"Berengsek! Ternyata wanita itu punya anak. Kenapa tidak ku habisi saja mereka berdua saat itu." Liana mengamuk di mobilnya hingga memukuli stir berulang kali hingga tangannya memerah.
Dia mengusap wajahnya frustasi hingga riasan di wajahnya rusak.Liana merasa begitu bodoh karena telah membiarkan Olivia melahirkan anaknya saat itu.Dia bahkan tidak pernah tahu jika mantan sekretaris suaminya itu telah hamil dan memiliki anak.Liana tidak menyangka jika ancamannya pada Olivia saat itu malah membuat Prabujaya dapat menemukan mereka.Dan kini, suaminya dengan terang-terangan mengakui anak wanita itu sebagai anak kandungnya.Liana mengambil ponselnya lalu menghubungi seseorang."Halo," ucap Liana saat panggilan itu telah tersambung."Ya, Nyonya ...." Suara seorang pria terdengar dari ujung telpon."Temukan Olivia sekarang juga! Dulu aku sudah menganggapnya enteng sampai dia berani menginjakku sekarang. Dia bahkan berani mengirim anaknya pada suamiku.Pak Hasan berdehem pelan sambil menggelengkan kepalanya.Pria tua itu menatap istrinya. Dia membuka mulutnya setelah Bu Hasan mengangguk pelan."Masih belum. Entah apa yang terjadi, tapi jalan untuk menemukan pelakunya berujung buntu. Mereka kehilangan jejak setiap kali hampir berhasil memecahkan kasusnya," kata Pak Hasan dengan rasa menyesal.Sedetik kemudian dia kembali bicara, "Sayangnya ... kasus itu sudah ditutup sepuluh tahun yang lalu sejak mereka tidak mendengar kabar darimu."Suami istri itu berbincang tentang banyak hal selama kepergian Erlangga dari kota mereka.Hingga hari beranjak sore, Erlangga memutuskan untuk kembali.Mobil sedan itu bergerak meninggalkan kediaman Pak Hasan saat matahari telah terbenam.Mereka memutuskan untuk pulang ke komplek River Villa sebelum Prabujaya menyadari kepergian mereka siang ini.Erlangga sudah memutuskan untuk membuka kembali kasus kematian Olivia Putri. Namun, dirinya harus mendapatkan bukti kuat sebelum mengajukannya kepada pihak ber
Suara ketukan di pintu kamar membuat Erlangga terjaga.Erlangga melirik jam dinding, sudah pukul sepuluh malam dan dia baru akan terlelap setelah lelah seharian.Erlangga bangkit dan meraih knop pintu. Dia tertegun untuk sesaat, mulutnya nyaris jatuh saat menyaksikan seseorang sedang berdiri di depan kamarnya."Papa?" Kening Erlangga berkerut saat sadar sedang berhadapan dengannya.Ia meraih tubuh Prabujaya dan menuntunnya masuk ke dalam kamar lalu memeriksa kedua kaki Prabujaya yang terlihat lemah saat beberapa jam yang lalu."Apa yang Papa lakukan di sini? Sejak kapan Papa bisa berjalan?" Keterkejutan Erlangga belum sepenuhnya hilang.Prabujaya tersenyum tipis lalu membuka mulutnya dan berkata, "Sudah, sudah ... jangan tegang seperti itu, Er. Papa hanya ingin melihatmu dan mengobtol denganmu."Mata obsidian Erlangga mengunci wajah Prabujaya.Namun, dengan sangat cepat tatapan mata Erlangga kembali teralih pada sepasang kaki yang terlihat kokoh itu.Kaki itu terlihat sehat dan sepert
Empat puluh menit sejak panggilan itu, mobil sedan hitam milik Erlangga tiba di pelataran depan sebuah gedung.Ia berjalan masuk dengan aura hangat di wajahnya bersama dua pengawal setianya sementara supir menunggu di mobil.Erlangga mengetuk pintu hingga sebuah sahutan terdengar dari dalam ruangan."Selamat pagi, maaf saya terlambat dihari pertama bekerja," ucapnya salah tingkah lalu menarik kursi dan duduk di depannya.Bu Maya segera menggelengkan kepalanya dan berkata, "Enggak, enggak perlu! Jangan meminta maaf pada saya, saya yang seharusnya meminta maaf karena tiba-tiba menelpon anda seperti tadi. Saya seharusnya memberitahu anda kemarin malam, saya minta maaf."Erlangga berdehem pelan, ucapan wanita itu meredakan sedikit rasa bersalah di hatinya.Situasinya benar-benar membuatnya gugup hingga membuatnya pergi dengan perut kosong.Erlangga berpikir untuk segera menyelesaikan tugasnya lalu kemudian pergi mengisi perutnya."Baiklah, tidak apa-apa. Kalau begitu, sebaiknya kita lakuk
"Kamu memang benar-benar tampan. Pantas saja mereka bersikeras untuk bekerja sama denganmu." Sebuah pujian terlontar dari mulut Sylvia saat dirinya memandangi wajah Erlangga tanpa rasa puas.Dia menutupi kedua pipinya yang merona merah dengan tangannya saat Erlangga membalasnya dengan senyuman."Apa kamu sudah memiliki kekasih, Tuan Er?" tanya Sylvia gugup.Namun, Erlangga tetap terlihat tenang dan tidak merasa terganggu dengan perkataannya.Erlangga menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak, saya belum memikirkannya."Bibir Sylvia yang kemerahan terbuka lebar, dia berpikir memiliki kesempatan untuk mendekatinya dan mungkin menjadi kekasihnya."Benarkah? Kamu lelaki normal 'kan? Apa kamu tidak berpikir untuk dekat dengan seseorang?" pancing Sylvia. Dia berharap Erlangga mengerti maksud ucapannya."Hei, tentu saja aku lelaki normal. Mungkin aku bisa mempertimbangkannya, tetapi nanti setelah aku sukses."Ya, tentu saja setelah dirinya berhasil memecahkan teka-teki menyangkut dirinya dan kel
Di dalam restoran, Erlangga berjalan di sisi Sylvia hingga di pintu depan.Er tersenyum hangat pada gadis itu setelah memutuskan untuk berkendara dengan mobilnya sendiri.Er membuka pintu belakang dan mempersilahkan Sylvia masuk ke dalam mobilnya."Apa besok kamu akan datang ke kantor?" Sylvia bertanya melalui jendela mobil yang terbuka lebar saat Er akan berbalik pergi.Er menggeleng lalu menjawab, "Aku rasa tidak. Tidak hingga Bu Maya memintaku untuk datang ke sana. Ada apa?""Oh ...." Nada suara Sylvia terdengar kecewa.Dia ingin bertanya lebih banyak lagi padanya, tetapi Sylvia mengurungkan niatnya.Dia tidak ingin terlihat murahan di mata lelaki itu, dia takut membuat Erlangga tidak suka padanya.Melihat perubahan di wajah Sylvia, Erlangga tahu jika gadis itu merasa kecewa, tetapi dia harus bisa menahan dirinya dan tidak bertanya lagi.Erlangga harus bisa mendekati gadis itu dengan caranya sendiri agar Sylvia tidak menaruh curiga padanya."Jika tidak ada masalah lagi, aku permisi
Di dalam ruangan Prabujaya terlihat duduk bersandar di kursi kerjanya. Tangannya terlipat di depan dada sementara tatapannya lurus menyelidiki putra sulungnya."Kalian boleh pulang," ucap Prabujaya. Suaranya begitu tenang di luar, sementara hatinya sedang berkobar karena marah.Manager dan sekretaris itu langsung pergi dari hadapan Prabujaya. Keduanya bahkan tidak berani untuk sekedar melirik pada Rangga.Menyadari ada sesuatu yang tidak beres, Rangga langsung duduk di hadapan sang ayah kemudian mulai bertanya. "Ada masalah apa?"Mendengar pertanyaan dari putranya, Prabujaya lantas bertanya dengan dingin, "Kenapa bisa terjadi masalah yang begitu besar di perusahaan? Apa yang selama ini kau lakukan di luar sana? Perusahaan mendapatkan kerugian besar dari komplain barang ekspor dan kau tidak mengatakan apapun padaku?"Mendengar dirinya sedang disudutkan, Rangga berusaha untuk tetap tenang meskipun bulir keringat jatuh di keningnya di dalam ruangan bersuhu dingin."Maaf, Pa ... aku pikir
Daniel memilih duduk berseberangan dengan majikannya. Dia makan dengan kaku sambil sesekali melihat pada Prabujaya.Suasana begitu hening. Kepala pelayan berdiri di belakang Prabujaya sementara pelayan lain di sisi Daniel."Aku naik dulu." Suara Prabujaya memecah keheningan saat dia bersiap untuk berdiri dan pergi meninggalkan mereka.Daniel mengangguk dan berkata, "Silahkan, Tuan. Semoga anda tidur nyenyak malam ini."Garis lengkung tipis tergambar di wajah Prabujaya.Dia berjalan dengan perlahan, kedua tungkai kakinya masih belum kokoh seperti dulu. Rasanya sudah terlalu lama dirinya tergeletak di atas kasur hingga membuat seluruh sendi di tubuhnya menjadi kaku.Dengan tangan merayap di dinding, Prabujaya akhirnya sampai di kamarnya. Kamar besar itu terlihat kosong dan hening.Sejak keributan besar lima belas tahun silam, Liana akhirnya memilih untuk keluar dari rumah besar di River Villa.Wanita yang dia nikahi itu membawa serta putra mereka saat Rangga baru berusia lima tahun, me
Dada Liana terasa sesak dan detak jantungnya berdetak semakin cepat.Pikirannya menebak-nebak maksud ucapan Prabujaya.Apa dia benar-benar sudah tahu semuanya? Apa mungkin dia tahu siapa yang telah membunuh perempuan jalang itu? Itu sebabnya dia membawa pulang anak sialan itu? Liana membatin.Pembuluh darah di wajah Liana terlihat jelas saat kemarahan menguasainya. Tangannya memutih karena dikepal dengan kuat.Prabujaya berdehem pelan. Kerah bajunya dilonggarkan sedikit untuk melepas gerah yang tiba-tiba dirasakannya."Apa kamu terkejut? Sudahlah, berhenti pura-pura di depanku, Liana. Lebih baik kamu menjaga putramu itu agar jangan melakukan kesalahan yang sama," ucap Prabujaya mengingatkannya."Putraku? Dia juga putramu!""Tentu saja. Tapi jika dilihat-lihat, dia lebih mirip denganmu daripada aku."Liana berdecih, merasa jijik dengan suaminya yang jelas-jelas telah selingkuh di belakangnya."Itu lebih baik daripada mirip denganmu. Laki-laki tukang selingkuh sepertimu tidak pantas unt