Share

Dua

Cuaca di Bandung sedang tidak bersahabat, akhir-akhir ini kota menjadi langanan gerimis, begitu pula dengan hari ini, langit yang mendung serta awan hitam yang mengulung nampak seperti kumpulan duka yang hendak dijatuhkan ke bumi.

Satu jam lalu Tara baru saja menyelesaikan aktifitasnya membantu anak-anak Rengganis untuk mengecek dan memindahkan bibit-bibit pohon mereka, rencananya bibit itu akan ditanam sebagai proses reboisasi di kawasan hutan konserfasi satu minggu lagi. Persertanya tidak hanya berasal dari SMA Dirgantara saja, tapi juga dari panti asuhan dengan Yayasan yang sama.

Sebuah halte tua di depan sekolah menjadi tempat Tara berlindung dari cuaca yang mulai tidak ramah, tiba-tiba Wira menepi, suara motor jadulnya yang bising berhasil menarik perhatian Tara walau tak lebih.

"Gak pulang?" Sambil melepaskan helm bogo di kepalanya Wira berucap. Sementara Tara acuh saja dengan tatapan kosong memandang lurus ke jalan raya.

"Mau dianterin gak?" Kata Wira lagi, nampak gigih mengajak Tara berkomunikasi.

Tara mengernyitkan dahi, meski berada di kelas yang sama namun Tara dan Wira tidak bisa dikategorikan dekat seperti teman kelas pada umumnya. Wira hanya akan mengajak Tara bicara jika itu ada hubungannya dengan tugas ketua kelas saja, selebihnya mereka tidak pernah saling sapa.

"Gak perlu. Bentar lagi cowok gue datang kok." Jawab Tara ketus, sementara Wira hanya tersenyum menanggapi.

Ada sedikit kejangalan yang mengusik nurani seorang Dirandra Sadawira Sadhan saat melihat Tara rela menunggui pacarnya menjemput selama satu jam lebih. Dari jauh Wira perhatikan wajah gusar Tara setiap kali dia mencoba menghubungi Harsa. Wira bukan tipe lelaki yang tidak peka, dia mengerti betul ketidak pastian kini sedang menghampiri gadis ini dan membuatnya gundah.

"Okay. Saya cuma mau ngingetin kalau ini udah sore dan sebentar lagi hujan, kamu bawa payung kan?"

Mendengar itu Tara langsung memandang Wira dengan lebih dalam. Tadi tumpangan sekarang payung? Terdapat tanda tanya besar di wajah cantiknya kini.

"Gue bawa payung atau enggak juga bukan urusan lo." Sewot Tara "Lagian nih Wira, mau sebaik apapun perlakuan lo, enggak akan gue terpengaruh keadaan. Perlu lo inget gue bantuin kalian cuma karena pak Bagas aja, selebihnya jangan ngarep bisa jadi temen gue." Tara makin mengeraskan suaranya, sementara Wira mengernyitkan dahi seakan tidak mengerti.

Lelaki itu kembali tersenyum, namun kali ini seperti sedang meledek situasi. "Tara, mungkin buat kamu ini sedikit lebay. Tapi keselamatan semua angota Rengganis itu sudah menjadi tanggung jawab saya. Saya nawarin kamu tumpangan bukan semata-mata buat mendekatkan diri sama kamu, tapi karena mulai saat ini sampai masa hukuman kamu selesai nanti, kamu jadi bagian dari kita. Enggak ada maksud apa-apa." Jelas Wira.

Suasana jadi hening, seperti kehilangan kata-kata Tara bergeming. Hal yang bodoh untuk salah mengartikan situasi dan Tara malu hingga rasanya ingin berlari namun terhalang gengsi. Sampai tiba-tiba saja sebuah mobil berwarna silver terparkir tepat di depan mereka, Tara mendesah lega menyadari Harsa keluar dengan terburu-buru menghampirinya.

"Kamu kenapa Ra? Cowok ini gangguin kamu?" Tuding Harsa sambil satu telunjuk mengarah kepada Wira.

"Enggak, bukan gitu." Bantah Tara.

"Terus kenapa dia ada di sini? Kamu gak di apa–apain kan?"

Tara menggeleng. "Enggak apa-apa kok Sa. Duh ceritanya panjang, nanti aku ceritain di jalan deh. Yuk sekarang pulang dulu keburu hujan."

Kemudian dengan wajah masih bersirat tanya Harsa mengamini permintaan Tara, meski pandangannya tak sedikitpun dia lepaskan dari sosok Wira yang masih bungkam di atas motornya.

Wira menggelengkan kepala setelah mobil Harsa berlalu, sudah dia perkirakan berurusan dengan gadis seperti Tara pasti akan merepotkan, ditambah lagi dengan pacarnya yang posesif. Dapat Wira pastikan sementara ini hidupnya tidak akan benar-benar mulus, pasangan itu akan mengacaukan segalanya.

Tanpa pikir panjang lagi Wira pun kembali mengenakan helm, menyalakan mesin motornya sebelum meninggalkan tempat itu dalam keadaan kosong. Di dalam hati Wira berdoa, semoga projek penanaman pohon mereka lekas terlaksana agar tidak ada lagi tanggung jawab sementara untuk menjaga Tara.

                                                                                        ★☆★

Mereka duduk berdampingan di dalam mobil dengan Harsa yang memfokuskan pandangan ke jalan. Diam-diam lelaki itu melirik kekasihnya, gusar belum sepenuhnya hilang dari wajah cantik Tara. Sebagai orang yang sudah lebih dari dua tahun mendampingi Tara, Harsa mafhum akan keadaan ini, ada sesuatu yang Tara pikirkan lantas bingung untuk mengungkapkan.

"Tadi Wira ngapain Ra? Tumben bareng kamu?" Akhirnya Harsa memecah keheningan, sementara Tara hanya menghelak nafas panjang, mencoba menetralkan perasaan.

"Gara-gara kamu kan? aku di panggil pak Bagas ke ruangannya."

Kening Harsa berkerut dalam. "Loh kok bisa?" kali ini mimik wajah itu semakin serius, matanya menyipit.

"Pak Bagas tau kamu nyimpen contekan Kimia di kolong bangku, Sa. Dia ngiranya contekan itu punya aku. Terus aku dihukum buat bantuin anak-anak Rengganis sampe projek penanaman pohon gak jelas mereka selesai."

Tiba-tiba saja Harsa menginjak rem mobilnya, membuat kendaraan itu berhenti dengan cara yang tidak bisa dibilang menyenangkan. Suara kelakson terdengar memburu, untung saja jalanan sedang lengah, entah apa yang akan terjadi jika seandainya ada kendaraan lain yang tidak siap mengerem di belakang sana.

"Apaan sih Harsa, kebiasaan deh." Tara memperotes, kali ini dengan suara keras sebagai respon atas rasa kagetnya.

Cepat Harsa meminggirkan mobil. Bukannya minta maaf, dia malah menatap kekasihnya dalam. "Berarti mulai sekarang kalian bakal sering barengan dong?" Tanya Harsa, lebih seperti bermonolog.

"Ya gimana lagi, daripada pak Bagas manggil papah ke sekolah kan?"

"Berapa lama?"

"Sebulan."

Entah kenapa mendengar jawaban itu mendadak Harsa jadi kesal, mengetahui fakta jika kekasihnya akan berada di satu organisasi dengan lelaki yang namanya dia masukan kedalam daftar hitam berhasil membuat perasaan Harsa tidak karuan.

Sudah menjadi rahasia umum jika hubungan antara Harsa dan Wira tidak bisa dibilang baik. Dari awal MOS mereka sudah sering bersinggungan entah dalam hal akademik atau hanya sekedar panggung untuk mencari dukunga. Konflik-konflik internal membuat suasana semakin memanas, terlebih lagi ketika Wira berhasil melejitkan namanya karena mampu menduduki posisi tertinggi salah satu organisasi terbaik di SMA dua tahun berturut-turut, hal yang mendorong Harsa akhirnya fokus dalam club basket yang tak kalah populernya.

"Kok kamu enggak nolak sih?" Tanyanya lagi, kali ini tampak jelas sedang memperotes keputusan Tara yang dia anggap egois.

"Kok kamu jadi nyalahin aku sih? Ini kan gara-gara kamu juga Harsa. Kalau kamu tadi enggak bolos kejadiannya gak mungkin kayak gini."

Buku jari Harsa memutih, barangkali terlalu kuat mengengam stir mobilnya. Tak lama dia tampak menghembuskan nafas yang sengaja ditahan beberapa detik lalu.

"Yaudah, maafin aku." Katanya, meredam ego serta amarah. Dia tersenyum manis di depan Tara. "Kemarin malam aku harus jemput mama dari Jakarta dan enggak sempet ngabarin kamu. Ini juga belum mandi karena baru pulang banget langsung nyamperin ke sini." Lanjut Harsa lembut. Dia mengusap surai hitam Tara kemudian mengecup keningnya singkat, membawa pergi amarah yang sempat tumbuh dalam hati kekasihnya.

Tara membalas senyuman itu, entah kenapa setiap perkataan serta perlakuan Harsa tidak pernah gagal membuat Tara luluh. Tara berfikir dirinya beruntung karena memiliki kekasih sebaik dan sebertanggung jawab Harsa, sampai lelaki ini rela melakukan apapun demi Tara meski harus mengesampingkan kepentingan pribadinya.

"Kamu udah makan belum?" Tanya Harsa lagi saat Tara tak kunjung bicara.

Tara mengeleng.

"Yaudah kita makan dulu yah, udah sore. Habis makan aku anterin pulang."

"Tapi suapin yah?" Tara merajuk yang malah membuat Harsa mengusap pipinya dengan gemas.

"Iya, nanti aku suapin."

Kemudian kendaraan itupun kembali melaju membelah jalanan kota.

                                                                                      ★☆★

Wira berhasil memarkirkan motornya saat Arya Narendra – sepupunya – baru saja kembali dari mini market terdekat. Tangan Arya sibuk menjingjing dua kantong kertas berukuran besar berisi sayuran serta bumbu instant. Sambil berjalan tenang-tenang dia menghampiri Wira di depan sana.

"Pas banget kamu datang, nih bantuin bawa barang–barang." Katanya lantas menyerahkan satu kantung kertas itu kepada Wira.

Wira terima dengan senang hati sementara beranjak dari atas jok motor. "Gimana kedai? Rame?" Tanya Wira sambil menyamakan langkah ke sebuah bangunan sederhana di tengah-tengah kota. 

Kedai mie kocok Bandung milik keluarga mereka.

"Lumayan lah enggak sepi-sepi amat, udah kejual beberapa mangkok tadi." Jawab Arya dengan wajah berseri-seri, hal yang mampu membuat Wira tersenyum bahagia.

"Sukur deh kalau gitu, saya bantu sampai malam yah a." Katanya mecoba memupuk semangat dalam hati sepupunya itu.

"Emang gak ada PR, dek?"

"Enggak ada a, santai aja."

Sudah menjadi tanggung jawab Wira untuk membantu usaha keluarga yang mulai dirintis beberapa tahun terakhir, setiap hari setelah semua urusannya dengan sekolah selesai, siswa kelas 12 SMA itu akan menyempatkan diri bekerja sukarela di kedai mie sederhana milik Arya.

Hubungan kedua pemuda tersebut sangat baik. Karena tumbuh besar bersama, Wira pun lantas menganggap Arya seperti kakak kandungnya sendiri. Terlebih lagi Bunda – sebutan Wira untuk ibunya Arya – sudah merawat dan membesarkan Wira layak anak kandung, baru dengan cara demikian Wira bisa berbalas budi meski dirinya tau bunda tak pernah menuntut balas.

Tiba-tiba sesorang datang dari arah belakang. "Kang, Mie kocok satu yah, sama minumnya jus tomat aja." Yang langsung disambut hangat oleh keduanya.

"Siap, ditunggu yah kang." Kata Arya lantas bergegas menuju dapur diikuti Wira di belakangnya.

                                                                                       ★☆★

Harsa mematikan mesin mobil begitu kendaraan itu berhasil memasuki pekarangan rumah Tara. Ukuran rumah itu lebih luas dua kali lipat dari rumahnya, garasi mobil Tara yang bergaya eropa terisi oleh dua buah mobil BMW hitam juga Suzuky Jimmy keluaran terbaru, tanda bahwa ayahnya ada di rumah.

Tara menghelak nafas malas sembari membuka seatbelt yang menjaga keselamatannya selama berkendara. "Mau masuk dulu gak?" Tanya Tara.

Namun belum sempat Harsa menjawab, David sudah berdiri di depan pintu dan menatap mereka dengan pandangan tidak suka.

"Dari mana kamu? sudah jam sepuluh malam baru pulang!" Sentak David kepada mereka.

Atap mobil Harsa yang terbuka jelas membuat suara bariton itu dengan leluasa masuk ke dalam telinga. Buru-buru Harsa keluar, tersenyum canggung di hadapan David. "Maaf kemalaman om, tadi kami makan dulu." Kata Harsa tenang.

"Tara masuk!" Perintah David kepada anak simata wayangnya itu.

Dengan malas Tara memaksa tubuhnya bergerak keluar dari mobil Harsa. "Duluan yah." Ucap Tara kepada Harsa dengan suara yang pelan. Sementara lelaki itu hanya mengangguk dan memperhatikan kekasihnya berlalu.

"Saya ingatkan kepada kamu, jangan dekati Tara lagi." Seru David kepada Harsa begitu sosok Tara sudah tidak terlihat.

Sesaat Harsa terdiam, namun sesuatu dalam hatinya memaksa dia meminta penjelasan. "Tapi kenapa om melarang saya?" Tanya Harsa memberanikan diri.

PLAK!

Bukan jawaban yang Harsa terima melainkan taparan dari tangan seorang bapak yang rambutnya sudah setengah putih itu. Panas langsung menjalar keseluruh pipinya, Harsa bergeming, harga dirinya terluka.

“Masih sempat-sempatnya kamu bertanya? Dasar berandalan.” Cerca David.

Entah datang dari mana tiba-tiba Tara muncul dan menatap Harsa serta ayahnya secara bergantian. Dengan nafas memburu Tara berteriak. "PAPAH APA-APAAN SIH?" Dan langsung menghampiri Harsa segera. "Kamu enggak apa-apa kan Sa?"

"Tara masuk!" Bentak David lagi lantas menarik tangan anak gadisnya itu.

Tapi Tara memberontak hingga cengkraman David pun terlepas. "Aku gak suka papah kasarin Harsa kayak gini!" Jerit Tara.

"Papah gak suka kamu dekat-dekat sama dia!" Balas David geram, ditunjuknya Harsa dengan gelagat angkuh.

"Tapi kenapa pah? Apa salah Harsa?"

"Dia itu berandalan, Tara. Laki-laki seperti dia tidak pantas untuk kamu!"

"Harsa bukan berandalan!"

"Ra..." Panggil Harsa dengan suara yang lembut, dia menyentuh bahu Tara, membuat gadis itu menoleh. "Gak apa-apa kok. Aku pulang dulu yah?"

"Tapi Sa.."

Harsa tersenyum tipis. "Aku gak apa-apa, Tara. Sampai ketemu besok." Cicitnya pun meninggalkan kediaman Tara dengan suasana hati tak karuan.

Tara meledak.

"KENAPA SIH PAPAH SENENG BANGET NGERUSAK KEBAHAGIAAN AKU? SEMUA ORANG YANG AKU SAYANG PASTI PAPAH SAKITI! SALAH AKU APA PAH SAMPAI PAPAH GINIIN AKU?"

"Papah cuma gak mau kamu kenapa-kenapa Tara, laki-laki itu enggak baik buat kamu." Jelas David, suaranya terdengar lebih tenang dan datar, meski masih berusaha meredam emosi.

Gadis itu menggeleng-gelengkan kepala frustasi, kesal dan amarah terlihat jelas di wajah cantiknya. "Lalu apa bedanya dengan papah? Lagian sejak kapan papah peduli sama Tara? Setelah mamah ningalin kita papah emang berubah jadi pribadi yang egois yah? Enggak pernah sekalipun papah ngertiin Tara! Papah cuma peduli sama diri papah sendiri tanpa mau menerima sudut pandang orang lain. Tara benci sama papah, Tara berharap enggak punya orang tua kayak papah!"

Gadis itu berlari ke kamarnya, kemudian mengamuk dan menangis sejadi-jadinya. Perasaan Tara begitu hancur, selain karena fakta hubungan dia dan Harsa ditentang oleh orang tua, Tara juga berfikir David adalah ayah yang egois, yang hanya bertindak demi kepentingan pribadinya saja tanpa pernah memperdulikan kebahagiaan Tara.

✄┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status