Udara siang di Puncak terasa segar, semilir angin membawa aroma daun teh yang baru dipetik. Alina berjalan di samping ibunya, sementara ayahnya sibuk mengambil foto pemandangan dengan ponselnya. Mereka bertiga menapaki jalan setapak di antara kebun teh, matahari condong menyinari lembah hijau yang seakan tak berujung.
“Indah banget ya, Yah,” kata Alina sambil menatap hamparan daun hijau yang berbaris rapi. “Iya, Lin. Ini tempat yang paling Ayah suka kalau mau menenangkan pikiran,” jawab ayahnya, senyum lega menghiasi wajahnya. Setelah cukup jauh berjalan, mereka menemukan sebuah saung kayu kecil di pinggir kebun. Mereka duduk berteduh di sana, menikmati hembusan angin yang menyejukkan. Ibunya mengeluarkan bekal camilan, sementara ayahnya merebahkan diri sambil menutup mata. Alina duduk sedikit menjauh, ponsel di tangannya ia nyalakan. Awalnya ia hanya berniat membuka pesan, mungkin ada balasan dari Kevin. Rindu yang ia tahan sejak berangkat liburan kini semakin sulit ia kendalikan. Namun matanya justru tertumbuk pada sebuah notifikasi status W******p dari salah satu senior OSIS. Ia membuka story itu dengan santai hingga akhirnya matanya membelalak. Tampak Kevin terlihat dalam frame story itu. Kevin sedang duduk di pinggir lapangan basket. Dan di sampingnya, seorang perempuan. Wajahnya tidak asing, tapi Alina tak begitu kenal. Yang membuat dadanya seperti diremas, Kevin tampak akrab, begitu akrab. Bahkan dalam rekaman singkat itu, Kevin tertawa lepas dan tanpa ragu merangkul pundak perempuan itu. Ponsel di tangan Alina nyaris terjatuh. Jantungnya berdetak tak karuan, lalu dunia seakan berhenti sesaat. ‘Itu… siapa? Siapa perempuan itu? Kenapa Kevin bisa serileks itu sama dia?’ Pertanyaan itu bergaung di kepalanya, menggema seolah-olah seluruh langit Puncak ikut menertawakan kelemahannya. “Lin? Kamu kenapa?” suara ibunya memecah lamunan. Alina buru-buru menyembunyikan ponselnya, namun wajahnya sudah pucat pasi. Senyum ceria yang tadi ia tunjukkan hilang seketika, berganti dengan raut murung. “Lin, kamu sakit?” ayahnya ikut menoleh, tampak cemas. Alina menggeleng cepat. “Enggak kok, Yah. Aku cuma capek aja.” Ibunya menatap dengan sorot penuh curiga. “Masa sih cuma capek? Tadi kamu masih ketawa-ketawa. Kok sekarang mendadak diam begini?” Alina menunduk, menatap ujung sepatunya sendiri. Lidahnya kelu, tidak sanggup menjelaskan bahwa baru saja hatinya seperti diremukkan dari jauh. “Lin?” ibunya kembali memanggil. “Bener, Ma. Aku nggak apa-apa. Cuma pusing sedikit.” Suaranya lirih, hampir tak terdengar. Mereka bertiga kembali berjalan menyusuri kebun teh. Namun langkah Alina kali ini terasa berat, tubuhnya seakan kehilangan tenaga. Tangannya menggenggam ponsel erat-erat, menahan diri untuk tidak langsung menghubungi Kevin dan menanyakan kebenaran itu. Di balik wajah murungnya, satu hal jelas: untuk pertama kalinya sejak ia kembali dekat dengan Kevin. Alina merasa dikhianati oleh bayangan yang bahkan belum jelas kebenarannya. Suasana sore di vila terasa hangat. Meja makan kayu panjang terhampar dengan lauk sederhana: sayur sop buatan ibu, ayam goreng, dan sambal favorit ayah. Angin dari jendela terbuka membawa aroma kebun teh yang masih basah usai disiram gerimis sebentar tadi. Alina duduk di samping ibunya, menyendok nasi pelan-pelan ke piring. Namun tak banyak yang ia makan, sekadar memainkan sendok sambil menunduk. Ayahnya beberapa kali melirik, tapi memilih diam. Tiba-tiba suara dering ponsel memecah kesunyian. Nada dering itu sangat familiar bagi Alina yaitu hanya untuk satu orang, Kevin. Jantung Alina berdegup cepat, tangannya sempat bergerak hendak meraih ponsel yang tergeletak di meja kecil dekat kursinya. Namun seketika ia menahan diri. Napasnya ditarik panjang, lalu ia biarkan dering itu berlanjut tanpa ia sentuh. “Lin, itu HP kamu bunyi,” kata ibunya sambil menoleh. “Iya, Ma,” jawab Alina singkat. “Kenapa nggak diangkat? Siapa yang telepon?” tanya ibunya lagi, nada suaranya lembut penuh rasa ingin tahu. Alina hanya menggeleng pelan tanpa menjawab. Ayahnya menatap istrinya, lalu keduanya saling bertukar pandang sejenak. Senyum tipis terukir di wajah mereka, seakan mereka berdua sama-sama tahu apa yang sedang terjadi pada anak gadis mereka. Ayah menaruh sendoknya dan berkata dengan nada ringan, “Wajar kok, Bu. Alina kan lagi masuk masa remaja. Ada kalanya dia pengen simpan sesuatu buat dirinya sendiri.” Ibu ikut tersenyum, meski masih ada rasa penasaran. “Iya sih… tapi Mama jadi penasaran. Lin, itu temen cowok kamu, ya?” Pertanyaan itu membuat wajah Alina semakin menunduk. Tangannya meremas ujung taplak meja, berusaha keras menyembunyikan gejolak di dadanya. Ia tak ingin ayah dan ibunya tahu bahwa ada rasa kecewa, marah, sekaligus rindu yang bercampur aduk di dalam dirinya. “Iya, Ma… temen,” jawabnya lirih, hampir seperti gumaman. Telepon berhenti berdering. Sunyi kembali mengisi ruang makan, hanya terdengar suara sendok dan piring. Ayahnya tersenyum kecil, lalu melanjutkan makan tanpa banyak bertanya. Ibunya juga memilih diam, tak ingin memaksa. Namun bagi Alina, setiap suapan nasi terasa hambar. Bayangan wajah Kevin bersama perempuan di story itu terus muncul di benaknya. Telepon yang baru saja ia abaikan membuat hatinya makin perih, karena di satu sisi ia ingin sekali tahu apa yang ingin Kevin katakan, tapi di sisi lain, egonya menahan keras. Alina menahan rasa kesal, amarah, dan kekecewaan itu sendirian, menutup diri rapat-rapat dari kedua orangtuanya.Hari berlibur keluarga Alina nampaknya telah usai. Senja di Puncak perlahan memudar, menyisakan cahaya jingga di balik perkebunan teh yang terhampar luas. Mobil keluarga Alina meluncur pelan melewati jalan menurun yang berliku, sesekali terjebak macet panjang. Klakson bersahut-sahutan, lampu-lampu kendaraan menyalakan jalur gelap yang makin sesak.Di kursi belakang, Alina duduk bersandar di jendela dengan earphone terpasang, tapi lagu yang ia putar sama sekali tak menenangkan hatinya. Pikirannya masih penuh dengan satu wajah yaitu Kevin. Sosok itu muncul berkali-kali, silih berganti dengan bayangan Kevin yang tersenyum sambil merangkul seorang perempuan di pinggir lapangan basket, sebagaimana ia lihat di story WhatsApp senior OSIS kemarin.“Lin, kamu lapar? Mau kita cari makan dulu sebelum sampai Jakarta?” suara ayahnya terdengar dari kursi depan, memecah lamunan.Alina melepas salah satu earphone-nya. “Nggak, Yah. Alina nggak lapar,” jawabnya singkat.Ibu nya yang duduk di samping ay
Udara siang di Puncak terasa segar, semilir angin membawa aroma daun teh yang baru dipetik. Alina berjalan di samping ibunya, sementara ayahnya sibuk mengambil foto pemandangan dengan ponselnya. Mereka bertiga menapaki jalan setapak di antara kebun teh, matahari condong menyinari lembah hijau yang seakan tak berujung.“Indah banget ya, Yah,” kata Alina sambil menatap hamparan daun hijau yang berbaris rapi.“Iya, Lin. Ini tempat yang paling Ayah suka kalau mau menenangkan pikiran,” jawab ayahnya, senyum lega menghiasi wajahnya.Setelah cukup jauh berjalan, mereka menemukan sebuah saung kayu kecil di pinggir kebun. Mereka duduk berteduh di sana, menikmati hembusan angin yang menyejukkan. Ibunya mengeluarkan bekal camilan, sementara ayahnya merebahkan diri sambil menutup mata.Alina duduk sedikit menjauh, ponsel di tangannya ia nyalakan. Awalnya ia hanya berniat membuka pesan, mungkin ada balasan dari Kevin. Rindu yang ia tahan sejak berangkat liburan kini semakin sulit ia kendalikan.Na
Setelah makan malam selesai dan meja dirapikan, Kevin berdiri sambil membawa tas ranselnya.“Om, Tante, terima kasih banyak sudah mengizinkan saya makan malam di sini. Maaf merepotkan.” Ia menunduk dengan sopan.Ibunya Alina tersenyum ramah.“Ah, nggak usah sungkan begitu, Vin. Datang lagi aja kapan-kapan, rumah ini selalu terbuka buat kamu.”Kevin mengangguk. “Siap, Tante.”Alina yang berdiri di sampingnya, hanya bisa menatap canggung. Pipinya masih merah, apalagi sejak tadi Kevin terus mendapat pujian dari ayahnya.Kevin lalu menyalami ayah Alina.“Terima kasih juga, Om.”Ayah Alina menggenggam tangan Kevin erat, sambil menatapnya serius.“Vin… saya seneng ada teman yang bisa nemenin Alina. Jaga dia baik-baik ya, kalau lagi di luar.”Kevin sempat terkejut dengan tatapan ayahnya yang hangat tapi tegas. Ia mengangguk mantap.“Siap, Om. Saya akan jaga Alina.”Mendengar itu, Alina hampir tersedak napasnya sendiri.“Yaah! Ayah…” protesnya dengan wajah memerah, tangannya mencubit lengan a
Sore itu motor Kevin berhenti tepat di depan rumah Alina. Suara mesin yang pelan membuat ibunya Alina keluar dari teras, beliau tersenyum ramah begitu melihat siapa yang datang. “Eh, Kevin… pulang bareng lagi sama Alina?” sapa ibu dengan nada hangat. Kevin segera turun dari motor, melepas helm dan sedikit membungkukkan badan. “Iya, Tante. Habis latihan basket, saya ngajak Alina nonton sebentar. Semoga nggak apa-apa ya, Tan.” Alina langsung menyela dengan wajah setengah kesal. “Mama, jangan terlalu percaya. Dia itu sebenarnya ngajak aku ke suatu kantin yang rame banget. Masa disebut nonton?” Ibunya tertawa kecil. “Ya namanya juga anak muda, Lin. Jalan bareng itu udah bikin hati seneng kan?” Alina mendengus sambil masuk ke rumah, meninggalkan Kevin dan ibunya di teras. Kevin berdiri kikuk sejenak, tapi ibunya menepuk bahunya dengan lembut. “Kevin, masuk dulu yuk. Kamu kan pasti capek habis main. Minum dulu di dalam ya.” “Wah, boleh banget Tante. Makasih ya.” Kevin pun
Di hari berikutnya pagi itu, udara Jakarta masih terasa segar meski matahari sudah mulai meninggi. Kevin datang ke rumah Alina dengan motor vesmet nya. Ia terlihat berbeda dengan seragam basket biru-putih melekat di tubuhnya, ransel di punggung, dan senyum semangat terpancar.“Lin!” panggil Kevin sambil menyalakan klakson pelan.Alina baru saja selesai sarapan dan masih merapikan rambutnya. Begitu keluar, ia sempat menatap Kevin dari kepala sampai kaki.“Wah… pagi-pagi udah full gear gini. Mau kemana?” tanyanya sambil sedikit mengerutkan dahi.Kevin menepuk ranselnya. “Hari ini ada tanding basket. Kamu ikut yuk? Temenin aku.”Awalnya Alina kaget. “Aku? Serius?”“Ya serius lah. Masa aku mau ngajak siapa lagi,” jawab Kevin, matanya menatap penuh harap.Alina tersenyum kecil, sedikit menahan rasa deg-degan. “Yaudah, tunggu sebentar. Aku ambil jaket dulu.”Tak lama kemudian mereka melaju bersama, Alina di bonceng di belakang Kevin. Jalanan kota masih ramai, tapi perjalanan terasa singkat
Di hari berikutnya Kevin tak ada kabar, padahal Alina menunggu kedatangan nya kembali. Alina berinisiatif menanyakan kabar nya pagi hari itu.Pagi menjelang siang, udara liburan masih segar. Alina baru saja selesai sarapan ketika ponselnya bergetar di meja.Pesan dari Kevin.“Maaf kemarin nggak datang kerumahmu, aku lagi pusing banget, Lin.”Alina mengerutkan kening. Pusing? Dia ingat, Kevin bukan tipe orang yang gampang mengeluh.Ia mengetik cepat.Alina: “Kenapa? kamu sakit?”Kevin: “Bukan, ini tentang masalah keluarga.”Alina: “Cerita aja Kev. Mungkin aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku mau mendengarkanmu.”Butuh beberapa menit sebelum balasan.Kevin: “Pamanku mau jual rumah kami. Rumah ini peninggalan almarhum ayah dan ibu, tentunya aku sama kakakku nggak mau.”Alina seketika tertegun. Tangannya berhenti mengetik di atas layar ponsel. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Kevin.Tak sampai lima menit kemudian, Alina meneleponnya.“Kev, ini beneran serius?” suara Alina l