“Makasih, ya, sudah menemaniku buka puasa…” ujar Rizal sambil mengecup puncak kepala Ratih. Rambut yang tak tersentuh creambath perawatan sebelum menikah pun tetap wangi karena tak lupa Ratih keramas sebelum acara akad nikah tadi pagi. “Puasa apaan sih?” Ratih masih keheranan. Dari tadi Rizal membahas mengenai buka puasa. Pria itu menatap Ratih sembari menahan tawa. Dia lupa kalau perempuan polos macam Ratih belum tentu mengerti maksudnya. “Lupakan saja,” ujar Rizal kemudian. Lalu ia merengkuh pinggang Ratih dalam pelukannya. Ada perasaan yang tak dapat terlukiskan, saat posisinya sedekat itu dengan lelaki asing, yang kini menjadi suaminya. Lelaki yang dulu dalam impiannya, meski kadang sangat dibencinya. “Mas!” Ratih mulai belajar membiasakan diri memanggil “Mas”. Ratih tak ingin melewatkan malam pertamanya dengan tidur terlalu cepat. Dia pun ingin bicara panjang lebar tanpa rasa canggung. Ternyata apa yang baru dialaminya, membawa perubahan besar terhadap perasaannya pad
"Ayo kalau sudah siap semua, kita berangkat." Hasan memberi aba-aba. Beberapa mobil sudah parkir di jalan depan rumah. Ceritanya hari ini keluarga besar Ratih akan mengantar Ratih ke keluarga Rizal. Di rumah orang tua Rizal akan diselenggarakan tasyakuran. Meski ini pernikahan kedua, bagi Rizal, tetangga dan saudara harus tahu status barunya, dan siapa yang halal mendampinginya kini, termasuk, ibu sambung bagi putrinya. Ratih dah Rizal naik mobil yang dikemudikan Hasan. Bukan mobil seperti pengantin pada umumnya. Bahkan, dalam mobil nggak hanya mereka berdua, ada bapak dan ibunya juga. Ratih mengenakan kebaya yang dipadu dengan kain batik, namun yang simple model rok. Batik bawahan yang dikenakan Ratih senada dengan batik yang dikenakan Rizal. Karena acara hanya tasyakuran sederhana, Ratih tak perlu menyewa jasa make up. Dia hanya memulas bedak natural saja. Selain mobil yang membawa Ratih dan orang tuanya, ada rombongan saudaranya dan juga rombongan yang membawa oleh-oleh keluarg
Perasaan Ratih tak karuan mendengar ucapan wanita itu. Jelas-jelas dia membandingkan dengan dirinya dan mantannya Rizal. Ratih pun tahu, kalau mamanya Sasti memang cantik. Jauh lebih cantik dari dirinya. “Prita! Stttt!” Budenya Rizal meletakkan telunjuk di depan bibir. Matanya tajam menatap wanita muda yang bernama Prita itu. Prita duduk di sofa berseberangan dengan Ratih. Matanya memindai Ratih dari atas ke bawah dan sebaliknya dengan tatapan remeh. Tatapan itu membuat Ratih menjadi tak enak hati. Beruntung, tak lama Rizal masuk. “Eh, Prita. Baru datang?” sapa Rizal. Terdengar nada akrab membuat Ratih penasaran. Apa hanya sekedar saudara, atau lebih dari itu. “Iya, Mas.” Prita membalas dengan manja. Ekor matanya melirik ke arah Ratih. “Prita ini temennya Desti, Dik.” Rizal menambahkan penjelasannya. Pantas saja dia menyebut nama Desti, gumam Ratih dalam hati. Dan tampak jelas Prita berpihak pada Desti. “Udah kenalan?” tanya Rizal. Pria itu menatap Ratih dan Prita bergantian.
Sejak Prita pergi perasaan Ratih tidak karuan."Aku membutuhkan klarifikasi," gumam Ratih. Dia masih memikirkan ucapan Prita. Apa mungkin mengada-ada. Tapi faktanya memang keluarga Rizal tak banyak yang datang di acara saat di tempat Ratih. Setelah tetangga-tetangga dan kerabat pamit pulang, Ratih baru berani masuk ke kamar. "Mbak Ratih, aku nitip Sasti ya. Ini semua perlengkapan Sasti ada di dalam," ucap Siti sambil membawa tas milk Sasti ke kamar Rizal. "Oh, Iya, Mbak. Biar Sasti sama saya," sahut Ratih. Siti meletakkan tas berisi perlengkapan Sasti ke sudut kamar."Sebenarnya, sejak Rizal pisah sama mamanya Sasti, biasanya Sasti tidur sama saya, kalau mudik begini. Cuma, saya sudah lama nggak ngobrol sama ibu dan saudara-saudara. Mumpung pada ngumpul dan mumpung ada Mbak Ratih." Saudara Siti adalah saudara Rizal juga. Beberapa saudara mampir ke rumah orangtua Siti yang letaknya hanya berbatas pagar dengan rumah orang tua Rizal. "Sasti sudah makan kok, Mbak Ratih. Habis isya,
Begitu Rizal keluar kamar, perasaan Ratih tak enak. Dia seolah de javu mengingatkan pada masa putih abu-abu. Bagaimana Rizal dahulu pernah marah padanya. "Papa marah ya, Bunda?" tanya Sasti. "Nggak. Papa nggak marah. Hanya ngasih tahu ke kita. Harus ijin dulu. Bunda yang salah. Bunda minta maaf ya." Ratih mengusap kepala Sasti. Penuh sesal menyelimuti dadanya. Hingga habis isya, Rizal tidak masuk kamar. Meski Ratih masih samar mendengar suara Rizal ngobrol di luar sana, tapi rasa bersalah berjejalan di dadanya. "Sasti bobok dulu, yuk. Sudah malam," ajak Ratih. "Baca buku ya, Bunda. Tapi, Bunda bacanya yang bagus ya...." Ratih tersenyum dengan permintaan putri sambungnya. "Iya. Tapi, Bunda masih belajar. Janji, besok-besok lebih bagus lagi." Ratih berusaha mengalihkan pikirannya dari kemarahan Rizal. Namun, hingga Sasti terlelap, pikirannya kembali pada Rizal lagi. Demi mengusir pikiran yang tak karuan, Ratih keluar kamar. Berharap dia menemukan Rizal di ruang tengah. Namun, te
"Tadi Mbak Siti nitip, karena mau ngobrol sama saudara-saudara dulu di rumah," jelas Ratih, dengan intonasi setengah berbisik. Dia khawatir Sasti terjaga karena suara mereka. Rizal mendesah, lalu keluar kamar. "Kamu mau kemana?" Ratih buru-buru menarik tangan Rizal untuk mencegahnya. Dia belum mengajak bicara, apalagi minta maaf. Jangan sampai Rizal urung tidur di kamar dengan membawa amarah, gumam Ratih. Tapi, Rizal malah mengibaskan tangan Ratih. Pria itu tetap keluar kamar. Ingin rasanya Ratih mengejar, namun, dia tak mau bertindak bodoh. Itu bukan rumahnya. Jangan sampai membuat gaduh. Apalagi mereka masih pengantin baru. Jangan sampai ada yang mengira mereka sedang berantem. Ratih berusaha menahan diri. Dia ingat, ada yang akan senang, jika hubungannya dengan Rizal retak. Itu tak boleh terjadi, bisiknya. Namun, tak lama Ratih bisa menarik nafas lega. Rizal kembali ke kamar dengan membawa gulungan kasur. Rupanya dia keluar karena ingin mengambil kasur cadangan. Karena, tempa
Lancang? Ratih benar-benar tak menyangka. Dua kali dia sudah berbuat salah, pada selang yang tak terlalu lama. Dan dua-duanya adalah karena kelancangannya. Secepat itukan Rizal menyimpulkan tentangnya? Atau memang Ratih yang salah, belum meminta ijin. Haruskan seorang suami istri, semua hal kecil harus minta izin, tanpa boleh berinisiatif? Ratih pernah mendengar, seorang laki-laki, kalau hasratnya tidak tersalurkan, maka kemarahannya menjadi tak terbendung. Itulah alasannya, seorang istri tidak boleh menolak, jika suaminya sedang menginginkan. Ratih mengerti, Rizal adalah seorang duda, yang mungkin sudah menahan diri selama dua tahun. Namun, tak bisakah dia menunda sejenak, toh esok hari mereka akan berbulan madu? Ratih menarik nafas. Satu yang ditakutkannya, malaikat tidak menaunginya sampai esok hari. Kalau dulu dia pernah mendapat marah dari Rizal, tapi pria itu bukan siapa-siapanya. Tentu berbeda dengan sekarang. Tak sampai sepuluh menit, Rizal sudah kembali. Pria itu sengaj
Suara gaduh di luar kamar membuat Ratih menghentikan gerakannya berkemas. Namun, Ratih ragu untuk mengintipnya keluar. Ratih tahu diri kalau dia anggota keluarga baru di rumah itu. Namun, suara Prita yang terdengar olehnya benar-benar menganggunya. “Lagian, kamu kok kesannya buru-buru nikah sama Mbak Ratih. Memang ada apa? Kamu dijebak sama Mbak Ratih? Tampangnya aja polos, tapi pinter juga mainnya.” Nada suara Prita yang terdengar menyindir, membuat hati Ratih semankin merasa tersayat. Tak hanya terkesan menuduh, namun juga merendahkan. Proses pernikahan antara Rizal dan Ratih memang cepat. Namun, itu tak seperti yang dituduhkan Prita. Ratih hanya mengikuti rencana yang telah ditentukan oleh keluarganya, karena kebetulan adiknya mau menikah. Dan Rizal yang banyak komunikasi dengan keluarganya, menyetujui rencana itu. Ratih tak terlalu terlibat dalam penentuan waktu. Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah, orang tua Ratih yang sudah tahu siapa Rizal. Kebetulan salah satu sauda