Share

TUJUH

Author: brokolying
last update Last Updated: 2025-08-07 23:23:51

Casa yang tadinya bisa membawa diri dengan luwes ketika harus mendampingi Pak Pur berbicara dengan Pak Darmawan dan istrinya, kini diam beribu bahasa. Baginya, pada posisi dan situasi itu, biarlah Utara yang menjawab semua pertanyaan-pertanyaan penting. Sedang dia? Dia hanya akan menjawab seadaanya. Memvalidasi. Di situasi ini, fakta adalah apapun yang keluar dari mulut Utara.

“Sudah sembilan bulan sejak kami berdua punya hubungan, Pah,” jawab Utara luwes, membuat Casa nyaris geleng-geleng kepala.

“Sembilan bulan dan kamu nggak punya pemikiran kenalkan pacarmu ke kami sebelumnya?”

“Papa tahu sendiri kerjaan Utara seperti apa. Jangankan untuk kenalin ke kalian. Kita berdua aja jarang ketemu karena sama-sama sibuk,”

“Alasan macam apa itu Utara?”

“Lagian kenapa harus dipermasalahin sih? Kalian nyuruh Utara bawa pacar Utara. Sudah Utara lakuin. Sekarang apa lagi?”

Casa lagi-lagi melihat bagaimana ketegangan antara Papa dan anak itu. Membuatnya gusar bukan main. Akhirnya dia memutuskan untuk melakukan sesuatu. Apapun untuk meredakan situasi itu. Termasuk menggenggam tangan Utara. Lagi. Meremasnya juga. Lagi.

“Mas…” Bisik Casa. Menarik emosi Utara.

Belum sempat Casa melanjutkan kalimatnya, untungnya mama Utara yang Casa lupa namanya itu mengambil alih situasi.

“Udahlah Pah. Benar kata Utara. Yang penting kan sekarang dia udah kenalin Casa,” tegas Nyonya Darmawan berusaha menenangkan suaminya. Dan berhasil. “Masa kamu mau bersitegang di keadaan seperti ini? Nggak enak sama pacar Utara,” sambungnya menatap bagaimana Casa juga meremas tangan anaknya agar tidak terpancing emosi. Entah kenapa pemandangan itu berhasil meyakinkannya bahwa gadis itu memang kekasih anaknya.

Dan berhasil. Pak Darmawan berhasil mengontrol dirinya kembali. Sadar bahwa ini benar-benar bukan waktu yang tepat untuk berdebat dengan anak semata wayangnya yang susah dia temui itu.

Tapi, sisa dari perdebatan tadi masih menggantung di udara, seperti asap yang belum sepenuhnya hilang.

Hingga pintu ruangan terbuka. Seorang dokter muda berkacamata melangkah keluar menghampiri mereka, mengenakan jas putih yang tampak sedikit ketat untuk tubuhnya yang berotot, tapi suaranya tenang dan jelas.

“Maaf sudah menunggu lama Bapak, Ibu. Jadi saya hanya mau menyampaikan bahwa kondisi Nyonya Kirana sudah cukup stabil, Alhamdulillah. Keluarga juga sudah bisa menjenguk, tapi saya sarankan jangan ramean dulu ya Pak, Bu. Ditakutkan beliau memaksakan diri untuk ngobrol banyak, yang sangat nggak saya sarankan untuk pasien yang sedang recovery,” jelas Dokter itu dengan wajar penuh senyum.

“Alhamdulillah, terima kasih banyak Dok,” Pak Darmawan maju dan menjabat tangan dokter itu dengan penuh kelegaan. Sebelum dia berbalik ke arah anaknya. “Bawa Casa masuk ketemu Eyang,” titahnya dengan suara pelan tapi entah bagaimana masih terdengar begitu tegas.

Utara mengangguk dan berdiri dari kursinya. Dia berbalik menatap Casa ragu. Tapi gadis itu, walaupun dia tau Casa sedang kebingungan dan ingin memberontak, gadis itu tetap tersenyum di hadapan Utara. Di hadapan orang tua Utara. Membuatnya merasa bersalah. Terlebih saat Casa mengangguk dan ikut berdiri di sampingnya. Siap melangkah di sisi Utara.

“Yuk?” ajak Casa yang sekali lagi mengangguk ringan. “Om, Tante, Casa izin masuk dulu ya,” tambahnya sambil sedikit membungkuk ke pak Darmawan dan istrinya.

Mereka berdua berjalan pelan. Tanpa ngobrol. Diam. Utara tidak membuka obrolan apapun, apalagi Casa. Tapi sesaat ebelum melangkahkan kakinya masuk menyusul Utara ke ruangan itu, Casa berdoa. Untuk kewarasannya. Kesabarannya. Karena siapa yang tahu keadaan apa lagi yang akan Utara ciptakan di dalam sana.

“Utaraaaa… Cucu Eyang….” Ucap seorang wanita yang tengah berbaring di ranjang dengan selimut pink muda. Beberapa alat atau mesin medis terpasang padanya. Sapaan pada cucunya itu seketika terganti saat melihat seseorang yang muncul di belakang Utara. “Oh akhirnya. Casaaaa. My Casa. Mrene Nduk..”

Mendengar itu, Casa dan Utara sontak saling bertatapan. Tanpa mendengar pria itu berbicara sepatah katapun, Casa bisa melihat Utara berteriak minta tolong hanya dengan menatap matanya.

Casa berjalan. Melewati Utara. Mendekati ranjang perawatan eyangnya. Wanita yang seharusnya tidak mendapat semua kebohongan ini.

“Eyang, maafin Casa baru sempet dateng,” ucap Casa seusai menyalim dan mencium tangan Eyang Utara itu.

“Ora apa-apa Cah Ayu. Yang penting kan sekarang kamu di sini jengukin Eyang. Terima kasih ya,” sambung wanita itu sambil mengelus salah satu punggung tangan Casa. Pacar cucunya.

“Eyang, kok bisa sampai kambuh gini sih?” Utara mengambil alih obrolan itu. dia maju untuk memeluk eyangnya, di sisi yang berlawanan dengan Casa. “Utara kan udah bilang, Eyang jangan capai-capai. Jangan stres-stres. Mikirin apa sih?”

“Mikirin cucu Eyang. Kira-kira nikahnya kapan,”

Mendengar itu, tidak hanya Utara, Casa lebih dulu melotot. Dia menatap Utara yang terang-terangan menghindari tatapannya. Kali ini, harusya gantian Utara yang menolongnya.

Bagi Casa, di situasi ini, Utara harus mengatakan apapun tentang ketidaksiapannya dengan sebuah pernikahan. Casa tidak mau, wanita tua itu berharap jauh pada hubungan yang tidak lebih dari kebohongan besar ini.

Tapi tidak. Di mata Casa, pria itu terlihat seperti tidak terbebani dengan kalimat Eyangnya barusan.

“Doain aja Eyang. Kalau memang sudah waktunya Utara menikah, Utara pasti akan menikah,” jawab Utara berusaha menenangkan. Menurutnya, kalimat barusan harusnya cukup untuk eyangnya.

“Kamu tunggu apa lagi, le? Pekerjaan udah ada. Pacar udah ada. Apa lagi sayang?”

“Nikah nggak cukup modal mapan sama pacar aja Eyang,” jawab Utara entah menyelamatkan dirinya, atau menyelamatkan Casa.

“Cukup. Cukupkan Casa?” si Eyang berbalik menatap Casa. Bertanya. Casa jelas tidak memiliki jawaban apapun padanya. “Eyang udah tua, Nduk,” sambung Eyang lagi. Menambah beban pikiran gadis malang itu.

“Soal nikah, biar waktu yang jawab Eyang,” jawab Casa sebisanya. Berharap tidak ada pertanyaan tambahan tentang topik ini.

No, Nduk. Soal nikah, harus kamu yang jawab. Bukan waktu. Kamu tinggal jawab mau, besok Eyang lamar kamu buat cucu Eyang. Gimana Nduk? Siap?”

“H..hah? Besok Eyang?” Casa terbata. “Mas?” Matanya lurus menatap Utara yang terlihat nggak kalah kaget dan paniknya.

“K..kamu siap?” Utara gagap.

“HHHAHHH?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   SEBELAS

    Utara terkejut, Casa tidak. Gadis itu hanya berdiri sebentar, lalu melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. Tenang. Tanpa suara.Utara tersentak. Reflek melepaskan pelukannya. Arini yang sadar mereka tidak berduaan lagi, juga melepaskan pelukannya. Dia berbalik. Menatap wanita yang paling dia benci saat ini.Casa hanya berjalan ke meja rias, duduk pelan, dan mulai membuka satu per satu perintilan di rambutnya. Dari jepit mutiara, bunga kecil, dan hiasan kepala yang sejak pagi menempel di sanggulnya.“Casa…” suara Utara pelan, nyaris seperti bisikan.Casa tidak menoleh. Dia melanjutkan kegiatannya seolah-olah yang barusan dia lihat itu adalah sebuah kewajaran dan bisa dia maklumi.“Tolong, kalian lanjutin apapun yang sedang kalian lakuin di ruangan lain, ya. Aku mau ganti pakaian.” Tidak ada kemarahan. Tidak ada air mata. Hanya permintaan sederhana dari seorang perempuan yang tahu batas dirinya.Utara diam sejenak, lalu mengangguk. Ia menggenggam tangan Arini dan membawanya kel

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   SEPULUH

    Acara makan malam telah usai. Piring-piring kosong sudah dikumpulkan oleh petugas katering, gelas-gelas anggur tinggal separuh, dan obrolan mulai berubah dari tawa menjadi bisikan. Di halaman belakang villa, Casa masih mengenakan kebaya putih, sedang Utara berdiri di dekat kursi roda Eyangnya dengan jas yang tidak lagi dia kenakan. Hanya tersisa kemeja yang berwarna senada dengan kebaya yang dikenakan istrinya.“Casa, Utara, terima kasih ya untuk hari ini. Eyang bahagia melihat cucu-cucu Eyang akhirnya sah jadi sepasang suami istri. Mugi bebrayanipun tansah langgeng, pinaringan katresnan, katentreman, rahayu, saha kabegjan ing salami-laminipun. Eyang tansah ndongakaké supados kowe loro tansah rukun lan padha ngreksa tresna nganti tuwa," ucap Eyang Utara sambil menggenggam kedua tangan pasangan baru itu. Utara mengangguk, kemudian diikutin Casa. Dia nggak ngerti Eyang Utara ngomong apa, tapi harusnya itu doa baik. Layak diamini.Dan setelah itu, pak Darmawan dan beberapa saudaranya, ju

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   SEMBILAN

    Satu minggu.Casa dan Utara hanya diberi satu minggu untuk mengurus semua berkas-berkas yang mereka butuhkan untuk pernikahan.Pagi itu, udara di Puncak terasa sejuk dan lembut, seperti selimut tipis yang menyelimuti villa tempat pernikahan Casa dan Utara akan berlangsung. Kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan pinus, sementara halaman belakang villa yang luas mulai dipenuhi suara langkah para vendor dan kru yang sibuk menyiapkan kursi, bunga, dan meja untuk akad.Sedang di kejauhan, suara alam bersahutan pelan. Angin menyisir dedaunan, burung-burung berkicau malu-malu, seolah tahu bahwa hari ini bukan hari biasa.Villa itu bergaya semi modern, dengan sentuhan kayu hangat dan jendela-jendela besar yang menghadap langsung ke lembah. Di salah satu kamar lantai atas, Casa duduk diam di depan cermin besar berbingkai lampu-lampu. Ruangan itu cukup luas, dengan dinding berwarna krem dan lantai kayu yang mengilap juga dingin.Gadis itu sudah mengenakan gaun kebaya berwarna putih ga

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   DELAPAN

    Siapa yang menyangka kalau dirinya akan dihadapkan dengan pertanyaan siap tidaknya untuk menikah, semendadak ini? Casa sih nggak ya. Nggak banget. Apa lagi pertanyaan itu datang dari sosok yang tidak pernah terlintas di imajinasinya tentang masa depan. Sekalipun.Casa menatap Utara tidak percaya saat mereka berdua berhasil melarikan diri dari kamar rawat eyangnya. Thank to Pak Darmawan dan istrinya yang masuk ke kamar itu saat pertanyaan krusial tersebut diterima Casa.“Gila! Kamu bener-bener udah gila!” serang Casa, sambil melipat kedua tangannya di depan dada.“Kamu tenang dulu bisa nggak? Biar aku yang pikirin soal ini,”“Oh ya? Terus apa? Gimana? Kamu nggak denger tadi Eyang kamu nanya apa ke aku? Kamu nggak denger Eyang kamu ngomong maunya apa?”Utara terlihat diam. Matanya melihat sekeliling, kecuali ke mata Casa. Entah jalan keluar yang seperti apa yang sedang dia cari. Tapi semoga saja ketemu. Karena Casa, nggak bakal mau berbohong sejauh itu.“Berapa?”Mungkin bagi Businessma

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   TUJUH

    Casa yang tadinya bisa membawa diri dengan luwes ketika harus mendampingi Pak Pur berbicara dengan Pak Darmawan dan istrinya, kini diam beribu bahasa. Baginya, pada posisi dan situasi itu, biarlah Utara yang menjawab semua pertanyaan-pertanyaan penting. Sedang dia? Dia hanya akan menjawab seadaanya. Memvalidasi. Di situasi ini, fakta adalah apapun yang keluar dari mulut Utara.“Sudah sembilan bulan sejak kami berdua punya hubungan, Pah,” jawab Utara luwes, membuat Casa nyaris geleng-geleng kepala.“Sembilan bulan dan kamu nggak punya pemikiran kenalkan pacarmu ke kami sebelumnya?”“Papa tahu sendiri kerjaan Utara seperti apa. Jangankan untuk kenalin ke kalian. Kita berdua aja jarang ketemu karena sama-sama sibuk,”“Alasan macam apa itu Utara?”“Lagian kenapa harus dipermasalahin sih? Kalian nyuruh Utara bawa pacar Utara. Sudah Utara lakuin. Sekarang apa lagi?”Casa lagi-lagi melihat bagaimana ketegangan antara Papa dan anak itu. Membuatnya gusar bukan main. Akhirnya dia memutuskan unt

  • DARI BENCI JADI PASUTRI   ENAM

    Di bawah sorot lampu putih pucat di ruang tunggu rumah sakit yang berhawa seperti freezer itu, Utara berdiri membatu. Rambut kusutnya dia sisir dengan jari-jarinya sendiri, dan lengan kemejanya terlipat tak simetris. Wajahnya letih, seakan puluhan jam telah dilalui dalam tiga puluh menit belakangan untuk menyusuri setiap lorong, bertanya pada setiap petugas, berdebar oleh kemungkinan buruk yang tak henti melayang, bagaimana kalau dia tidak bisa menemukan Casa?Tapi kini, di hadapannya, Casa berdiri tanpa tahu apa yang baru saja dia lakukan. Gadis yang tengah memenuhi kepalanya, kini nyata di depannya. Tertawa pelan sambil berbincang dengan kedua orang tuanya, juga seseorang lagi yang tidak dikenalnya.Utara lega, tapi merinding dengan kebetulan luar biasa itu.Sedang di sisi lain, Casa seperti menyusut ketika mata mereka bertemu di udara. Suara-suara hilang, detail-detail ruangan kabur. Yang tersisa hanya tatapan Utara. Yang penuh amarah tapi juga kelegaan.Jantungnya berdebar. Bukan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status