Share

Bab 2

Penulis: Avini
Keesokan harinya saat aku bangun, hari sudah sore. Sepanjang malam aku demam dan pusing. Tenggorokanku serak sampai tidak bisa berbicara.

Aku membuka ponsel dan menemukan puluhan pesan belum terbaca.

[ Kairen, selamat ulang tahun! Kakak beliin kamu kapal pesiar, nanti kita naik bareng ya! ]

[ Kairen, ayahmu ngotot mau pulang ke negara untuk merayakan ulang tahunmu. Benar-benar nggak ada yang bisa menahannya. ]

[ Selamat ulang tahun yang ke-25, Kairen! Aku akan selalu mencintaimu! ]

Satu halaman penuh, semuanya mengucapkan selamat ulang tahun untukku. Ayah dan Ibu yang jauh di luar negeri, Kakak, juga teman-teman, semuanya memberi ucapan.

Hanya satu orang yang tidur di sampingku setiap hari, pacarku, yang tidak mengirim satu pesan pun.

Aku menghela napas, samar-samar mengingat bahwa tengah malam aku sempat meminta Revano membantuku menuangkan segelas air, tetapi sepertinya dia sedang menerima telepon di balkon. Setelah menutup telepon, dia terburu-buru pergi dan tidak pernah kembali.

Aku menyeret tubuhku yang lemah turun dari tempat tidur. Demam tinggi membuatku hampir tak bisa berdiri.

Saat itu, pintu terbuka. Revano kembali. Dia membawa banyak hadiah. Dari kemasannya saja aku tahu semuanya sangat mahal.

Menyadari tatapanku, Revano segera berjalan mendekat. "Kenapa baru bangun sekarang? Dasar tukang tidur."

Aku menoleh dan menjauh, menghindari tangannya yang hendak menyentuhku. Kemudian, aku menunduk melihat tumpukan hadiah itu dan berkata pelan, "Ulang tahunku sudah lewat."

Revano tertegun. Tangannya menggantung di udara lama sekali, baru kemudian perlahan diturunkan. Secara refleks, dia melirik kalender di dinding, lalu buru-buru meletakkan barang di tangannya dan memegang tanganku dengan ekspresi penuh rasa bersalah.

"Sayang, maaf .... Kemarin aku terlalu sibuk. Hari ini aku akan menebusnya untukmu ya?"

"Nggak usah, yang sudah berlalu biarkan saja berlalu." Aku langsung menolak.

Revano menatapku yang lesu masuk ke kamar tidur. Rasa bersalah di matanya semakin dalam.

Aku duduk di kamar, merasa kepalaku semakin berat. Setelah setengah jam, aku keluar lagi dan melihat Revano sudah tidak ada.

Pembantu melihat ekspresiku yang bingung dan menjelaskan, "Tuan keluar untuk membelikan hadiah ulang tahun Nyonya. Nyonya jangan marah. Kemarin Tuan memang ada urusan penting dan kebetulan baru selesai hari ini."

Aku terdiam, menatap tumpukan tas hadiah di meja. "Membeli hadiah?"

Pembantu mengikuti arah tatapanku, lalu segera mengangkat semua tas dan memasukkannya ke lemari, seperti takut aku menyentuhnya.

"Barang-barang ini untuk klien penting. Tuan bilang siapa pun nggak boleh menyentuhnya."

Klien penting? Melihat kosmetik dan tas wanita itu, aku langsung mengerti.

Di dunia ini, selain orang tuanya, satu-satunya yang paling penting bagi Revano hanyalah Selina.

Bahkan mungkin lebih penting dari orang tuanya. Waktu itu Revano sampai bertengkar hebat dengan ayah dan ibunya demi menikahi Selina, bahkan hampir memutus hubungan keluarga.

Jadi, Revano bukan salah ingat tanggal ulang tahunku. Dia memang tidak terpikir sama sekali.

Dia bisa saja pura-pura salah tanggal, lalu memakai hadiah-hadiah itu untuk membujukku, tetapi tidak dilakukan. Karena apa pun yang disiapkan untuk Selina tidak boleh disentuh orang lain.

Selina baru kembali, tetapi aku sudah kalah telak. Aku tidak berani membayangkan, di hari-hari ke depan, berapa kali lagi aku akan kalah dari Selina.

Ketika Revano kembali membawa seikat bunga, aku sedang berbaring di tempat tidur, menatap ponsel tanpa ekspresi.

Dia menyadari suasana hatiku buruk, lalu duduk di tepi ranjang dan mengusap kepalaku. "Sayang, jangan marah lagi ya. Aku sudah beli banyak barang untukmu. Kalau kamu masih nggak senang, tampar aku saja, boleh?"

Sambil berkata begitu, dia mengambil tanganku dan menempelkannya ke pipinya. Melihat sikapnya yang begitu rendah hati, dadaku semakin terasa sesak.

Revano sebenarnya bukan pria berwatak lembut. Mantan-mantannya kalau merajuk, Revano tidak pernah membujuk. Dia langsung mencampakkan, lalu mengganti yang baru.

Namun terhadapku, dia sangat memanjakanku, bahkan bisa merendahkan diri seperti ini untuk meminta maaf.

Aku bertanya dalam hati, apakah dia baik padaku karena dia mencintaiku, atau hanya karena aku paling mirip dengan Selina?

Memikirkan itu, aku menoleh menatapnya, lalu benar-benar menampar pipinya.

Revano terkejut, jelas tidak menyangka aku akan benar-benar menamparnya. Dia tidak marah, mengira aku hanya kesal. Dengan bekas tamparan di wajah, dia buru-buru mengambil sebuah kotak hadiah. Di dalamnya ada sebuah kalung.

Kalung itu adalah karya terbaru sang maestro yang kutaksir sejak dua minggu lalu, tetapi tidak pernah berhasil kudapatkan. Tidak kusangka Revano mendapatkannya hanya dalam setengah jam. Pasti dia menghabiskan banyak uang.

Aku tiba-tiba tidak mengerti apa sebenarnya yang ada di dalam pikirannya. Dia tetap memperlakukanku dengan baik, bahkan begitu baik sampai semua orang iri padaku. Satu-satunya kekurangan adalah aku selamanya berada di bawah bayangan Selina.

Melihatku terpaku, Revano tersenyum tipis dan merapikan rambutku. Kemudian, dia memakaikan kalung itu di leherku.

Begitu jari-jarinya menyentuh kulitku, wajahnya langsung berubah tegang. "Kenapa panas sekali?"

Akhirnya, Revano menyadari aku sedang demam. Dia langsung mengangkat tubuhku dan bergegas ke rumah sakit.

Sebelum pergi, dia membentak para pembantu, "Nyonya kalian demam, nggak ada satu pun yang tahu? Mulai besok kalian semua nggak usah kerja lagi!"

Setelah itu, dia membawaku ke rumah sakit dengan panik, menerobos lebih dari sepuluh lampu merah.

Sesampainya di rumah sakit, dokter menanyakan hubungan kami.

"Dia kakakku."

"Aku pacarnya."

Suara kami terdengar bersamaan.

Dokter menatap kami dengan ragu. Revano menekankan sekali lagi, "Aku pacarnya."

Aku memandangnya dengan bingung. Biasanya, Revano tidak pernah mengakui hubungan kami di luar. Meskipun tidak ada kenalan, dia tetap akan bilang aku adiknya. Lama-lama aku terbiasa, jadi di luar aku juga memperkenalkan diri sebagai adiknya.

Tidak kusangka, kali ini dia mengakui karena merasa bersalah. Aku tersenyum miris, menatap cairan infus yang menetes perlahan.

Perawat yang berdiri di samping tak tahan berkata, "Untung kamu datang tepat waktu. Kalau nggak, bayi di dalam kandungan ...."

Aku langsung terbatuk keras. Revano buru-buru menoleh untuk mengambil air. Dalam jeda itu, aku menggeleng pelan pada perawat, memberi isyarat padanya agar tidak melanjutkan.

Aku sudah memutuskan untuk mengakhiri segalanya dengan Revano, jadi aku juga tidak ingin dia tahu soal bayi ini.

Untungnya Revano tidak curiga. Dia membantuku duduk, lalu memberiku minum.

Saat ini, kakakku membuka pintu dan masuk, berlari panik ke arah ranjangku. "Kairen, kenapa kamu nggak bilang kalau kamu ...."

Kata-katanya terhenti. Dia dan Revano saling memandang. Revano lebih cepat bereaksi, buru-buru meletakkan gelas kembali ke meja.

"Kok kamu ada di sini?"

"Kairen pingsan di kantor. Aku kebetulan melihatnya dan membawanya ke rumah sakit."

Revano mengucapkan kebohongan itu dengan begitu tenang. Namun, ketika dia melihat Selina di luar ruangan, wajahnya berubah pucat seketika.

Selina tampak tenang, membawa keranjang buah dan masuk sambil tersenyum. "Kebetulan tadi aku dan Lioran ngopi sambil mengenang masa lalu. Begitu dia dengar adiknya sakit, dia hampir lupa bayar tagihan. Aku ikut sekalian. Revano, lihat wajahmu, kamu seperti nggak menyambutku."

Wajah Revano langsung menggelap. Dia dan Selina saling memandang, dengan emosi yang tidak dapat kutebak.

Itu adalah emosi karena diabaikan oleh Selina, sesuatu yang belum pernah kulihat darinya selama bertahun-tahun.

Saat atmosfer mulai membeku, aku turun dari ranjang, mengulurkan tangan padanya. "Halo, aku Kairen."

Selina menatapku dari atas sampai bawah, lalu tiba-tiba matanya melebar seperti baru menyadari sesuatu. Dia tersenyum pelan, berjabat tangan denganku. "Halo, aku Selina, temannya Lioran."

Mendengar cara Selina memperkenalkan dirinya, tubuh Revano bergetar keras. Kedua tangannya mengepal tanpa sadar.

Melihat reaksinya, aku hanya bisa tersenyum pahit.

Tiba-tiba, Selina menutup mulut dengan ekspresi terkejut. "Eh, kamu juga punya lesung pipi ya. Kalau tersenyum mirip sekali denganku."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cintaku Adalah Cinta Pertama Kakakku   Bab 16

    Aku berbaring di atas ranjang. Darian berjalan ke sisi tempat tidur dan mengangkat bajuku dengan alami.Aku langsung merasa tegang, tetapi dia malah tersenyum. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"Tangannya menyusuri bekas luka itu, lalu dia mulai menggambar sesuatu di atas kertas desain."Kamu adalah karya baruku. Dan juga akan menjadi karya favoritku."Ujung jarinya menyapu lembut perutku, menimbulkan rasa geli dan hangat yang membuat tubuhku gemetar. Hatiku ikut terusik, aku tidak tahan lagi. Aku menahan jarinya, lalu menarik kerah bajunya dan menariknya mendekat."Darian, apa sebenarnya hubungan kita sekarang?"Dia menatap langsung ke mataku dan menjawab dengan sangat serius, "Kalau kamu mau, satu detik dari sekarang kita bisa jadi pasangan. Setahun setelah itu, kita bisa menjadi suami-istri."Aku tertawa kecil, memeluk lehernya dan mencium bibirnya.Melihat aku mengambil inisiatif, Darian jelas menjadi bersemangat. Dia menahan kepalaku dan mencium semakin dalam. Caranya mencium sama s

  • Cintaku Adalah Cinta Pertama Kakakku   Bab 15

    Sejak aku dan Darian melewati keraguan terakhir itu, hidupku tidak lagi setenang dulu. Dia semakin sering datang dan juga semakin terus terang terhadapku.Pendekatan Darian berbeda dengan Revano. Revano menghabiskan uang untukku, mengatakan kata-kata manis padaku. Darian malah bergadang beberapa malam berturut-turut demi membantuku memperbaiki konsep desain, bahkan menuliskan pengalaman profesionalnya menjadi sebuah buku yang hanya diberikan kepadaku seorang.Dia juga memasang kamera pengawas di pintu vila milikku, menempatkan banyak penjaga di sana, berjaga-jaga agar orang gila itu tidak mencelakakanku.Namun, sehebat apa pun penjagaan itu, tetap tidak bisa menahan tekad Revano.Hari itu aku keluar rumah untuk menghadiri sebuah pesta, tiba-tiba sebuah mobil berhenti mendadak di depanku. Beberapa pria berjas hitam melompat turun, menutup mulut dan hidungku, lalu melemparkanku dengan kasar ke dalam mobil.Saat aku kembali sadar, aku berada di sebuah rumah yang tampak familier bagiku."S

  • Cintaku Adalah Cinta Pertama Kakakku   Bab 14

    Setelah pesanku terkirim, Revano tidak pernah membalas lagi. Aku kembali membuka akun sosialku dan mengirim satu postingan yang bisa dilihat semua orang.[ Semua hal yang berhubungan dengan Revano tidak perlu diberitahukan padaku lagi. Kami sudah putus. ]Lucu juga jika dipikir-pikir. Aku dan Revano bahkan tidak pernah mengumumkan hubungan kami, tetapi pertama kali diumumkan justru saat berpisah.Tak lama setelah postingan itu terkirim, banyak orang langsung memberi like, termasuk satu akun asing.Itu Darian. Dia baru mendaftar tiga menit yang lalu.Sekejap, perhatian semua orang langsung tertuju padanya. Bagaimanapun, dia terkenal misterius dan tidak pernah punya akun sosial apa pun.[ Ternyata ini akun sang dewa seni! Jangan bilang dia dan Kairen .... ][ Apa cuma aku yang merasa mereka cocok banget? ]....Saat aku sedang membaca komentar, tiba-tiba ponselku berbunyi. Itu telepon dari kakakku. Dia bilang Revano semalam minum sampai masuk ruang gawat darurat dan sekarang sedang dalam

  • Cintaku Adalah Cinta Pertama Kakakku   Bab 13

    Waktu berlalu begitu cepat. Besok, Revano dan Selina akan menikah.Awalnya aku sama sekali tidak tahu, tetapi Selina datang ke rumahku dan langsung melemparkan undangan itu ke wajahku.Begitu berbalik, dia menabrak Darian. Empat mata itu saling bertemu, lalu dia mendengus dingin."Kairen, apa kamu punya kecenderungan aneh? Suka menggoda sahabat kakak laki-lakimu?" Sambil berkata begitu, dia melirik Darian dengan provokatif."Pak Darian, aku sarankan kamu sadar sedikit, jangan sampai tertipu oleh perempuan ini. Mantan pacarnya adalah tunanganku. Waktu putus itu heboh sekali. Bahkan dia bohong bilang dirinya hamil pun tetap nggak bisa mempertahankan hubungan mereka."Selina sengaja menekankan kata "hamil", tetapi aku sama sekali tidak peduli. Karena itu memang kenyataan. Lagi pula, hamil bukan hal memalukan.Wajah Darian menjadi murung. Dia tersenyum sinis. "Terus? Kamu sendiri bangga banget karena ambil sampah yang ditinggalkan orang lain ya?""Kamu ...!" Wajah Selina memerah, tetapi di

  • Cintaku Adalah Cinta Pertama Kakakku   Bab 12

    Aku menyetujui undangannya.Melihat gaun pesta indah yang dia kirimkan, aku merasa seperti sedang bermimpi. Situasi seperti ini benar-benar di luar dugaanku.Hanya saja, aku tidak menyangka kejutan yang lebih besar masih menunggu di belakang.Di pesta itu, aku bertemu Selina dan Revano. Saat melihatku lagi, Revano jelas terpaku sesaat.Hanya beberapa hari tidak bertemu, dia tampak jauh lebih kurus. Mata yang belum pulih itu kini ditutupi penutup mata hitam. Anehnya, hal itu justru membuatnya terlihat berbeda.Harus kuakui, tidak peduli berdiri di mana pun, Revano selalu menjadi pusat perhatian. Namun, saat Darian melangkah masuk, dia bukan lagi pusat perhatian itu.Hari ini Darian memakai setelan ungu dengan manset emas, tampak sangat berkelas. Ungu juga merupakan warna favoritku.Aku tak kuasa memandangnya lama. Saat menoleh kembali, aku justru berpapasan dengan tatapan Revano.Dia tertegun sesaat, lalu langsung memalingkan wajah seperti tersengat listrik dan tidak melihatku lagi.Aku

  • Cintaku Adalah Cinta Pertama Kakakku   Bab 11

    Sudut Pandang Kairen:Ajang kompetisi ini membuat seluruh dunia desain geger. Bukan hanya karena nilainya sangat tinggi, tetapi juga karena Diske akhirnya menampakkan wajahnya.Itu adalah wajah yang luar biasa tampan ....Sebelumnya, karena karya-karya Diske menyapu bersih semua penghargaan, semua orang mengira dia pasti adalah seorang pria tua yang sangat berpengalaman.Tak disangka, orangnya justru masih sangat muda. Kesan pertamaku tentang dia adalah dia tidak terlihat seperti seorang seniman, melainkan seperti seorang pemilik perusahaan.Setelannya rapi, tubuhnya tegap, bibirnya terkatup rapat, tatapannya dingin. Dia terlihat agak galak.Tanpa sadar, aku menjadi sedikit gugup. Peserta di depanku satu per satu selesai memperkenalkan karya dan turun. Saat giliranku naik, telapak tanganku sedikit berkeringat.Sorotan lampu menyinari tubuhku. Aku mendorong sebuah cincin ke hadapan para juri. Semua orang langsung tertegun. Karena itu adalah cincin yang sangat amat sederhana.Di bagian t

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status