Short
Cintaku Adalah Cinta Pertama Kakakku

Cintaku Adalah Cinta Pertama Kakakku

By:  AviniCompleted
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel4goodnovel
16Chapters
3views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Aku dan sahabat terbaik kakakku, Revano, sudah berpacaran tiga tahun, tetapi dia tidak pernah mau mengumumkan hubungan kami. Namun, aku tidak pernah meragukan cintanya padaku. Bagaimanapun, dia pernah punya 99 pacar, tetapi dia tidak lagi melirik perempuan lain sejak bersamaku. Bahkan ketika aku hanya sedikit masuk angin, dia akan langsung meninggalkan proyek bernilai puluhan miliaran dan terbang pulang. Sampai hari ulang tahunku, aku hendak memberi tahu Revano bahwa aku hamil. Namun, untuk pertama kalinya dia lupa hari ulang tahunku dan menghilang tanpa jejak. Pembantu memberitahuku bahwa dia pergi menjemput seseorang yang sangat penting dari luar negeri. Aku bergegas ke bandara dan melihat dia memegang sebuket bunga. Wajahnya penuh rasa gugup karena menunggu seorang gadis, gadis yang wajahnya sangat mirip denganku. Belakangan, kakakku memberitahuku bahwa dia adalah cinta pertama Revano, seseorang yang tak bisa dia lupakan seumur hidup. Revano pernah memutus hubungan dengan orang tuanya demi perempuan itu. Setelah dirinya dicampakkan, Revano hancur, hampir gila, dan mencari 99 pengganti yang mirip dengan wanita itu untuk menghabiskan hari-harinya. Saat kakakku berkata begitu, nada suaranya penuh kekaguman pada besarnya cinta Revano. Dia tidak tahu bahwa adik perempuan yang dia sayangi setengah mati, adalah salah satu dari pengganti itu. Aku menatap pasangan itu sangat lama, lalu tanpa ragu kembali ke rumah sakit. "Dokter, anak ini ... aku nggak menginginkannya lagi."

View More

Chapter 1

Bab 1

"Apa? Bu Kairen, kamu mau menggugurkan kandungan? Bukankah pagi ini setelah tahu hamil, kamu sangat bersemangat dan ingin berbagi kabar baik ini pada pacarmu?"

Dokter menatapku dengan tak percaya. Suara teriakannya terdengar begitu keras di ruang periksa yang kosong itu.

Aku menunduk. Ujung jariku mencengkeram ujung rok erat-erat. Suaraku tercekat saat menjawab, "Jangan tanya lagi .... Pokoknya aku nggak mau anak ini."

Dokter itu menatapku lama sekali, lalu akhirnya menghela napas panjang. "Bu Kairen, aku nggak tahu apa yang terjadi padamu. Tapi sekarang emosimu jelas lagi nggak stabil. Tunggu sampai kamu tenang dulu, baru pertimbangkan lagi."

Dia mendorong kembali formulir persetujuan aborsi ke hadapanku. Tatapannya tertuju pada foto hasil pemeriksaan di atasnya. Dia menambahkan, "Bagaimanapun juga ... ini menyangkut nyawa."

Aku mengangkat kepala, menatap bayangan hitam kecil di laporan itu. Mataku langsung memerah lagi.

Setelah waktu yang lama, aku memasukkan kembali berkas itu ke tas, lalu meninggalkan rumah sakit.

Aku berjalan pulang seperti orang kehilangan jiwa, satu langkah demi satu langkah. Tiba-tiba, sebuah Ferrari merah mengerem mendadak di depanku.

Sepasang sepatu kulit rapi melangkah ke genangan air. Wajah tampan yang sangat kukenal muncul di depanku. Revano memegang payung, bergegas menghampiriku.

Dia langsung menarikku ke pelukannya, lalu melepaskan jasnya dan menyelimuti tubuhku. "Sudah sebesar ini, keluar rumah pun nggak bawa payung? Tubuhmu dari dulu lemah. Kalau sampai sakit gimana?"

Aku mengangkat kepala, menatap wajah sampingnya yang penuh kecemasan. Rasanya seperti kembali ke tahun pertama kami jatuh cinta. Saat itu, dia selalu memperlakukanku seperti harta paling berharga.

Namun, aku tahu betul bahwa semua itu tidak mungkin kembali lagi.

Aku melihat setelan jas biru tua di tubuhnya, tersenyum pahit. Itu setelan khusus yang dia pesan sebulan lalu untuk pesta ulang tahunku.

Namun hari ini, di hari ulang tahunku, dia malah memakai setelan itu untuk acara lain.

Sore tadi saat sedang menyiapkan pesta, aku tiba-tiba mual hebat. Kukira penyakit lambungku kambuh, tetapi dokter malah bilang aku hamil.

Di hari ulang tahunku, mengetahui ada kehidupan kecil di dalam tubuhku, aku merasa itu hadiah dari Tuhan.

Aku buru-buru pulang, ingin berbagi kabar itu dengan Revano. Namun, entah sejak kapan dia menghilang.

Pembantu melihat kebingunganku. "Tuan bilang mau ke bandara menjemput seseorang yang penting. Beliau juga bilang kalau Nyonya lapar, boleh makan dulu, nggak usah menunggu."

Tidak usah menunggu? Namun, hari ini ulang tahunku. Dia janji akan memberiku pesta ulang tahun yang megah. Sekarang malah bilang aku tidak perlu menunggu?

Aku menekan emosiku dan bertanya, "Orang penting siapa?"

Pembantu itu sempat ragu, lalu akhirnya menjawab pelan, "Aku kurang tahu. Yang aku tahu waktu Tuan keluar rumah, beliau terlihat sangat senang, bahkan berdiri lama sekali di depan cermin."

Mendengar itu, entah kenapa hatiku terasa tidak nyaman. Setelah ragu sejenak, aku meminta sopir mengantarku ke bandara.

Bandara penuh orang, tetapi Revano selalu mudah ditemukan. Tubuh tinggi dan wajah tampannya selalu menarik perhatian. Benar saja, dia berdiri di tengah kerumunan.

Namun, aku tidak mendekat. Karena bukan hanya dia yang ada di sana, tetapi kakakku, Lioran, juga ada.

Sementara Revano sedang memegang seikat bunga dan menatap ke arah pintu kedatangan lekat-lekat. Bibirnya menegang, terlihat gugup.

Aku belum pernah melihatnya seperti itu. Dulu, sekalipun hubungan kami hampir ketahuan di depan kakakku, dia tetap tenang dan santai. Jadi, siapa yang bisa membuatnya menjadi seperti ini?

Aku menatap pintu keluar itu lekat-lekat. Hingga akhirnya, seorang perempuan yang cantik dan penuh pesona berjalan keluar.

Revano langsung melambaikan tangan. "Selina!"

Perempuan itu melepas kacamata hitamnya, berjalan perlahan ke arah mereka. Namun, dia tidak menerima bunga yang disodorkan Revano. Dia malah langsung melewati Revano dan merangkul lengan kakakku.

Saat itu juga, aku melihat dengan jelas, mata Revano dipenuhi keengganan.

Dulu Revano memang suka bermain dengan banyak perempuan, tetapi semua itu hanya permainan. Dia bahkan malas peduli kalau mereka marah. Apalagi sampai muncul rasa enggan seperti itu.

Aku menatap perempuan itu beberapa saat .... Selina. Aku teringat, sejak kecil aku tinggal di luar negeri dan kakakku sering bercerita tentang dua sahabat masa kecilnya, yaitu Revano dan Selina. Mereka bertiga terkenal sebagai trio yang sangat akrab.

Namun, melihat adegan barusan, jelas Revano dan Selina bukan hanya sebatas teman.

Dengan penuh rasa heran, saat kakakku pergi mengambil bagasi, aku meneleponnya. "Kak, aku dengar dari Pak Revano kalau Selina pulang. Apa hubungan mereka? Tadi Pak Revano kelihatan sangat senang sampai-sampai nggak jadi rapat."

Kakakku terdiam sebentar, lalu tertawa pelan. "Dia sampai cerita ke kamu? Sepertinya dia memang sangat senang. Dia dan Selina dulu pacaran beberapa tahun, dan itu benar-benar hubungan yang panas. Sampai suatu hari, Selina tiba-tiba pergi ke luar negeri saat Revano lagi sayang-sayangnya. Dia langsung hancur."

"Jangan heran, Revano yang sekarang kamu lihat orangnya begitu dingin, dulunya setiap hari nangis dan teriak-teriak di depanku. Sampai pernah bilang mau mati segala. Saking depresinya dia sampai mencari banyak pengganti ...."

"Pengganti?" Tanganku bergetar.

Kakakku menggumam, "Ya. Mungkin kamu belum pernah lihat Selina. Nanti kalau kamu lihat, kamu akan tahu perempuan-perempuan yang dekat dengan Revano dulu semuanya mirip dia."

"Kamu juga sebenarnya mirip sedikit. Tapi tentu saja adik kesayanganku jauh lebih cantik ...."

Aku tidak lagi mendengar kata-kata berikutnya. Telingaku berdenging. Setiap kata Kakak membuat tubuhku semakin dingin. Perlahan aku mengangkat kepala, menatap perempuan menawan itu. Sebenarnya ... aku sudah melihatnya.

"Kairen? Kok diam? Oh ya, kamu nanya itu buat apa?" Suara kakakku terus terdengar dari ponsel, tetapi aku tidak lagi punya tenaga untuk menjawab.

Aku hanya menyahut pelan, "Peduli pada Bos 'kan hal yang wajar, Kak. Oh ya, jangan bilang ke Pak Revano soal yang aku tanyakan hari ini ya."

Setelah mendapat jawaban, aku langsung menutup telepon. Saat layar ponsel berubah gelap, bayangan wajahku terpantul di permukaannya.

Aku mengangkat kepala lagi, menatap perempuan itu. Mirip? Aku tersenyum pahit. Lesung pipi di ujung bibir ... sama persis dengan miliknya. Ya ... kami memang mirip sekali.

Hari itu, aku tidak tahu bagaimana kakiku keluar dari bandara. Yang aku tahu, hujan turun sangat deras.

Saat pulang, Revano mengeluarkan handuk untuk mengeringkan rambutku, lalu membuatkan sup hangat untukku.

Dia mengusap rambutku sambil mengobrol santai, "Sayang, tahu nggak? Hari ini aku hampir ketahuan. Kakakmu bilang ada temannya yang mau kenalan sama kamu. Mau atur pertemuan. Aku langsung lompat bilang nggak boleh. Kakakmu sampai bingung."

Aku tersenyum tipis. "Terus? Dia sadar?"

"Tentu saja nggak. Kakakmu 'kan lemot. Mana mungkin dia tahu kalau sahabat baiknya sendiri diam-diam pacaran sama adiknya? Kalau sampai ketahuan, apa aku bisa pulang dalam keadaan selamat begini?"

Mendengar nada bercandanya, aku menahan tangannya. "Revano, kamu benaran menganggapku pacar?"

Dia terdiam sejenak, lalu tertawa. Kemudian, dia berlutut di depanku, mencubit pipiku pelan. Suaranya lembut saat menyahut, "Kalau bukan pacar, waktu kakakmu mau kenalin kamu sama pria lain, kenapa aku marah?"

Menyebut pria yang bahkan belum pernah kulihat itu membuat wajahnya masam. Dia menarik tubuhku ke pelukannya, bibirnya menyapu leherku. "Cuma membayangkan kamu duduk satu meja dengan pria lain saja, aku sudah nggak tahan."

Napas hangatnya menggelitik leherku. Tubuhku melemas. Tepat saat aku hampir tenggelam dalam sentuhannya, aku tiba-tiba mendorongnya. "Revano, aku capek."

Dia terpaku sejenak, mengira aku sakit karena kehujanan. Kemudian, dia segera menggendongku ke tempat tidur.

Setelah aku tertidur, dia menyentuh dahiku, memastikan aku tidak demam, dan baru keluar kamar.

Saat pintu tertutup, aku membuka mata perlahan. Aku menyembunyikan kepala dalam selimut, menangis sampai sulit bernapas.

Pacar? Aku hanya ... pengganti Selina. Terbayang kata-katanya selama ini. Katanya dia suka senyumanku, suka melihatku tertawa. Sekarang aku hanya merasa muak!

Air mata mengaburkan pandanganku. Tubuhku semakin panas. Dalam kondisi pusing, aku teringat sesuatu yang sudah sangat lama.

Saat itu, aku berusia 18 tahun. Kakak membawa Revano menjemputku pulang. Dalam sekali pandang, aku langsung jatuh cinta padanya.

Aku lalu meninggalkan kehidupan sebagai gadis kaya yang manja dan meminta kakakku memasukkanku sebagai pekerja magang di perusahaan Revano.

Awalnya kami jarang bertemu. Revano sibuk berbisnis atau balapan. Perempuan di kursi sebelahnya pun berganti-ganti.

Sampai suatu hari di sebuah pesta bisnis, dia tanpa sengaja dijebak hingga diberi obat. Dia sadar ada yang aneh dan berusaha kabur ke toilet.

Aku panik dan mengejarnya, tetapi tiba-tiba aku ditarik ke ruang penyimpanan. Aku hampir menjerit, tetapi begitu mencium aroma khas tubuhnya, aku langsung diam.

Revano terengah-engah. Kancing kemejanya terbuka tiga. Dada bidangnya memerah karena efek obat, terlihat sangat memikat.

Aku menelan ludah. Revano melihatnya dengan jelas. Dia tertawa kecil dan mengangkat daguku. Suaranya rendah dan serak saat bertanya, "Suka ya?"

Karena ketahuan, aku panik dan mendorongnya. "Nggak ... nggak ...."

Namun, dia menarikku lagi, menempelkan tanganku ke dadanya. Dia mengerang kecil, terlihat tidak nyaman. "Kalau suka ... bantu aku."

Belum sempat aku menjawab, dia sudah menunduk dan menciumku. Mataku membesar. Akhirnya, aku perlahan tenggelam dalam ciuman penuh dominasi tetapi tetap terkontrol itu.

Saat sadar, kami berdua sudah telanjang di tempat tidur. Dia menopang kepalanya dan menatapku. Efek obatnya sudah hilang, tetapi gairah di matanya masih tersisa.

Saat itu, dia berkata, "Aku akan bertanggung jawab."

Memang dia berhenti bermain perempuan dan memilih bersamaku. Aku juga menolak banyak tawaran perjodohan, ikut bekerja di perusahaannya, dan tinggal di sisinya.

Beberapa kali kakakku heran melihatku bekerja lembur, padahal gadis-gadis kaya lain sedang liburan ke luar negeri. Dia sampai ingin bertanya, apa serunya bekerja di perusahaan itu?

Aku selalu ingin bilang padanya soal hubungan kami, tetapi Revano yang biasanya selalu menurutiku, justru tidak mau. Kupikir dia takut kakakku marah.

Sampai hari ini ... aku baru mengerti. Kakak menyaksikan sendiri cinta gila Revano pada Selina. Melihat bagaimana dia hancur demi perempuan itu. Jadi, mana mungkin dia mau menyerahkan adik kesayangannya pada pria seperti itu?

Revano jelas takut. Namun setelah ini, dia tidak perlu takut lagi. Karena aku dan dia tidak punya hubungan lagi. Selina sudah kembali. Aku akan mengembalikan Revano sepenuhnya pada pemiliknya.

Soal cinta dan waktu selama beberapa tahun ini, aku bisa menggenggamnya, juga bisa melepaskannya.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

No Comments
16 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status