka air matanya."Ya ampun, Sagara!" teriak ayah Sagara terkejut saat mendapati sang putra menangis sembari bersimpuh di bawah aspal.Pria itu membuang beberapa container—tempat yang sebelumnya digunakan untuk menyimpan ikan ke sembarang arah. Ia berlari menghampiri Sagara dan meraih bocah itu, Tuan Andra Ramirez memeluk putranya erat."Ayah, hiks, hiks." Sagara terisak. Sungguh miris sekali keadaan bocah tampan itu."Tenang, ayah di sini, Sayang. Kau baik-baik saja?" Ayah Sagara meraih wajah
"Kemungkinan besar mereka yang kita benci adalah seseorang yang paling berarti, ingat itu." -Sagara Affandra-"Kau terlihat semakin seksi jika sedang marah. Ah, tidak, bahkan lebih dari itu. Sangat menggairahkan dan—""Kya! Stop bicara jorok, itu menjijikan, dasar mesum!""Terkadang yang menjijikan itu bisa membuatmu melayang, Sayang." Sagara semakin gencar dengan godaannya. Cara ampuh untuk mengesampingkan rasa sendu yang sebelumnya ia rasa."Cih, oh Tuhan izinkan aku membunuhnya hari ini!" geram Fidella, gadis itu mengatakannya dengan gigi yang sudah menggertak lantaran menahan emosi."Aku tidak menyesal kau membunuhku jika hasratku sudah terpuaskan," balas Sagara dengan tatapan yang mampu membuat puluhan wanita melemah sedang i
Udara malam di Manhattan cukup menusuk, tetapi tak lantas menciutkan nyali Sagara untuk membenamkan diri dalam dinginnya alam terbuka. Terhitung dua puluh menit sudah berlalu sejak pria itu berdiam diri di kursi taman belakang kediaman sang istri.Termenung memeluk sepi tanpa ada yang menemani. Udara segar dan suasana tentram menjadi pertimbangan utama Sagara menyukai tempat itu.Di setiap sudut taman dihiasi oleh tanaman dan aneka jenis bunga yang sangat indah. Cahaya lampu taman setia menyoroti kesendirian Sagara.Beruntung rembulan sedang berbaik hati. Dia seakan ingin menghadirkan cahaya paling terang untuk pria itu malam ini. Untuk yang kesekian kalinya, angin malam menusuk kulit Sagara dan meninggalkan jejak es pada kulit wajah dan bagian lain yang tak terselimuti helai kain.Mata Sagara menatap lurus
"Ayah Mertua tidak perlu sungkan. Tanyakan saja," interupsi Sagara lagi saat mendapati ayah mertuanya justru terhanyut dalam diam dan memperhatikannya."Kau sangat pintar membaca pikiran orang ternyata," cetus Tuan Reno Vinandra, Sagara tersenyum tipis."Baiklah, jika kau yang meminta," cakap Tuan Reno Vinandra yang setuju dengan saran Sagara."Langsung saja, apa kau juga membenci putriku?"Sagara termenung, ia sedikit ragu untuk menjawab. Pria itu menghela napas sekilas, dengan masih mempertahankan lengkungan bibir yang sempurna seperti sedia kala."Sebelumnya maaf jika Ayah Mertua tersinggung. Aku memang sangat membencinya," jawab Sagara hati-hati, Tuan Reno Vinandra terhenyak kemudian ia mengangguk paham dengan air muka kecewa."Tapi itu dulu dan sekarang hanya dia yang membencik
"Fidella," panggil Sagara menggantung, nampak ragu-ragu."Apa?" tanya Fidella seraya menoleh ke arah Sagara. Namun, pria itu justru terdiam kembali."Kenapa kau memanggilku?" desak Fidella menuntut penjelasan."Tidak, itu tidak penting.""Masih saja aneh," gumam Fidella, kini bibir Sagara melengkung saat mendengarnya."Kau tidak lelah?" kata Sagara menggantung lagi.Fidella mengernyit. "Lelah apa?""Lelah ... membenciku?" tambah Sagara melengkapi pertanyaannya."Tidak sama sekali." Fidella mengalihkan pandangannya ke arah lain dan kini giliran Sagara yang menoleh ke arahnya."Aku masih sangat membencimu dan akan seterusnya begitu, kupikir."
"Entahlah, aku malas," jawab Kanza tak acuh. Ia mengangguk-anggukan kepalanya saat mendengar lagu bertempo up bit yang terputar disaluran radio yang Fidella pilih.Fidella menoleh dan berdecak. "Kau masih kesal pada kakakmu?" tanyanya dan Kanza mengangguk."Jangan seperti itu, bagaimanapun dia itu kakakmu. Kau harus menghadiri hari bahagianya," jelas Fidella memberi saran."Dia merusak mobilku dan aku masih tidak terima! Aku kerja keras mengumpulkan uang di sini untuk membeli mobil itu. Kau tahu, mobil sport itu limited edition, usahaku tidak mudah untuk mendapatkannya. Aku sudah mewanti-wanti padanya untuk tidak memakai mobilku saat aku tidak ada. Tapi dia tetap saja memakainya tanpa izinku.""Balapan liar di jalanan Jakarta yang padat, hingga akhirnya—""Arghhhh, manusia itu minta kuhajar!" Binar su
"Kenapa, kau cemburu?" tanya Kanza menyelidik."Aku ... tidak, bukan begitu. Hanya saja kau terus mengabaikanku karenanya," elak Fidella."Itu artinya kau cemburu, Sweatheart!" ujar Kanza setengah mendengkus dan tertawa."Terserah saja. Jadi, benar gosip itu?" dakwa Fidella penasaran."Gosip apa?" tanya Kanza pura-pura polos, tidak tahu apa-apa."Aku tidak mengerti maksudmu," lanjutnya kembali memakan hidangan di depannya.Fidella mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi dan bersidekap. Ia memicingkan mata sipitnya, membiarkan ujung ekor mata itu menusuk pandangan Kanza dengan intens."Aku sedang menunggu penjelasanmu, Mrs. Jakarta!" tukas Fidella penuh penekanan kata. Kanza memutar bola matanya ke sembarang arah, menghindari tatapan selidik Fidella."Hei, aku masih menunggu