Bab. 1
"Mas!"
Mataku terbelalak melihat saldo tabungan yang sengaja aku cek melalui Mobile Banking. Reflek aku memanggil Mas Haris. Tanganku masih gemetaran memegang gawai. Jantungku mau melompat-lompat rasanya. "Jangan-jangan rekeningku kebobolan orang tak bertanggung-jawab," pikirku.
Mas Haris segera menghampiriku yang masih membeku di samping wastafel dapur. Mataku tak berkedip terfokus pada aplikasi salah satu bank di layar bening itu.
"Ada apa, sih?" Dia datang dengan setengah berlari. Aku mendongak ke arahnya, "Uangku hilang, Mas!" Air mataku mulai menetes.
"Uang apa?"
"Saldo di rekeningku habis!" teriakku sambil menangis. Beberapa hari ini, hape Mas yang pegang, kan? Apa nggak ada notifikasi apa-apa? Ya, Allah...!" Aku masih terisak. Lututku lemas. Bukan jumlah uang yang sedikit. Hampir empat puluh juta, sisa sejuta, doang!
"Owh, itu? Aku yang ambil kemarin." jawabnya santai.
"Apa?! Buat apa? Kenapa nggak ngomong?! Itu bukan uang sedikit, Mas!" Aku meradang mendengar jawaban suamiku yang sudah hampir tujuh tahun hidup bersamaku itu. Bisa-bisanya dia melakukan itu tanpa persetujuanku. Padahal itu uangku--hasil dari usahaku membuka rumah makan.
"Tenang aja, besok aku ganti!" katanya datar tanpa rasa bersalah.
"Ganti pakai apa?! Mas, kamu itu enggak kerja. Utang mas yang dulu aja belum lunas. Aku juga yang bayar tiap bulannya, kan?! Kalau duit ini Mas habisin, besok yang buat ngangsut utangmu apa? Hah?! Mikir, Mas! Katakan, duit itu buat apa? Hah?! Aku mencecarnya. Tangisku semakin menjadi. Di kepalaku sudah penuh berbagai macam tagihan bulanan yang harus kubayar dengan apa jika tabungan saja aku tak punya. "Ya, Allah ... tega banget kamu, Mas!" desahku sambil mengusap air mata dan ingusku yang mengalir deras.
"Biasa aja kenapa, besok aku ganti! Besok pinjamanku dari temen bakal cair. Seratus juta! Yang empat puluh aku kasih ke kamu. Yang enam puluh aku mau bikin usaha onderdil motor." ujarnya sambil membelakangiku. Aku masih bersimpuh berlinang air mata.
"Uang itu kamu ambil buat apa?" tanyaku lirih, seperti sudah kehilangan tenaga. Aku sadar, masalah besar sedang mengintaiku dengan penjelasan Mas Haris barusan. Suaraku tercekat--berhenti di tenggorokan.
"Aku kasihkan ke Ibuk buat renovasi rumahnya."
"Apa?!"
"Heh, aku ini anak laki-laki dia satu-satunya. Gengsi, dong, aku dimintai uang kalau musti bilang nggak punya?! Kamu mau aku malu? Hah?"
" Tapi itu uangku, Mas!"
"Owh, jadi kamu udah mulai itung-itungan sekarang?!
"Bener-bener, ya, kamu!" Aku dorong pundaknya yang kekar itu menjauh, lalu berlari ke kamar. Dadaku hampir meledak. Ingin rasanya kumutilasi laki-laki itu. Tangisku tak mampu kutahan lagi.
Bukan sekali dua kali dia mempersulit hidupku dengan hobbinya yang suka ngutang itu.
***
Bab 2"Nis, titip Yuka, yaa! Katakan kalau nanti mamanya pulang agak malam. Kalau sudah bangun, segera kamu ajak mandi, terus sarapan. Jangan lupa vitaminnya. Jaga dia baik-baik. Jangan lengah!" Aku berpesan kepada Nisa--asisten rumah tanggaku, yang juga merangkap untuk menjaga Yuka--anak semata wayangku."Nggak sarapan dulu, Mbak?""Nggak usah, nanti aku makan di kedai aja."Dari mimik wajahnya, aku tahu, Nisa tengah bertanya-tanya saat sekilas melihat mataku yang bengkak segede telor rebus."Baik, Mbak...." jawabnya pelan seraya berlalu dari hadapanku menuju kamar Yuka.Dengan mata sembap karena menangis semalaman, aku berniat untuk berangkat menuju tempat usahaku. Badan masih lemas dan kepala terasa berat. Bahkan untuk membuka pintu garasi saja aku terpaksa menggunakan badanku untuk mendorongnya agar bisa bergeser."Sampai kapan aku
Bab. 3Tanganku terhenti saat hendak memutar gagang pintu. Aku seperti mendengar orang sedang bercanda. Mungkin suara itu berasal dari dapur ... atau mungkin kamar mandi. Aku fokus sejenak memastikan apa yang kudengar. Akhirnya kuputuskan mengendap-endap melangkah mendekati sumber suara untuk memuaskan rasa penasaranku itu. Dengan siapa Nisa bercanda? Setahuku dia tidak punya teman di daerah sini.Aku mengintip dari pintu dapur yang sedikit terbuka. Tidak ada siapa-siapa. Kembali aku melongokkan kepala untuk melihat kondisi sekitar dapur. Benar, tidak ada orang.Tiba-tiba aku mendengar seseorang berkata dari balik pintu kamar mandi. Aku mendekat—perlahan—jangan sampai menimbulkan suara.“Mas, makasih, ya, uangnya. Tapi Mas yakin, kan, kalau Mbak Vi enggak tahu kalau uang itu Mas kasih ke aku?”
Bab 4Setelah pertempuran sengit, Haris dan Nisa pun terkulai di dalam bathtub. Entah sudah berapa kali mereka mengulangnya. Napas mereka masih terengah-engah. Nisa bergelung manja dalam dekapan laki-laki berumur tiga puluh lima tahun itu.“Kamu memang selalu hebat, Nis....” puji Haris sambil mengecup manja kening Nisa. Salah satu tangannya asik membelai rambut, sedang tangan yang lain tengah sibuk ”berbelanja” di tubuh wanita berbadan sintal itu.Nisa hanya mengulum senyum kemudian mendaratkan bibirnya pada bibir Haris.Sepuluh menit berlalu.Setelah kelelahan dan kehabisan napas, akhirnya mereka menyerah dan sepakat untuk mengakhiri.“Kamu memang luar biasa, Nis,” kata Haris dengan mimik wajah sumringah.“Mas juga luar biasa...,” Nisa tersipu. “Aku lapar...,” tambahnya sembari melepaskan pelukan Haris kemudian duduk. Kedua tangannya sibuk mer
Bab 5Jantungku masih berdegup sangat kencang. Napasku memburu. Aku seperti baru saja berperan sebagai pemain film action. Kulihat kedua tanganku masih bergetar seperti penderita parkinson yang sedang mengemudi. Tenggorokan ini terasa sangat kering karena tidak menelan ludah beberapa saat.Aku meraih botol air mineral yang terletak di dekat tuas persneling dengan tangan kiriku. Mau tidak mau aku harus membuka botolnya dengan satu tangan, sementara tangan yang lain memegang setir. Masih gemetar membuat pekerjaan sepele seperti ini menjadi sangat sulit untuk dilakukan.Astaga!Tiba-tiba air dalam botol tumpah ke wajahku karena tidak sadar lampu lalu lintas tiba-tiba menyala merah—mendadak mengerem membuat isinya otomatis muncrat keluar karena berbenturan dengan mulutku waktu m
Bab 6Mobil Aisha melaju kencang membelah jalanan kota Surabaya. Aku hanya menyandarkan kepalaku di jok mobil. Sesekali aku melirik sahabatku yang tengah sibuk memainkan setir itu. Dia memang selalu tampak keren. Hidung mancungnya menyembul di antara nosepad kacamata hitam yang dia kenakan. Wajah tirus Aisha serasi dengan rambut panjangnya yang hitam. Aku sangat bersyukur memiliki sahabat seperti dia. Selain cantik, dia juga cerdas.“Sha, aku, kok, pusing, ya?” keluhku pada Aisha yang tengah serius menyetir.“Laper, mungkin? Biasanya gitu, kan? Belum makan?” tanya Aisha tanpa menoleh ke arahku. Jalanan yang cukup padat membuatnya harus memusatkan perhatian penuh pada jalanan.“Udah. Sarapan emosi! Huwaaaaa ...! Mereka, kok, jahat banget sih, Shaaaa? Aku tuh kurang apa? Sebagai istri, aku kurang apaaaaa? Sebagai saudara, aku kurang apaaaaa? Apa salahku? Kok, mereka tega banget ngelakuin itu? Jahaaaaaaaat!” Tangisku pecah lagi untuk yang ke sekian kali.
Bab 7Pak RT bangkit dari duduknya sambil membetulkan sarungnya yang kendor.“Baiklah, kalau begitu. Saya mau mandi dulu. Bu Vi sama Bu ... siapa? Lupa belum kenalan....” tanya Pak RT sambil menoleh pada Aisha.“Aisha, Pak...!” sahut Aisha.“Ooh, Bu Aisha? Kok, sama cantiknya dengan Bu Vienetta? Kembar, ya? Hahaha.” kelakar Pak RT.Dasar Buaya! Aku dan Aisha hanya saling pandang.“Bu Vi sama Bu Aisyah tunggu di sini dulu, ya ... saya mandi sebentar, ” pinta Pak RT sambil balik badan.“Aisha, Pak ... A-I-S-H-A. Bukan Aisyah!” sahut Aisha karena merasa namanya salah disebut.“Oh, maaf ... salah, ya? Iya, Bu Aisha ....” balas Pak RT sambil tertawa, lebih tepatnya menggoda.“Harus mandi dulu, ya, Pak?” Aku menyela sebelum Pak RT berbalik badan dan melangkah pergi.“Woiya, harus! Sebagai ketua RT, saya adalah panutan warga, jadi saya harus menjaga penampilan kalau di ha
Bab 8Seketika Nisa berlari ke arahku dan bersujud. Dia menangis memeluk kakiku lalu bersimpuh di lantai.Aku melempar tatapan mematikan pada laki-laki yang sedang bertelanjang dada itu. Mas Haris tidak berani melihat ke arahku. Dia mengusap wajah dengan kedua tangannya. Entah malu atau apa.“Kalian benar-benar bedeb*h!” umpatku tajam.Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah gunting di keranjang sikat gigi yang tergantung tak jauh dari tempatku berdiri. Aku meraihnya dengan tangan kanan, kemudian mengacungkannya pada Mas Haris. Kurasakan pelukan Nisa di salah satu kakiku semakin erat. Dia menangis meraung-raung. Saat itu juga Mas haris melihat ke arahku dan mundur hingga punggungnya hampir melekat pada dinding.Aku gelap mata mengingat pengorbananku selama ini ternyata tidak ada harganya sama sekali. Tak kusangka bakal sesakit ini rasanya dihianati. Seandainya kalian berada di posisiku, mungkin akan melakukan hal y
Bab 9“Bohong!” Aku berteriak sambil menutup telinga dengan kedua tanganku. Tangisku pecah. Harga diriku benar-benar tercabik-cabik. Hatiku dimutilasi dan dicacah tak berbentuk. Hancur!Aku melangkah mendekati laki-laki tak tahu diri itu. Dan....Plak!Aku menamparnya sekuat tenaga. Mas Haris memegangi pipinya dan meringis kesakitan. Napasku memburu hingga membuat dadaku naik-turun. “Sakit?” tanyaku sinis. “Itu belum seberapa dibandingkan dengan sakit hatiku, Mas!” Aku meremas kedua telapak tanganku geram.Tiba-tiba Nisa menghambur kepadaku.“Maafkan aku, Mbak. Sungguh ini di luar kendaliku. Aku mencintai Mas Haris ... bahkan jauh sebelum kalian menikah. Aku minta maaf, Mbak. Aku sudah mencoba membunuh perasaan itu tapi nggak bisa,” ungkap Nisa, masih dengan bersimpuh di kakiku memohon ampun.“Apa?!” Aku terkesiap mendengar pengakuan yang baru saja terlontar