Home / Romansa / Crush Sang Kapten Basket / Menonton Langsung Kevin Bertanding

Share

Menonton Langsung Kevin Bertanding

Author: Singacala ID
last update Last Updated: 2025-08-23 12:47:17

Di hari berikutnya pagi itu, udara Jakarta masih terasa segar meski matahari sudah mulai meninggi. Kevin datang ke rumah Alina dengan motor vesmet nya. Ia terlihat berbeda dengan seragam basket biru-putih melekat di tubuhnya, ransel di punggung, dan senyum semangat terpancar.

“Lin!” panggil Kevin sambil menyalakan klakson pelan.

Alina baru saja selesai sarapan dan masih merapikan rambutnya. Begitu keluar, ia sempat menatap Kevin dari kepala sampai kaki.

“Wah… pagi-pagi udah full gear gini. Mau kemana?” tanyanya sambil sedikit mengerutkan dahi.

Kevin menepuk ranselnya. “Hari ini ada tanding basket. Kamu ikut yuk? Temenin aku.”

Awalnya Alina kaget. “Aku? Serius?”

“Ya serius lah. Masa aku mau ngajak siapa lagi,” jawab Kevin, matanya menatap penuh harap.

Alina tersenyum kecil, sedikit menahan rasa deg-degan. “Yaudah, tunggu sebentar. Aku ambil jaket dulu.”

Tak lama kemudian mereka melaju bersama, Alina di bonceng di belakang Kevin. Jalanan kota masih ramai, tapi perjalanan terasa singkat karena Alina hanya diam, sesekali memperhatikan punggung Kevin di depannya. Entah kenapa, ia merasa pagi itu terasa berbeda.

Mereka tiba di sebuah gedung olahraga indoor di Jakarta Pusat. Dari luar saja sudah terdengar suara riuh anak-anak remaja yang bersorak, ditambah suara bola memantul bergema di dalam ruangan.

Begitu masuk, Kevin langsung menuntun Alina ke kursi panjang di pinggir lapangan.

“Kamu duduk sini ya. Dari sini kelihatan jelas kok,” katanya.

Alina mengangguk, matanya mengamati sekitar. Lapangan itu cukup besar, lampu-lampu terang menggantung di atas, tribun penuh dengan murid-murid sekolah lain yang ikut menonton. Aroma keringat bercampur dengan semangat muda memenuhi udara.

Kevin mengganti sepatu basketnya, lalu berlari kecil masuk ke lapangan bersama timnya. Saat peluit ditiup, pertandingan dimulai.

Alina memperhatikan dengan saksama. Kevin tampak lincah, dribbling bola dengan cepat, menghindari lawan, lalu mengoper pada temannya. Sesekali ia melompat tinggi melakukan shooting, dan setiap kali bola masuk, sorakan penonton menggema.

“KEVIN! Kevin!” suara-suara rekan setim dan pendukung terdengar memanggil namanya.

Alina, yang awalnya hanya duduk tenang, tanpa sadar ikut tegang setiap kali Kevin membawa bola. Matanya terus mengikuti gerakan Kevin, sampai-sampai ia tak sadar senyumnya muncul ketika Kevin berhasil mencetak angka.

“Pemain nomor 7 itu lihai juga,” gumamnya lirih sambil menatap Kevin yang berkeringat tapi penuh semangat.

Setengah jam berlalu, pertandingan semakin sengit. Lawan mulai menyerang lebih keras, beberapa kali Kevin harus terjatuh ke lantai saat berusaha merebut bola. Alina refleks berdiri dari kursi.

“Kevin… hati-hati…” bisiknya meski tak terdengar di tengah riuhnya sorakan.

Ketika waktu hampir habis, Kevin berhasil melakukan fast break, berlari kencang, melompat, dan slam dunk! Bola masuk dengan keras, dan seluruh ruangan bergemuruh.

“WOOOOOO!!!”

Alina sampai terlonjak kecil, menutup mulutnya dengan tangan. Hatinya berdebar hebat, tak hanya karena aksi Kevin, tapi karena ia menyadari, ia benar-benar bangga melihat Kevin.

Saat pertandingan selesai, tim Kevin keluar sebagai pemenang. Ia berjalan keluar lapangan dengan senyum puas, seragamnya basah oleh keringat. Ia langsung menghampiri Alina.

“Gimana? Keren nggak?” tanyanya sambil terengah-engah.

Alina memalingkan wajah, mencoba menyembunyikan rona merah di pipinya. “Biasa aja, tapi ya lumayanlah,” jawabnya sok tenang.

Kevin tertawa lebar. “Biasa aja? Padahal tadi aku lihat kamu sampai berdiri sendiri pas aku jatuh.”

“E-eh?!” Alina langsung gelagapan, menunduk dalam. “Siapa juga yang memperhatikan mu, enggak ada, ah!”

Kevin hanya terkekeh, lalu duduk sebentar di samping Alina sambil mengelap wajah dengan handuk kecil. “Makasih ya, udah mau nemenin. Rasanya lebih semangat kalau ada kamu di sini.”

Alina terdiam, hatinya kembali berdebar. Ia menunduk, menatap sepatu putihnya, mencoba mengalihkan perasaan yang perlahan tumbuh kembali.

Setelah seluruh tim selesai berfoto dan saling menyalami, Kevin segera mengganti sepatunya dan mengemasi barang-barangnya. Ia menoleh ke arah Alina yang masih duduk di pinggir lapangan, tampak setia menunggunya.

“Lin, yuk. Aku traktir. Kita makan di kantin, dekat sini aja. Anggap aja perayaan kecil-kecilan,” ujar Kevin dengan senyum lebar, napasnya masih agak terengah.

Alina menatapnya sekilas, lalu berpura-pura datar. “Hmm… yaudah deh, aku ikut. Tapi jangan mikir aku setuju karena pengen ditraktir ya.”

Kevin tertawa kecil. “Iya iya, aku tahu kok. Kamu cuma pengen nemenin aku kan?”

“Banyak gaya, ah.” Alina memalingkan wajah, pipinya sedikit memerah.

Keduanya berjalan keluar lapangan menuju kantin yang berada di dalam area gedung olahraga. Kantin itu sederhana, namun ramai oleh siswa-siswa lain yang juga baru selesai tanding. Aroma gorengan dan mie instan tercium begitu kuat.

Kevin menuntun Alina ke sebuah meja kosong di pojok. “Duduk sini aja, lebih tenang,” katanya.

Tak lama, seorang ibu penjual menghampiri.

“Mau pesan apa, Nak?”

Kevin menoleh ke Alina. “Ladies first.”

Alina melihat daftar sederhana yang tertempel di dinding. “Aku… es teh manis sama roti bakar keju aja.”

Kevin mengangguk. “Kalau gitu aku mie goreng telur sama es jeruk, Bu.”

“Baik, tunggu sebentar ya.”

Sambil menunggu, Kevin menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Alina dengan senyum puas.

“Jadi… gimana tadi? Pertandingan aku oke kan?”

Alina memainkan sedotan plastik di tangannya. “Hmm… ya lumayan lah. Nggak buruk-burik amat.”

Kevin mengerutkan alis. “Hah? Cuma ‘lumayan’? Padahal aku tadi slam dunk, Lin! Nggak semua orang bisa loh.”

Alina terkekeh kecil, menutup mulutnya dengan tangan. “Iya iya, aku lihat kok. Kamu keren banget… puas?”

Kevin langsung menyeringai lebar. “Puas banget. Terutama karena kamu yang bilang.”

Ucapan itu membuat Alina mendadak diam, matanya menghindari tatapan Kevin. Ada rasa hangat yang tiba-tiba muncul di dadanya.

Pesanan mereka datang. Roti bakar keju dengan aroma gurih membuat Alina tersenyum kecil. Sementara Kevin langsung menyeruput mie gorengnya yang masih mengepul.

“Hmm, enak banget,” gumam Kevin. “Kayak rasanya menang makin lengkap karena ada makanan ini.”

Alina menggigit roti bakarnya pelan. “Kamu gampang banget bahagia ya. Cuma menang tanding sama makan gini aja udah puas.”

Kevin menatap Alina dengan serius sejenak, lalu tersenyum hangat.

“Enggak, Lin. Aku bahagia bukan cuma karena itu,  tapi karena ada kamu yang nemenin hari ini.”

Alina langsung terbatuk kecil, hampir tersedak karena tak menyangka kalimat itu keluar begitu saja. “K-kevin! Jangan ngomong asal deh!”

Kevin tertawa keras, membuat beberapa orang di kantin menoleh. “Haha, kamu lucu banget kalau kaget gitu.”

Alina berusaha menenangkan diri, namun wajahnya tetap merah. Dalam hati, ia sadar bahwa kehadiran Kevin perlahan-lahan mengisi kekosongan yang sempat ia tutup rapat.

Setelah makan, mereka keluar dari kantin. Kevin menyalakan motornya, lalu menoleh ke Alina yang berdiri di samping.

“Lin, aku antar pulang ya.”

Alina mengangguk kecil, dan saat mereka melaju di jalan pulang, angin sore yang sejuk berhembus. Tak ada banyak kata, tapi suasana hening itu terasa nyaman.

Di belakang, Alina menatap punggung Kevin dalam diam. Ada perasaan baru yang muncul, suatu perasaan yang ia pikir sudah lama hilang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Crush Sang Kapten Basket   Libur Yang Usai dan Hati Yang Hancur

    Hari berlibur keluarga Alina nampaknya telah usai. Senja di Puncak perlahan memudar, menyisakan cahaya jingga di balik perkebunan teh yang terhampar luas. Mobil keluarga Alina meluncur pelan melewati jalan menurun yang berliku, sesekali terjebak macet panjang. Klakson bersahut-sahutan, lampu-lampu kendaraan menyalakan jalur gelap yang makin sesak.Di kursi belakang, Alina duduk bersandar di jendela dengan earphone terpasang, tapi lagu yang ia putar sama sekali tak menenangkan hatinya. Pikirannya masih penuh dengan satu wajah yaitu Kevin. Sosok itu muncul berkali-kali, silih berganti dengan bayangan Kevin yang tersenyum sambil merangkul seorang perempuan di pinggir lapangan basket, sebagaimana ia lihat di story WhatsApp senior OSIS kemarin.“Lin, kamu lapar? Mau kita cari makan dulu sebelum sampai Jakarta?” suara ayahnya terdengar dari kursi depan, memecah lamunan.Alina melepas salah satu earphone-nya. “Nggak, Yah. Alina nggak lapar,” jawabnya singkat.Ibu nya yang duduk di samping ay

  • Crush Sang Kapten Basket   Kevin Bersama Siapa

    Udara siang di Puncak terasa segar, semilir angin membawa aroma daun teh yang baru dipetik. Alina berjalan di samping ibunya, sementara ayahnya sibuk mengambil foto pemandangan dengan ponselnya. Mereka bertiga menapaki jalan setapak di antara kebun teh, matahari condong menyinari lembah hijau yang seakan tak berujung.“Indah banget ya, Yah,” kata Alina sambil menatap hamparan daun hijau yang berbaris rapi.“Iya, Lin. Ini tempat yang paling Ayah suka kalau mau menenangkan pikiran,” jawab ayahnya, senyum lega menghiasi wajahnya.Setelah cukup jauh berjalan, mereka menemukan sebuah saung kayu kecil di pinggir kebun. Mereka duduk berteduh di sana, menikmati hembusan angin yang menyejukkan. Ibunya mengeluarkan bekal camilan, sementara ayahnya merebahkan diri sambil menutup mata.Alina duduk sedikit menjauh, ponsel di tangannya ia nyalakan. Awalnya ia hanya berniat membuka pesan, mungkin ada balasan dari Kevin. Rindu yang ia tahan sejak berangkat liburan kini semakin sulit ia kendalikan.Na

  • Crush Sang Kapten Basket   Liburan Ke Puncak

    Setelah makan malam selesai dan meja dirapikan, Kevin berdiri sambil membawa tas ranselnya.“Om, Tante, terima kasih banyak sudah mengizinkan saya makan malam di sini. Maaf merepotkan.” Ia menunduk dengan sopan.Ibunya Alina tersenyum ramah.“Ah, nggak usah sungkan begitu, Vin. Datang lagi aja kapan-kapan, rumah ini selalu terbuka buat kamu.”Kevin mengangguk. “Siap, Tante.”Alina yang berdiri di sampingnya, hanya bisa menatap canggung. Pipinya masih merah, apalagi sejak tadi Kevin terus mendapat pujian dari ayahnya.Kevin lalu menyalami ayah Alina.“Terima kasih juga, Om.”Ayah Alina menggenggam tangan Kevin erat, sambil menatapnya serius.“Vin… saya seneng ada teman yang bisa nemenin Alina. Jaga dia baik-baik ya, kalau lagi di luar.”Kevin sempat terkejut dengan tatapan ayahnya yang hangat tapi tegas. Ia mengangguk mantap.“Siap, Om. Saya akan jaga Alina.”Mendengar itu, Alina hampir tersedak napasnya sendiri.“Yaah! Ayah…” protesnya dengan wajah memerah, tangannya mencubit lengan a

  • Crush Sang Kapten Basket   Kevin Semakin Dekat Dengan Keluarga Alina

    Sore itu motor Kevin berhenti tepat di depan rumah Alina. Suara mesin yang pelan membuat ibunya Alina keluar dari teras, beliau tersenyum ramah begitu melihat siapa yang datang. “Eh, Kevin… pulang bareng lagi sama Alina?” sapa ibu dengan nada hangat. Kevin segera turun dari motor, melepas helm dan sedikit membungkukkan badan. “Iya, Tante. Habis latihan basket, saya ngajak Alina nonton sebentar. Semoga nggak apa-apa ya, Tan.” Alina langsung menyela dengan wajah setengah kesal. “Mama, jangan terlalu percaya. Dia itu sebenarnya ngajak aku ke suatu kantin yang rame banget. Masa disebut nonton?” Ibunya tertawa kecil. “Ya namanya juga anak muda, Lin. Jalan bareng itu udah bikin hati seneng kan?” Alina mendengus sambil masuk ke rumah, meninggalkan Kevin dan ibunya di teras. Kevin berdiri kikuk sejenak, tapi ibunya menepuk bahunya dengan lembut. “Kevin, masuk dulu yuk. Kamu kan pasti capek habis main. Minum dulu di dalam ya.” “Wah, boleh banget Tante. Makasih ya.” Kevin pun

  • Crush Sang Kapten Basket   Menonton Langsung Kevin Bertanding

    Di hari berikutnya pagi itu, udara Jakarta masih terasa segar meski matahari sudah mulai meninggi. Kevin datang ke rumah Alina dengan motor vesmet nya. Ia terlihat berbeda dengan seragam basket biru-putih melekat di tubuhnya, ransel di punggung, dan senyum semangat terpancar.“Lin!” panggil Kevin sambil menyalakan klakson pelan.Alina baru saja selesai sarapan dan masih merapikan rambutnya. Begitu keluar, ia sempat menatap Kevin dari kepala sampai kaki.“Wah… pagi-pagi udah full gear gini. Mau kemana?” tanyanya sambil sedikit mengerutkan dahi.Kevin menepuk ranselnya. “Hari ini ada tanding basket. Kamu ikut yuk? Temenin aku.”Awalnya Alina kaget. “Aku? Serius?”“Ya serius lah. Masa aku mau ngajak siapa lagi,” jawab Kevin, matanya menatap penuh harap.Alina tersenyum kecil, sedikit menahan rasa deg-degan. “Yaudah, tunggu sebentar. Aku ambil jaket dulu.”Tak lama kemudian mereka melaju bersama, Alina di bonceng di belakang Kevin. Jalanan kota masih ramai, tapi perjalanan terasa singkat

  • Crush Sang Kapten Basket   Kevin dan Tentang Masalahnya

    Di hari berikutnya Kevin tak ada kabar, padahal Alina menunggu kedatangan nya kembali. Alina berinisiatif menanyakan kabar nya pagi hari itu.Pagi menjelang siang, udara liburan masih segar. Alina baru saja selesai sarapan ketika ponselnya bergetar di meja.Pesan dari Kevin.“Maaf kemarin nggak datang kerumahmu, aku lagi pusing banget, Lin.”Alina mengerutkan kening. Pusing? Dia ingat, Kevin bukan tipe orang yang gampang mengeluh.Ia mengetik cepat.Alina: “Kenapa? kamu sakit?”Kevin: “Bukan, ini tentang masalah keluarga.”Alina: “Cerita aja Kev. Mungkin aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku mau mendengarkanmu.”Butuh beberapa menit sebelum balasan.Kevin: “Pamanku mau jual rumah kami. Rumah ini peninggalan almarhum ayah dan ibu, tentunya aku sama kakakku nggak mau.”Alina seketika tertegun. Tangannya berhenti mengetik di atas layar ponsel. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Kevin.Tak sampai lima menit kemudian, Alina meneleponnya.“Kev, ini beneran serius?” suara Alina l

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status