Di hari berikutnya Kevin tak ada kabar, padahal Alina menunggu kedatangan nya kembali. Alina berinisiatif menanyakan kabar nya pagi hari itu.
Pagi menjelang siang, udara liburan masih segar. Alina baru saja selesai sarapan ketika ponselnya bergetar di meja. Pesan dari Kevin. “Maaf kemarin nggak datang kerumahmu, aku lagi pusing banget, Lin.” Alina mengerutkan kening. Pusing? Dia ingat, Kevin bukan tipe orang yang gampang mengeluh. Ia mengetik cepat. Alina: “Kenapa? kamu sakit?” Kevin: “Bukan, ini tentang masalah keluarga.” Alina: “Cerita aja Kev. Mungkin aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku mau mendengarkanmu.” Butuh beberapa menit sebelum balasan. Kevin: “Pamanku mau jual rumah kami. Rumah ini peninggalan almarhum ayah dan ibu, tentunya aku sama kakakku nggak mau.” Alina seketika tertegun. Tangannya berhenti mengetik di atas layar ponsel. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Kevin. Tak sampai lima menit kemudian, Alina meneleponnya. “Kev, ini beneran serius?” suara Alina langsung mengalun, sedikit cemas. “Iya, Lin. Pamanku kemarin datang, bawa-bawa surat-surat. Katanya dia mau pakai uangnya buat modal usaha. Dia bilang rumah ini juga ada haknya karena dia saudara kandung ayah,” suara Kevin terdengar berat di ujung telepon. “Terus kakakmu gimana?” “Kami berdua tentunya nggak setuju. Rumah ini satu-satunya peninggalan orang tua. Kalau dijual, kami nggak tahu mau tinggal di mana. Kakakku semalam sempat adu mulut sama dia, aku sampai harus nahan diri biar nggak makin parah.” Alina menggigit bibir, ikut merasakan panas di dadanya. “Pamannya nggak kasihan sama kalian? Kalian kan masih butuh tempat tinggal.” Kevin menghela napas panjang. “Kasihan? Entahlah Lin. Dia bilang aku masih muda, bisa mulai dari nol lagi. Dia nggak ngerti ini bukan cuma soal bangunan, Lin. Semua kenangan orang tuaku ada di sini.” Alina terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Kalau boleh, aku mau main ke rumahmu. Aku mau lihat rumah itu siapa tahu aku bisa kasih ide atau saran.” Kevin tersenyum tipis walau Alina tak bisa melihatnya. “Makasih, Lin. Aku nggak tahu kamu mau sejauh itu peduli.” “Tentu aku peduli,” jawab Alina, kali ini tanpa ragu. “Kita temenan, kan?” Di seberang sana, Kevin hanya bisa memandangi lantai. Teman? Ada sedikit rasa nyesek di dadanya. Tapi untuk sekarang, dia tak mau membahas itu. ** Siang itu, udara panas Jakarta agak teredam oleh awan mendung. Alina turun dari ojek online di depan sebuah rumah sederhana namun kokoh, cat temboknya putih gading, pagar besi hitam yang terawat, dan halaman kecil dengan pot bunga berjejer rapi. Pintu terbuka, menampakkan Kevin yang sudah menunggunya. “Hei,” sapanya sambil tersenyum tipis. Alina membalas dengan senyum kecil. “Maaf ya, agak telat. Macet banget di jalannya.” “Nggak apa-apa Alina. Ayo masuk!” Begitu melangkah ke dalam, Alina langsung disambut aroma lembut seperti campuran kayu dan wangi kain bersih. Rumah itu terasa hangat, bukan sekadar suhu udara, tapi ada suasana yang menenangkan. “Rumahnya tampak rapi ya,” komentar Alina sambil melirik sekeliling. Ruang tamu dipenuhi perabot kayu berwarna cokelat tua, ada rak buku di sudut, dan foto keluarga yang terpajang di dinding. Kevin tersenyum singkat. “Aku sama kakakku yang beresin tiap minggu. Biar nggak kelihatan kosong.” Mereka berjalan menyusuri lorong kecil. Kevin berhenti di depan sebuah pintu yang catnya sedikit terkelupas di tepi. Ia membukanya perlahan. “Ini adalah kamar orang tuaku.” Alina melangkah masuk. Ruangan itu sederhana, tapi tertata. Tempat tidur dengan sprei putih, lemari kayu, dan meja rias kecil. Di dinding ada foto keluarga — Kevin kecil diapit ayah dan ibunya yang tersenyum hangat. “Aku belum pernah ubah apapun di sini,” kata Kevin pelan. “Bahkan selimutnya masih sama seperti terakhir kali mereka pakai.” Alina menatapnya dengan iba. “Kamu pasti kangen banget, ya?” Kevin mengangguk pelan, matanya sedikit menerawang. “Mereka meninggal pas aku umur 13 tahun. Kecelakaan mobil, waktu itu mereka mau pergi ke suatu tempat.” Ruangan menjadi hening sejenak. Hanya suara kipas angin tua di sudut kamar yang berputar pelan. “Aku waktu itu nggak ngerti harus gimana,” lanjut Kevin, suaranya agak serak. “Untung kakakku udah cukup dewasa buat ngurusin aku. Kalau nggak entahlah, mungkin aku udah nggak bisa bertahan.” Alina menunduk, mencoba menahan rasa haru. “Kamu laki-laki yang kuat, Kev. Nggak semua orang bisa bertahan di posisi kamu.” Kevin tersenyum tipis. “Kuat? Kadang aku rasa bukan tentang kuat, cuma terpaksa saja dengan keadaan.” Mereka lalu berpindah ke beberapa ruangan lain. Ada ruang keluarga kecil dengan sofa abu-abu dan TV tabung yang masih berfungsi. Di meja kecil, ada tumpukan majalah lama dan secangkir teh yang masih mengepul, mungkin milik kakaknya. Setelah itu, mereka kembali ke ruang tamu dan duduk di sofa. Kevin duduk agak menyandar, sedangkan Alina duduk tegak dengan tangan di pangkuan. “Aku cuma takut, Lin… kalau rumah ini dijual, semua kenangan mereka ikut hilang. Bukan cuma tembok dan atapnya, tapi semua yang mereka tinggalkan di sini,” ucap Kevin lirih. Alina menatapnya lama. “Kalau aku jadi kamu, aku juga nggak mau rumah ini hilang. Rasanya kayak kehilangan mereka dua kali.” Kevin menoleh, menatap wajah Alina yang penuh empati. Senyum tipis muncul di bibirnya. “Makasih Alina, kamu mau dengar semuanya.” “Bukan cuma dengar, Kev,” Alina menggeleng pelan. “Kalau bisa, aku mau bantu.” Mata Kevin berkilat sebentar. “Bantu…? Gimana maksudnya?” Alina tersenyum samar. “Kita pikirin barengan. Nggak harus sekarang kan? Yang penting kamu jangan nyerah.” Kevin mengangguk, dan untuk pertama kalinya sejak masalah itu muncul, hatinya terasa sedikit lebih ringan.Di hari berikutnya Kevin tak ada kabar, padahal Alina menunggu kedatangan nya kembali. Alina berinisiatif menanyakan kabar nya pagi hari itu.Pagi menjelang siang, udara liburan masih segar. Alina baru saja selesai sarapan ketika ponselnya bergetar di meja.Pesan dari Kevin.“Maaf kemarin nggak datang kerumahmu, aku lagi pusing banget, Lin.”Alina mengerutkan kening. Pusing? Dia ingat, Kevin bukan tipe orang yang gampang mengeluh.Ia mengetik cepat.Alina: “Kenapa? kamu sakit?”Kevin: “Bukan, ini tentang masalah keluarga.”Alina: “Cerita aja Kev. Mungkin aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku mau mendengarkanmu.”Butuh beberapa menit sebelum balasan.Kevin: “Pamanku mau jual rumah kami. Rumah ini peninggalan almarhum ayah dan ibu, tentunya aku sama kakakku nggak mau.”Alina seketika tertegun. Tangannya berhenti mengetik di atas layar ponsel. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Kevin.Tak sampai lima menit kemudian, Alina meneleponnya.“Kev, ini beneran serius?” suara Alina l
Malam itu, setelah Kevin pulang, Alina kembali ke kamarnya. Ia merebahkan diri sambil menatap atap kamarnya, membiarkan pikirannya berkelana. Entah kenapa, wajah Kevin yang tadi tersenyum sambil bercanda di jalan pulang masih terbayang jelas. Tapi ia cepat-cepat mengalihkan pikirannya, mengingat semua luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.Keesokan harinya, suasana rumah Alina tenang. Ayahnya berangkat kerja, ibunya sibuk di dapur, sementara Alina duduk di teras sambil membaca novel. Udara pagi terasa segar, suara burung bercampur dengan aroma wangi kopi yang diseduh ibunya.Tiba-tiba suara motor kembali terdengar di depan pagar.“Aduh… jangan bilang…” gumam Alina sambil melirik.Dan benar saja, Kevin.Bedanya, kali ini dia membawa dua gelas minuman dingin dan sekantong kertas berlogo toko roti terkenal di kota.Kevin melambai,“Pagi, Lin. Aku nggak ngajak jalan kok, cuma mau nitip sarapan.”Alina menatap curiga.“Nitip sarapan? Itu bahasa lain dari ngajak ketemu kan?”Kevin nyengir,
Motor Kevin melaju menembus jalanan Jakarta yang sore itu tak terlalu macet. Mereka melewati beberapa jalan kecil hingga akhirnya keluar di sebuah kawasan yang terasa berbeda dari hiruk-pikuk kota. Pepohonan rindang menaungi jalan, udara lebih sejuk, dan di kejauhan mulai terlihat kilauan air yang memantulkan cahaya matahari senja.Begitu mereka sampai, Alina langsung tertegun. Di hadapannya terbentang sebuah waduk luas dengan air yang tenang. Di sekelilingnya, pepohonan hijau berjajar, burung-burung sesekali melintas, dan angin membawa aroma segar yang jarang ia rasakan di tengah padatnya kota.Kevin memarkir motor di dekat jalan setapak menuju tepian waduk.“Wow…” gumam Alina tanpa sadar, matanya berbinar. “Aku nggak nyangka di Jakarta masih ada tempat kayak gini.”Kevin tersenyum kecil, melepas helmnya dan ikut berjalan di samping Alina.“Banyak yang nggak tahu. Aku nemuin tempat ini pas lagi nyari spot buat latihan lari waktu dulu.”Mereka berjalan pelan di tepi air, sesekali omba
Hari berikutnya pagi itu langit tampak cerah, meski udara masih membawa embun tipis. Alina baru selesai sarapan dan sedang menyiram tanaman di balkon ketika ibunya memanggil dari ruang tamu.“Alina, ada tamu, Nak. Cepat turun, ya. Ibu lagi bikin teh dulu di dapur.”Alina mengernyit heran.“Tamu? Siapa, Bu?”“Pokoknya turun dulu aja. Nggak sopan bikin orang nunggu lama-lama.”Dengan langkah santai dan masih mengenakan sweater tipis dan celana santai rumahan, Alina pun berjalan menuruni tangga. Tapi begitu matanya menyapu ruang tamu, ia langsung berhenti di anak tangga keempat.Kevin.Cowok itu duduk santai di sofa ruang tamu dengan senyum ramah. Tapi yang membuat Alina terbelalak bukan karena kehadirannya saja, melainkan penampilannya yang berbeda total. Rambutnya kini rapi dengan potongan undercut bersih, wajahnya segar seolah baru keluar dari majalah gaya hidup remaja. Ia memakai kemeja putih bersih yang dilipat rapi di lengan dan celana bahan gelap. Alina berdiri terpaku beberapa d
Hari libur pertama setelah pengumuman hasil nilai semester. Kota terasa lebih tenang dari biasanya. Suara kendaraan berkurang, hanya sesekali terdengar tawa anak-anak yang bermain di gang kecil, atau suara pedagang es keliling yang lewat dengan nyanyian khasnya.Di dalam rumah mungil bernuansa cokelat pastel itu, Alina duduk di lantai kamarnya bersandar pada rak buku. Rambutnya digelung seadanya, kaos longgar dan celana pendek menjadi pakaian harian andalannya. Di tangannya sebuah novel terbitan lama yang sudah mulai menguning di pinggirannya. Ia tampak tenang. Damai. Momen seperti ini adalah hal yang ia rindukan setelah masa-masa sulit selama satu semester terakhir.Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.TIIIN… TIIIINNN!!!Tiba-tiba suara klakson motor terdengar nyaring dari halaman depan rumah. Alina mengernyit, mendongak. Ia meletakkan buku di dadanya dan bangkit pelan, mendekat ke jendela kamar yang menghadap ke depan rumah.Ketika tirai disingkap sedikit…"Astaga…"Jantung
Hari itu cuaca terasa sangat cerah. Matahari menyinari halaman sekolah dengan lembut, menyapu dedaunan yang bergoyang pelan ditiup angin. Para siswa telah berkumpul di lapangan, membentuk barisan kelas masing-masing. Hari ini adalah hari pengumuman peringkat akademik semester 1, sebuah momen yang ditunggu-tunggu dan kadang ditakuti banyak siswa.Alina berdiri di barisan depan kelas nya, mengenakan seragam putih abu yang rapi dengan dasi abu-abu menggantung di lehernya. Rambutnya dikuncir satu, wajahnya datar tapi tenang. Di balik ketenangan itu, jantungnya berdetak cepat.Pengumuman DimulaiWakil kepala sekolah, Bu Ratna, naik ke podium dan mengambil mikrofon. Suaranya tegas dan jelas menggema ke seluruh lapangan."Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi, anak-anak semua. Hari ini, kita akan mengumumkan peringkat sepuluh besar di setiap kelas berdasarkan hasil penilaian semester satu."Suasana pun mulai ramai. Beberapa siswa mulai berbisik-bisik. Beberapa lainnya tamp