Share

Halusinasi Membunuhmu

Oke. Jadi singkatnya begini.

Ini adalah Andromeda. Negara fiktif yang punya teknologi setara dunia nyata abad 18-an.

Ketika kebangsawanan dan kasta sosial masih dipermasalahkan. Ketika senjata api mulai mengalami transformasi signifikan besar-besaran.

Di dunia klasik ini, terdapat seorang rakyat jelata bernama Jeanette Folkstein yang—karena suatu alasan—mendapatkan beasiswa untuk menimba pendidikan yang sama di sekolah khusus bangsawan.

Di sana dia bertemu beberapa pria tampan yang akan menjadi pasangan potensialnya. Seorang putra mahkota—hah, tentu saja yang ini pasti, mesti, harus ada. Seorang calon Duke. Seorang murid pertukaran sekaligus diplomat dari kerajaan sekutu. Dan seorang ahli magis.

Tapi, oh, tapi.

Jeanette yang baik hati, murni hatinya, dan rajin menabung mesti menghadapi ancaman besar berupa seorang wanita jahanam.

Itu adalah Irene Livingsworth. Putri Duke Livingsworth sekaligus tunangan dari sang putra mahkota.

Dan setelah berkaca—dengan heboh—dan memastikan berkali-kali, aku kini menjelma sebagai Rachel Dawver. Dedengkot Irene.

Hah? Dari mana aku tahu semua detail informasi ini, katamu?

Ya karena aku yang membuat semua ini.

Oke. Em … ini sebenarnya memalukan, tapi aku dulunya seorang penulis.

Iya, iya. Ngerti. Aku tahu menghidupi keluarga melarat dengan jadi penulis full-time itu enggak realitis dan rada bego, tapi ya saat itu kan masih puber. Sebelum akhirnya jadi warga negara yang baik seperti sekarang dan pasrah pada kenyataan.

Jadi kesimpulannya: aku mati ditabrak mobil, lalu terakhir kembali jadi tokoh—yang sama sekali—enggak penting di cerita yang kubuat bertahun-tahun lalu.

Bego banget kalau ada yang percaya itu.

Tapi, sialnya aku juga tak punya tebakan lain.

Toh semua informasi yang diberitahu pelayan di depanku ini sama dengan informasi yang kususun dalam novel itu. Bahkan sampai detail-detailnya.

Setting yang terinspirasi era Victorian—karena saat itu aku pengen tampil beda dan muak dengan trope abad pertengahan. Karakter Irene yang sesuai dengan gambaranku dulu—yang juga terinspirasi dari tokoh lain. Sampai tokoh pelayan yang menyerupai Ibu.

Yamaap.

Perempuan yang kutemui dulu kebanyakan kurang waras. Jadi referensi wanita rajin, penuh perhatian, dan lumayan pengertian ya cuma ibuku saja. Jadilah semua pelayan kubuat seperti dia.

Semoga saja detail yang itu tidak tidak akurat.

Seram juga kalau semua pelayan wajahnya sama.

“Nona, bagaimana?”

“Hm? Hah? Ya. Udah baikan, tenang aja, tenang aja.” Hampir saja lupa kalau kini aku masih di tengah pembicaraan.

Aku menatap si pelayan lurus-lurus dan memberi pandangan meyakinkan. Tapi, dia tetap saja curiga.

“Sepertinya saya harus lapor ke Tuan Lucian.”

“Lucian?” Aku menutup mulut. Aduh! Kalau bereaksi lebih mencurigakan lagi, nih pelayan bakal makin bertingkah.

Tapi, omong-omong Lucian itu siapa?

Itu terdengar familier. Apa dia salah satu tokoh sampingan yang penting? Rasanya aku tak memberi latar belakang khusus ke tokoh minor macam si Rachel ini.

“Dia itu … komandan penjaga kastil kita?” Aku mendongak ragu.

Si pelayan malah menghela napas dan beranjak pergi dengan pasrah.

“Heh! Bentar, bentar!” Aku bangkit dan mencegat tangannya sebelum pergi. Bisa gawat kalau aku ini bukan orang yang mereka sangka.

“Maaf, Nona. Ini sudah yang ketiga kali Nona ‘kambuh’, dan ini yang terparah.”

“Jadi ini bukan yang pertama, ya?” Aku mengelus dagu. Rupanya Rachel punya semacam komplikasi yang ‘aneh’.

Akhir-akhir ini dia dihinggapi penyakit mirip demensia ringan sesaat.  Rachel sudah dibawa ke sana-kemari untuk disembuhkan. Mulai dari tabib konvensional hingga ahli obat abis magis.

Tapi tidak ada yang ampuh.

Yang didapat cuma vonis-vonis aneh. Satu tabib bilang Rachel diinfeksi virus misterius yang menyerang otak. Sedangkan di lain tempat bilang kalau Rachel dikutuk.

Apa-apaan itu?

Ini candaan? Atau malah jebakan?

Tunggu. Jangan-jangan benar kalau ini adalah dunia setelah kematian?

“Em … kamu gak usah terlalu khawatir gitu, deh. Liat nih, aku segar bugar dan baik-baik aja, kok.” Aku memasang senyum menghibur yang terpaksa.

“Bukan saja anda sudah lupa sama semuanya, sifat anda juga mulai berubah. Saya khawatir lam-lama anda akan kehilangan diri sendiri.”

“Eh? Berubah?” Me-memangnya sifat Rachel Dawver sebelumnya itu gimana?

Ketika menulis ini, aku jarang memberi detail khusus untuk para tokoh sampingan.

Si pelayan mengangguk. Aku makin panik. “Be-berubah gimana, sih, maksudmu? Hahaha! Bercanda aja, deh. Gak mungkin, ah. Emangnya Power Ranger apa.”

Aku melirik si pelayan dengan ragu-ragu, kecurigannya belum surut. 

Malah makin jadi, sepertinya.

Bego juga, sih, aku. Tahu apa orang era Victoria soal Power Ranger?

“Cara bicara, cara anda menatap, cara anda duduk. Sigh! Bukannya anda yang sering mengajari saya untuk bersikap lebih anggun?”

Sial!

Matanya itu seteliti apa, sih? “I-ini karena aku baru bangun, oke? Lagian di sini gak ada orang selain kamu yang liat, ‘kan?”

“Tapi bukannya Nona yang bilang untuk berlaku anggun setiap saat supaya jadi kebiasaan?”

Sialan kau, Rachel asli. “Kamu ngeraguin aku?”

Si pelayan kontan tersentak. Lalu berkata dengan nada agak terbata-bata. “Maaf, Nona. Bukan begitu maksud sa—”

“Tatap aku!” Aku memberi pandangan yang intens. Kali ini tanpa rasa panik yang meragukan. “Kamu ngeraguin aku? Aku sudah bilang lho, kalau aku gak kenapa-kenapa. Aku baik-baik aja. Kok reaksinya malah gitu, sih? Bukannya pelayan berlaku ke gitu ke tuannya sendiri itu agak kurang ajar?”

Si pelayan itu merunduk. Kalah sepenuhnya.

Huh! Rasakan! Dikiranya cuma gara-gara punya wajah sama dengan Ibu bisa langsung berlaku seenak jidat?

Tapi, jujur, yang barusan itu agak menguras tenaga.

Kutarik napas pelan-pelan. Ayo, Nadia. Cemen banget, deh. Toh kamu kan juga ‘benci’ ke orangtuamu.

Setelah menunggu beberapa lama, pelayan itu akhirnya kembali berani angkat bicara. Dia menunduk, kali ini penuh penyesalan. “Maafkan saya sekiranya perkataan dan perbuatan saya lancang, Nona. Saya tidak pernah bermaksud meragukan Nona sama sekali.”

Aku tersenyum, tak nyaman. Buru-buru menyuruhnya mendongak lagi. “Bagus, deh, kalau ngerti. Ya udah sana kel—”

“Tapi ini semua saya lakukan untuk kebaikan diri Nona sendiri. Jadi maaf bila ini lancang, saya akan tetap pergi.”

Hah?

Berengsek! Dasar orang tak tahu diuntung! Kembalikan simpati enggak pentingku tadi!

“Eh, tunggu!”

Sekejap berikutnya, si pelayan sudah ngacir keluar.

Aku langsung bangkit. Masih dengan setelan tipis yang lumayan kepanjangan, aku menyusulnya , dihadapkan pada satu lorong panjang-hening-megah.

Uwaw!

Baru kali ini aku melihat isi dalam dari kastel asli.

Lantainya diisi karpet sutra merah yang lebih mulus dari hidup kalian semua.

Dinding-dindingya ditempeli rongga berisi lilin seukuran lengan, ornamen  berkilau, dan ragam lukisan.

Oh, iya. Hampir lupa kalau aku kini sedang kejar-kejaran.

Ke mana pula itu orang kurang ajar?

Setelah meneliti ke sana-kemari, si pelayan ternyata sudah berada kian puluh meter di depan, berbelok, lalu masuk ke sebuah ruangan.

Kacau!

Untuk seukuran wanita setengah baya, staminanya gila-gilaan.

Aku kembali berlari, menyusul secepat yang kubisa.

Tapi, apa-apaan tubuh ini? Rasanya baru bergerak sebentar, tapi kenapa aku malah sudah ngos-ngosan? “Tunggu,” sahutku bengek, lirih, setengah mati.

Setelah melalui perjuangan hidup-mati yang menguras tenaga, akhirnya aku sampai.

Kepalaku pening. Tapi penglihatanku masih cemerlang.

Terlambat!

Wanita sialan itu sudah berbincang-bincang dengan seorang pria asing bernama Lucian apalah itu. Sang pria melirikku, mengangguk-angguk.

Si pelayan undur diri, sempat-sempatnya pamit kepadaku ketika kami berpapasan.

Kurespons saja dengan begitu sopan—mata mendelik dan gigi taring keluar.

Detik berikutnya, kami cuma berduaan.

Sebenernya, sih, aku lumayan seneng. Setelah lirik-lirikan mesra barusan, aku sadar kalau tampangnya lumayan.

Tapi, ketidaktahuanku membuatku gelisah.

Dia ini siapaku di sini?

Nasibku jadi bagaimana?

Jadilah, daripada menunggu terus dalam ketidakpastian, aku mengambil langkah lebih awal. “Em ..., Tuanku. Apa yang dibilang sama pelayan itu gak usah didengerin. Coba nih liat, sehat sentosa gini dibi—”

“Aku tau, kok, Dik,” sahut si Lucian. Berbalik sepenuhnya, tapi mata masih melihat suatu perkamen kulit.

Hah? “Dik?”

Akh!

Surai pirang yang terlalu panjang untuk ukuran pria itu, wajah dengan kulit sepucat porselen yang identik dengan mukaku sekarang, senyum tenang seolah segala sesuatu ada di kendalinya yang kerap bikin aku gak nyaman.

Gak salah lagi.

Dia Lucian Dawver.

Ahli magis jenius sekaligus pewaris County of Dawver.

Salah satu harem-nya Jeanette.

Kakak kembar Rachel. ‘Sekarang’ jadi kakak kembarku.

Pantas saja ketika mendengar namanya, tenggorokanku terasa pahit.

Masalahnya, di antara semua pasangan potensial Jeanette, personalitinya paling menyusahkan. Dengan kepribadian super tenang dan sok misterius. Tipikal pria yang selalu punya rahasia.

Ya ... dasar tokohnya salah satu kakak kelas yang pernah kutaksir, sih. Dia ganteng, dewasa, dan selalu bisa diandalkan. Mantan ketua OSIS. Punya prestasi bejibun. Ramah kepada semua orang. Bukan plauboy.

Tipe cowok idaman untuk ABG delusional.

Itu cinta sejati pertamaku, sekaligus yang terakhir.

Aku pikir saat itu orang baik yang sempurna emang benar ada, sebelum akhirnya kupergoki dia bekerja sebagai mucikari dari sebuah tempat pelacuran yang ada di pelosok Ibukota.

Menyeret teman seangkatan, junior, hingga guru perempuan dalam jual-beli perlendiran dengan iming-iming uang besar tanpa usaha. Memanfaatkan rasa percaya semua orang dan reputasi besar yang dimiliki.

Huh! Memang ya. Semua cowok sama aja! Bajingan!

Untung saja uang tutup mulutnya sepadan.

“Tapi, benar kamu gak apa-apa?” tanya Lucian, hampir saja aku nyaris mengira itu nada khawatir betulan.

Aku mengangguk yakin. “Iya. Kan dibilang gak usah dipusingin omongan tuh pelayan ngaco. Liat sendiri, ‘kan?” Aku menunjukkan otot super-kecilku yang kian layu karena lemas.

“Oke.”

“Kalau tetep gak percaya—” Tunggu. Oke? “Oke?” Kuulang pertanyaanku dengan lebih lantang.

Lucian menatapku lekat-lekat, masih memasang senyum menjengkelkan itu. “Oke. Ada masalah lain?”

Itu ... jauh lebih mudah dari yang kuduga. Kukira dia bakal menjebakku dalam permainan pikiran rumit hingga aku mengaku dan tamat.

Aku berjingkat keluar sambil menggaruk-garuk kepala.

Apa  dia menyembunyikan sesuatu, ya?

Aku melirik ke belakang. Menemukan Lucian sudah memunggungiku, membaca tumpukan kertas kulit dan buku-buku rumit, kehilangan minat kepadaku.

Apa jangan-jangan aku yang berpikir terlalu berlebihan?

Lagi pula, dia ini prototipe sempurna dari si kakak kelas. Ditulis oleh aku yang kala itu otaknya masih dipenuhi ladang bunga asri alih-alih nafsu tak menyehatkan untuk duit.

Sepertinya begitu.

Tapi, aku tetap tak yakin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status