Hari berlibur keluarga Alina nampaknya telah usai. Senja di Puncak perlahan memudar, menyisakan cahaya jingga di balik perkebunan teh yang terhampar luas. Mobil keluarga Alina meluncur pelan melewati jalan menurun yang berliku, sesekali terjebak macet panjang. Klakson bersahut-sahutan, lampu-lampu kendaraan menyalakan jalur gelap yang makin sesak.
Di kursi belakang, Alina duduk bersandar di jendela dengan earphone terpasang, tapi lagu yang ia putar sama sekali tak menenangkan hatinya. Pikirannya masih penuh dengan satu wajah yaitu Kevin. Sosok itu muncul berkali-kali, silih berganti dengan bayangan Kevin yang tersenyum sambil merangkul seorang perempuan di pinggir lapangan basket, sebagaimana ia lihat di story W******p senior OSIS kemarin. “Lin, kamu lapar? Mau kita cari makan dulu sebelum sampai Jakarta?” suara ayahnya terdengar dari kursi depan, memecah lamunan. Alina melepas salah satu earphone-nya. “Nggak, Yah. Alina nggak lapar,” jawabnya singkat. Ibu nya yang duduk di samping ayahnya menoleh ke belakang, menatap wajah anak gadisnya yang murung. “Kok lesu banget sih? Nggak kayak sebelumnya. Ada apa, Lin?” Alina cepat-cepat menggeleng, lalu memasang kembali earphone-nya. “Nggak apa-apa, Ma.” Ayah dan ibu saling pandang lagi, kali ini lebih lama. Mereka tak menekan, hanya tersenyum simpul. Mereka sadar bahwa ada sesuatu yang dipendam anak gadis mereka, sesuatu yang mungkin tak bisa mereka pahami sepenuhnya. Perjalanan panjang akhirnya membawa mereka tiba di Jakarta hampir tengah malam. Begitu masuk rumah, rasa lelah membuat ayah dan ibu langsung menuju kamar masing-masing untuk beristirahat. Namun berbeda dengan Alina. Ia masuk ke kamarnya, menaruh tas kecil di sudut ruangan, lalu membaringkan tubuhnya di kasur. Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar. HP yang ia letakkan di meja belajar terus bergetar sesekali. Telepon dari Kevin. Notifikasi pesan juga berdatangan. Alina meraih HP itu, membuka layar, dan membaca pesan-pesan yang masuk. Kevin: “Lin, aku bisa jelasin.” Kevin: “Tolong jangan salah paham dulu.” Kevin: “Itu nggak seperti yang kamu lihat.” Kevin: “Aku mohon, angkat teleponku.” Alina menggigit bibirnya, menahan sesuatu yang bergejolak dalam dada. Tangannya gemetar ingin menekan tombol hijau dan mendengar suara Kevin, tapi hatinya berteriak menolak. Bayangan pelukan itu terlalu jelas, dan terlalu menyakitkan. “Kenapa harus ada cewek lain di samping kamu, Kev…?” gumamnya lirih. Ia akhirnya meletakkan kembali HP itu, memeluk bantal, dan memejamkan mata. Tapi tidur tak kunjung datang. Hanya air mata yang menetes perlahan, membasahi pipinya hingga larut malam. Pagi Hari, Kembali ke Sekolah. Liburan telah berakhir. Matahari pagi Jakarta menampakkan sinarnya yang hangat, namun suasana hati Alina tak ikut cerah. Ia mengenakan seragam dengan wajah dingin tanpa senyum. “Lin, sarapan dulu, sayang,” ujar ibunya di meja makan. “Aku nggak lapar, Ma,” jawab Alina sambil merapikan tasnya. Ayahnya menegur lembut, “Kalau nggak sarapan, nanti di sekolah lemes. Sedikit aja ya sayang.” Alina hanya menggeleng. “Aku minum susu aja deh, Yah.” Akhirnya, segelas susu hangat ia habiskan dengan cepat. Tak ada percakapan lebih lanjut. Ayah segera mengajaknya berangkat. Di dalam mobil, suasana hening tidak seperti biasanya. Alina menatap jalan raya yang penuh kendaraan. Ayah nya beberapa kali melirik ke arah anaknya yang tampak murung, tapi ia memilih untuk tak banyak bicara. Ia tahu, ada hal-hal yang hanya bisa diselesaikan anak gadisnya sendirian. Sampai di depan gerbang sekolah, Alina turun dengan wajah datar. “Makasih, Yah,” ucapnya singkat. Ayah tersenyum tipis. “Semangat ya, Lin.” Alina melangkah masuk melewati gerbang, menyusuri koridor sekolah yang mulai ramai oleh siswa-siswi lain. Beberapa teman melirik ke arahnya, tapi ia sama sekali tak peduli. Langkahnya mantap meski hatinya masih rapuh. Di lorong menuju kelas, Seruni sudah menunggu dengan wajah cerah. “Lin!” sapanya riang. Alina mencoba membalas senyuman itu, tapi hasilnya hambar. “Kenapa kamu? Kok kayak dingin banget?” tanya Seruni heran. Alina menarik napas panjang, lalu memutuskan untuk bercerita. Mereka duduk sebentar di bangku kosong dekat kelas. “Aku liat story dari kakak OSIS, Run. Kevin kulihat sama cewek lain. Dia rangkul cewek itu di pinggir lapangan basket,” kata Alina lirih. Mata Seruni membesar. “Hah? Serius? Kevin? Ih, cowok itu gimana sih! Setelah semua yang kamu dan dia lewatin…” Alina mengangguk pelan. “Aku merasa kecewa banget. Rasanya kayak ditusuk lagi, Run.” Seruni meraih tangan sahabatnya, menggenggam erat. “Lin, kamu kuat kok. Kalau emang Kevin begitu, ya udah. Jangan kasih dia kesempatan nyakitin kamu lagi.” Alina menatap sahabatnya itu, berusaha menguatkan diri. “Iya, mungkin kamu bener.” Bel masuk berbunyi. Mereka berdua pun masuk ke kelas. Jam pelajaran berlalu lalu jam Istirahat tiba, dan hari terasa panjang. Alina duduk di bangkunya, membuka bekal tapi tak berselera makan. Seruni di sampingnya terus mencoba menghibur dengan cerita-cerita ringan. Tiba-tiba suasana kelas menjadi riuh. Beberapa siswa berbisik-bisik sambil menoleh ke arah pintu. “Eh, itu Kevin, kan?” bisik salah satu teman. “Iya, dia nyari siapa sih?” sahut yang lain. Alina yang mendengar itu langsung menegang. Ia menoleh, dan benar saja, Kevin berdiri di depan pintu kelas dengan wajah serius, matanya langsung mencari Alina. Seluruh tatapan teman-teman sekelas kini tertuju pada mereka. “Alina, boleh aku bicara sebentar?” suara Kevin terdengar lantang, membuat suasana semakin tegang. Alina membeku di tempat duduknya. Hatinya berdegup kencang, wajahnya panas bercampur malu, marah, dan sedikit rindu yang ia tahan. Seruni meliriknya, memberi isyarat: hadapi aja, Lin. Dengan langkah berat, Alina akhirnya bangkit dari kursinya. Suara bisik-bisik semakin ramai, namun ia tak peduli. Ia berjalan keluar kelas, berdiri berhadapan dengan Kevin di koridor yang kini jadi pusat perhatian. Kevin menatapnya dalam-dalam. “Alina, aku mohon kasih aku kesempatan buat jelasin. Please ya.” Alina terdiam, matanya berkaca-kaca, namun bibirnya masih terkatup rapat. Kevin melanjutkan, suaranya penuh penekanan, “Apa yang kamu liat kemarin itu bukan kayak yang kamu pikir. Aku… aku bisa jelasin semuanya.” Alina menggigit bibir, mencoba menahan gejolak dalam dadanya. Semua siswa yang menonton makin membuat dirinya tak nyaman. “Aku nggak percaya sama kamu lagi, Kev,” jawab Alina akhirnya, suaranya bergetar. “Kamu selalu punya alasan. Tapi hatiku udah terlalu capek buat nerima alasan.” Kevin tampak terpukul. Ia ingin menyentuh tangan Alina, tapi Alina segera mundur selangkah. Seruni muncul dari balik pintu kelas, menatap Kevin tajam. “Kalau kamu beneran sayang sama Alina, jangan bikin dia malu di depan semua orang kayak gini.” Kevin menunduk, wajahnya penuh penyesalan. “Aku cuma nggak mau kehilangan dia, Run. Aku mau menjelaskan sesuatu.” Alina menoleh ke arah Seruni, lalu ke Kevin lagi. Air mata jatuh di pipinya, tapi ia buru-buru mengusapnya. “Aku butuh waktu, Kev. Jangan ganggu aku dulu,” ucapnya pelan namun tegas. Tanpa menunggu jawaban, Alina berbalik masuk ke kelas, meninggalkan Kevin yang berdiri terpaku di koridor dengan tatapan kosong. Suasana kelas kembali ramai dengan bisik-bisik, tapi Alina tak peduli. Ia duduk, menundukkan wajahnya, berusaha menahan air mata agar tak jatuh lagi. Seruni meraih bahunya, berbisik, “Kamu udah ngelakuin yang terbaik, Lin. Jangan goyah.” Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Alina merasa hatinya benar-benar tertutup rapat untuk Kevin.Hari berlibur keluarga Alina nampaknya telah usai. Senja di Puncak perlahan memudar, menyisakan cahaya jingga di balik perkebunan teh yang terhampar luas. Mobil keluarga Alina meluncur pelan melewati jalan menurun yang berliku, sesekali terjebak macet panjang. Klakson bersahut-sahutan, lampu-lampu kendaraan menyalakan jalur gelap yang makin sesak.Di kursi belakang, Alina duduk bersandar di jendela dengan earphone terpasang, tapi lagu yang ia putar sama sekali tak menenangkan hatinya. Pikirannya masih penuh dengan satu wajah yaitu Kevin. Sosok itu muncul berkali-kali, silih berganti dengan bayangan Kevin yang tersenyum sambil merangkul seorang perempuan di pinggir lapangan basket, sebagaimana ia lihat di story WhatsApp senior OSIS kemarin.“Lin, kamu lapar? Mau kita cari makan dulu sebelum sampai Jakarta?” suara ayahnya terdengar dari kursi depan, memecah lamunan.Alina melepas salah satu earphone-nya. “Nggak, Yah. Alina nggak lapar,” jawabnya singkat.Ibu nya yang duduk di samping ay
Udara siang di Puncak terasa segar, semilir angin membawa aroma daun teh yang baru dipetik. Alina berjalan di samping ibunya, sementara ayahnya sibuk mengambil foto pemandangan dengan ponselnya. Mereka bertiga menapaki jalan setapak di antara kebun teh, matahari condong menyinari lembah hijau yang seakan tak berujung.“Indah banget ya, Yah,” kata Alina sambil menatap hamparan daun hijau yang berbaris rapi.“Iya, Lin. Ini tempat yang paling Ayah suka kalau mau menenangkan pikiran,” jawab ayahnya, senyum lega menghiasi wajahnya.Setelah cukup jauh berjalan, mereka menemukan sebuah saung kayu kecil di pinggir kebun. Mereka duduk berteduh di sana, menikmati hembusan angin yang menyejukkan. Ibunya mengeluarkan bekal camilan, sementara ayahnya merebahkan diri sambil menutup mata.Alina duduk sedikit menjauh, ponsel di tangannya ia nyalakan. Awalnya ia hanya berniat membuka pesan, mungkin ada balasan dari Kevin. Rindu yang ia tahan sejak berangkat liburan kini semakin sulit ia kendalikan.Na
Setelah makan malam selesai dan meja dirapikan, Kevin berdiri sambil membawa tas ranselnya.“Om, Tante, terima kasih banyak sudah mengizinkan saya makan malam di sini. Maaf merepotkan.” Ia menunduk dengan sopan.Ibunya Alina tersenyum ramah.“Ah, nggak usah sungkan begitu, Vin. Datang lagi aja kapan-kapan, rumah ini selalu terbuka buat kamu.”Kevin mengangguk. “Siap, Tante.”Alina yang berdiri di sampingnya, hanya bisa menatap canggung. Pipinya masih merah, apalagi sejak tadi Kevin terus mendapat pujian dari ayahnya.Kevin lalu menyalami ayah Alina.“Terima kasih juga, Om.”Ayah Alina menggenggam tangan Kevin erat, sambil menatapnya serius.“Vin… saya seneng ada teman yang bisa nemenin Alina. Jaga dia baik-baik ya, kalau lagi di luar.”Kevin sempat terkejut dengan tatapan ayahnya yang hangat tapi tegas. Ia mengangguk mantap.“Siap, Om. Saya akan jaga Alina.”Mendengar itu, Alina hampir tersedak napasnya sendiri.“Yaah! Ayah…” protesnya dengan wajah memerah, tangannya mencubit lengan a
Sore itu motor Kevin berhenti tepat di depan rumah Alina. Suara mesin yang pelan membuat ibunya Alina keluar dari teras, beliau tersenyum ramah begitu melihat siapa yang datang. “Eh, Kevin… pulang bareng lagi sama Alina?” sapa ibu dengan nada hangat. Kevin segera turun dari motor, melepas helm dan sedikit membungkukkan badan. “Iya, Tante. Habis latihan basket, saya ngajak Alina nonton sebentar. Semoga nggak apa-apa ya, Tan.” Alina langsung menyela dengan wajah setengah kesal. “Mama, jangan terlalu percaya. Dia itu sebenarnya ngajak aku ke suatu kantin yang rame banget. Masa disebut nonton?” Ibunya tertawa kecil. “Ya namanya juga anak muda, Lin. Jalan bareng itu udah bikin hati seneng kan?” Alina mendengus sambil masuk ke rumah, meninggalkan Kevin dan ibunya di teras. Kevin berdiri kikuk sejenak, tapi ibunya menepuk bahunya dengan lembut. “Kevin, masuk dulu yuk. Kamu kan pasti capek habis main. Minum dulu di dalam ya.” “Wah, boleh banget Tante. Makasih ya.” Kevin pun
Di hari berikutnya pagi itu, udara Jakarta masih terasa segar meski matahari sudah mulai meninggi. Kevin datang ke rumah Alina dengan motor vesmet nya. Ia terlihat berbeda dengan seragam basket biru-putih melekat di tubuhnya, ransel di punggung, dan senyum semangat terpancar.“Lin!” panggil Kevin sambil menyalakan klakson pelan.Alina baru saja selesai sarapan dan masih merapikan rambutnya. Begitu keluar, ia sempat menatap Kevin dari kepala sampai kaki.“Wah… pagi-pagi udah full gear gini. Mau kemana?” tanyanya sambil sedikit mengerutkan dahi.Kevin menepuk ranselnya. “Hari ini ada tanding basket. Kamu ikut yuk? Temenin aku.”Awalnya Alina kaget. “Aku? Serius?”“Ya serius lah. Masa aku mau ngajak siapa lagi,” jawab Kevin, matanya menatap penuh harap.Alina tersenyum kecil, sedikit menahan rasa deg-degan. “Yaudah, tunggu sebentar. Aku ambil jaket dulu.”Tak lama kemudian mereka melaju bersama, Alina di bonceng di belakang Kevin. Jalanan kota masih ramai, tapi perjalanan terasa singkat
Di hari berikutnya Kevin tak ada kabar, padahal Alina menunggu kedatangan nya kembali. Alina berinisiatif menanyakan kabar nya pagi hari itu.Pagi menjelang siang, udara liburan masih segar. Alina baru saja selesai sarapan ketika ponselnya bergetar di meja.Pesan dari Kevin.“Maaf kemarin nggak datang kerumahmu, aku lagi pusing banget, Lin.”Alina mengerutkan kening. Pusing? Dia ingat, Kevin bukan tipe orang yang gampang mengeluh.Ia mengetik cepat.Alina: “Kenapa? kamu sakit?”Kevin: “Bukan, ini tentang masalah keluarga.”Alina: “Cerita aja Kev. Mungkin aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku mau mendengarkanmu.”Butuh beberapa menit sebelum balasan.Kevin: “Pamanku mau jual rumah kami. Rumah ini peninggalan almarhum ayah dan ibu, tentunya aku sama kakakku nggak mau.”Alina seketika tertegun. Tangannya berhenti mengetik di atas layar ponsel. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Kevin.Tak sampai lima menit kemudian, Alina meneleponnya.“Kev, ini beneran serius?” suara Alina l