Share

Namanya Juga Fiksi!

Setelah berkontemplasi dan berpikir masak-masak, akhirnya aku sampai pada kesimpulan paling masuk akal.

Ini semua mimpi.

Aku mati?

Reinkarnasi?

Novelku yang mewujud jadi dunia betulan?

Antara kewarasanku yang sudah hilang atau aku kini cuma hanya terperangkap dalam bunga tidur siang bolong yang panjang, terancam dipecat begitu bangun.

Gawat!

Kalau begitu … aku mesti cepat-cepat bangun.

“Nona.”

Aku berhenti berusaha mencubit pipi dan mencakar pergelangan tangan, menoleh, lantas mendapati si pelayan kurang ajar itu menatapku khawatir. Aku langsung pasang wajah sewot.

Tapi, lagi-lagi aku tak sanggup bertahan.

Dasar lemah kau, Nadia! “Apaan, sih? Mau ngadu lagi? Mau bilang aku sekarang udah gak waras?”

Si pelayan menghela napas. Nampak benar-benar menyesal. Sial! Jangan pasang muka yang bikin aku jadi merasa bersalah gitu, dong! “Saya benar-benar minta maaf, Nona. Sekali lagi saya hanya tidak ingin keadaan anda memburuk. Penyakit seperti ini sangat langka, bahkan di wilayah maju seperti kerajaan kita.”

“Ck! Iya, iya. Ya udah, kenapa?” Aku mencaplok sepotong daging sapi panggang dengan kunyahan lahap. Niatnya sih pengen mogok makan, tapi perutku selalu berkeruyuk di saat yang tepat.

Hm. Untuk sebuah kenyataan semu, rasanya lumayan nyata.

Sensasi asam-manis madu yang berpadu dengan rasa pedas taburan rempah.  Apa aku pernah makan ini sebelumnya?

Setelah kuingat-ingat, terakhir kali aku makan daging itu lima tahun lalu. Semenjak merantau ke kota, aku tak pernah kedapatan sumbangan kurban lagi, soalnya.

“Apa anda enggak siap-siap?”

“Untuk?” Bukannya kerjaan sehari-hari bangsawan—terutama yang wanita—cuma bermalasa-malasan, minum teh, piknik, dan menunggu pinangan?

Si pelayan menatapku seperti mendapati orang paling tolol. “Tentu saja, sekolah.”

Hah?

*#*

Oke.

Sebelum kita lanjut, aku akan membahas esensi dari keberadaan sebuah novel.

Apa sih yang membuat orang-orang suka karya fiksi?

Tokoh? Konflik? Latar ?  Tema?

Dasar kutu buku yang terlalu serius.

Apa? Amanat? Lebih baik ikuti seminar motivasi saja sana.

Apa yang terpenting adalah sebuah ‘bias’.

Batas antara dunia nyata dengan dunia khayal.

Gak bakal ada yang mau baca persamaan percepatan di cerita fantasi atau rumus senyawa kimia dalam cerita roman—sumpah, siapa, sih yang mulai tren bego ini? Kau kira ini tabel periodik?

Penulis yang hebat adalah mereka yang berhasil menciptakan suatu dunia menyenangkan yang bisa dinikmati semua orang.

Mereka yang beranggapan unsur realisme dalam dunia novel itu penting adalah orang-orang tolol sok idealis.

Dan sialnya, aku termasuk orang tolol itu—setidaknya dulu.

Bahkan di dunia di mana kekuasaan dan garis keturunan adalah segalanya, kita masih harus sekolah.

Maka dari itu, di sinilah aku. Terjebak dalam perkumpulan para wanita elite. Melakukan agenda lumrah yang sepertinya jadi kewajiban tertulis bahkan bagi seorang aristokrat perempuan.

Bergosip.

Menjilat.

Ya … sebenarnya lebih banyak menjilat.

“Itu kalung yang bagus, Nona.”

Dasar, pelayan itu benar-benar sudah kelewat batas. Dia sengaja mengantarku cuma sampai sini untuk ‘bersenang-senang’.

Apanya yang bersenang-senang?

Eh, jangan salah!

Aku ini tidak kaku-kaku amat. Aku suka bicara. Aku juga suka menjilat—baik secara metaforis maupun harfiah.

Tapi, apa untungnya melakukan itu kalau semua ini sebenarnya tak nyata?

“Beneran? Ini hadiah dari Duke Carrol dari negeri sebelah yang dikasih dia sewaktu aku berkunjung ke sana. Katanya, sih, dari batu mirah asli.”

Aku bersidekap dada dan memperhatikan orang yang barusan bicara.

Irene Livingsworth nampak persis seperti yang kuimajinasikan. Lengkungan senyum anggun yang angkuh, pipi tirus merona-kenyal serupa boneka, perut ramping yang tersembunyi dalam korset hitam, semuanya terbalut dalam gaun coklat kemerahan heboh dengan akesori kalung bertatahkan batu mulia merah berkilau.

Sial!

Dia cantik sekali.

Bahkan untuk standar manusia modern.

Tak ubahnya dewi yang menitis ke bumi.

Aku yang dulu ternyata puitis juga.

“Pasti karena dia terpesona olehmu, Nonaku yang baik. Tapi, sayang ya, kamu kan udah ada yang punya.” Gadis macam rubah betina yang sedari tadi bercerocos itu kemudian mengikik.

Siapa ya namanya?

Ah, iya. Sara Carrington. Putri tunggal Count Carrington.

Dengan bibir merekah yang semencolok gaunnya—merah menyala dengan segudang perhiasan yang menggelantungi lengan dan leher.

Gimana bisa dia tampil semenor itu?

Rasanya, dalam latar belakang singkat yang kutulis setengah hati, dia berasal dari klan miskin penguasa daerah kecil di perbatasan. Putri tunggal Count Carrington.

Di akhir cerita, dialah yang mengadu segala tindak-tanduk keji Irene ke sang putra mahkota. Ditunangkan dengan adik semata wayang si putra mahkota sebagai hadiah. Lalu memimpin Lodkin—wilayah terbesar kedua setelah Ibukota—sebagai seorang Duchess.

Huh! Sepertinya sejak dulu aku punya jiwa keadilan yang mengangumkan.

“Ah … kamu berlebihan, Sara. Duke Carrol cuma murah hati. Dia ingin keluarganya dan klan Livingsworth menjadi jembatan persahabatan antara Andromeda dengan Whirlpol.” Irene merona—dengan ‘sengaja’.

“Gak berlebihan, kok. Kecantikanmu itu sudah terkenal sampai seantero benua dan dilagukan oleh semua penyanyi.” Sara terus berceloteh.

“I-itu benar, Nona,” kata seroang gadis lain yang keberadannya kusadari dengan gerik begitu kikuk.

Hm … ini … tunggu, bukannya rombongan jahannam ini cuma berisi tiga orang?

Irene si vilainess. Rachel—aku—sang bawahan setia. Sara si mulut besar bermuka dua.

“Terimakasih ya, Sara, atas pujiannya. Aku bener-bener merasa tersanjung dan senang banget. Tapi soal pasanganku itu, akhir-akhir aku ngerasa gak yakin. Pangeran Zack—”

“Bentar! Bentar!”

Irene dan Sara lantas menoleh dengan pandangan terusik.

Sara kontan protes, pasalnya saat itu aku dengan sengaja menyela Irene yang tengah bicara. “Rachel, kamu tau apa yang barusan kamu lakukan? Itu gak etis ba—”

“Ini siapa?” Kutunjuk si gadis asing yang membuatku penasaran. Kuanggap omongan Sara barusan cuma angin lalu.

Si gadis itu seketika linglung dan panik.

Dalam balutan gaun sewarna langit dan korset yang terlalu sempit, gadis itu nampak lebih mungil ketika menggeliat-geliat gelisah.

“K-kamu jangan bercanda, deh, Rachel. M-masa gak inget aku, sih?”

Sara ikut mengernyit dan berpaling, sama-sama agak kaget. Sepertinya baru sadar kalau ada orang keempat di sebelahnya.

Tapi, reaksi Sara berikutnya bikin aku tambah bingung. “Rachel, jangan mulai, ya. Ini gak kamu banget, tau? Nyela omongan Nona Irene untuk topik gak jelas gini?”

Aku mengernyit, ingin berkata lagi. Tapi, kemudian sadar kalau hampir saja mengambil langkah paling keliru.

Kalau Sara dan Irene tahu siapa gadis ini, berarti Rachel yang asli tahu.

Rachel asli akhir-akhir ini mengalami komplikasi nyeleneh serupa kutukan bernama ‘demensia sesaat’. Jadi lupa satu-dua hal pasti dimaklumi.

Kalau ‘teman-temannya’ sampai memandangku seolah sedang menatap orang tolol seperti ini tanpa repot-repot menjelaskan kembali, maka hanya ada satu kesimpulan: Sara dan Irene tidak tahu tentang penyakit Rachel.

Mereka tidak diberitahu, untuk suatu alasan.

Masuk akal.

Kalau rumor tentang gadis bangsawan yang terkena kutukan tersebar, status sosial keluarga tersebut bakal turun dan perlahan hancur.

Sepertinya mulai sekarang aku gak boleh langsung asal ceplos. “Ah, iya, bener. Barusan cuma bercanda aja.” Aku terkekeh bego.

Tapi, Sara masih tak puas. “Itu masih belum cukup, Rachel. Kamu belum sadar juga apa kesalahan kamu dari tadi?” Rubah betina itu meradang. Kenapa, sih, justru dia yang sewot? “Kamu udah nyela omongan Nona Irene dan ngerendahin Dimitri barusan, tau gak? Kamu pikir itu lucu? Cepet minta maaf!”

“A-ah, iya.” Aku meneguk ludah gugup.

Ah, ternyata namanya Dimitri.

Coba kuingat-ingat.

Tetap enggak ada. Enggak terlintas satu bayangan pun.

Tokoh sampingan di novelku kala itu juga lumayan banyak, sih.

Jadi kuhadap saja si Irene dan cewek tak dikenal yang belakangan kuketahui bernama Dimitri itu, lantas memasang wajah paling bersalah. “Saya benar-benar menyesal. Nona Irene. Nona Dimitri. Saya gak bermaksud untuk menyinggung anda berdua. Saya cuma mau mencairkan suasana.”

“I-iya gak apa-apa—”

“Huh! Padahal sendirinya yang sering koar-koar untuk perhatiin sikap setiap saat. Sok menggurui Nona Irene. Tapi, justru dianya sendiri yang gak sopan.” Sara berseidekap dada dan tersenyum sinis.

Apa itu? Ejekan? Tantangan berkelahi?

“Sudahlah. Rachel enggak bermaksud buruk, kok.” Di luar dugaan, Irene justru bereaksi … sungguh positif? “Akhir-akhir ini tingkahmu agak aneh, Rachel. Kamu ngelamun dan tiba-tiba gak tahu soal hal sepele, ada sesuatu yang ganggu kamu?”

Hah? Heh.

Oke.

Event tambahan apa lagi ini? Seingatku, Irene itu orang arogan. Bukannya sosok wanita keibuan penuh perhatian.

Aku hendak membuka suara, menjawab dalam kebingungan.

Tapi tiba-tiba terdengar ketukan.

Seorang pelayan pria berambut keperakan masuk setelah diberi izin. “Nona-nona semuanya. Maaf menggangu waktu anda-anda semua. Saya ingin menginformasikan kalau kelas Tuan Kirby akan dimulai sepuluh menit lagi. Diharapkan nona-nona semua bisa ke ruangan kelas sekarang.”

Ah …

Aku selamat. Setidaknya kali ini.

Dengan senyuman palsu yang terlatih, aku menyamai langkah mereka dalam kebingungan absurd.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status