Share

Kisah Tentang Elena

"Selamat datang, Kak. Bukunya mana?" Tanpa basa-basi kata itu terlontar dari seorang gadis kecil. Ia mendekat kepada Kiara menggunakan kursi roda yang ia jalankan sendiri. Dari ekspresi wajahnya, Kiara sudah paham gadis itu terlihat sangat penasaran dengan apa yang dibawanya hari ini kerumah.

Senang sekali rasanya melihat Elena begitu semangat dengan buku yang dibawanya, "Ini, Kiara. Kakak bawakan juga buku bagus yang lainnya" ujar Kiara lembut sembari menyentuh gemas pipi merah gadis kecil itu. 

Giani berjalan ke arah ruang tamu dan menyambut Kiara. Elena yang sangat senang dengan buku barunya kini langsung meminta untuk diantar ke taman belakang rumahnya. Sementara Kiara dan Giani memilih untuk mengamati dan di gazebo yang tidak jauh dari posisi Elena. 

"Terimakasih bukunya, Kiara. Elena selalu suka jika dibelikan buku baru. Setiap hari libur, kakaknya selalu membelikan buku baru." Giani mengatakan itu sembari menyodorkan teh hangat dan beberapa biskuit. Kiara mengangguk pelan dan mengisyaratkan dengan senang hati perihal ucapan terimakasih itu. 

Pantas saja beberapa waktu yang lalu Kiara melihat Marven di toko buku. Ternyata tujuan mereka sama, menambahkan koleksi buku baru milik Elena. Sempat terlintas kilatan peristiwa tadi di pusat perbelanjaan, Kiara menemukan bahan eksklusif untuk dimuat sebagai headline. 

Mungkin kali ini seniornya sedang menulis berita tentang Broto, salah seorang terpidana kasus korupsi yang seharusnya dipenjara malah berkeliaran memakan spaghetti disalah satu restaurant. Tcih, jika mengingat itu rasanya Kiara geram sendiri. Tunggu saja sampai berita tersebut tersebar dan Kiara ditugaskan untuk menginterogasi Kepala Lembaga Pemasyarakatan tempat Broto dipenjara, akan ia kupas tuntas mengapa bisa sampai ada salah satu tahanan yang keluar bisa keluar. 

Namun tadi ia benar-benar berterimakasih kepada Marven, disaat-saat genting seperti itu pria itu mau diajak bekerjasama. Meskipun awalnya agak menganggu dengan pertanyaan tidak pentingnya itu, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa aksi heroik yang ia pilih untuk mengejar Kiara dan memberikan kunci mobilnya memang patut diacungi jempol. 

"Elena lahir dalam keadaan normal, Kiara. Ketika sedang ada di taman kanak-kanak, ia dibully oleh teman-temannya. Pulang sekolah keadaan bajunya basah karena didorong sampai jatuh dalam kubangan air dan tulang kakinya terbentur sangat keras hingga patah dan lumpuh." Mata Giani tidak dapat berbohong saat menceritakan hal menyedihkan itu. 

Rasa bersalah hingga kini masih terlihat dari caranya menatap Elena. Kiara mendengarkan dengan seksama sesekali menyentuh punggung perempuan itu menenangkan saat suaranya mulai bergetar.

Saat keadaan mulai tenang, Kiara bertanya dengan hati-hati kepada Giani "Maaf lancang tapi kalau Kiara boleh tahu mengapa Elena dibully, tante Giani?"

Tatapan Giani beralih pada hamparan langit yang terlihat begitu indah dari gazebo, matanya menyipit seperti berusaha menguatkan dirinya sendiri untuk menceritakan hal ini kepada Kiara.

"Salah satu temannya adalah anak wartawan dan mendapatkan berita bahwa keluarga kami ada hubungan dengan kasus pidana. Anaknya menceritakan kepada teman-temannya yang lain kalau Elena jahat dan tidak pantas jadi teman mereka..." Giani menghela oksigen disekitarnya lalu melanjutkan, "Akhirnya Elena diperlakukan seperti itu."

Netra Giani berkaca-kaca dan sesekali menatap Kiara. Sorot matanya terlihat sedih namun disisi lain ia harus mampu menjadi sosok ibu yang kuat bagi Elena. Semuanya terlihat sangat jelas bagi Kiara.

"Tante, kita tidak bisa menyalahkan diri kita sendiri terus menerus atas suatu kejadian. Saya yakin Elena gadis yang kuat dan tebak kekuatannya itu didapat dari siapa selain dari ibunya yang hebat? You're such a strong woman," ucap Kiara sembari merendahkan suaranya.

Kiara yakin bahwa tidak mudah bagi Giani untuk bercerita tentang apa yang dia rasakan terhadap Elena selama ini. Mendengar cerita itu batin Kiara berkecamuk, kode etik seorang jurnalis memang tetap harus diperhatikan agar tidak menimbulkan dampak buruk bagi prasangka masyarakat.

Kiara melanjutkan kata-katanya, "Menjadi seorang disabilitas tidak bisa menghentikan Elena, justru sebaliknya hal itu akan memberikan keberanian dan kekuatan pada Elena."

Giani tersadar dengan kata-kata Kiara, "Sejak tidak lagi bisa bertemu dengan sembarangan orang saat ini, Elena lebih sering menghabiskan waktu dengan bermain piano. Dan bakatnya sangat terlihat ketika bermain musik."

Kiara mengangguk, tidak pernah sekalipun Kiara meragukan seseorang penyandang disabilitas. Mereka punya keistimewaan yang tidak dimiliki setiap orang. Setelah berbagi cerita dengan Giani, Kiara akhirnya berpamitan untuk pulang.

"Yah kakak sudah mau pulang?" Elena memasang wajah polosnya, ada nada kecewa dalam pertanyaan yang diajukan.

Kiara kembali memasang wajah manisnya, "Iya, sampai ketemu lagi Elena. Hubungi kakak jika butuh apapun. I'll be here soon." Ucapan Kiara sungguh menenangkan Elena yang sedang gusar saat seseorang yang mengunjunginya ingin pergi. 

Kiara meminta Giani tidak perlu mengantarkannya keluar karena sebentar lagi guru les piano Elena akan datang. Tidak perlu waktu lama setelah ia keluar dari pintu utama kediaman Hadinata, penampakan seorang pria yang cukup familiar muncul dihadapannya.

Tampaknya keputusan Kiara untuk pulang sedikit terlambat, harusnya ia pulang lebih awal jika sekarang mengetahui ia harus berpapasan dengan pria itu. Pria itu sama sekali tidak menyadari Kiara ada disana. 

Ia sedang membelakangi Kiara dan sedang berbicara diponselnya. Jujur saja, dari belakang Marven terlihat seperti atlet yang begitu merawat tubuhnya. Punggungnya yang lebar dibalut kaos polo putih lalu celana pendek berwarna coklat menjadi pilihan bawahannya.

"Aku tidak peduli, jika memang dia menyakitimu aku yang akan turun tangan!" Laki-laki itu setengah berseru dengan salah satu tangannya menumpu pada kap mobil didepannya. 

Kiara sama sekali tidak memiliki maksud untuk menguping pembicaraan Marven dengan seseorang diseberang sana hanya saja percakapan itu ada saat Kiara tengah lewat. Malas berurusan dengan Marven, Kiara kemudian berpura-pura tidak mendengar apapun dan berjalan menuju mobilnya.

Marven menyadari ada seseorang yang berjalan dibelakangnya sontak menoleh dan sedikit terkejut mendapati gadis yang ia temui tadi kini ada dirumahnya. Marven mematikan teleponnya dengan dalih memiliki urusan yang lain.

"Sedang apa?" Marven masih tak percaya melihat gadis itu dirumahnya.

Kiara memutar bola matanya, drama apalagi yang terjadi hari ini. "Mau ke mobilku," jawab Kiara padat. 

Saat hendak melangkahkan kakinya, suara itu kembali menahannya "Ayo kita bicara, nona Kiara. Tampaknya akhir-akhir ini kau sering sekali kesini."

Rasa tidak suka dari ucapan Marven bisa Kiara rasakan, "Aku kesini hanya untuk memberikan buku pada Elena."

Wajah datar Marven yang begitu mendominasi sukses membuat Kiara kesal, "Tidak usah sok perhatian pada Elena." Dingin sekali ucapan laki-laki itu dan pandangannya kepada Kiara seakan gadis itu akan melakukan sesuatu yang buruk kepada Elena.

"Aku berjanji padanya kemarin," Kiara berusaha tidak terpancing dengan tuduhan Marven.

"Terserah, nona Kiara. Aku peringatkan kepadamu jangan pernah sekalipun kau mendekati keluargaku karena pekerjaanmu itu. Lihat saja jika ada yang memanfaatkan keluargaku demi kepentingannya, untuk tetap hidup di muka bumi ini saja dia akan bersyukur." Ujar Marven ketus. Ia harus memastikan bahwa tidak ada seseorangpun dimuka bumi ini yang menyakiti keluarganya.

Mendengar ancaman itu Kiara melotot, ada kerutan diantara kedua alisnya. Kiara mengakui bahwa niat awalnya memang ingin mengetahui lebih dalam tentang keluarga Hadinata dan hubungan mereka dengan dugaan kasus pencucian uang itu, hanya saja jika niat tulusnya memberikan buku kepada Elena dianggap memanfaatkan gadis kecil itu maka sudah keterlaluan. 

"Aku hanya bersikap tulus dan memberikan buku yang kurekomendasikan padanya kemarin," alis Kiara hampir menyatu saat mengatakan hal itu.

"Simpan pembelaan itu untuk dirimu sendiri. Aku tidak peduli." Singkat namun berhasil membuat wajah Kiara berubah merah padam, ia emosi mendengar tuduhan dan ancaman yang dilayangkan Marven kepadanya. Lelaki itu kemudian masuk ke dalam rumahnya tanpa berkata apa-apa lagi kepada Kiara.

Sore itu Kiara habiskan dengan memakan makanan pedas, ia perlu sesuatu yang bisa digunakan sebagai pelampiasan untuk mengekspresikan rasa marahnya pada Marven. Hari itu pikiran Kiara melayang entah kemana. Terlalu banyak hal yang terjadi pada hari itu hingga membuat ia perlu berpikir akan bersikap seperti apa kedepannya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status