"Oh, dulu aku pernah membaca sebuah surat kabar. Dimana orang di surat kabar itu mirip dengan Anda, Anda tahu? Orang itu adalah seorang PEMBUNUH! Dia juga sadis, sayang dia belum di tangkap sampai saat ini." Jelas Jia dengn menekankan kata 'pembunuh' pada kalimatnya.
Hal itu tentu saja membuat Frans curiga pada wanita di depannya, tapi ekpresi Jia membuat ia mau tidak mau harus percaya jika Wanita di depannya memang tidak tahu siapa dirinya."Ya, sepertinya orang-orang juga menyebut saya mirip dengan seseorang. Mungkin orang yang Anda bilanglah mirip dengan saya," Balas Frans berusaha santai."Oh ya? Hmm bisa kupahami, tapi Gilbert. Eh, apa tidak masalah kupanggil nama saja? Anda, kan. Lebih tua dari saya?""Tidak masalah,""Emm, Aku tahu ini tidak sopan. Tapi ada apa dengan bekas luka di wajah Anda?" Tanya Jia yang sudah pasti berusaha mempermainkan Frans, ia ingin tahu seberapa hebat Pria di depannya mengarang cerita.Frans terkejut untuk beberapa saat, meski rada keterkejutan itu tak ia perlihatkan secara langsung."Oh, ini. Karena menolong seseorang saat hendak di culik," jawab Frans spotan."Pelakunya melawan ya? Hm, lalu apakah pelakunya tertangkap?""Tentu saja, saya langsung memebersekannya."Deg!Hening... Frans sontak terdiam saat menyadari kesalahan dalam katanya, sedangkan Jia merasa puas karena Frans sepertinya bukanlah orang lambat dalam membalas seseorang. Buktinya, Pria itu keceplosan."Membereskan yang kau makaud itu... ""Maksud saya, sudah saya amankan ke pihak berwajib." Potong Frans berusaha menyingkirkan kecurigaan Jia.Baru ingin melontarkan sebuah pertanyaan kembali, kalimat yang ingin keluar dari mulut Jia tertahan karena kehadiran Revandro yang masuk dengan tiba-tiba. Bahkan Ia yakin, jika ia tidak mendengar suara langkah kaki mendekat."Sepertinya calon Istriku cukup santai berbincang dengan orang lain ya? Mengapa kau selalu ketus padaku hmm?" Ucap Revandro yang duduk di samping Jia, yang mana langsung mendapat delikan tajam dari mata orang di sampingnya."Mengganggu saja, binatang ini." Guman Jia dengan sangat amat pelan, hingga terdengar hampir seperti sebuah bisikan. Namun bisa di dengar oleh kedua orang di tempat itu, Revandro terkekeh. Sedangkan Frans? Entahlah, matanya mungkin hampir keluar dari tempatnya saat ini."Apa kau tidak pernah waspada pada orang asing, bisa saja orang itu berniat jahat padamu walau nampak ia begitu baik,""Sepertimu?""Ya. Sepertiku,""Entahlah, sejujurnya aku tahu Gilbert bukan orang baik." Ucap Jia dengan nada serius, bahkan menatap Frans tanpa bergedip. Namun di saat Frans ingin menanyakan kecurigaannya, Jia sudah lebih dulu... "Karena Dia bekerja pada orang jahat seperti." Sambung Jia.Frans masih menatap Jia, hingga matanya bersitatap dengan Revandro yang seakan ingin membunuhnya jika ia tidak segera keluar."Saya permisi." Pamit Frans yang pergi dari tempat itu dengan berbagai pemikiran tentang ungkapan Jia.Di tinggal berdua dengan Revandro, rasanya tidak ada hawa baik. Dingin, dan Jia jelas tidak menyukainya."Kenapa diam?" Tanya Revandro."Menurutmu?" Ketus Jia, yang lagi-lagi menepis tangan Revandro untuk menyentuh wajahnya. "Jangan menyentuhku!" Sambungnya dengan penekanan di tiap katanya.Suasana terasa semakin suram di detik ia menjawab ketus Revandro, sampai dirinya dengan cepat di banting ke tempat tidur dengan makanan yang sudah berpindah kelantai."Apa yang kau lakukan?!""Menurutmu?"Bersambung...Jia menahan nafas saat Revandro naik keatasnya, perlahan memecah jarak di antara mereka. Mata Revandro menatap dalam Jia, begitupun Jia yang menatap Revandro.Hampir saja bibir mereka bersentuhan, jika Revandro tidak menghentikan gerakannya. Saat ini, bahkan ia bisa merasakan hembusan nafas Pria itu menerpa wajahnya.Untuk sesaat keduanya terdiam..., Sampai..."Kau tahu, aku mungkin bisa saja membuatmu menjadi milikku sepenuhnya sekarang ini. Tapi tidak kulakukan untuk menghormatimu, tapi jika sikapmu begini terus. Aku tidak yakin bisa menahannya, kau tahu maksudku, kan?"Yah, Jia bukanlah wanita polos. Ia tentu saja paham betul arti dari perkataan Revandro, tapi kenapa dirinya masih bisa tidam takut pada perkataan yang mungkin akan menghacurkan masa depannya?Memikirkan itu, ia pikir. Revandro telah menyihirnya, tapi itu hanya untuk sesaat. Sebelum akhirnya ia sadar, bahwa ia tidak berada di negeri fantasi."Menjauhlah dariku!" Tekan Jia yang berusaha keluar dari situasi absurd ini,
Perkiraan Jia bahwa Revandro akan menusuknya nyatanya salah, Pria itu malah dengan lancangnya menempelkan bibir pada bibirnya. Hanya sebatas menempel, tidak lebih. Jia menatap dalam Revandro begitupun sebaliknya, meski Jia tahu apa yang di lakukan Revandro keterlaluan. Tapi masalahnya ia tidak menolak, hanya diam. "Sebenarnya apa yang kau inginkan sayang? Kau tahu aku mampu memberi apapun yang kau inginkan, tapi diantara itu semua. Mengapa, mengapa harus kebebasan?" Ucap Revandro yang menghentikan aksinya. Dengan lembut ia menyapu wajah Jia, pelan dan lembut penuh dengan kasih sayang. Seakan sosok kejam beberapa saat yang lalu tidak pernah ada, "Minta yang lain ya?" Sambung Revandro. Jia mengangkat satu alisnya, walau enggan. Tapi sebenarnya Jia pernah memikirkan hal yang selain kebebasan, 'Taman bermain' dari dulu itu selalu menjadi harapan Jia.Revandro melihat harapan dalam retina mata Jia, ia kemudian beranjak dari atas tubuh Jia dan memposisikan Jia menjadi duduk. "Aku tahu
Jia terkekeh pelan, langkahnya pun terhenti sesaat ia melihat beberapa balon yang sepertinya sengaja di tinggalkan pemiliknya. Menatap lama, membuat Jia tidak menyadari bahwa dirinya tengah diincar seseorang dari jarak yang jauh. Menyadari hal itu, Revandro segera menarik Jia berlari. Dan benar saja... DOR! DOR! DOR! tembakan beruntun dilepaskan, keadaan yang tenang perlahan berubah menjadi bising akibat baku tembak antara anak buah Revandro dan orang-orang tak di kenal. Masuk kesebuah toilet, Jia menatap Revandro yang mengeluarkan senjata api dari saku jasnya. "Bukankah aku merepotkan?" Tanya Jia di tengah situasi yang menenganggkan. Revandro menatap Jia, lalu tersenyum kecil. "Entahlah, aku masih belum yakin." Jawab Revandro. Jia mengepalkan tangannya, sampai... "Mereka berlari ke arah sini.""Apa kau yakin?""Diamlah mereka bisa dengar!"Percakapan singkat itu, menjadi bukti bahwa ada orang-orang bodoh yang mengikuti mereka. Mengintip melalui bilik, mata Jia memicing tajam
Bahaya! Jika Revandro mengambil alih maka sudah dipastikan target itu tidak akan mati dengan mudah, atau bisa dibilang disiksa sampai mati.Berjalan masuk kesebuah cafe, semua mata tertuju padanya. Oleh karena penampilannya yang bersimbah darah, membuat atensi teralih padanya. Sampai kedatangan Revandro dengan para anak buahnya mengusir mereka semua dengan paksa, hingga tersisalah Jia dan dirinya yang saling menatap."Pulang," ucap Revandro tajam, yang tak ditanggapi oleh Jia. "Baby pulanglah-""Kalau aku tidak mau?!" Balas Jia dengan sorot seakan tengah menantang lawannya.Mengepalkan tangannya erat, Jia melihat Revandro berusaha menahan amarah karena balasan dari mulutnya. Tersenyum remeh, Jia berkata... "Jangan kau pikir patuhku beberapa saat yang lalu, membuatmu lupa akan perilakumu!" Sambungnya.Atmosfer berubah, jelas perkataan Jia memancing sisi lain Revandro muncul. Hingga sorot amarah dari matanya berubah menjadi tenang, namun ketenangan itu bukanlah sesuatu hal yang baik di
Tenggelam dalam pemikirannya, Jia tidak menyadari akan kehadiran seseorang. "Nona?" Bingung orang itu yang diketahui merupakan pelayan, Wanita paruh baya itu bernama Margaret."Huft!" Membuang nafas kasar Jia sadar seketika Margaret memanggilnya, tanpa mengubah posisinya. Ia menatap Margaret yang terlihat membawa sebuah gaun beludru merah di tangannya, berdecak dalam hati Jia bangkit.Tanpa berkata apapun ia yakin jika gaun itu di sediakan Revandro, yah mengingat hanya Pria itu yang mampu bersikap perhatian. Berarti Vier sudah pergi, kan? Tapi walau begitu ia tidak ingin mengenakan gaun itu."Jangan bilang jika aku harus memakai gaun itu?" Ungkap Jia dengan satu jari telujuk yang mengarah pada gaun di tangan Maragaret."Iya. Bos sendiri yang memilihkan gaun ini untuk Nona," Balas Margaret dengan seutas senyum kecil."Aku tidak mau, lagipula aku tidak suka pesta-""Tidak Nona, maksud Bos mengirim gaun ini untuk di pakai makan malam. Bos ingin makan berdua dengan Anda," Jelas Margaret y
Setelah kejadian suram berlalu, Margaret kini terlihat tengah mendandani Jia. Yah, Jia cukup risih dengan penampilannya saat ini yang terlibat bagai countess bangsawan eropa pada abad pertengahan dengan gaun merahnya yang mencolok. Ah... Jangan lupakan cincin permata, kalung, gelang mewah yang melekat pada tubuhnya.Untuk beberapa saat ia terkekeh pelan melihat penampilannya, bagus! Tinggal di tambah mahkota saja, maka Dia akan berubah menjadi jelmaan Ratu Elisabeth yang memimpin britania raya."Sudah lama sekali." Guman Jia sangat amat pelan, yang terdengar hampir seperti sebuah bisikan. Sehingga Margaret tidak dapat mendengarnya, apalagi wanita itu terlihat fokus pada kegiatannya.Bernafas berat, ia termenung. Ingin rasanya ia mencabik-cabik Revandro saat ini, dan mengulitinya hidup-hidup. Eh, tunggu! Mengapa ia bisa berpikiran kejam bak psikopat itu? Tidak, ia hanya bercanda. Oke?Sampai lamunannya buyar oleh perkataan Margaret yang tiba-tiba, "Mari keluar Nona, Bos sudah menungg
Setelah beberapa saat berjalan, Jia akhirnya sampai di tempat makan. Tempat Revandro menunggunya, ia kemudian duduk berhadapan dengan Revandro.Beberapa detik hanya terdengar dentingan alat makan yang saling beradu. Keheningan terjadi, Jia tampaknya enggan untuk membuka suara. Dan sepertinya, Revandro juga bersikap acuh tak acuh.Tapi bukan tak mungkin jika Revandro terus melirik Jia lewat ekor matanya, mengawasi ekpresi Perempuan di depannya yang datar.Jelas saja ekpresi Jia tidak bersahabat dan masam, lagipula siapa juga yang mau di lihat secara intens saat makan? Dari tatapan Revandro, Jia tahu jika Pria itu tengah menganggumi parasnya. Ditambah lagi, aura yang ia keluarkan adalah aura khas keturunan Hernso. Membuat Jia menjadi sangat berbeda di mata Revandro.Detik berikutnya, Revandro melepas pandangannnya dari Jia. Meminum winenya sekali teguk, sebelum kembali menatap Perempuan itu. "Ada yang ingin kau katakan?" Tanya Revandro saat Jia balas menatapnya."Apa kau tidak akan mele
Bukannya takut, Jia malah terlihat tidak peduli. Ia bahkan terus mempertahankan ekspresinya yang memandang remeh Revandro, "oh, aku jadi penasaran. Apakah yang akan kau lakukan jika kesabaranmu itu habis?""Kau cukup mengenalku Jia. Kau tahu apa yang bisa kulakukan padamu,""Membunuhku, kah?" Revandro bungkam tidak menjawab, matanya menubruk retina terdalam Jia yang tampak api kobaran amarah yang semakin besar di sana.Berikutnya ia menunduk, menjatuhkan pandangannya pada jam yang melingkar pada pergelangan tangannya. Sudah waktunya, kegiatan inti yang harus ia lakukan sebelum malam semakin larut.Bangkit dari posisinya, merapikan jasnya. Sorot mata Revandro yang tajam menenang, "berdiri. Ikut aku," katanya dengan nada tenang."Kalau aku tidak mau, bagimana?""Kau ingin kuseret Jia sayang?""Dasar tidak waras, begitukah caramu membuatku jatuh cinta padamu?"Revandro tersenyum lembut penuh arti, "aku tidak peduli, mencintaiku adalah pilihanmu jika tidak ingin terus menjadi tawanan di