Share

Complicated
Complicated
Author: Andria

Satu

"Tapi itu bukan saya, Pak."

Maheswari Tara Naraya menatap lelaki paruh baya di depannya dengan air wajah membeku. Gadis itu kesal setelah dibawa paksa ke dalam permasalahan yang menurutnya sama sekali tidak melibatkan dia. Namun nasi sudah menjadi bubur, selembar kertas contekan di tangan bapak wali kelas telah menyeret Tara menjadi tersangka utama.

"Saya lebih menghargai siswa yang mendapatkan nilai kecil namun jujur daripada nilai yang besar tapi hasil mencurangi, Tara." Lugas pak Bagas, wali kelas Tara.

Tara hanya mengeratkan gigi, entah dengan cara apa lagi dia harus meyakinkan orang tua itu. Meski Tara tergolong murid dengan kemampuan akademik yang pas–pasan, namun dia berani bersumpah dirinya tak pernah melakukan cara kotor apapun untuk menempuh jalan pintas.

"Demi Tuhan, pak. Bukan saya pelakunya." Bantah Tara lagi, kali ini dengan segenap penekanan dalam setiap kata.

"Ini tulisan tangan kamu kan?" Pak Bagas mengasongkan kertas itu, matanya menuding, bibirnya tersenyum hambar. "Hampir dua tahun saya menjadi guru kalian, enggak mungkin kalau saya salah mengenali tulisan tangan murid-murid saya sendiri." Lanjut pak Bagas.

Tara menelan ludah dengan susah payah, perlu Tara ingan bahwa pak Bagas adalah salah satu guru yang diperhitungkan di SMA Dirgantara. Pak Bagas adalah sosok yang teliti untuk hal-hal kecil yang jarang orang lain perhatikan, itu sebabnya dia masuk kedalam daftar guru yang ditakuti para siswa, termasuk dirinya. 

Kemudian sial bagi Tara di tahun ajaran ketiga ini dia mendapati Pak Bagas sebagai wali kelas tercinta.

"Kamu tau kan sekolah ini tidak mentoleril kecurangan dalam bentuk apapun?" Kata pak Bagas lagi. "Oleh karena itu penting bagi saya untuk bicara dengan orang tua kamu, Tara."

Tara membeku.

"Tadinya saya ingin menelepon ayah kamu, tapi sayang sekali beliau sedang tidak bisa dihubungi, jadi Tara tolong sampaikan surat ini kepada ayah kamu yah." Lanjut pak Bagas tenang-tenang, berbanding terbalik dengan wajah Tara yang tegang.

Hubungan Tara dengan ayahnya tidak bisa dibilang baik, sejak kematian sang bunda beberapa tahun silam orang itu berubah menjadi pribadi yang dingin dan gila kerja. David – ayah Tara – menganggap rumah seperti hotel pribadi, dia hanya akan pulang untuk beristirahat sementara menghabiskan waktu berkeliling kota menemui para kolega.

Hal itu membuat komunikasi antara ayah dan anak tersebut jadi memburuk, ikatan batin yang terjalin sejak lama perlahan-lahan merenggang. David seperti membangun benteng tak kasat mata di antara dirinya dan Tara. Tidak Tara rasakan lagi kehangatan seorang ayah sepeninggalan ibunya.

"Pak, hukum saya sesuka bapak, tapi tolong jangan panggil ayah saya ke sekolah." Adalah kalimat pertama yang Tara ucapkan setelah lama membeku.

Pak Bagas melirik. "Loh memangnya kenapa?" Tanya pak Bagas.

"Papah sedang sibuk, Pak." Jawab Tara.

"Sesempatnya saja."

"Tapi papah baru pulang bulan depan. Dan kalau pun bapak memaksa, saya yakin papah belum tentu bisa datang, beliau sedang ada keperluan di luar negri." Lanjut Tara, sudah ia persiapkan berbagai macam alasan untuk mencegah kehadiran sang ayah di sekolah ini.

Pak Bagas hanya tersenyum tenang menanggapi pernyataan itu. "Tara, saya tau kamu sedang mencari-cari alasan." Enteng, seperti sudah mengenali betul tabiat salah satu muridnya. "Berikan saja surat itu kepada orang tua kamu, dan kamu boleh pergi dari ruangan saya sekarang." Tegas pak Bagas meski masih dengan nada yang sama.

Tiba-tiba pintu dibuka dari luar, seluet anak lelaki dengan wajah dingin nampak dari balik pintu. "Permis Pak, boleh saya masuk." Katanya, sopan sekali.

Pak Bagas mengembangkan senyuman, hal yang kontras jika dibandingkan dengan caranya menyambut Tara tadi. "Silahkan duduk." Jawab pak Bagas.

Tara mengenal dia, meski jarang terlibat banyak percakapan namun Tara cukup tau siapa lelaki ini. Si ketua kelas yang dapat julukan silent mode dari seluruh siswa di sekolah itu, tak pernah Tara masukan dalam daftar orang-orang yang perlu dia perhatikan.

"Bagaimana nak Wira, soal kelanjutan projek penanaman pohon kita?" Tanya Pak Bagas, segera melupakan Tara setelah sosok Wira muncul di tengah-tengah mereka.

Dirandra Sadawira Sadhan, selain menjabat sebagai ketua kelas 12 A, dia pun terpilih menjadi leader eskul pecinta alam yang sedang naik daun akhir-akhir ini. Kepeduliannya kepada lingkungan dan alam raya mengantarkan Wira sebagai salah satu kandidat terkuat yang mampu mempertahankan posisi ketua dua tahun berturut-turut.

Selebrasi Wira dalam komunitas-komunitas pencinta alam di luar sekolah pun mendidik dia menjadi pribadi yang terarah dan mampu menguasai teknik berkomunikasi dengan baik. Selain itu sikapnya yang tenang dan tegas menjadi nilai plus tersendiri bagi Wira dalam meraih kepercayaan pak Bagas. Prestasi Wira juga cemerlang, terbukti dia berhasil meraih beasiswa selama bersekolah di SMA Dirgantara.

Wira menghelak nafas yang sengaja beberapa detik lalu dia tahan, sama sekali tidak menghiraukan keberadaan Tara, bersikap apatis dengan tidak mau tau persoalan apapun kecuali urusannya dengan pak Bagas.

"Jadi begini pak, ada sekitar 350 bibit pohon yang siap ditanam, tapi proyek ini terkendala karena kekurangan tenaga oprasional untuk pohon-pohon juga peserta bakti sosial yang akan diikut sertakan nanti." Jelas Wira amat hati-hati sebelum meletakan sebuah proposal di atas meja kerja pak Bagas. "Sponsor yang telah mendanai projek tidak mencapai target awal, satu-satunya cara untuk menutupi kekurangan hanya dengan menunda atau mengurangi jumlah peserta." Lanjutnya kemudian.

"Sudah kamu konfirmasi kembali kepada pihak panti asuhan yang kita ikut sertakan?" Tanya pak Bagas nampak sedikit gusar, mimik wajahnya jadi lebih serius.

"Kebetulan belum, pak. Rencanaya saya konfirmasi dulu sama bapak sekaligus mendiskusikan baiknya harus seperti apa?" Jelas Wira lagi.

Menanggapi permasalahan tersebut sebuah ideu muncul dalam benak Tara, tiba-tiba dia menatap pak Bagas dan Wira secara bergantian.

"Gimana kalau saya aja yang siapin kendaraan oprasionalnya?" Yang lantas langsung mendapat perhatian dari kedua orang itu. "Saya bisa minta papah buat jadi sponsor kalau bapak setuju." Lanjut Tara mencoba bernegosiasi.

Kening Wira berkerut, terdapat tanda tanya besar di wajahnya yang kaku. "Tumben. Sejak kapan kamu tertarik dengan kegiatan begini, Ra?" Tanya Wira. 

"Sejak sekarang. Asal pak Bagas gak jadi manggil papah ke sekolah aja." Jawabnya Riang, membuat Wira kehilangan kata karena mata cantik Tara kini menatapnya dengan penuh minat.

                                                                                          ☆☆☆

"Kamu kenapa di panggil ke kantor wali kelas, Ra?" Tampaknya Wira masih tidak mengerti alasan akan hadirnya Tara di tengah-tengan pembicaraan dengan pak Bagas tadi. Dalam perjalanan kembali ke kelas Wira sempatkan diri untuk bertanya, menuntas rasa penasaran terlebih lagi karena ternyata pak Bagas dengan mudah menyetujui tawaran Tara barusan.

"Gara-gara Harsa tuh. Dia minta gue bikinin note isi rumus-rumus kimia, terus malah mau dipake buat nyontek. Mana notenya disimpen di kolong meja lagi, orangnya gak masuk pula, jadi gue kan yang kena getahnya." Rutuk Tara, ekpresi kesal sekaligus gemas tergambar dari parasnya yang elok, mengundang Wira untuk tersenyum meski hanya senyuman meledek.

"Makanya kalau bucin tuh sejawarnya aja. Jangan malah nyusahin diri sendiri." Tanggap Wira tajam.

Tara bergeming, tak dia hiraukan ucapan Wira barusan, telinganya sudah terlalu kebal dengan kalimat-kalimat semacam itu meski jujur saja di dalam hati Tara pun merasa risih.

Harsa Rama Gasendra, pacar Tara. Anggota tim basket sekaligus jajaran orang-orang ganteng nan populer di sekolah mereka. Semua teman sekolahnya tau jika Harsa hanya mengambil keuntungan finansial dari hubungannya dengan Tara. Mulai dari jam tangan mahal, biaya nongkrong, sampai baju dan handpone yang Harsa pakai adalah pemberian dari Tara. Namun seolah menutup mata serta telinga rapat-rapat atas segala hal yang terjadi, Tara enggan peduli.

Harsa menjadi satu-satunya orang yang Tara punya saat dia kehilangan pegangan, mampu memeluknya serta memberi kehangatan ketika dunia Tara sedang membeku. Untuk Tara, Harsa bukan hanya sekedar pacar, namun juga penawar sepi serta obat untuk menyembuhkan hati. Hidupnya akan baik-baik saja selama Harsa ada bersamanya.

"Tara, kalau kamu serius mau ikut proyek kita, pulang sekolah nanti kamu bantu ngambil bibit di sanggar anak-anak Rengganis yah – sebutan untuk club pecinta alam di SMA Dirgantara – Tapi inget, jangan sampai bikin ulah apalagi ngerusak bibit pohonnya, harga satu pohon itu mahal tau."

Mendengar kata-kata Wira barusan entah kenapa Tara malah merasa kesal, dengan cepat dia menatap Wira, kemudian kalimat bernada angkuh pun terdengar. "Asal lo tau aja Wir, bapak gue bisa beli sepuluh ribu bibit pohon lo itu kalau dia mau." Ujar Tara, lantas meninggalkan Wira dengan segudang tanda tanya besar di wajahnya.

                                                                                            ☆☆☆

Sinar matahari sore membangunkan seorang perempuan yang terlelap di atas kasur berukuran king size. Baju tank top dan celana super pendek hampir tidak menghalangi kemolekan tubuhnya terekpose. Pandangan perempuan itu buram, mungkin karena efek wine yang kemarin dia teguk hingga tandas.

Samar-samar dia tersenyum kala melihat sosok lelaki dengan bahu lebar tergeletak di sampingnya. Sedikit mengangkat tubuh, perempuan itu lantas mendekat dan mengusap surai serta membelai pipi sosok yang masih juga terlelap. 

Wajah elok berhasil membangkitkan hasrat yang semalam sempat bergejolak, dia pun mendekat, hendak mengecup bibir raum tersebut namun belum juga terkabul objeknya keburu membuka mata.

"Keluar." Katanya tajam. Langsung mengerang sambil menjambak rambut dengan frustasi.

"Kamu kenapa sih sayang? Kok tiba-tiba ngomong begitu?" Tanya si perempuan bingung, ia hendak merangkul namun dengan cepat ditepis. Orang yang dia panggil sayang medorongnya kasar.

"Apa sih lo sayang-sayang, gak jelas banget. Cepetan pergi, gua mau cabut sekarang." Katanya lagi, kali ini dengan nada memerintah yang keras.

Sedikit tersentak saat sadar akan siapa sosok yang sedang ia hadapi, adik dari bos di club malam tempat ia bekerja. Cukup mengenal Harsa sebagai pribadi keras kepala dan arogan membuatnya tau jika Harsa mampu melakukan apapun yang dia mau. Karena tak ingin membuat masalah dengan resiko kehilangan pekerjaan, perempuan itu pun kemudian bangkit dari duduknya, sengaja menarik nafas dalam untuk menahan kesal. "Keterlaluan kamu." Ujarnya, sebelum beranjak pergi dari ruangan itu.

Harsa tanpak asik saja, tak menjawab, enggan menghiraukan. Tangannya malah mengapai-gapai handpone yang ia letakan di atas meja dan menghidupkannya kembali. 

"Sial." Umpat Harsa, keteledorannya tadi malam sukses membuat dia melewatkan hari tanpa basa-basi.

Harusnya sekarang Harsa menghadiri ulangan kimia di sekolah, namun ternyata alkohol mampu mempercepat berjalannya waktu, membuat dia bolos dan melupakan segalanya.

Tiba-tiba seorang datang dan mendorong pintu dengan kasar, lelaki berwajah charming yang mengenakan baju hitam lengan panjang itu merunduk, meraih sebuah short dress merah di lantai tempat ia berpijak.

"Parah. Lo apain tuh cewek Sa? Sampe berantakan gitu." Katanya sambil melempar dress itu kesembarang tempat.

Tanpa melihat pun Harsa tau siapa yang datang, tentu saja Farazz Gautama – sahabat Harsa sekaligus saksi hidup atas semua hal yang sudah Harsa lewati. Farazz punya akses bebas keluar masuk kamar apartement Harsa, hal yang membuat dia merasa hunian ini adalah rumahnya sendiri.

"Gak gue apa-apain kok, gak tau deh tiba-tiba dia lari kayak gitu." Jawab Harsa cuek, dia baru saja mengecek notip masuk dalam ponselnya, dan sebagian besar adalah panggilan tak terjawab dari Tara – kekasih Harsa.

"Enggak mungkin kalau gak di apa-apain, orang mukanya kusut abis." Lugas Farazz.

Harsa tersenyum tipis menanggapi perkataan sahabatnya. Dia mengambil sebatang rokok di dalam laci meja kemudian membakar ujungnya. "Yeah kita senang-senanglah sebentar, tapi gak ada yang special kok." Gumam Harsa.

Dengan fakta betapa berantakannya kondisi Harsa saat ini, Farazz tau temanya tidak benar-benar 'tidak melakukan apapun' kepada perempuan tadi. Lima tahun mengenal Harsa sudah cukup membuat Farazz mengerti betul tabiat sahabatnya. Lagipula siapa yang akan percaya Harsa tidak melakukan apa-apa setelah memergoki dia setengah telanjang berduaan bersama seorang perempuan berbusana minim di dalam kamar? Orang polos pun pasti akan berfikiran macam-macam.

Farazz berjalan tenang, mengambil sekaleng colla di dalam kulkas kemudian tertawa sebelum meneguknya. "Tobat sana, Tara bisa nangis darah liat kelakuan cowoknya yang begini."

Dan Harsa ikut tertawa. Selama ini dia meyembunyikan tabiat buruk itu dari Tara dan teman-teman sekolahnya. Citra Harsa yang bagus membuat dia dipandang sebagai lelaki baik yang tak pernah buat onar. Tapi siapa sangka di depan Farazz, Harsa malah berubah menjadi pribadi yang picik hanya dalam sekejap mata.

"Enggak usah suuzan Raz, gue cuma nolongin dia. Semalem dia hangover, masih untung gue bawa pulang daripada dibungkus om-om." Akunya, Harsa mematikan rokok di tangannya sebelum bangkit dan menyeret diri kedalam kamar mandi.

Sungguh Farazz kehilangan kata-kata, untuk ukuran cowok yang sedang puber seperti mereka dia mengerti betul bahwa Harsa sudah kelewat batas.

"Teserah lo deh." Kata Farazz  mulai jegah dan engan mendebat. Dari balik pintu kamar mandi Farazz mengamati Harsa yang sedang menggosok gigi, membasuh wajah sebelum mengeringkannya dengan handuk.

Kening Farazz berkerut dalam. "Mau kemana lo?" Dia bertanya begitu mendapati Harsa yang bergegas menyemprotkan parfume beraromakan maskulin ke seluruh tubuh.

"Cabut dulu mau jemput Tara, udah bawel banget dia." Jawab Harsa tanpa dosa. Sementara di tengah-tengah mereka, telepon gengam Harsa kembali berdering. Dan nama Tara muncul sebagai penghias layar utama.

✄┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status