Share

Tragedi Mengerikan

Kiara menikmati pagi itu dengan tersenyum melihat hamparan tanah basah sejauh mata memandang. Berbeda dengan biasanya, pagi kali ini begitu sendu. Tetes air hujan yang turun tidak menyurutkan semangatnya bekerja pagi ini. Justru hujan memberikan Kiara semangat tersendiri, kekuatan untuk menjalani hari hingga petang nanti.

Udara segar setelah hujan membuat Kiara kegirangan dalam hati. Sebelum menjalankan mobilnya, dering ponsel memuat bunyi yang khas Kiara sekali berbunyi. 

"Ra, kita ke tempat korban bunuh diri sekarang! Lokasi nanti aku share! Okay?" suara di seberang sana tampak terburu-buru.

Meskipun orang disana sana tidak dapat melihat Kiara, namun Kiara reflek untuk mengangguk. Suasana pagi yang menyenangkan untuk Kiara mendadak berubah menjadi mengerikan. Dulu sekali, orang tua Kiara pernah dikira bunuh diri saat CCTV di tempat kejadian tidak dapat ditemukan. Jelas saja perkara bunuh diri bukanlah hal yang main-main. 

Tak butuh waktu lama hingga akhirnya Kiara sampai di tempat terjadinya perkara, disana sudah dipasang garis polisi. Namun tubuh korban masih tergeletak di pinggir jalan, sepertinya mobil yang digunakan untuk memindahkan tubuh korban ke rumah sakit belum tiba. Darah mengalir begitu banyak disekitar tubuh keduanya. 

"Korban bunuh diri ini pasutri, Ra. Motifnya sejauh ini yang gue denger karena mereka pikir dengan bunuh diri bisa klaim asuransi kematian dari Jiwabraga." Diska berbisik pelan takut jika wartawan lain bisa mendengar informasi yang terbatas ini. 

Kiara tidak tahu hubungan Diska dengan kepolisian, hanya saja setiap ada kasus kriminal yang harus mereka liput Diska selalu berhasil mengetahui informasi tentang detail kejadian lebih dulu. Dan tentu saja hal itu menguntungkan bagi mereka karena tidak perlu terlalu lama menunggu untuk merilis berita.

Ditengah kerumunan beberapa pihak yang terlibat untuk menyelidiki kasus itu, Kiara melihat seorang gadis remaja menangis dengan selimut tebal di pundaknya. Ia tampak sangat terpukul, seorang wanita paruh baya di sebelahnya membantu untuk menenangkan gadis itu. Pikiran Kiara berkelana beberapa tahun yang lalu, saat ia mendapat kabar bahwa orangtuanya kecelakaan, tanpa ragu ia berlari ke tengah jalan. Sandal yang ia gunakan terlempar entah kemana namun ia tak peduli.

Sakit terkena batu kerikil sama sekali tidak ada apa-apanya jika dibandingkan sakit yang ia derita saat itu. Bahu gadis remaja itu masih bergetar, matanya memandang kedua jasad orangtuanya dengan tatapan kosong tak percaya. Kiara tahu persis perasaan itu, perasaan berupa penyangkalan atas peristiwa yang terjadi.

Setelah ambulans pergi membawa jasad kedua korban sekaligus berencana melakukan pemeriksaan forensik mendalam, Kiara dan Diska memastikan kembali bahan yang mereka dapatkan cukup untuk dikirimkan ke kantor dan perilisan artikel berita segera. Kiara berdiam diri dan mendapati gadis remaja itu masih menatap ambulan yang pergi dengan tatapan kosong.

Matanya merah dengan jari tangan yang bergetar, gadis itu begitu rapuh dan terlihat tidak punya kekuatan lagi untuk sekedar berteriak meluapkan kesedihan yang ada dalam dadanya. Melihat hal itu, hati Kiara begitu tersentuh dan tidak tega melihatnya. Semua wartawan yang ada disana pergi satu persatu setelah mendapatkan bahan untuk headline. Kiara meminta waktu pada Diska untuk menemui gadis itu terlebih dahulu.

"Hai, its going to be okay." Kiara merangkul pundak gadis itu dengan lembut.

Wanita disebelahnya angkat bicara, "Dira setidaknya bicaralah, nak. Tante khawatir."

Kiara terbawa suasana, semakin sendu rasanya berada didekat gadis itu. Aura kesedihan yang dipendamnya ternyata mampu Kiara serap sangat baik dan memancarkan kedukaan luar biasa bagi siapapun yang menatapnya dengan seksama.

Kiara berpindah dari posisi duduknya semula, ia memilih untuk menatap langsung kedua mata gadis itu. 

"Kamu tahu tidak, beberapa tahun yang lalu aku mengalami hal yang serupa. Reaksiku sama denganmu, tapi kemudian ada seseorang yang datang dan menyadarkanku tentang apa yang seharusnya aku lakukan..." kata-kata Kiara sedikit tertahan saat mulai melihat bibir gadis itu mulai bergetar.

Kiara harus melanjutkan kata-katanya, agar setidaknya untuk saat ini gadis itu dapat menerima kemudian mencerna apa yang sedang terjadi padanya. Meskipun Kiara tahu hal itu akan menghancurkannya, namun untuk bisa mendapatkan amunisi yang kuat hingga dapat berpikir jernih memang tahap yang harus dilalui adalah menerima semuanya.

"Orangtuaku meninggal karena ada orang jahat yang memotong rem mobilnya. Marah? Pasti. Apa yang kulakukan? Jadi wartawan, aku mengungkap semua kemungkinan yang bahkan tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Dira lihat itu?" ucap Kiara sembari menunjuk gedung tinggi menjulang milik Jiwabraga yang ujungnya masih terlihat dari tempat mereka berdiri sekarang.

"Itu gedung Jiwabraga, ada jutaan orang yang menjadi korban ketidakadilan Jiwabraga. Tahu apa yang menyebabkan mereka tidak bisa membayar uang asuransi ayah dan ibumu, Dira? Mereka semua terlibat kasus pencucian uang. Orang licik dan kotor yang hanya mementingkan dirinya sendiri tidak pantas ada diatas sana tertawa terbahak-bahak." 

Diska tiba-tiba datang untuk menenangkan Kiara, berada disamping Kiara yang sedang ada dalam kondisi seperti itu membuat Diska melihat sisi baru yang ada dalam diri Kiara. 

"Dira harus kuat agar bisa melawan mereka semua, menjadi lemah dan tidak berdaya hanya membuat ruang gerak mereka untuk menginjak kita semua semakin besar. Dira mau itu?" Kiara bertanya dengan suara yang sepenuhnya bergetar. Bulir air mata tidak bisa dibendung lagi dari kedua netranya. 

Amarah dan kesedihan yang menjadi satu itu kemudian ditularkan pada Dira. Dira berhasil menitikkan air mata pertamanya. Ia berteriak sekencang-kencangnya saat itu, Kiara memeluk erat gadis itu. Memberikan semua kekuatan yang ia kumpulkan selama ini. Tak apa jika setelah ini ia merasa lemas, toh dia akan menemukan kekuatan barunya dari kakek atau teman-temannya dikantor. 

Dira pergi kerumah sakit dengan tantenya setelah sedikit lebih tenang dan mencerna apa yang sedang terjadi padanya. Sementara Kiara harus berpamitan pada keduanya untuk kembali ke kantor dan berjanji akan menemui Dira lagi nanti diwaktu luang.

"Are you okay, Ra? Mau duduk dulu sebentar?" tanya Diska khawatir dengan wanita yang berjalan disampingnya saat ini.

Diska menghentikan langkahnya tepat didepan kursi kayu panjang. Kiara yang juga melihat kursi itu kemudian mengangguk pelan. Ia butuh bernapas sekarang, menghidup udara segar sehabis hujan itu sebanyak-banyaknya. Kiara menatap mendung diujung sana, memberitahu Dira tadi membuat ingatan dan lukanya kembali lagi begitu saja. 

"Kamu tahu Dis apa yang membuatku ingin jadi seorang jurnalis?" kata Kiara menatap nanar ujung langit.

Kiara menghembuskan napas dalam, kemudian menceritakan semuanya pada Diska. Alasan mengapa gadis itu ingin menjadi jurnalis. Bagaimana dia harus menghadapi luka paling mematikannya selama ini. Untuk sekalian kalinya, Diska memandang Kiara dengan kagum. Gadis yang dari awal ia sukai itu kini lebih tampak seperti wanita normal. Wanita yang didalamnya juga butuh seseorang untuk bersandar ketika ia mengungkapkan bahwa kakeknya adalah sumber kekuatannya selama ini. Dan saat itu juga ditengah dinginnya angin membius tulang, Diska memantapkan hatinya untuk mulai mendekati Kiara Atmaja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status