Home / Romansa / Crush Sang Kapten Basket / Kevin Semakin Dekat Dengan Keluarga Alina

Share

Kevin Semakin Dekat Dengan Keluarga Alina

Author: Singacala ID
last update Last Updated: 2025-08-26 00:27:59

Sore itu motor Kevin berhenti tepat di depan rumah Alina. Suara mesin yang pelan membuat ibunya Alina keluar dari teras, beliau tersenyum ramah begitu melihat siapa yang datang.

“Eh, Kevin… pulang bareng lagi sama Alina?” sapa ibu dengan nada hangat.

Kevin segera turun dari motor, melepas helm dan sedikit membungkukkan badan.

“Iya, Tante. Habis latihan basket, saya ngajak Alina nonton sebentar. Semoga nggak apa-apa ya, Tan.”

Alina langsung menyela dengan wajah setengah kesal.

“Mama, jangan terlalu percaya. Dia itu sebenarnya ngajak aku ke suatu kantin yang rame banget. Masa disebut nonton?”

Ibunya tertawa kecil. “Ya namanya juga anak muda, Lin. Jalan bareng itu udah bikin hati seneng kan?”

Alina mendengus sambil masuk ke rumah, meninggalkan Kevin dan ibunya di teras.

Kevin berdiri kikuk sejenak, tapi ibunya menepuk bahunya dengan lembut.

“Kevin, masuk dulu yuk. Kamu kan pasti capek habis main. Minum dulu di dalam ya.”

“Wah, boleh banget Tante. Makasih ya.” Kevin pun melangkah masuk.

Di ruang tamu, suasana hangat menyelimuti. Alina duduk di sofa dengan tangan bersedekap, pura-pura fokus pada TV. Sementara ibunya membawa minuman dingin untuk Kevin.

“Ini, Nak. Es teh manis nya. Biar seger lagi,” ucap ibu sambil meletakkan gelas di meja.

Kevin tersenyum sopan. “Terima kasih banyak, Tan. Wah, enak banget.”

Alina melirik sekilas, lalu menghela napas. “Mama, jangan terlalu baik sama dia. Nanti keterusan gimana.”

Ibunya justru tersenyum makin lebar. “Emang kenapa kalau keterusan? Mama lihat Kevin ini anak baik, sopan, rajin, bisa diandalkan. Jujur aja, Mama seneng kalau kamu punya temen kayak Kevin.”

Alina langsung berdiri, wajahnya merah padam. “Ma, jangan ngomong yang aneh-aneh deh. Aku ke kamar dulu!” katanya sambil berlari ke lantai atas.

Kevin hanya bisa nyengir, sedikit canggung tapi juga geli.

“Ehehe… Alina kayaknya nggak suka digoda, ya Tante.”

Ibunya terkekeh. “Ah, itu cuma malu aja. Sebenernya dia tuh seneng kamu sering main ke sini. Mama bisa lihat kok.”

Kevin menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Mudah-mudahan aja gitu, Tan.”

Hari-hari berikutnya Kevin makin sering mampir. Kadang pagi-pagi ia datang hanya untuk ngajak Alina jogging, kadang sore ia muncul dengan alasan ‘numpang belajar bareng’. Yang membuat Alina gemas, ibunya selalu menyambut Kevin dengan tangan terbuka.

Bahkan suatu sore, saat Kevin duduk di ruang tamu menunggu Alina turun, ibunya sempat berbisik sambil tersenyum nakal.

“Kevin, kamu jangan keburu pergi ya. Nanti makan malam di sini aja. Mama mau lihat Alina bisa masakin kamu.”

Kevin terkejut sekaligus salah tingkah. “Eh? Waduh, jangan gitu tante, nanti Alina marah besar.”

Tapi ibunya hanya tertawa kecil. “Biar aja. Mama pengen kalian berdua tambah akrab. Rasanya rumah ini jadi rame lagi kalau kamu ada di sini.”

Di kamar atas, Alina mendengar samar percakapan itu. Wajahnya makin merah, jantungnya berdebar cepat. Ia menggenggam erat bantalnya sambil bergumam pelan:

“Ya ampun Mama… kenapa sih selalu gitu kalau sama Kevin…”

Namun dalam hati kecilnya, Alina sadar bahwa kehadiran Kevin benar-benar mulai membuat rumahnya terasa berbeda. Lebih hidup, lebih hangat.

Sore menjelang malam, aroma tumisan bawang putih dan sup ayam mengepul dari dapur. Alina mondar-mandir sambil menghela napas panjang.

“Mama, seriusan? Suruh aku masakin Kevin? Gimana kalau masakan aku nggak enak?”

Alina berbisik sambil melirik ke ruang tamu, di mana Kevin duduk sopan menunggu.

Ibunya tersenyum.

“Tenang aja, Kevin nggak mungkin komplain. Lagian Mama yakin dia malah seneng.”

Alina hanya mendengus, tapi akhirnya menuruti. Tangannya cekatan mengiris sayuran, lalu menggoreng tempe.

Tak lama, meja makan sudah penuh. Sup ayam, tumis sayur, tempe goreng, sambal kecap sederhana. Kevin membantu menaruh piring ke meja.

“Wah, jadi banyak banget nih, Bu. Harusnya saya nggak usah repot-repot diajak makan.”

Kevin sedikit kikuk.

Ibunya tertawa kecil.

“Kamu jangan sungkan. Anggap rumah sendiri. Lagian, Alina jarang masak buat orang lain, lho. Khusus buat kamu.”

“Mamaaa…” Alina hampir menjatuhkan sendok, wajahnya merah padam.

Kevin nyengir. “Kalau gitu, saya merasa istimewa banget, Lin.”

Baru saja mereka mulai makan, suara pintu depan berderit. Ayah Alina baru pulang kerja, masih dengan kemeja dan dasinya yang agak longgar. Ia melepas sepatu, lalu berjalan ke arah meja makan.

“Ayah pulang…” suaranya berat, sedikit lelah.

Alina menoleh kaget. “Yah?!”

Seketika wajah Kevin juga panik. Ia berdiri sopan, menundukkan kepala.

“Selamat malam, Om.”

Ayah Alina berhenti sejenak, matanya menatap Kevin. “Ini siapa?”

Ibunya langsung menyahut, tenang.

“Oh, ini Kevin. Teman sekolah Alina. Tadi main ke sini, terus sekalian makan malam.”

Alina menunduk, wajahnya merah. Ia takut ayahnya salah paham.

Namun ayahnya tiba-tiba tersenyum. Ia melepas jasnya, lalu duduk di kursi.

“Wah, bagus dong kalau anak saya punya teman yang mau main ke rumah. Kevin, ayo duduk. Makan bareng kita.”

Kevin lega, lalu duduk lagi. “Terima kasih, Om.”

Makan malam pun berlanjut. Ayah Alina sempat menatap tumisan sayur buatan putrinya.

“Lin, ini kamu yang masak?”

Alina gugup. “I-iya, Yah. Tadi Mama yang nyuruh…”

Ayahnya tersenyum bangga. “Bagus. Jadi nanti kalau Ayah sama Mama sudah tua, kamu bisa masakin. Hehehe.”

Kevin menahan tawa, Alina makin malu.

“Cobain juga, Kevin. Enak kan masakan Alina?” Ayahnya sengaja menoleh ke Kevin.

Kevin langsung mengangguk mantap. “Iya, Om. Enak banget. Rasanya kayak masakan rumah yang udah lama saya rindukan.”

Alina melotot kecil ke arah Kevin, tapi diam-diam hatinya terasa hangat.

Setelah makan selesai, Kevin ikut membantu membereskan meja. Ayahnya yang melihat itu mengangguk-angguk puas.

“Anak laki-laki yang mau bantuin beres-beres, jarang sekarang. Saya suka sama sikap kamu, Vin.”

Kevin tersenyum. “Terima kasih, Om.”

Alina hanya bisa menahan degup jantungnya. Malam itu, ia sadar: Kevin tidak hanya makin dekat dengan dirinya, tapi juga mulai diterima oleh keluarganya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Crush Sang Kapten Basket   Liburan Ke Puncak

    Setelah makan malam selesai dan meja dirapikan, Kevin berdiri sambil membawa tas ranselnya.“Om, Tante, terima kasih banyak sudah mengizinkan saya makan malam di sini. Maaf merepotkan.” Ia menunduk dengan sopan.Ibunya Alina tersenyum ramah.“Ah, nggak usah sungkan begitu, Vin. Datang lagi aja kapan-kapan, rumah ini selalu terbuka buat kamu.”Kevin mengangguk. “Siap, Tante.”Alina yang berdiri di sampingnya, hanya bisa menatap canggung. Pipinya masih merah, apalagi sejak tadi Kevin terus mendapat pujian dari ayahnya.Kevin lalu menyalami ayah Alina.“Terima kasih juga, Om.”Ayah Alina menggenggam tangan Kevin erat, sambil menatapnya serius.“Vin… saya seneng ada teman yang bisa nemenin Alina. Jaga dia baik-baik ya, kalau lagi di luar.”Kevin sempat terkejut dengan tatapan ayahnya yang hangat tapi tegas. Ia mengangguk mantap.“Siap, Om. Saya akan jaga Alina.”Mendengar itu, Alina hampir tersedak napasnya sendiri.“Yaah! Ayah…” protesnya dengan wajah memerah, tangannya mencubit lengan a

  • Crush Sang Kapten Basket   Kevin Semakin Dekat Dengan Keluarga Alina

    Sore itu motor Kevin berhenti tepat di depan rumah Alina. Suara mesin yang pelan membuat ibunya Alina keluar dari teras, beliau tersenyum ramah begitu melihat siapa yang datang. “Eh, Kevin… pulang bareng lagi sama Alina?” sapa ibu dengan nada hangat. Kevin segera turun dari motor, melepas helm dan sedikit membungkukkan badan. “Iya, Tante. Habis latihan basket, saya ngajak Alina nonton sebentar. Semoga nggak apa-apa ya, Tan.” Alina langsung menyela dengan wajah setengah kesal. “Mama, jangan terlalu percaya. Dia itu sebenarnya ngajak aku ke suatu kantin yang rame banget. Masa disebut nonton?” Ibunya tertawa kecil. “Ya namanya juga anak muda, Lin. Jalan bareng itu udah bikin hati seneng kan?” Alina mendengus sambil masuk ke rumah, meninggalkan Kevin dan ibunya di teras. Kevin berdiri kikuk sejenak, tapi ibunya menepuk bahunya dengan lembut. “Kevin, masuk dulu yuk. Kamu kan pasti capek habis main. Minum dulu di dalam ya.” “Wah, boleh banget Tante. Makasih ya.” Kevin pun

  • Crush Sang Kapten Basket   Menonton Langsung Kevin Bertanding

    Di hari berikutnya pagi itu, udara Jakarta masih terasa segar meski matahari sudah mulai meninggi. Kevin datang ke rumah Alina dengan motor vesmet nya. Ia terlihat berbeda dengan seragam basket biru-putih melekat di tubuhnya, ransel di punggung, dan senyum semangat terpancar.“Lin!” panggil Kevin sambil menyalakan klakson pelan.Alina baru saja selesai sarapan dan masih merapikan rambutnya. Begitu keluar, ia sempat menatap Kevin dari kepala sampai kaki.“Wah… pagi-pagi udah full gear gini. Mau kemana?” tanyanya sambil sedikit mengerutkan dahi.Kevin menepuk ranselnya. “Hari ini ada tanding basket. Kamu ikut yuk? Temenin aku.”Awalnya Alina kaget. “Aku? Serius?”“Ya serius lah. Masa aku mau ngajak siapa lagi,” jawab Kevin, matanya menatap penuh harap.Alina tersenyum kecil, sedikit menahan rasa deg-degan. “Yaudah, tunggu sebentar. Aku ambil jaket dulu.”Tak lama kemudian mereka melaju bersama, Alina di bonceng di belakang Kevin. Jalanan kota masih ramai, tapi perjalanan terasa singkat

  • Crush Sang Kapten Basket   Kevin dan Tentang Masalahnya

    Di hari berikutnya Kevin tak ada kabar, padahal Alina menunggu kedatangan nya kembali. Alina berinisiatif menanyakan kabar nya pagi hari itu.Pagi menjelang siang, udara liburan masih segar. Alina baru saja selesai sarapan ketika ponselnya bergetar di meja.Pesan dari Kevin.“Maaf kemarin nggak datang kerumahmu, aku lagi pusing banget, Lin.”Alina mengerutkan kening. Pusing? Dia ingat, Kevin bukan tipe orang yang gampang mengeluh.Ia mengetik cepat.Alina: “Kenapa? kamu sakit?”Kevin: “Bukan, ini tentang masalah keluarga.”Alina: “Cerita aja Kev. Mungkin aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku mau mendengarkanmu.”Butuh beberapa menit sebelum balasan.Kevin: “Pamanku mau jual rumah kami. Rumah ini peninggalan almarhum ayah dan ibu, tentunya aku sama kakakku nggak mau.”Alina seketika tertegun. Tangannya berhenti mengetik di atas layar ponsel. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Kevin.Tak sampai lima menit kemudian, Alina meneleponnya.“Kev, ini beneran serius?” suara Alina l

  • Crush Sang Kapten Basket   Hari-hari Bersama Kevin

    Malam itu, setelah Kevin pulang, Alina kembali ke kamarnya. Ia merebahkan diri sambil menatap atap kamarnya, membiarkan pikirannya berkelana. Entah kenapa, wajah Kevin yang tadi tersenyum sambil bercanda di jalan pulang masih terbayang jelas. Tapi ia cepat-cepat mengalihkan pikirannya, mengingat semua luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.Keesokan harinya, suasana rumah Alina tenang. Ayahnya berangkat kerja, ibunya sibuk di dapur, sementara Alina duduk di teras sambil membaca novel. Udara pagi terasa segar, suara burung bercampur dengan aroma wangi kopi yang diseduh ibunya.Tiba-tiba suara motor kembali terdengar di depan pagar.“Aduh… jangan bilang…” gumam Alina sambil melirik.Dan benar saja, Kevin.Bedanya, kali ini dia membawa dua gelas minuman dingin dan sekantong kertas berlogo toko roti terkenal di kota.Kevin melambai,“Pagi, Lin. Aku nggak ngajak jalan kok, cuma mau nitip sarapan.”Alina menatap curiga.“Nitip sarapan? Itu bahasa lain dari ngajak ketemu kan?”Kevin nyengir,

  • Crush Sang Kapten Basket   Momen Indah Bersama Kevin

    Motor Kevin melaju menembus jalanan Jakarta yang sore itu tak terlalu macet. Mereka melewati beberapa jalan kecil hingga akhirnya keluar di sebuah kawasan yang terasa berbeda dari hiruk-pikuk kota. Pepohonan rindang menaungi jalan, udara lebih sejuk, dan di kejauhan mulai terlihat kilauan air yang memantulkan cahaya matahari senja.Begitu mereka sampai, Alina langsung tertegun. Di hadapannya terbentang sebuah waduk luas dengan air yang tenang. Di sekelilingnya, pepohonan hijau berjajar, burung-burung sesekali melintas, dan angin membawa aroma segar yang jarang ia rasakan di tengah padatnya kota.Kevin memarkir motor di dekat jalan setapak menuju tepian waduk.“Wow…” gumam Alina tanpa sadar, matanya berbinar. “Aku nggak nyangka di Jakarta masih ada tempat kayak gini.”Kevin tersenyum kecil, melepas helmnya dan ikut berjalan di samping Alina.“Banyak yang nggak tahu. Aku nemuin tempat ini pas lagi nyari spot buat latihan lari waktu dulu.”Mereka berjalan pelan di tepi air, sesekali omba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status