"Luar biasa!" Suara tepuk tangan dari tiga orang itu memenuhi ruangan kafe ini. Aku tersenyum lebar dengan hidung kembang kempis. Walaupun sejenak, rasanya seolah aku kembali ke masa sebelum aku mengalami banyak kepedihan hati, saat jiwaku masih muda dan bebas. "Apakah kamu bisa mulai menyanyi malam ini, Velove?" tanya Pak Benny, sang manajer kafe. "Tapi saya belum persiapan apa-apa, Pak," dalihku seraya menutupi rasa malu. Aku sedikit menunduk melihat pakaianku yang ala kadarnya, mana pantas untuk tampil di panggung? "Pulang dulu saja, Velove. Sekalian minta tolong Bu Berta jagain Ricky," usul Mbak Ugi yang juga berada di ruangan bersama kami. "Eh, betul juga, Mbak." Kafe ini memang tidak jauh dari rusun. Kafe Edelweis namanya. Kafe yang cukup besar, dan sudah berdiri selama belasan tahun. Mbak Ugi yang aku sebutkan tadi adalah tetanggaku di rusun, tapi ia tinggal di lantai tiga. Wanita itu bekerja di kafe ini sebagai juru masak. Seperti aku, dia juga seorang janda, namun an
Jantungku, mengapa kamu harus berdebar-debar seperti ini? Walaupun ucapan pria itu melambungkan angan, tawa renyah dari bibirnya menunjukkan bahwa ia hanya bercanda. Aku tidak boleh kegeeran. "Mas Vincent kok bisa sampai sini?" tanyaku untuk menutupi kegugupan. "Bisa dong, kan punya kaki," candanya lagi. "Baru dua hari ditinggal, tetanggaku yang cantik ini tahu-tahu sudah jadi artis saja." "Artis apaan sih, Mas, orang cuma ngamen," sahutku sambil cengengesan. Memang dua hari ini Mas 203 tidak ada di rusun, entah ke mana. Katanya ada urusan yang harus dikerjakan, tapi aku juga tidak berani bertanya. Nanti dikiranya aku kepo. Yang jelas bisa melihatnya tiba-tiba muncul di sini membuatku merasa senang. "Kamu pulang naik apa, Ve?" tanyanya. Pria satu ini memang peduli kepadaku. "Hmm..., kata Bu Berta, Selvi mau pesankan ojol gitu ...," jawabku sedikit ragu. "Ojol? Bagaimana cara Selvi memesankan ojol untukmu kalau dia tidak tahu kapan tepatnya kamu pulang?" tanyanya dengan dahi ber
"Bravo!""Suit, suit!"Seruan penuh kekaguman, suitan, dan tepuk tangan riuh rendah mengiringku menuruni panggung. Senyuman puas menghiasi bibirku, lagi-lagi penampilanku sukses.Acara musik kami malam ini sudah selesai. Kami, para penyanyi, masih berada di belakang panggung dengan kesibukan masing-masing. "Velove, itu ada penggemarmu menunggu di dekat pintu. Biasa...," ucap Mbak Sasha sembari meledekku dengan wajah lucu. Dia juga seorang penyanyi kawakan di Kafe Edelweis. "Oh, ya, Mbak. Terima kasih," sahutku sumringah. Aku bergegas bangkit untuk menemui orang yang menyebut dirinya penggemarku itu. Dan sesuai dugaan, aku menemukan Mas Vincent yang malam itu tampak lebih rapi dari biasanya, mengenakan kemeja putih, celana jeans, serta blazer berwarna krem. "Halo, Mas," sapaku ceria."Hai, Ve," balasnya. Dia tersenyum lebar padaku; masih dengan senyuman bak penyejuk ruangan itu, yang selalu mampu menyejukkan hati yang sedang gundah."Ganteng banget malam ini!" celetukku menggodanya.
"Tidurlah, Ve. Selamat malam " Mas Vincent tersenyum sembari mengacak rambutku, sebelum akhirnya masuk ke rumahnya. Sejenak aku diam termenung. Apa katanya? Ada perasaan lebih yang tumbuh? Apakah itu artinya dia suka padaku? Dia menggenggam tanganku, lalu menggandengnya seraya kami pulang. Dan barusan dia mengacak rambutku. Bahkan dengan gamblang Mas Vincent menolak untuk menyebutku sebagai adik karena ada perasaan lebih yang tumbuh di hatinya. Salahkah bila aku terbawa perasaan? Atau apakah aku harus menganggapnya hal yang biasa? Dia tidak pernah seperti itu sebelumnya. Mas Vincent selalu baik, bukan romantis, apalagi menjadi perayu. "Mas 203, kamu sudah berhasil membuat aku galau," desahku pelan seraya memasuki rumah. Aku tidak buta, aku bisa melihat perhatiannya kepadaku. Apakah ketakutanku yang memaksa aku menganggap perhatiannya hanya seperti seorang kakak kepada adiknya? Bukankah aku juga merasakan debaran yang berbeda setiap kali ia memperhatikan aku? Pengalaman pahitku m
"Saat kamu lari meninggalkan rumah, aku berupaya mengejarmu, tapi Stella menahanku dan mengunci pintu hingga aku tidak bisa ke luar kamar. Aku marah padanya, namun dia menolak memberikan kunci pintu padaku. Aku tidak mungkin memukul atau melakukan kekerasan padanya. Itu membuatku frustasi," keluh Erick dengan raut putus asa di wajahnya.Ah, perempuan satu itu memang licik. Aku masih ingat benar tatapan dan senyuman palsuku yang merendahkanku, kali pertama kami berjumpa di rumah keluarga Wijaya."Berapa lama memang kalian di kamar, sampai akhirnya dia membuka pintu?" tanyaku ketus. Takkan semudah itu aku luluh hanya karena alasan semacam itu."Mungkin dua jam, entahlah, aku tidak terlalu memperhatikan." "Dan selama itu, benar kalian nggak ngapa-ngapain?" Suaraku mulai terdengar seperti jaksa penuntut umum di pengadilan, tetapi aku tak peduli. Kalau Erick ingin bicara, dan mengakui kesalahannya, ia harus mengungkapkan semuanya secara lengkap."Tidak, Love. Aku sudah mengatakannya tadi k
"Aku tidak bisa menjanjikan apapun, Rick. Kupikir hubungan kita tidak akan semudah itu dijalin kembali," ucapku menyampaikan keputusan setelah berpikir beberapa saat.Memberi Erick kesempatan kedua bukanlah hal yang buruk. Namun, tidak segampang itu bagiku untuk kembali membuka diri padanya, setelah apa yang kami alami. "Apakah sama sekali tidak ada harapan, Love?" ratap Erick dengan sorot mata sendu."Bukan begitu ...." "Apakah kau tidak kasihan dengan Ricky? Dia masih kecil, butuh sosok seorang ayah, dan aku ayah kandungnya, Love. Tolong jangan kamu pungkiri itu," katanya mengiba, berharap aku melunak. Lagi-lagi Erick si pintar bicara membuatku bimbang. "Aku tidak memungkirinya, Rick. Fakta bahwa kamu ayah biologis Ricky tidak akan berubah. Tapi untukku menjalin hubungan lagi denganmu ... aku tidak tahu," paparku tak bisa menjanjikan lebih.Erick terdiam. Entah apa yang dia pikirkan. Memilih kata-kata untuk meyakinkanku? "Apakah ini semua karena kamu sudah menyukai pria lain? Ka
"Kak, itu tadi yang namanya Bang Erick? Serius???" pekik Selvi heboh. Gadis itu mencengkeram lenganku erat. Dia bertanya dengan begitu menggebu-gebu, seolah baru saja bertemu artis idolanya. "Iya, Vi. Kenapa memangnya? Bisa tolong lepasin Kakak nggak?" Aku menggeliat. Keras sekali tangannya mencengkeram lenganku, sampai sakit rasanya. Anak Mak Berta ini memang mirip mamaknya, bertenaga dan selalu totalitas. "Ups, sorry, Kak! Hehe," kekehnya seraya melepaskanku. "Nggak nyangka lho, ternyata mantan suami Kak Velo ganteng banget." "Namanya juga cowok, Sel, masa cantik? Bisa-bisa elo kalah saing," sahut mamaknya senewen. "Hey, Mamak! Yang ini gantengnya tulen, paripurna," sungut Selvi kepada ibunya. "Pantas saja kalau waktu muda banyak cewek yang tergila-gila padanya. Eh, sekarang Bang Erick masih muda ding, dan masih ganteng. Hihi." Aku memang sudah mengajak Erick kembali ke rusun untuk bertemu anaknya. Kebetulan saat itu Ricky sedang bersama Bu Berta. Huft, syukurlah! Nggak kebaya
Bu Berta adalah satu di antara orang-orang penting dalam hidupku. Ia penyelamatku di puncak keputusasaan. Meskipun penampilan dan suaranya terkesan garang, ia sosok yang penyayang. Kepribadiannya yang terbuka membuatku merasa nyaman dan tidak ragu untuk mencarinya saat mengalami kesulitan. Namun pernah ada satu hal yang membuatku sungkan pada wanita itu, yaitu anak lelakinya. Namanya Mario, biasa dipanggil Rio. Ia anak sulung Bu Berta, sekaligus abang kandung Selvi. Pria ini bekerja dan menetap di Bandung. Kadang-kadang ia pulang ke Jakarta untuk menemui ibu dan adiknya dan menginap satu atau dua malam di rusun. "Tak usahlah kau sering-sering ke mari, yang penting hepeng-nya (uang), Bang." Begitu Bu Berta berpesan pada anaknya itu. Jadi Rio biasanya pulang ke Jakarta dua atau tiga bulan sekali. Kali pertama aku berkenalan dengannya saat aku masih opname di rumah sakit. Beberapa hari setelah aku sadar, namun masih dirawat inap, secara kebetulan Rio datang ke Jakarta. Pria itu ikut d