Setelah makan malam selesai dan meja dirapikan, Kevin berdiri sambil membawa tas ranselnya.
“Om, Tante, terima kasih banyak sudah mengizinkan saya makan malam di sini. Maaf merepotkan.” Ia menunduk dengan sopan. Ibunya Alina tersenyum ramah. “Ah, nggak usah sungkan begitu, Vin. Datang lagi aja kapan-kapan, rumah ini selalu terbuka buat kamu.” Kevin mengangguk. “Siap, Tante.” Alina yang berdiri di sampingnya, hanya bisa menatap canggung. Pipinya masih merah, apalagi sejak tadi Kevin terus mendapat pujian dari ayahnya. Kevin lalu menyalami ayah Alina. “Terima kasih juga, Om.” Ayah Alina menggenggam tangan Kevin erat, sambil menatapnya serius. “Vin… saya seneng ada teman yang bisa nemenin Alina. Jaga dia baik-baik ya, kalau lagi di luar.” Kevin sempat terkejut dengan tatapan ayahnya yang hangat tapi tegas. Ia mengangguk mantap. “Siap, Om. Saya akan jaga Alina.” Mendengar itu, Alina hampir tersedak napasnya sendiri. “Yaah! Ayah…” protesnya dengan wajah memerah, tangannya mencubit lengan ayahnya pelan. Ayahnya terkekeh. “Hehe, kan cuma titip pesan.” Kevin tersenyum tipis, lalu pamit sambil melangkah keluar. Dari pintu, ia melambaikan tangan kecil ke arah Alina. “Bye, Lin. Sampai ketemu lagi.” Alina menjawab singkat, suaranya pelan. “Iya… hati-hati ya, Vin.” Setelah pintu menutup, Alina berbalik dengan wajah merah padam. “Ayah itu bikin malu banget, deh!” Ayahnya hanya tertawa santai sambil melepas dasi. “Kenapa? Ayah cuma ngomong jujur. Kevin itu anaknya sopan, ramah, dan pintar ngambil hati. Ayah suka lihat cowok kayak gitu.” Alina mendengus. “Yah… nggak usah berlebihan juga dong.” Ibunya tersenyum simpul, ikut menambahkan. “Iya, Lin. Mama juga lihat Kevin anaknya tulus. Bukan tipe main-main.” Alina makin salah tingkah, ia buru-buru berlari ke kamarnya. “Udah ah, aku mau belajar. Jangan bahas Kevin lagi!” Ayah dan ibunya saling pandang, lalu tertawa kecil. Dalam hati mereka, ada rasa lega: sepertinya Alina sedang menemukan sosok yang bisa membuatnya bahagia lagi. ** Liburan Ke Puncak Hari berikutnya pagi itu, udara Jakarta masih dingin ketika ayah Alina sudah bersiap dengan mobil keluarga mereka. “Yuk, berangkat sekarang, biar nggak kena macet panjang,” katanya sambil mengangkat koper kecil ke bagasi. Namun prediksi ayahnya meleset, jalanan menuju Puncak tetap padat. Dari balik kaca mobil, Alina melihat hamparan kendaraan berhenti merayap. Ia bersandar di jok belakang, earphone terpasang di telinga, namun pikirannya justru melayang ke wajah seseorang. “Kevin…” bisiknya lirih. Ia membayangkan bagaimana serunya jika Kevin ikut duduk di sampingnya sekarang, mendengar musik bareng, atau sekadar menggodanya seperti biasa. Tersenyum kecil, lalu cepat-cepat menutup mata agar ayah-ibunya tak curiga. Setelah menempuh perjalanan berjam-jam, mobil akhirnya memasuki halaman sebuah vila mewah milik saudara ayah Alina. Bangunannya tampak kokoh dengan nuansa kayu, berteras lebar, dan pemandangan langsung menghadap perkebunan teh yang hijau. “Wah… bagus banget, Yah!” seru Alina begitu pintu mobil terbuka, udara dingin Puncak langsung menyambutnya. Ibunya ikut terkagum. “Iya, tempatnya adem, enak banget buat istirahat.” Alina berlari kecil ke teras, menengok pemandangan luas dari sana. Udara segar masuk ke paru-parunya, membuat hatinya sedikit lega. Tapi tetap saja, di dalam kepalanya ia membayangkan Kevin berdiri di sampingnya, ikut menikmati indahnya hamparan hijau. “Aduh, Lin. Lagi-lagi kamu kepikiran Kevin…” ia menggeleng pelan sambil tersenyum sendiri. Siang itu, mereka makan siang di ruang makan vila. Setelahnya, ayah Alina langsung rebahan di kursi panjang dengan koran, ibunya sibuk di dapur menyiapkan teh hangat, sementara Alina memilih naik ke lantai atas. Ia membuka jendela kamarnya, lalu duduk dengan buku novel di tangan. Tapi alih-alih membaca, ia justru mengetik sesuatu di ponselnya. “Vin, kalau kamu ada di sini, pasti seru banget deh…” Pesan itu sudah ia tulis, tapi tak kunjung ia kirimkan. Jempolnya ragu menekan tombol kirim. Setelah lama menatap layar, akhirnya ia menghapus tulisan itu. “Ah, ngapain juga aku lebay gini,” gumamnya. Namun senyum tipis di bibirnya menandakan ia benar-benar merindukan Kevin. Sore harinya, mereka berjalan ke kebun teh tak jauh dari vila. Ayah Alina sibuk memotret pemandangan, ibunya memilih duduk di bangku taman kecil, sedangkan Alina berjalan sendiri di jalan setapak. Daun teh hijau berbaris rapi sejauh mata memandang, matahari condong ke barat menciptakan cahaya keemasan. Ia berhenti sejenak, menatap sekeliling. “Kalau Kevin ada di sini, pasti dia bakal komentar sok-sok jahil, terus akhirnya bikin aku ketawa…” ucapnya pelan. Rasa rindu semakin kuat, padahal mereka baru sehari tak bertemu. Malam tiba, keluarga kecil itu duduk bersama di ruang tamu vila, mengobrol santai ditemani api unggun kecil di perapian. Ayahnya tampak begitu rileks, ibunya tersenyum hangat, dan Alina mencoba ikut larut meski pikirannya masih terbagi. Sambil menatap api, ia berbisik dalam hati: “Kevin, semoga kamu baik-baik aja di rumahmu… Aku kangen kamu.”Hari berlibur keluarga Alina nampaknya telah usai. Senja di Puncak perlahan memudar, menyisakan cahaya jingga di balik perkebunan teh yang terhampar luas. Mobil keluarga Alina meluncur pelan melewati jalan menurun yang berliku, sesekali terjebak macet panjang. Klakson bersahut-sahutan, lampu-lampu kendaraan menyalakan jalur gelap yang makin sesak.Di kursi belakang, Alina duduk bersandar di jendela dengan earphone terpasang, tapi lagu yang ia putar sama sekali tak menenangkan hatinya. Pikirannya masih penuh dengan satu wajah yaitu Kevin. Sosok itu muncul berkali-kali, silih berganti dengan bayangan Kevin yang tersenyum sambil merangkul seorang perempuan di pinggir lapangan basket, sebagaimana ia lihat di story WhatsApp senior OSIS kemarin.“Lin, kamu lapar? Mau kita cari makan dulu sebelum sampai Jakarta?” suara ayahnya terdengar dari kursi depan, memecah lamunan.Alina melepas salah satu earphone-nya. “Nggak, Yah. Alina nggak lapar,” jawabnya singkat.Ibu nya yang duduk di samping ay
Udara siang di Puncak terasa segar, semilir angin membawa aroma daun teh yang baru dipetik. Alina berjalan di samping ibunya, sementara ayahnya sibuk mengambil foto pemandangan dengan ponselnya. Mereka bertiga menapaki jalan setapak di antara kebun teh, matahari condong menyinari lembah hijau yang seakan tak berujung.“Indah banget ya, Yah,” kata Alina sambil menatap hamparan daun hijau yang berbaris rapi.“Iya, Lin. Ini tempat yang paling Ayah suka kalau mau menenangkan pikiran,” jawab ayahnya, senyum lega menghiasi wajahnya.Setelah cukup jauh berjalan, mereka menemukan sebuah saung kayu kecil di pinggir kebun. Mereka duduk berteduh di sana, menikmati hembusan angin yang menyejukkan. Ibunya mengeluarkan bekal camilan, sementara ayahnya merebahkan diri sambil menutup mata.Alina duduk sedikit menjauh, ponsel di tangannya ia nyalakan. Awalnya ia hanya berniat membuka pesan, mungkin ada balasan dari Kevin. Rindu yang ia tahan sejak berangkat liburan kini semakin sulit ia kendalikan.Na
Setelah makan malam selesai dan meja dirapikan, Kevin berdiri sambil membawa tas ranselnya.“Om, Tante, terima kasih banyak sudah mengizinkan saya makan malam di sini. Maaf merepotkan.” Ia menunduk dengan sopan.Ibunya Alina tersenyum ramah.“Ah, nggak usah sungkan begitu, Vin. Datang lagi aja kapan-kapan, rumah ini selalu terbuka buat kamu.”Kevin mengangguk. “Siap, Tante.”Alina yang berdiri di sampingnya, hanya bisa menatap canggung. Pipinya masih merah, apalagi sejak tadi Kevin terus mendapat pujian dari ayahnya.Kevin lalu menyalami ayah Alina.“Terima kasih juga, Om.”Ayah Alina menggenggam tangan Kevin erat, sambil menatapnya serius.“Vin… saya seneng ada teman yang bisa nemenin Alina. Jaga dia baik-baik ya, kalau lagi di luar.”Kevin sempat terkejut dengan tatapan ayahnya yang hangat tapi tegas. Ia mengangguk mantap.“Siap, Om. Saya akan jaga Alina.”Mendengar itu, Alina hampir tersedak napasnya sendiri.“Yaah! Ayah…” protesnya dengan wajah memerah, tangannya mencubit lengan a
Sore itu motor Kevin berhenti tepat di depan rumah Alina. Suara mesin yang pelan membuat ibunya Alina keluar dari teras, beliau tersenyum ramah begitu melihat siapa yang datang. “Eh, Kevin… pulang bareng lagi sama Alina?” sapa ibu dengan nada hangat. Kevin segera turun dari motor, melepas helm dan sedikit membungkukkan badan. “Iya, Tante. Habis latihan basket, saya ngajak Alina nonton sebentar. Semoga nggak apa-apa ya, Tan.” Alina langsung menyela dengan wajah setengah kesal. “Mama, jangan terlalu percaya. Dia itu sebenarnya ngajak aku ke suatu kantin yang rame banget. Masa disebut nonton?” Ibunya tertawa kecil. “Ya namanya juga anak muda, Lin. Jalan bareng itu udah bikin hati seneng kan?” Alina mendengus sambil masuk ke rumah, meninggalkan Kevin dan ibunya di teras. Kevin berdiri kikuk sejenak, tapi ibunya menepuk bahunya dengan lembut. “Kevin, masuk dulu yuk. Kamu kan pasti capek habis main. Minum dulu di dalam ya.” “Wah, boleh banget Tante. Makasih ya.” Kevin pun
Di hari berikutnya pagi itu, udara Jakarta masih terasa segar meski matahari sudah mulai meninggi. Kevin datang ke rumah Alina dengan motor vesmet nya. Ia terlihat berbeda dengan seragam basket biru-putih melekat di tubuhnya, ransel di punggung, dan senyum semangat terpancar.“Lin!” panggil Kevin sambil menyalakan klakson pelan.Alina baru saja selesai sarapan dan masih merapikan rambutnya. Begitu keluar, ia sempat menatap Kevin dari kepala sampai kaki.“Wah… pagi-pagi udah full gear gini. Mau kemana?” tanyanya sambil sedikit mengerutkan dahi.Kevin menepuk ranselnya. “Hari ini ada tanding basket. Kamu ikut yuk? Temenin aku.”Awalnya Alina kaget. “Aku? Serius?”“Ya serius lah. Masa aku mau ngajak siapa lagi,” jawab Kevin, matanya menatap penuh harap.Alina tersenyum kecil, sedikit menahan rasa deg-degan. “Yaudah, tunggu sebentar. Aku ambil jaket dulu.”Tak lama kemudian mereka melaju bersama, Alina di bonceng di belakang Kevin. Jalanan kota masih ramai, tapi perjalanan terasa singkat
Di hari berikutnya Kevin tak ada kabar, padahal Alina menunggu kedatangan nya kembali. Alina berinisiatif menanyakan kabar nya pagi hari itu.Pagi menjelang siang, udara liburan masih segar. Alina baru saja selesai sarapan ketika ponselnya bergetar di meja.Pesan dari Kevin.“Maaf kemarin nggak datang kerumahmu, aku lagi pusing banget, Lin.”Alina mengerutkan kening. Pusing? Dia ingat, Kevin bukan tipe orang yang gampang mengeluh.Ia mengetik cepat.Alina: “Kenapa? kamu sakit?”Kevin: “Bukan, ini tentang masalah keluarga.”Alina: “Cerita aja Kev. Mungkin aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku mau mendengarkanmu.”Butuh beberapa menit sebelum balasan.Kevin: “Pamanku mau jual rumah kami. Rumah ini peninggalan almarhum ayah dan ibu, tentunya aku sama kakakku nggak mau.”Alina seketika tertegun. Tangannya berhenti mengetik di atas layar ponsel. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Kevin.Tak sampai lima menit kemudian, Alina meneleponnya.“Kev, ini beneran serius?” suara Alina l