Share

Tragedi Pekerja Seni Jalanan

"lari, lari, ada satpol," suara teriakan itu begitu banyak didendangkan. Suasana jalanan itu begitu ricuh, banyak orang berlari dengan mulutnya terus berteriak-teriak.

"Dek, ada satpol dek, ayo lari dek," ucap salah seorang pria tua yang merupakan pedagang asongan dengan kaos putih yang sedikit lusuh itu. Pria itupun langsung berlari setelah mengucapkan hal tersebut kepada Dimas.

Dimas yang tengah melukis pun sontak kaget. Ia begitu panik dengan keadaannya sekarang. Ia pun segera mengemasi barang-barangnya ke tas dan langsung berlari meninggalkan tempat mangkalnya itu. Tidak semua barang berhasil ia selamatkan, hanya peralatan lukis seperti kuas dab cat air lah yang ia bawa. Sedangkan lukisan-lukisan yang ia pajang di pinggir jalan tersebut tidak sempat ia selamatkan.

"Lari semuanya, lari," Dimas pun ikut meneriakkan kata-kata yang banyak diucapkan orang-orang. Dimas juga berusaha memberitahu para pedagang kaki lima, dan orang-orang yang memiliki usaha di jalan lainnya untuk menyelamatkan diri dan barang dagangannya. Sebuah kejadian menyeramkan bagi seorang pekerja seni jalanan seperti Dimas.

"Huu, Huu, huu," suara nafas Dimas yang tersengal-sengal saat ia menghentikan langkah kakinya. Ia sudah berlari terlalu jauh dan keberadaannya tidak akan ditemukan oleh para satpol PP itu. Dimas duduk di sebuah gedung kosong yang sudah tak berpenghuni. Gedung itu seperti sudah sangat tua, pintu dan jendela gedungnya sudah tidak ada dan cat pada dinding gedung itu sudah banyak yang terkelupas. Dimas mencoba mengatur nafasnya yang sudah tersengal-sengal.

"Kamu selamat dek?" ucap seorang pria tua yang tadi menyuruh Dimas untuk lari. Pria tersebut pun juga terlihat sangat kecapekan. Baju putih lusuhnya itu pun kini penuh dengan tetesan keringatnya.

"Iya pak," jawab Dimas dengan suara yang masih tersengal. Dimas bukanlah seorang yang memiliki fisik kuat sehingga ia pun sangat kecapekan jika harus berlari sejauh dan secepat itu tadi. Suasana di gedung itu pun cukup sunyi, sudah tidak ada suara teriakan lagi dan tidak ada kericuhan akibat lalu lalang orang yang berlari itu lagi.

"Barangmu selamat semua dek?" tanya pria tua yang rambutnya sudah mulai memutih itu. Tubuhnya masih terlihat kekar namun kulitnya pun sudah mulai keriput.

"Nggak pak, lukisan-lukisan saya masih ada disana pak," kata Dimas lesu. Ia teringat dengan lukisan-lukisannya yang ia tinggal. Ia menjadi khawatir akan lukisan-lukisan yang ia tinggal itu.

"Pak, memang sering ada grebekan seperti ini ya pak?" tanya Dimas kepada pria tua itu mencoba untuk meneruskan pembicaraan yang sudah mereka buat. Dimas memang anak yang sangat pandai bergaul. Ia sudah terbiasa mengobrol dengan orang lain, meskipun baru ia kenal sekalipun. Pekerjaannya sekarang juga membuatnya harus lebih pandai bergaul dengan orang-orang yang baru saja ia temui. Itu semua demi kepuasan para pelanggannya.

"Iya dek, kita sebagai orang jalanan ya mau tidak mau harus seperti ini, kalau nggak gini kita juga nggak bisa makan," begitulah ucap pria tua itu mencoba menjelaskan fenomena sosial yang terjadi di kalangan masyarakatnya yang cenderung menengah kebawah.

Banyak orang yang menggantungkan perekonomiannya di jalanan. Modal mereka yang tidak terlalu besar membuat mereka tidak mampu menyewa lapak hanya demi menjual makanan dan minuman ataupun pakaian-pakaian murah. Namun keputusan mereka untuk menjadi pedagang kaki lima pun juga memiliki banyak resiko. Mereka harus siap jika sewaktu-waktu para satpol PP melakukan penggrebekan. Mereka yang tidak siap pun mau tidak mau harus ditangkap.

"Biasanya sebulan berapa kali ya pak?" Dimas pun bertanya lagi kepada pria itu. Kini rasa ingin tahu Dimas terhadap kondisi masyarakat di lingkungannya semakin tinggi. Sudah hampir 2 bulan Dimas berada bersama dengan mereka, namun Dimas masih belum memiliki banyak informasi mengenai kehidupan mereka.

"Ya nggak mesthi dek, kadang kalau sudah musimnya penggrebekan, bisa tiap hari ada grebekan dek," begitulah ucap pria tua itu.

"Kamu namanya siapa dek?" ucap pria tua itu. Mereka sudah banyak mengobrol tapi belum saling mengenalkan diri. Begitulah jika orang sudah pandai bergaul. Mereka tidak harus berkenalan terlebih dahulu untuk bisa melakukan pembicaraan.

"Dimas pak, bapak sendiri?" begitu jawab Dimas dan ia berusaha memberikan timbal balik kepada pria tua itu. Balik bertanya tentang nama pria itu.

"Saya Edi," begitulah ucap pria tua dengan kaos putih penuh keringatnya itu. Kini Dimas pun menjadi mengenal siap pria yang baru saja ia ajak mengobrol.

"Eh, sepertinya sudah tidak ada satpol, kamu nggak mau cek lukisan kamu?" begitu lanjut Edi. Tanpa sepatah kata yang keluar dari mulut Dimas pun, ia berlari keluar dari gedung usang itu. Tujuannya hanya untuk memastikan lukisannya baik-baik saja. Larinya begitu kencang dan penuh dengan kepanikan. Pikirannya yang sedari tadi dipenuhi oleh rasa khawatir pun semakin menghantuinya.

"Ha, lukisanku, lukisanku, lukisanku," teriak Dimas ketika melihat lukisannya sudah bersih tak bersisa. Jalanan itu sangatlah bersih tanpa adanya barang sedikitpun. Tangis kekesalan Dimas pun menjadi-jadi. Ia menyesalkan semua lukisan yang sudah ia gambar. Sebuah lukisan wajah Refita yang selalu menjadi pajangan untuk promosinya hingga lukisan belajar bersamanya yang juga sengaja ia pasang karena itu merupakan karya terbaiknya. Dua lukisan yang ia lukis dengan penuh perasaan itu kini hilang entah kemana. Perasaannya begitu tercabik-cabik. Menusuk luka hatinya yang begitu dalam.

"Haaaaaaa," teriak Dimas untuk kesekian kalinya. Isak tangisnya pun sudah tidak bisa lagi ia bendung. Sebuah kekesalan yang sangatlah dalam begitu ia rasakan. Tangannya meraba-raba trotoar itu, berusaha mencari lukisan-lukisannya yang hilang. Pikirannya sontak menjadi kosong dan seakan-akan menjadi gila.

Semangat Dimas pun sontak terhenti. Semua rasa capek, jerih payahnya selama ini harus berakhir seperti ini. Dimas begitu kesal dan kini ia tidak mengerti apa yang harus dilakukannnya.

"Haaaaaa," lagi-lagi Dimas berteriak. Kini ia duduk di trotoar pinggir jalan itu. Bersandar pada sebuah tiang besi lampu jalanan. Kepalanya mendongak ke atas dan menatap ke langit. Pikirannya pun menjadi kosong dan melamun tanpa memikirkan apapun. Hanya sebuah perasaan kesal yang ada di hatinya sekarang. Namun itu begitu melelahkan ya.

"Tuhan, apa yang kini harus aku lakukan?" ungkap Dimas yang sangat frustasi itu. Ia bahkan bingung akan apa yang ia lakukan selanjutnya. Dimas tak ingin kejadian seperti ini terulang lagi. Tapi bagaimana ia harus menghidupi dirinya di Bandung jika tidak menjadi pekerja seni jalanan. Ia sendiri juga masih belum memiliki modal untuk menyewa lapak. Dan usahanya juga tidak akan berkembang jika hanya mengandalkan pesanan dari ponsel. Pelanggan terbanyaknya merupakan orang-orang yang menemuinya ketika ia mangkal di pinggir jalan. Dan yang memesan lukisannya melalui ponsel ya hanya Roni

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status