LOGINMotor Kevin melaju menembus jalanan Jakarta yang sore itu tak terlalu macet. Mereka melewati beberapa jalan kecil hingga akhirnya keluar di sebuah kawasan yang terasa berbeda dari hiruk-pikuk kota. Pepohonan rindang menaungi jalan, udara lebih sejuk, dan di kejauhan mulai terlihat kilauan air yang memantulkan cahaya matahari senja.
Begitu mereka sampai, Alina langsung tertegun. Di hadapannya terbentang sebuah waduk luas dengan air yang tenang. Di sekelilingnya, pepohonan hijau berjajar, burung-burung sesekali melintas, dan angin membawa aroma segar yang jarang ia rasakan di tengah padatnya kota. Kevin memarkir motor di dekat jalan setapak menuju tepian waduk. “Wow…” gumam Alina tanpa sadar, matanya berbinar. “Aku nggak nyangka di Jakarta masih ada tempat kayak gini.” Kevin tersenyum kecil, melepas helmnya dan ikut berjalan di samping Alina. “Banyak yang nggak tahu. Aku nemuin tempat ini pas lagi nyari spot buat latihan lari waktu dulu.” Mereka berjalan pelan di tepi air, sesekali ombak kecil memecah permukaan. Alina berhenti sejenak, menghirup udara dalam-dalam, lalu menatap sekeliling. “Kevin, kamu sering ke sini?” tanyanya sambil tetap menatap waduk. “Lumayan. Kalau lagi capek atau mumet, aku datang ke sini. Rasanya kayak semua beban bisa dibuang ke air.” Kevin menoleh, melihat senyum tipis Alina. “Tapi kali ini aku datang bukan buat buang beban, tapi buat bawa seseorang yang spesial lihat tempat ini.” Alina mengerling sekilas, pura-pura tak terpengaruh. “Hmm… gombal kamu.” Kevin terkekeh. “Serius. Aku cuma pengen kamu tahu, nggak semua yang di Jakarta itu bikin sesak. Ada juga yang bisa bikin hati lega.” Mereka melanjutkan langkah. Angin sore membelai rambut Alina, dan Kevin sempat memandangi diam-diam, menikmati momen langka itu, momen di mana ia bisa membuat Alina tersenyum tanpa terpaksa. Kevin dan Alina akhirnya menemukan sebuah bangku kayu tua yang menghadap langsung ke permukaan waduk. Di sekitarnya, rumput hijau tumbuh liar, dan suara gemericik air terdengar samar dari ujung saluran kecil di sisi kiri. Matahari sudah mulai turun, memandikan air dengan warna oranye keemasan. Mereka duduk bersebelahan. Kevin mencondongkan badan sedikit ke depan, menatap air, sementara Alina merapatkan jaketnya karena angin mulai menusuk. “Dulu…” Kevin membuka suara pelan, “aku nggak pernah mikir kalau satu kesalahan bisa bikin segalanya berubah. Apalagi sampai kehilangan orang yang sangat berarti buat aku.” Alina tak langsung menoleh, hanya menatap garis air yang bergelombang lembut. “Kesalahan itu memang nggak bisa diulang. Yang bisa kita lakuin cuma belajar dari situ.” Kevin mengangguk, meski senyum tipisnya terasa pahit. “Aku nyesel, Al. Bukan cuma karena bikin kamu sakit hati, tapi juga karena aku nggak ada di saat kamu harusnya didukung. Aku malah percaya sama orang yang salah.” Alina menarik napas panjang, lalu menoleh perlahan. Dan mata mereka bertemu. “Aku udah maafin kamu, Kevin. Tapi…” ia berhenti sejenak, “aku nggak bisa balik jadi Alina yang dulu. Aku udah belajar untuk berdiri sendiri. Nggak mau lagi jatuh cuma karena orang lain.” Kevin menatapnya lekat-lekat, lalu mengangguk. “Aku ngerti. Aku nggak mau maksa kamu balik seperti dulu. Aku cuma mau ada di sini. Entah sebagai apa, yang penting kamu tahu aku nggak akan nyakitin kamu lagi.” Alina menunduk, lalu tersenyum samar. “Kalau gitu, kita lihat aja ke depannya gimana.” Angin sore kembali berhembus. Kevin menyandarkan punggung, membiarkan percakapan berhenti di situ. Mereka hanya duduk, memandang matahari yang perlahan tenggelam di balik pepohonan, membiarkan waktu berjalan tanpa terburu-buru. Untuk pertama kalinya sejak lama, hati Alina terasa sedikit lebih ringan. Perjalanan pulang dari waduk terasa berbeda. Kevin memutuskan untuk tidak langsung mengantar Alina ke rumah, tapi belok ke arah sebuah kedai es krim sederhana di pinggir jalan yang terlihat cukup ramai. Lampu neon di depannya berkelap-kelip, memantulkan warna-warni ke aspal yang sedikit basah karena hujan gerimis sore tadi. “Kita berhenti bentar, ya?” kata Kevin sambil tersenyum. Alina mengernyit, penasaran. “Mau ngapain lagi?” Kevin hanya menunjuk papan bertuliskan Es Krim Homemade — 10 Rasa Unik. “Kamu suka es krim, kan?” Alina sempat pura-pura menahan senyum, tapi matanya sudah memancarkan antusiasme. “Ya udah, tapi aku yang pilih rasa, ya.” Tak lama, mereka keluar dari kedai itu masing-masing membawa cup es krim. Alina memilih rasa stroberi cheesecake, sementara Kevin mencoba cokelat kacang karamel. Mereka berjalan pelan di trotoar sambil memakan es krim, motor Kevin diparkir di pinggir jalan. “Hati-hati, ntar tumpah,” Kevin menggoda saat melihat es krim Alina sedikit meleleh. “Eh kamu aja tuh, cokelatnya udah nempel di bibir,” balas Alina sambil menunjuk pipi Kevin. Kevin langsung mengusap wajahnya cepat-cepat, membuat Alina tertawa. Canda tawa itu terus mengalir di sepanjang jalan menuju rumah, seperti dulu sebelum semua masalah datang. Saat sampai di depan rumah, Kevin mematikan mesin motor. Ibunya Alina muncul di teras, tersenyum melihat mereka. “Wah, sudah pulang. Makasih ya, Kevin, udah ajak Alina jalan,” ucap ibunya ramah. “Sama-sama, Tante. Senang bisa ngobrol lagi sama Alina,” jawab Kevin sopan sambil sedikit membungkuk. Setelah pamit, Kevin menyalakan motor dan melaju perlahan, sementara Alina berdiri di depan pagar, memandangnya pergi. Ada rasa aneh yang menghangat di dadanya; bukan seperti dulu, tapi cukup untuk membuatnya sedikit tersenyum sebelum akhirnya masuk ke rumah.Hari berlibur keluarga Alina nampaknya telah usai. Senja di Puncak perlahan memudar, menyisakan cahaya jingga di balik perkebunan teh yang terhampar luas. Mobil keluarga Alina meluncur pelan melewati jalan menurun yang berliku, sesekali terjebak macet panjang. Klakson bersahut-sahutan, lampu-lampu kendaraan menyalakan jalur gelap yang makin sesak.Di kursi belakang, Alina duduk bersandar di jendela dengan earphone terpasang, tapi lagu yang ia putar sama sekali tak menenangkan hatinya. Pikirannya masih penuh dengan satu wajah yaitu Kevin. Sosok itu muncul berkali-kali, silih berganti dengan bayangan Kevin yang tersenyum sambil merangkul seorang perempuan di pinggir lapangan basket, sebagaimana ia lihat di story WhatsApp senior OSIS kemarin.“Lin, kamu lapar? Mau kita cari makan dulu sebelum sampai Jakarta?” suara ayahnya terdengar dari kursi depan, memecah lamunan.Alina melepas salah satu earphone-nya. “Nggak, Yah. Alina nggak lapar,” jawabnya singkat.Ibu nya yang duduk di samping ay
Udara siang di Puncak terasa segar, semilir angin membawa aroma daun teh yang baru dipetik. Alina berjalan di samping ibunya, sementara ayahnya sibuk mengambil foto pemandangan dengan ponselnya. Mereka bertiga menapaki jalan setapak di antara kebun teh, matahari condong menyinari lembah hijau yang seakan tak berujung.“Indah banget ya, Yah,” kata Alina sambil menatap hamparan daun hijau yang berbaris rapi.“Iya, Lin. Ini tempat yang paling Ayah suka kalau mau menenangkan pikiran,” jawab ayahnya, senyum lega menghiasi wajahnya.Setelah cukup jauh berjalan, mereka menemukan sebuah saung kayu kecil di pinggir kebun. Mereka duduk berteduh di sana, menikmati hembusan angin yang menyejukkan. Ibunya mengeluarkan bekal camilan, sementara ayahnya merebahkan diri sambil menutup mata.Alina duduk sedikit menjauh, ponsel di tangannya ia nyalakan. Awalnya ia hanya berniat membuka pesan, mungkin ada balasan dari Kevin. Rindu yang ia tahan sejak berangkat liburan kini semakin sulit ia kendalikan.Na
Setelah makan malam selesai dan meja dirapikan, Kevin berdiri sambil membawa tas ranselnya.“Om, Tante, terima kasih banyak sudah mengizinkan saya makan malam di sini. Maaf merepotkan.” Ia menunduk dengan sopan.Ibunya Alina tersenyum ramah.“Ah, nggak usah sungkan begitu, Vin. Datang lagi aja kapan-kapan, rumah ini selalu terbuka buat kamu.”Kevin mengangguk. “Siap, Tante.”Alina yang berdiri di sampingnya, hanya bisa menatap canggung. Pipinya masih merah, apalagi sejak tadi Kevin terus mendapat pujian dari ayahnya.Kevin lalu menyalami ayah Alina.“Terima kasih juga, Om.”Ayah Alina menggenggam tangan Kevin erat, sambil menatapnya serius.“Vin… saya seneng ada teman yang bisa nemenin Alina. Jaga dia baik-baik ya, kalau lagi di luar.”Kevin sempat terkejut dengan tatapan ayahnya yang hangat tapi tegas. Ia mengangguk mantap.“Siap, Om. Saya akan jaga Alina.”Mendengar itu, Alina hampir tersedak napasnya sendiri.“Yaah! Ayah…” protesnya dengan wajah memerah, tangannya mencubit lengan a
Sore itu motor Kevin berhenti tepat di depan rumah Alina. Suara mesin yang pelan membuat ibunya Alina keluar dari teras, beliau tersenyum ramah begitu melihat siapa yang datang. “Eh, Kevin… pulang bareng lagi sama Alina?” sapa ibu dengan nada hangat. Kevin segera turun dari motor, melepas helm dan sedikit membungkukkan badan. “Iya, Tante. Habis latihan basket, saya ngajak Alina nonton sebentar. Semoga nggak apa-apa ya, Tan.” Alina langsung menyela dengan wajah setengah kesal. “Mama, jangan terlalu percaya. Dia itu sebenarnya ngajak aku ke suatu kantin yang rame banget. Masa disebut nonton?” Ibunya tertawa kecil. “Ya namanya juga anak muda, Lin. Jalan bareng itu udah bikin hati seneng kan?” Alina mendengus sambil masuk ke rumah, meninggalkan Kevin dan ibunya di teras. Kevin berdiri kikuk sejenak, tapi ibunya menepuk bahunya dengan lembut. “Kevin, masuk dulu yuk. Kamu kan pasti capek habis main. Minum dulu di dalam ya.” “Wah, boleh banget Tante. Makasih ya.” Kevin pun
Di hari berikutnya pagi itu, udara Jakarta masih terasa segar meski matahari sudah mulai meninggi. Kevin datang ke rumah Alina dengan motor vesmet nya. Ia terlihat berbeda dengan seragam basket biru-putih melekat di tubuhnya, ransel di punggung, dan senyum semangat terpancar.“Lin!” panggil Kevin sambil menyalakan klakson pelan.Alina baru saja selesai sarapan dan masih merapikan rambutnya. Begitu keluar, ia sempat menatap Kevin dari kepala sampai kaki.“Wah… pagi-pagi udah full gear gini. Mau kemana?” tanyanya sambil sedikit mengerutkan dahi.Kevin menepuk ranselnya. “Hari ini ada tanding basket. Kamu ikut yuk? Temenin aku.”Awalnya Alina kaget. “Aku? Serius?”“Ya serius lah. Masa aku mau ngajak siapa lagi,” jawab Kevin, matanya menatap penuh harap.Alina tersenyum kecil, sedikit menahan rasa deg-degan. “Yaudah, tunggu sebentar. Aku ambil jaket dulu.”Tak lama kemudian mereka melaju bersama, Alina di bonceng di belakang Kevin. Jalanan kota masih ramai, tapi perjalanan terasa singkat
Di hari berikutnya Kevin tak ada kabar, padahal Alina menunggu kedatangan nya kembali. Alina berinisiatif menanyakan kabar nya pagi hari itu.Pagi menjelang siang, udara liburan masih segar. Alina baru saja selesai sarapan ketika ponselnya bergetar di meja.Pesan dari Kevin.“Maaf kemarin nggak datang kerumahmu, aku lagi pusing banget, Lin.”Alina mengerutkan kening. Pusing? Dia ingat, Kevin bukan tipe orang yang gampang mengeluh.Ia mengetik cepat.Alina: “Kenapa? kamu sakit?”Kevin: “Bukan, ini tentang masalah keluarga.”Alina: “Cerita aja Kev. Mungkin aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku mau mendengarkanmu.”Butuh beberapa menit sebelum balasan.Kevin: “Pamanku mau jual rumah kami. Rumah ini peninggalan almarhum ayah dan ibu, tentunya aku sama kakakku nggak mau.”Alina seketika tertegun. Tangannya berhenti mengetik di atas layar ponsel. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Kevin.Tak sampai lima menit kemudian, Alina meneleponnya.“Kev, ini beneran serius?” suara Alina l







