Share

Lukisan yang Hilang

"ini pak dendanya," ucap Dimas kepada seorang kepala satpol PP yang sedang menjaga gudang hasil penertiban. Terdapat banyak barang-barang sitaan di gudang tersebut, termasuk dengan lukisan-lukisan Dimas. Kini Dimas pun harus membayar denda setelah selesai melakukan sidang pidana ringan. Ia dikenai denda 200.000 rupiah untuk bisa mengambil lukisan-lukisannya yang disita itu.

"Iya, kamu ambil saja lukisannya," begitulah ucap kepala satpol PP itu. Pandangannya sangatlah cuek dan tangannya sibuk menghitung uang hasil denda para pedagang kaki lima. Sesekali tangannya juga memegang rokok yang ada di mulutnya dan menghisap rokok tersebut dengan asap yang keluar dari hidungnya.

"Baik pak, terimakasih pak," kata Dimas dengan membungkukkan tubuhnya untuk melewati kepala satpol PP itu dan masuk ke dalam ruangan gudang hasil sitaan itu. Ia melihat sekeliling gudang yang dipenuhi oleh gerobak-gerobak milik para pedagang kaki lima.

Matanya bergeliat menyusuri setiap sudut ruangan gudang itu. Ia mencoba mencari 4 lukisannya yang disita oleh satpol PP waktu itu. Kini ia berhasil menemukan tumpukan kanvas yang merupakan lukisannya itu. Ia pun segera meraih lukisan-lukisannya itu. Tangannya pun meraba-raba lukisan itu, memastikan bahwa lukisan-lukisan tersebut dalam keadaan baik-baik saja dan tidak memiliki kerusakan sama sekali.

Dimas pun mencoba memastikan lukisan-lukisannya lagi. Ia menyadari bahwa hanya terdapat tiga lukisan yang ia temukan. Dia masih belum menemukan lukisan wajah Refita yang merupakan karya terlamanya dan kesayangannya. Kini ia pun berusaha mencari lukisannya yang hilang itu. Matanya kembali bergeliat menyusuri setiap sisi gudang itu. Tangannya pun bergerak mencoba memindahkan barang-barang di gudang itu untuk dapat mengetahui keadaan di balik barang tersebut. Namun, dia tidak kunjung menemukan lukisannya yang hilang itu.

"Pak, lukisan saya tidak ada pak," ujar Dimas kepada kepala satpol PP setelah cukup lama mencari lukisannya yang hilang itu. Nafasnya pun juga tersengal-sengal karena kepanikannya dan itu membuatnya mencari-cari dengan terburu-buru.

"Coba kamu cari lagi dek, mungkin terselip dengan barang-barang yang lain," ucap kepala satpol PP itu. Dia sangatlah cuek dan seperti tidak peduli dengan kepanikan Dimas. Kepala satpol PP itu pun hanya memilih duduk di depan gudang dan menyuruh Dimas untuk mencarinya lagi. Mungkin kejadian barang yang hilang memang sudah lumrah terjadi di gudang penyimpanan barang sitaan itu yang memang sangatlah berantakan.

"Baik pak," Dimas pun hanya dapat menuruti ucapan kepala satpol PP itu. Dimas kembali masuk ke gudang dan mencari-cari lukisan wajah Refita itu. Dia benar-benar panik dan kini ia pun mencari dengan brutal. Dia membongkar tumpukan-tumpukan barang di gudang itu dengan melemparkan-melemparkannya. Dimas sangatlah panik dan khawatir jika lukisannya tak kunjung ia temukan.

"Haa," kata Dimas pelan dengan mengambil nafas yang besar. Kini Dimas pun menyerah, ia sudah lelah dengan pencariannya. Dia pun harus merelakan lukisannya itu. Mungkin nanti Dimas akan melukis wajah Refita lagi agar dia tetap memiliki hal yang terus mengingatkannya pada Refita. Lukisan tersebut juga akan menjadi lukisan yang akan ia pandangi ketika hatinya merasa kangen terhadap kekasih pujaannya itu.

"Permisi pak, saya pulang ya pak, lukisan saya masih kurang satu pak, jika ada lukisan saya di dalam minta tolong hubungi saya ya pak," ucap Dimas dengan memberikan nomor WhatsAppnya kepada kepala satpol PP itu. Sebenarnya Dimas cukup kesal dengan petugas yang sangat tidak peduli itu. Dimas yang sudah melaksanakan kewajibannya dengan membayar denda kepada kepala satpol PP tidak mendapatkan pelayanan yang baik. Tapi Dimas mencoba sabar dan tetap bersikap sopan kepada kepala satpol PP yang berusia lebih tua darinya. Memang, Dimas merupakan anak yang bijak dan tau apa yang seharusnya ia lakukan meskipun itu juga berat baginya.

"Iya dek, kalo ketemu saya kabari," begitulah jawab kepala satpol PP itu. Dia tetap dengan wajah cueknya, tidak ada senyum ramah sedikitpun. Dimas pun pergi dan tidak memiliki harapan apapun tentang lukisannya yang hilang. Dimas sudah tidak yakin jika kepala satpol PP akan mengabarinya. Namun, Dimas tetap memberikan nomor WhatsAppnya untuk basa basi semata.

Kini Dimas pun pergi dengan menenteng tiga lukisannya itu. Lukisan itu berukuran cukup besar namun ia tidak kesulitan untuk membawa lukisan tersebut karena sudah terbiasa. Kakinya melangkah menyusuri setiap jalanan kota. Dia pun tidak dapat untuk naik angkutan umum karena lukisannya yang besar itu sehingga dia harus berjalan kaki dengan jarak yang cukup jauh.

"Pak beli es degannya satu pak," kata Dimas ke salah satu pedagang kaki lima. Ia menghentikan langkah perjalanannya untuk istirahat. Jarak antara kosnya dan gudang sitaan itu memang sangatlah jauh dan itu cukup membuat tenaga Dimas terkuras. Ia duduk di sebuah kursi plastik yang disediakan pedagang kaki lima itu dan menyandarkan lukisan-lukisannya pada pohon besar yang ada di belakangnya.

"Baik dek," jawab pedagang itu dengan sopan. Sebuah senyum ramah dadi seorang pedagang kaki lima yang berkebalikan dengan sikap cuek dari orang yang selalu merampas kebahagiaan para pedagang kaki lima. Dimas pun menyahuti senyum ramah pedagang itu dengan berbalik tersenyum.

Kini Dimas meluruskan pandangannya. Matanya melihat jalanan kota yang dipenuhi oleh kendaraan yang berlalu lalang. Kepalanya kini sudah tidak lagi memikirkan lukisannya yang hilang. Namun kini ia lebih memikirkan bagaimana karirnya kedepannya.

Dimas tidak mau lagi di grebek grebek oleh satpol PP lagi. Dia tidak mau ribet dengan harus melakukan sidang pidana ringan dan dikenai denda untuk dapat menebus barang sitaannya. Baginya, itu hanya mengenakkan para aparat itu.

"Ini dek silahkan," ucap pedagang kaki lima itu dengan memberikan segelas es degan lengkap dengan sedotan dan sendoknya.

"Trimakasih ya pak," jawab Dimas dengan senyum ramahnya. Kini, hampir semua orang yang ia temui memanggilnya dek dan ia memanggil orang tersebut dengan pak. Memang dia sendiri jarang menemui anak-anak muda yang menjadi pedagang kaki lima. Anak-anak muda seusianya masih lebih memilih untuk sekolah ata manjadi mahasiswa ketimbang harus menelan pahitnya kehidupan di jalanan. Tapi Dimas sendiri juga bersyukur atas keadaannya sekarang. Kini ia merasakan apa yang selama ini dirasakan oleh ibunya. Harus bekerja dengan sangat keras hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dimas pun menikmati segelas es degan itu. Meminum air degan tersebut dengan sedotannya dan memakan daging degan teraebut dengan sendoknya. Sesekali dia meluruskan pandangannya ke jalan dan menikmati aliran angin sepoi-sepoi yang menghempas tubuhnya. Mungkin, dengan sejenak melupakan masalah dan kesedihannya, dia akan bisa sedikit bahagia dan menikmati hidup. Melepas penat di pikirannya untuk sementara waktu, dan mencoba menenangkan diri merupakan hal terbaik yang bisa Dimas lakukan untuk mendapatkan sebuah kebahagian dan kedamaian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status