LOGINHari berikutnya pagi itu langit tampak cerah, meski udara masih membawa embun tipis. Alina baru selesai sarapan dan sedang menyiram tanaman di balkon ketika ibunya memanggil dari ruang tamu.
“Alina, ada tamu, Nak. Cepat turun, ya. Ibu lagi bikin teh dulu di dapur.” Alina mengernyit heran. “Tamu? Siapa, Bu?” “Pokoknya turun dulu aja. Nggak sopan bikin orang nunggu lama-lama.” Dengan langkah santai dan masih mengenakan sweater tipis dan celana santai rumahan, Alina pun berjalan menuruni tangga. Tapi begitu matanya menyapu ruang tamu, ia langsung berhenti di anak tangga keempat. Kevin. Cowok itu duduk santai di sofa ruang tamu dengan senyum ramah. Tapi yang membuat Alina terbelalak bukan karena kehadirannya saja, melainkan penampilannya yang berbeda total. Rambutnya kini rapi dengan potongan undercut bersih, wajahnya segar seolah baru keluar dari majalah gaya hidup remaja. Ia memakai kemeja putih bersih yang dilipat rapi di lengan dan celana bahan gelap. Alina berdiri terpaku beberapa detik. “Pagi, Alina,” sapa Kevin dengan senyum kalem yang jauh dari gaya sok asik biasanya. “Eh… Kamu…?” “Nggak nyangka aku ganteng, ya?” godanya ringan. Alina ingin membalas, tapi sebelum sempat menjawab, ibunya muncul dari dapur membawa nampan berisi teh manis dan camilan. “Nih, teh hangat dulu ya, Kevin. Santai aja, anggap rumah sendiri.” “Makasih banyak, Tante,” jawab Kevin sopan sambil membungkuk sedikit. Ibunya Alina lalu menoleh ke arah putrinya dan berbisik dekat telinganya dengan nada geli. “Tuh, anaknya cakep lho, Lin. Udah ganteng, sopan, niat banget ke sini pagi-pagi. Jangan terlalu jutek ya.” Alina memutar bola matanya dan pura-pura tak mendengar. Wajahnya memerah sedikit. “Ya udah deh, temenin tamunya ya. Ibu ke belakang dulu…” kata ibunya sambil mengedip nakal. Setelah ibunya pergi, Alina berdiri canggung di depan Kevin. “Tumben banget kamu ke sini pagi-pagi. Mau ngapain?” “Mau ketemu kamu.” “Ya, aku lihat itu.” Kevin tertawa kecil. Ia menyesap tehnya sebentar lalu berkata, “Aku ingin ngobrol sebentar. Tapi nggak mau lewat chat, nggak mau cuma ketemu sebentar di sekolah. Aku ingin kamu tahu kalau aku serius, Lin.” Alina duduk di ujung sofa, masih menjaga jarak. “Serius apa?” Kevin menaruh gelas tehnya dan menatap Alina dalam-dalam, kali ini tanpa nada bercanda. “Serius ingin menebus semua kesalahanku. Serius ingin tetap jadi bagian dari hidup kamu. Aku tahu semuanya nggak bisa langsung balik kayak dulu. Tapi kalau aku cuma diam, aku pasti nyesel seumur hidup.” Alina terdiam sejenak. Hatinya mulai berdesir pelan sambil menunduk. “Aku masih nggak yakin bisa percaya kamu lagi, Kev.” “Aku juga nggak yakin bisa sembuhin luka kamu. Tapi aku mau ada di situ, nemenin prosesnya. Kalau kamu izinin.” Alina menatap mata Kevin yang jujur, hangat, dan bukan tatapan anak laki-laki populer yang sok keren di sekolah. Ini tatapan seseorang yang sudah benar-benar belajar dari kesalahan. “Kamu nekat ya datang ke rumah orang pagi-pagi gini…” “Kalau buat kamu, aku bakal jadi lebih nekat lagi.” Alina ingin kesal, tapi bibirnya justru melengkung sedikit. Setengah senyum yang tersungging. Di balik tirai dapur, sang ibu mengintip sambil terkikik sendiri. “Ih, cocok banget sih. Kayak di sinetron-sinetron…” ** Suasana di ruang tamu masih sunyi setelah obrolan tadi. Kevin masih duduk tegak, tangannya menggenggam gelas teh yang tinggal setengah. Ia mengatur napas dalam hati, lalu memberanikan diri membuka suara lagi. “Tante…” ucapnya pelan ke arah dapur. Tak lama, ibunya Alina muncul kembali sambil mengelap tangannya dari air cuci piring. “Ya, Kevin?” Kevin berdiri, sedikit gugup. “Saya mau minta izin… kalau boleh, saya pengin ajak Alina jalan-jalan sebentar, Tante. Nggak jauh, paling cuma ke taman atau tempat makan. Sekalian ngajak ngobrol lebih santai. Tentu kalau Alina juga mau…” Ibunya Alina menoleh ke arah anak gadisnya yang masih duduk menunduk sambil memainkan ujung lengan sweater nya. “Alina, gimana? Kamu mau?” Alina mendesah pelan. Ia sempat melirik Kevin, lalu kembali menatap lantai. “Nggak usah deh, Bu…” “Alina…” potong ibunya, kini dengan nada setengah memaksa tapi lembut, “Sesekali nggak apa-apa. Kamu juga udah terlalu serius akhir-akhir ini. Kasihan Kevin udah datang jauh-jauh loh. Niat baik harus dihargai, ya kan?” Kevin menyambung, “Nggak lama kok, Lin. Kalau kamu nggak nyaman, aku anter pulang kapan aja.” Alina diam sejenak. Dalam hatinya ada tarik-ulur perasaan. Tapi akhirnya… “Ya udah, tunggu sebentar. Aku mandi dulu.” Kevin tersenyum lebar. “Siap! Aku tunggu.” Alina berdiri dan berjalan ke arah tangga tanpa bicara apa-apa lagi. Tapi sebelum benar-benar menghilang ke lantai atas, ia menoleh sebentar ke arah ibunya, memberikan tatapan “jangan ganggu” yang langsung dibalas senyum puas si ibu. Air hangat mengguyur tubuh Alina. Di balik derasnya air, pikirannya melayang ke banyak hal. Rasa sakit, kecewa, perjuangan, dan kini ada sosok Kevin lagi. "Apa benar aku harus kasih dia kesempatan? Atau aku cuma bikin diriku terluka lagi?" Tapi yang jelas, hatinya tidak bisa membohongi, ada rasa penasaran. Ada harapan kecil yang tumbuh diam-diam. Kevin menatap sekeliling rumah, memperhatikan dengan sopan. Ibunya Alina kembali duduk dan tersenyum kepadanya. “Nggak gampang lho, bikin anak saya keluar rumah kalau lagi libur gini.” “Saya juga nggak gampang, Tante, bikin dia buka pintu hati lagi.” Ibu Alina terkekeh geli. “Semoga kamu bisa buat Alina kembali seperti dulu ya, tapi inget kalau kamu lukain dia lagi, saya yang turun tangan.” Ucap ibunya Alina bercanda setengah serius. “Siap, Tante. Saya bener-bener serius kali ini.” Lima belas menit kemudian, Alina muncul dari tangga. Ia mengenakan blouse putih sederhana dan jeans biru muda. Rambutnya masih agak basah dan dibiarkan tergerai. Wajahnya tanpa riasan, tapi justru terlihat semakin alami dan cantik. Kevin sempat terdiam sesaat. “Kamu kelihatan cantik dan segar.” “Udah, jangan gombal. Mau pergi kemana?” “Surprise. Tapi tenang, aman kok.” Alina menatap ibunya sebentar, dan sang ibu hanya mengangguk sambil memberi kode “hati-hati tapi senanglah sedikit”. “Ya udah, ayo. Tapi jangan lama-lama ya.” “Siap!” Kevin membuka pintu pagar, dan Alina menyusul sambil membawa tas kecil. Saat motor Kevin melaju pelan di jalanan kompleks, wajah Alina diterpa angin dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada senyum tipis yang kembali menghiasi wajahnya.Hari berlibur keluarga Alina nampaknya telah usai. Senja di Puncak perlahan memudar, menyisakan cahaya jingga di balik perkebunan teh yang terhampar luas. Mobil keluarga Alina meluncur pelan melewati jalan menurun yang berliku, sesekali terjebak macet panjang. Klakson bersahut-sahutan, lampu-lampu kendaraan menyalakan jalur gelap yang makin sesak.Di kursi belakang, Alina duduk bersandar di jendela dengan earphone terpasang, tapi lagu yang ia putar sama sekali tak menenangkan hatinya. Pikirannya masih penuh dengan satu wajah yaitu Kevin. Sosok itu muncul berkali-kali, silih berganti dengan bayangan Kevin yang tersenyum sambil merangkul seorang perempuan di pinggir lapangan basket, sebagaimana ia lihat di story WhatsApp senior OSIS kemarin.“Lin, kamu lapar? Mau kita cari makan dulu sebelum sampai Jakarta?” suara ayahnya terdengar dari kursi depan, memecah lamunan.Alina melepas salah satu earphone-nya. “Nggak, Yah. Alina nggak lapar,” jawabnya singkat.Ibu nya yang duduk di samping ay
Udara siang di Puncak terasa segar, semilir angin membawa aroma daun teh yang baru dipetik. Alina berjalan di samping ibunya, sementara ayahnya sibuk mengambil foto pemandangan dengan ponselnya. Mereka bertiga menapaki jalan setapak di antara kebun teh, matahari condong menyinari lembah hijau yang seakan tak berujung.“Indah banget ya, Yah,” kata Alina sambil menatap hamparan daun hijau yang berbaris rapi.“Iya, Lin. Ini tempat yang paling Ayah suka kalau mau menenangkan pikiran,” jawab ayahnya, senyum lega menghiasi wajahnya.Setelah cukup jauh berjalan, mereka menemukan sebuah saung kayu kecil di pinggir kebun. Mereka duduk berteduh di sana, menikmati hembusan angin yang menyejukkan. Ibunya mengeluarkan bekal camilan, sementara ayahnya merebahkan diri sambil menutup mata.Alina duduk sedikit menjauh, ponsel di tangannya ia nyalakan. Awalnya ia hanya berniat membuka pesan, mungkin ada balasan dari Kevin. Rindu yang ia tahan sejak berangkat liburan kini semakin sulit ia kendalikan.Na
Setelah makan malam selesai dan meja dirapikan, Kevin berdiri sambil membawa tas ranselnya.“Om, Tante, terima kasih banyak sudah mengizinkan saya makan malam di sini. Maaf merepotkan.” Ia menunduk dengan sopan.Ibunya Alina tersenyum ramah.“Ah, nggak usah sungkan begitu, Vin. Datang lagi aja kapan-kapan, rumah ini selalu terbuka buat kamu.”Kevin mengangguk. “Siap, Tante.”Alina yang berdiri di sampingnya, hanya bisa menatap canggung. Pipinya masih merah, apalagi sejak tadi Kevin terus mendapat pujian dari ayahnya.Kevin lalu menyalami ayah Alina.“Terima kasih juga, Om.”Ayah Alina menggenggam tangan Kevin erat, sambil menatapnya serius.“Vin… saya seneng ada teman yang bisa nemenin Alina. Jaga dia baik-baik ya, kalau lagi di luar.”Kevin sempat terkejut dengan tatapan ayahnya yang hangat tapi tegas. Ia mengangguk mantap.“Siap, Om. Saya akan jaga Alina.”Mendengar itu, Alina hampir tersedak napasnya sendiri.“Yaah! Ayah…” protesnya dengan wajah memerah, tangannya mencubit lengan a
Sore itu motor Kevin berhenti tepat di depan rumah Alina. Suara mesin yang pelan membuat ibunya Alina keluar dari teras, beliau tersenyum ramah begitu melihat siapa yang datang. “Eh, Kevin… pulang bareng lagi sama Alina?” sapa ibu dengan nada hangat. Kevin segera turun dari motor, melepas helm dan sedikit membungkukkan badan. “Iya, Tante. Habis latihan basket, saya ngajak Alina nonton sebentar. Semoga nggak apa-apa ya, Tan.” Alina langsung menyela dengan wajah setengah kesal. “Mama, jangan terlalu percaya. Dia itu sebenarnya ngajak aku ke suatu kantin yang rame banget. Masa disebut nonton?” Ibunya tertawa kecil. “Ya namanya juga anak muda, Lin. Jalan bareng itu udah bikin hati seneng kan?” Alina mendengus sambil masuk ke rumah, meninggalkan Kevin dan ibunya di teras. Kevin berdiri kikuk sejenak, tapi ibunya menepuk bahunya dengan lembut. “Kevin, masuk dulu yuk. Kamu kan pasti capek habis main. Minum dulu di dalam ya.” “Wah, boleh banget Tante. Makasih ya.” Kevin pun
Di hari berikutnya pagi itu, udara Jakarta masih terasa segar meski matahari sudah mulai meninggi. Kevin datang ke rumah Alina dengan motor vesmet nya. Ia terlihat berbeda dengan seragam basket biru-putih melekat di tubuhnya, ransel di punggung, dan senyum semangat terpancar.“Lin!” panggil Kevin sambil menyalakan klakson pelan.Alina baru saja selesai sarapan dan masih merapikan rambutnya. Begitu keluar, ia sempat menatap Kevin dari kepala sampai kaki.“Wah… pagi-pagi udah full gear gini. Mau kemana?” tanyanya sambil sedikit mengerutkan dahi.Kevin menepuk ranselnya. “Hari ini ada tanding basket. Kamu ikut yuk? Temenin aku.”Awalnya Alina kaget. “Aku? Serius?”“Ya serius lah. Masa aku mau ngajak siapa lagi,” jawab Kevin, matanya menatap penuh harap.Alina tersenyum kecil, sedikit menahan rasa deg-degan. “Yaudah, tunggu sebentar. Aku ambil jaket dulu.”Tak lama kemudian mereka melaju bersama, Alina di bonceng di belakang Kevin. Jalanan kota masih ramai, tapi perjalanan terasa singkat
Di hari berikutnya Kevin tak ada kabar, padahal Alina menunggu kedatangan nya kembali. Alina berinisiatif menanyakan kabar nya pagi hari itu.Pagi menjelang siang, udara liburan masih segar. Alina baru saja selesai sarapan ketika ponselnya bergetar di meja.Pesan dari Kevin.“Maaf kemarin nggak datang kerumahmu, aku lagi pusing banget, Lin.”Alina mengerutkan kening. Pusing? Dia ingat, Kevin bukan tipe orang yang gampang mengeluh.Ia mengetik cepat.Alina: “Kenapa? kamu sakit?”Kevin: “Bukan, ini tentang masalah keluarga.”Alina: “Cerita aja Kev. Mungkin aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku mau mendengarkanmu.”Butuh beberapa menit sebelum balasan.Kevin: “Pamanku mau jual rumah kami. Rumah ini peninggalan almarhum ayah dan ibu, tentunya aku sama kakakku nggak mau.”Alina seketika tertegun. Tangannya berhenti mengetik di atas layar ponsel. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Kevin.Tak sampai lima menit kemudian, Alina meneleponnya.“Kev, ini beneran serius?” suara Alina l







