Utara terkejut, Casa tidak. Gadis itu hanya berdiri sebentar, lalu melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. Tenang. Tanpa suara.Utara tersentak. Reflek melepaskan pelukannya. Arini yang sadar mereka tidak berduaan lagi, juga melepaskan pelukannya. Dia berbalik. Menatap wanita yang paling dia benci saat ini.Casa hanya berjalan ke meja rias, duduk pelan, dan mulai membuka satu per satu perintilan di rambutnya. Dari jepit mutiara, bunga kecil, dan hiasan kepala yang sejak pagi menempel di sanggulnya.“Casa…” suara Utara pelan, nyaris seperti bisikan.Casa tidak menoleh. Dia melanjutkan kegiatannya seolah-olah yang barusan dia lihat itu adalah sebuah kewajaran dan bisa dia maklumi.“Tolong, kalian lanjutin apapun yang sedang kalian lakuin di ruangan lain, ya. Aku mau ganti pakaian.” Tidak ada kemarahan. Tidak ada air mata. Hanya permintaan sederhana dari seorang perempuan yang tahu batas dirinya.Utara diam sejenak, lalu mengangguk. Ia menggenggam tangan Arini dan membawanya kel
Acara makan malam telah usai. Piring-piring kosong sudah dikumpulkan oleh petugas katering, gelas-gelas anggur tinggal separuh, dan obrolan mulai berubah dari tawa menjadi bisikan. Di halaman belakang villa, Casa masih mengenakan kebaya putih, sedang Utara berdiri di dekat kursi roda Eyangnya dengan jas yang tidak lagi dia kenakan. Hanya tersisa kemeja yang berwarna senada dengan kebaya yang dikenakan istrinya.“Casa, Utara, terima kasih ya untuk hari ini. Eyang bahagia melihat cucu-cucu Eyang akhirnya sah jadi sepasang suami istri. Mugi bebrayanipun tansah langgeng, pinaringan katresnan, katentreman, rahayu, saha kabegjan ing salami-laminipun. Eyang tansah ndongakaké supados kowe loro tansah rukun lan padha ngreksa tresna nganti tuwa," ucap Eyang Utara sambil menggenggam kedua tangan pasangan baru itu. Utara mengangguk, kemudian diikutin Casa. Dia nggak ngerti Eyang Utara ngomong apa, tapi harusnya itu doa baik. Layak diamini.Dan setelah itu, pak Darmawan dan beberapa saudaranya, ju
Satu minggu.Casa dan Utara hanya diberi satu minggu untuk mengurus semua berkas-berkas yang mereka butuhkan untuk pernikahan.Pagi itu, udara di Puncak terasa sejuk dan lembut, seperti selimut tipis yang menyelimuti villa tempat pernikahan Casa dan Utara akan berlangsung. Kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan pinus, sementara halaman belakang villa yang luas mulai dipenuhi suara langkah para vendor dan kru yang sibuk menyiapkan kursi, bunga, dan meja untuk akad.Sedang di kejauhan, suara alam bersahutan pelan. Angin menyisir dedaunan, burung-burung berkicau malu-malu, seolah tahu bahwa hari ini bukan hari biasa.Villa itu bergaya semi modern, dengan sentuhan kayu hangat dan jendela-jendela besar yang menghadap langsung ke lembah. Di salah satu kamar lantai atas, Casa duduk diam di depan cermin besar berbingkai lampu-lampu. Ruangan itu cukup luas, dengan dinding berwarna krem dan lantai kayu yang mengilap juga dingin.Gadis itu sudah mengenakan gaun kebaya berwarna putih ga
Siapa yang menyangka kalau dirinya akan dihadapkan dengan pertanyaan siap tidaknya untuk menikah, semendadak ini? Casa sih nggak ya. Nggak banget. Apa lagi pertanyaan itu datang dari sosok yang tidak pernah terlintas di imajinasinya tentang masa depan. Sekalipun.Casa menatap Utara tidak percaya saat mereka berdua berhasil melarikan diri dari kamar rawat eyangnya. Thank to Pak Darmawan dan istrinya yang masuk ke kamar itu saat pertanyaan krusial tersebut diterima Casa.“Gila! Kamu bener-bener udah gila!” serang Casa, sambil melipat kedua tangannya di depan dada.“Kamu tenang dulu bisa nggak? Biar aku yang pikirin soal ini,”“Oh ya? Terus apa? Gimana? Kamu nggak denger tadi Eyang kamu nanya apa ke aku? Kamu nggak denger Eyang kamu ngomong maunya apa?”Utara terlihat diam. Matanya melihat sekeliling, kecuali ke mata Casa. Entah jalan keluar yang seperti apa yang sedang dia cari. Tapi semoga saja ketemu. Karena Casa, nggak bakal mau berbohong sejauh itu.“Berapa?”Mungkin bagi Businessma
Casa yang tadinya bisa membawa diri dengan luwes ketika harus mendampingi Pak Pur berbicara dengan Pak Darmawan dan istrinya, kini diam beribu bahasa. Baginya, pada posisi dan situasi itu, biarlah Utara yang menjawab semua pertanyaan-pertanyaan penting. Sedang dia? Dia hanya akan menjawab seadaanya. Memvalidasi. Di situasi ini, fakta adalah apapun yang keluar dari mulut Utara.“Sudah sembilan bulan sejak kami berdua punya hubungan, Pah,” jawab Utara luwes, membuat Casa nyaris geleng-geleng kepala.“Sembilan bulan dan kamu nggak punya pemikiran kenalkan pacarmu ke kami sebelumnya?”“Papa tahu sendiri kerjaan Utara seperti apa. Jangankan untuk kenalin ke kalian. Kita berdua aja jarang ketemu karena sama-sama sibuk,”“Alasan macam apa itu Utara?”“Lagian kenapa harus dipermasalahin sih? Kalian nyuruh Utara bawa pacar Utara. Sudah Utara lakuin. Sekarang apa lagi?”Casa lagi-lagi melihat bagaimana ketegangan antara Papa dan anak itu. Membuatnya gusar bukan main. Akhirnya dia memutuskan unt
Di bawah sorot lampu putih pucat di ruang tunggu rumah sakit yang berhawa seperti freezer itu, Utara berdiri membatu. Rambut kusutnya dia sisir dengan jari-jarinya sendiri, dan lengan kemejanya terlipat tak simetris. Wajahnya letih, seakan puluhan jam telah dilalui dalam tiga puluh menit belakangan untuk menyusuri setiap lorong, bertanya pada setiap petugas, berdebar oleh kemungkinan buruk yang tak henti melayang, bagaimana kalau dia tidak bisa menemukan Casa?Tapi kini, di hadapannya, Casa berdiri tanpa tahu apa yang baru saja dia lakukan. Gadis yang tengah memenuhi kepalanya, kini nyata di depannya. Tertawa pelan sambil berbincang dengan kedua orang tuanya, juga seseorang lagi yang tidak dikenalnya.Utara lega, tapi merinding dengan kebetulan luar biasa itu.Sedang di sisi lain, Casa seperti menyusut ketika mata mereka bertemu di udara. Suara-suara hilang, detail-detail ruangan kabur. Yang tersisa hanya tatapan Utara. Yang penuh amarah tapi juga kelegaan.Jantungnya berdebar. Bukan