Malam itu, setelah Kevin pulang, Alina kembali ke kamarnya. Ia merebahkan diri sambil menatap atap kamarnya, membiarkan pikirannya berkelana. Entah kenapa, wajah Kevin yang tadi tersenyum sambil bercanda di jalan pulang masih terbayang jelas. Tapi ia cepat-cepat mengalihkan pikirannya, mengingat semua luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.
Keesokan harinya, suasana rumah Alina tenang. Ayahnya berangkat kerja, ibunya sibuk di dapur, sementara Alina duduk di teras sambil membaca novel. Udara pagi terasa segar, suara burung bercampur dengan aroma wangi kopi yang diseduh ibunya. Tiba-tiba suara motor kembali terdengar di depan pagar. “Aduh… jangan bilang…” gumam Alina sambil melirik. Dan benar saja, Kevin. Bedanya, kali ini dia membawa dua gelas minuman dingin dan sekantong kertas berlogo toko roti terkenal di kota. Kevin melambai, “Pagi, Lin. Aku nggak ngajak jalan kok, cuma mau nitip sarapan.” Alina menatap curiga. “Nitip sarapan? Itu bahasa lain dari ngajak ketemu kan?” Kevin nyengir, menyerahkan kantong roti itu. “Ya nggak apa-apa kan? Mumpung libur panjang, aku lagi banyak waktu.” Awalnya Alina ingin menolak, tapi ibunya yang mendengar suara Kevin sudah keluar sambil tersenyum lebar. “Wah, Kevin! Masuk dulu, sarapan bareng aja,” ujar ibunya. Mau tak mau Alina ikut duduk di meja makan. Obrolan pun mengalir, mulai dari cerita Kevin tentang pertandingan basket terakhir, sampai rencananya liburan ke luar kota bersama paman nya. Ia juga sempat bertanya ringan, “Kalau kamu, Lin… liburan panjang gini mau ke mana?” “Di rumah aja,” jawab Alina singkat. Kevin mengangguk, lalu seperti teringat sesuatu. “Kalau gitu boleh nggak besok aku ajak kamu ke suatu tempat lagi? Nggak jauh, cuma buat nyari udara segar. Biar nggak bosan di rumah terus.” Alina menatapnya lama, lalu memalingkan pandangan. “Liat besok aja.” Sepeninggal Kevin, ibunya Alina hanya tersenyum sambil membereskan meja. “Kevin itu kelihatan sungguh-sungguh sama kamu, Lin.” Alina pura-pura tak mendengar, tapi diam-diam dadanya sedikit hangat. Keesokan harinya. Pagi itu udara terasa sejuk, sisa embun masih menempel di daun-daun di halaman rumah Alina. Ia baru saja selesai sarapan ketika suara motor kembali terdengar di depan pagar. Kali ini, Alina sudah tidak kaget, hanya menghela napas dan berdiri untuk mengintip. Benar saja, Kevin sudah berdiri sambil menenteng helm tambahan. “Ayo, Lin. Udah janji kemarin,” serunya dengan semangat. Alina melirik ibunya, berharap mendapat “alasan” untuk tidak pergi. Tapi ibunya malah tersenyum sambil berkata, “Pergi sana, mumpung libur panjang. Nanti sore pulang juga.” Akhirnya Alina keluar dengan langkah setengah malas, menerima helm itu. “Ke mana kita?” “Rahasia dong. Nanti kamu liat sendiri.” Perjalanan pun dimulai. Motor Kevin melaju santai dan lumayan jauh melewati jalan-jalan kecil yang dikelilingi sawah. Udara segar masuk melalui celah helm, membuat Alina diam-diam merasa tenang. Sesekali Kevin melirik lewat spion, memastikan Alina nyaman. Setengah jam kemudian, mereka sampai di sebuah perkebunan teh di pinggiran kota. Hamparan hijau membentang sejauh mata memandang, dengan aroma daun teh yang khas. Jalan setapak di tengah perkebunan itu membuat suasana terasa damai. “Wah…,” Alina tak bisa menahan kekagumannya. Kevin tersenyum puas melihat reaksi itu. “Tau nggak? Aku sengaja ngajak ke sini biar kamu nggak mikirin hal-hal berat. Kadang kita cuma butuh diem, nikmatin udara, dan lupa sebentar sama semuanya.” Mereka berjalan menyusuri jalan setapak, membiarkan angin membelai wajah. Kevin bercerita tentang masa kecilnya yang sering bermain di tempat seperti ini, sementara Alina mendengarkan sambil sesekali menatap hamparan hijau di sekitarnya. Setelah puas berkeliling, mereka duduk di sebuah gazebo kayu. Kevin mengeluarkan dua botol minuman dan sekotak bekal kecil yang ternyata disiapkan ibunya sendiri. Mereka makan sambil bercanda ringan. Alina mulai sedikit terbuka, melempar senyum tipis yang membuat Kevin merasa usahanya tidak sia-sia. Dalam hati, Alina tahu bahwa hubungan mereka tidak akan kembali seperti dulu begitu saja. Tapi ia juga tak bisa memungkiri, Kevin perlahan membuatnya lupa sejenak pada masa-masa kelam itu. Sore menjelang, mereka pulang dengan suasana lebih santai. Di sepanjang perjalanan, Alina tak banyak bicara, tapi di balik helmnya ia menyembunyikan senyum kecil, sesuatu yang sudah lama tak ia rasakan.Hari berlibur keluarga Alina nampaknya telah usai. Senja di Puncak perlahan memudar, menyisakan cahaya jingga di balik perkebunan teh yang terhampar luas. Mobil keluarga Alina meluncur pelan melewati jalan menurun yang berliku, sesekali terjebak macet panjang. Klakson bersahut-sahutan, lampu-lampu kendaraan menyalakan jalur gelap yang makin sesak.Di kursi belakang, Alina duduk bersandar di jendela dengan earphone terpasang, tapi lagu yang ia putar sama sekali tak menenangkan hatinya. Pikirannya masih penuh dengan satu wajah yaitu Kevin. Sosok itu muncul berkali-kali, silih berganti dengan bayangan Kevin yang tersenyum sambil merangkul seorang perempuan di pinggir lapangan basket, sebagaimana ia lihat di story WhatsApp senior OSIS kemarin.“Lin, kamu lapar? Mau kita cari makan dulu sebelum sampai Jakarta?” suara ayahnya terdengar dari kursi depan, memecah lamunan.Alina melepas salah satu earphone-nya. “Nggak, Yah. Alina nggak lapar,” jawabnya singkat.Ibu nya yang duduk di samping ay
Udara siang di Puncak terasa segar, semilir angin membawa aroma daun teh yang baru dipetik. Alina berjalan di samping ibunya, sementara ayahnya sibuk mengambil foto pemandangan dengan ponselnya. Mereka bertiga menapaki jalan setapak di antara kebun teh, matahari condong menyinari lembah hijau yang seakan tak berujung.“Indah banget ya, Yah,” kata Alina sambil menatap hamparan daun hijau yang berbaris rapi.“Iya, Lin. Ini tempat yang paling Ayah suka kalau mau menenangkan pikiran,” jawab ayahnya, senyum lega menghiasi wajahnya.Setelah cukup jauh berjalan, mereka menemukan sebuah saung kayu kecil di pinggir kebun. Mereka duduk berteduh di sana, menikmati hembusan angin yang menyejukkan. Ibunya mengeluarkan bekal camilan, sementara ayahnya merebahkan diri sambil menutup mata.Alina duduk sedikit menjauh, ponsel di tangannya ia nyalakan. Awalnya ia hanya berniat membuka pesan, mungkin ada balasan dari Kevin. Rindu yang ia tahan sejak berangkat liburan kini semakin sulit ia kendalikan.Na
Setelah makan malam selesai dan meja dirapikan, Kevin berdiri sambil membawa tas ranselnya.“Om, Tante, terima kasih banyak sudah mengizinkan saya makan malam di sini. Maaf merepotkan.” Ia menunduk dengan sopan.Ibunya Alina tersenyum ramah.“Ah, nggak usah sungkan begitu, Vin. Datang lagi aja kapan-kapan, rumah ini selalu terbuka buat kamu.”Kevin mengangguk. “Siap, Tante.”Alina yang berdiri di sampingnya, hanya bisa menatap canggung. Pipinya masih merah, apalagi sejak tadi Kevin terus mendapat pujian dari ayahnya.Kevin lalu menyalami ayah Alina.“Terima kasih juga, Om.”Ayah Alina menggenggam tangan Kevin erat, sambil menatapnya serius.“Vin… saya seneng ada teman yang bisa nemenin Alina. Jaga dia baik-baik ya, kalau lagi di luar.”Kevin sempat terkejut dengan tatapan ayahnya yang hangat tapi tegas. Ia mengangguk mantap.“Siap, Om. Saya akan jaga Alina.”Mendengar itu, Alina hampir tersedak napasnya sendiri.“Yaah! Ayah…” protesnya dengan wajah memerah, tangannya mencubit lengan a
Sore itu motor Kevin berhenti tepat di depan rumah Alina. Suara mesin yang pelan membuat ibunya Alina keluar dari teras, beliau tersenyum ramah begitu melihat siapa yang datang. “Eh, Kevin… pulang bareng lagi sama Alina?” sapa ibu dengan nada hangat. Kevin segera turun dari motor, melepas helm dan sedikit membungkukkan badan. “Iya, Tante. Habis latihan basket, saya ngajak Alina nonton sebentar. Semoga nggak apa-apa ya, Tan.” Alina langsung menyela dengan wajah setengah kesal. “Mama, jangan terlalu percaya. Dia itu sebenarnya ngajak aku ke suatu kantin yang rame banget. Masa disebut nonton?” Ibunya tertawa kecil. “Ya namanya juga anak muda, Lin. Jalan bareng itu udah bikin hati seneng kan?” Alina mendengus sambil masuk ke rumah, meninggalkan Kevin dan ibunya di teras. Kevin berdiri kikuk sejenak, tapi ibunya menepuk bahunya dengan lembut. “Kevin, masuk dulu yuk. Kamu kan pasti capek habis main. Minum dulu di dalam ya.” “Wah, boleh banget Tante. Makasih ya.” Kevin pun
Di hari berikutnya pagi itu, udara Jakarta masih terasa segar meski matahari sudah mulai meninggi. Kevin datang ke rumah Alina dengan motor vesmet nya. Ia terlihat berbeda dengan seragam basket biru-putih melekat di tubuhnya, ransel di punggung, dan senyum semangat terpancar.“Lin!” panggil Kevin sambil menyalakan klakson pelan.Alina baru saja selesai sarapan dan masih merapikan rambutnya. Begitu keluar, ia sempat menatap Kevin dari kepala sampai kaki.“Wah… pagi-pagi udah full gear gini. Mau kemana?” tanyanya sambil sedikit mengerutkan dahi.Kevin menepuk ranselnya. “Hari ini ada tanding basket. Kamu ikut yuk? Temenin aku.”Awalnya Alina kaget. “Aku? Serius?”“Ya serius lah. Masa aku mau ngajak siapa lagi,” jawab Kevin, matanya menatap penuh harap.Alina tersenyum kecil, sedikit menahan rasa deg-degan. “Yaudah, tunggu sebentar. Aku ambil jaket dulu.”Tak lama kemudian mereka melaju bersama, Alina di bonceng di belakang Kevin. Jalanan kota masih ramai, tapi perjalanan terasa singkat
Di hari berikutnya Kevin tak ada kabar, padahal Alina menunggu kedatangan nya kembali. Alina berinisiatif menanyakan kabar nya pagi hari itu.Pagi menjelang siang, udara liburan masih segar. Alina baru saja selesai sarapan ketika ponselnya bergetar di meja.Pesan dari Kevin.“Maaf kemarin nggak datang kerumahmu, aku lagi pusing banget, Lin.”Alina mengerutkan kening. Pusing? Dia ingat, Kevin bukan tipe orang yang gampang mengeluh.Ia mengetik cepat.Alina: “Kenapa? kamu sakit?”Kevin: “Bukan, ini tentang masalah keluarga.”Alina: “Cerita aja Kev. Mungkin aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku mau mendengarkanmu.”Butuh beberapa menit sebelum balasan.Kevin: “Pamanku mau jual rumah kami. Rumah ini peninggalan almarhum ayah dan ibu, tentunya aku sama kakakku nggak mau.”Alina seketika tertegun. Tangannya berhenti mengetik di atas layar ponsel. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Kevin.Tak sampai lima menit kemudian, Alina meneleponnya.“Kev, ini beneran serius?” suara Alina l