Makasih yang sudah mengikuti cerita ini. Jangan lupa dukung ceritaku yang lain. Silahkan mampir ke cerita best sellerku: BIARKAN AKU PERGI KETIKA DIRIMU MENDUA Semoga suka...
"Des, salamin dong buat supir gantengmu," tukas Indira suatu hari. Dia adalah sepupuku yang kadang ke rumah. "Heh, ganteng dari mana? Matamu lupa nggak pake contact lens ya?" balasku. Bagiku, Rizal biasa saja. Dia hanya seorang mahasiswa. Secara fisik ya hanya postur yang boleh lah, tinggi. Tapi, body kerempeng, dan kulit lusuh dan kusam, sama sekali tidak terawat. Tak heran juga kalau dia menerima pekerjaan sebagai supir. "Eh, dia itu cuma dekil doang. Ibarat batu permata, belum digosok. Coba kalau udah digosok, kilaunya baru terlihat." "Hmmm. Sok tau kamu!" Sepintas lalu, aku tak menanggapi ucapan Indira. Tapi, karena dia berulang-ulang menyebutnya, mengagung-agungkannya, bagaimana bisa aku tak berubah pikiran? "Anak muda jaman sekarang, nyambung ngobrol sama orang tua, apa nggak hebat? Di saat anak muda memikirkan dirinya sendiri, dia bisa menanggapi hal-hal serius," puji Indira. Selain Indira, BAng Desta dan Papa juga tak henti-hentinya memuji. "Anaknya baik, sopan, t
Sejenak kami hanya saling diam. Namun begitu, diam-diam terbersit rasa kagum padanya. Dia yang berubah drastis dalam waktu dekat, tak menutup kemungkinan akan setara dengan papa di masa depan. Benar kata papa, Rizal punya potensi besar untuk maju. "Aku hanya orang biasa. Orang tuaku pun orang biasa yang tinggal di kampung," ucap Rizal. "Namun, aku akan tetap berusaha menjadi orang yang luar biasa," sambungnya. Aku tersenyum. Rizal bukan lah orang pertama yang menyatakan ketertarikannya padaku. Dan aku bisa memahami maksud pembicaraannya itu. "Aku nggak mempermasalahkan dari mana dia berasal," bohongku. Meski dalam hati, Gavin lah yang terbaik. Tapi, apa salahnya dicoba. Toh, memang aku sedang sendiri saat ini. Pria yang kutunggu pun tak jelas kabar beritanya. Satu-persatu temanku juga sudah naik ke jenjang rumah tangga. Sementara aku? Hanya sibuk dengan diriku sendiri saja. Sejak itu aku dan Rizal mulai menjajagi sebuah hubungan, meski sebenarnya aku tak terlalu sreg denganny
Sebagaimana kata Papa, hidup dengan Rizal, akhirnya aku diperlakukan bak seorang ratu. Dia memberiku apa saja yang aku mau. Jika tidak mampu, dia akan berusaha hingga keinginanku tercapai. Tak pernah ada cela selama hidup dengannya. Tak lama, hadirlah buah hati kami. Meski aku tak bekerja, hari-hariku hanya diisi dengan kegiatan bersantai, namun aku tak mengurus Sasti seratus persen. Ada kakak sepupu Rizal yang sudah kami angkat sebagai baby sitter Sasti. "Kenapa kamu nggak kasih ASI kamu sendiri, Dik?" tanya Rizal saat beberapa hari usai melahirkan. Dia tak langsung bertanya, meski sejak hari pertama aku tak memberinya ASI. "Aku nggak mau bentukku jelek, Mas. Toh, Sasti juga kita beri susu formula yang berbaik. Harga satu kalengnya ratusan ribu," terangku, sambil memberikan penjelasan kalau anak-anak orang kaya juga melakukan hal yang sama, buktinya, anak-anak mereka tetap cerdas dan sehat. Rizal tak pernah menyanggah apa pun yang kukatakan padanya. Baginya, aku selalu benar
“Des, kamu bukan Desti yang dulu lagi. Hubungan ini salah. Kamu harus kembali pada keluargamu,” ucap Gavin ketika kesekian kalinya Desti mengajaknya bertemu. Mereka menjalin kembali cinta yang pernah kandas. Beruntung, Gavin segera menyadari, bahwa yang dilakukan tidak benar. “Kak, aku mencintaimu. Aku selalu menunggumu. Aku tak pernah mencintai Rizal. Bahkan sampai sekarang, hubunganku dengan Rizal hanya sebatas formalitas saja,” ucap Desti. Gavin memejamkan matanya seraya menghela nafas. “Apapun itu, kamu masih punya ikatan dengan Rizal. Dan aku tak mau menjadi orang ketiga dalam hubungan kalian,” ucap Gavin. “Kak, katakan padaku, kalau kamu masih mencintaiku,” ucap Desti seraya meraih tangan Gavin. Mereka berdua sedang makan malam di salah satu restoran mewah di bilangan Jakarta Pusat. Gavin hanya terdiam. “Kak, aku akan minta pisah dari Rizal, asal kamu mau kembali padaku!” ucap Desti dengan penuh kesungguhan. Serta merta Gavin menarik tangannya. “Kamu jangan gila
Siang itu, Rizal bergegas pulang ke rumah untuk makan siang. Rizal mencoba ingin memperbaiki hubungannya dengan Desti. Siapa tahu selama ini, Desti hanya merasa kesepian karena kesibukan Rizal. “Mamanya Sasti kemana, Mbak?” tanya Rizal saat mendapati rumah sepi. Sasti, meskipun baru tiga tahun sudah disekolahkan ke playgroup. Mbak Siti yang sebenarnya sudah mewanti-wanti jauh-jauh hari agar Rizal mulai banyak membagi waktu untuk Desti ragu untuk berbicara. Bagaimanapun, dia tak ingin mengadu domba antara mamanya Sasti dengan adik sepupunya itu. Dia takut menjadi penyebab hancurnya rumah tangga. Rizal menatap Siti lekat, namun kemudian memahami bahwa kakak sepupunya sedang tak ingin dicecar. Usai menghabiskan makan siangnya, Rizal buru-buru menelpon Anto, supir pribadi Desti. “Kamu dimana, Tok?” tanya Rizal. “Ehh…lagi nganter ibu, Pak. Di mall,” sahut Anto. “Kirimkan share loc, ya, aku mau bikin kejutan untuk ibu. Kamu nggak usah bilang-bilang,” ucap Rizal. Rizal sesung
Hampir saja Rizal menonjok wajah Gavin, andai Anto tak segera datang menahan tangannya. Entah kapan Anto sudah berdiri di belakangnya. Padahal tadi Rizal melihat wajah Anto yang pucat dan hendak dibelikan minum olehnya. Justru kini Anto lah yang menenangkannya.“Sabar, Pak!” bisik Anto sembari menarik tangan Rizal, agar pria itu mundur. Rizal menghela nafasnya sembari berjalan menjauh. Tangannya masih gemetar. Jantungnya masih berdegup kencang. Bahkan rasanya darah masih naik di ubun-ubun. Anto mengikutinya di belakang, setelah Desti memberinya kode agar Anto pergi. “Sebaiknya kamu selesaikan masalahmu dengan Rizal. Aku tak ingin menjadi orang ketiga dalam pernikahan kalian,” ucap Gavin pada Desti. “Kamu bukan orang ketiga, Kak. Justru Mas Rizal adalah orang ketiga dalam hubungan kita.” Desti masih saja membela dirinya sendiri. “Yang jelas, selama kamu masih istri sahnya, aku tak ingin lagi bertemu denganmu. Aku tak ingin di antara kita mendapat masalah. Berat resiko yang harus
Lagi-lagi Rizal menghela nafas berat. Setelah selesai menyesap kopinya, Rizal pun mengajak Anto pulang. Mereka mengemudikan mobil masing-masing. Anto sudah mendapat kabar kalau Desti pulang dengan menumpang taksi. Sesampai di rumah, tekat Rizal bulat, dia harus memperbaiki hubungannya dengan Desti. Apapun itu kesalahan, selama masih dapat diperbaiki, masih ada jalan untuk kembali. Entah jam berapa Desti tiba di rumah. Rizal menunggu hingga larut, namun tak kunjung pulang. Hingga ia pun terlelap.Namun Rizal lega, saat pagi-pagi hendak ke masjid, dilihatnya Desti sudah tidur di kamar sebelah. Rizal menghela nafasnya berat. Tak mudah ternyata menjadi nahkoda dalam rumah tangga. Selama ini, dia sangat membebaskan Desti, sebagai bentuk cintanya pada wanita yang diperlakukan laksana barang mahal yang khawatir pecah jika disentuh. Namun, Rizal kini paham. Seharusnya, dia menjaga Desti dan mengarahkan, agar tidak tersesat. Bukan membiarkannya, hanya karena dia terlalu mencintainya. R
Mobil yang dikendarai Rizal berhenti di depan rumah besar milik keluarga Desti. Desti segera turun dan masuk rumah saat Rizal masih turun dari mobil. Pria itu hanya mampu menatap wanita yang masih resmi jadi istrinya. Rizal menyusul masuk, lalu menemui mertuanya yang sedang santai di ruang tengah. "Duduk, Nak Rizal." Bibi yang bekerja di rumah orang tua Desti dengan sigap mengeluarkan minum dan cemilan. Papa Desti sedikit heran dengan sikap Rizal yang agak berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Meski putrinya tak pernah berubah, namun biasanya Rizal bersikap hangat. Pagi itu, ada ketegangan tergambar di wajah Rizal. "Bi, bisa panggilkan Desti?" pinta Rizal pada bibi yang akan undur diri. "Saya perlu bicara dengan Papa dan juga Desti," lanjut Rizal seraya menatap Papa Mertuanya. Dengan malas, Desti menuruni tangga. Tingkahnya belum berubah, meski kini sudah menjadi seorang ibu. “Pa, saya antar Desti pulang, karena dia menginginkannya." Rizal membuka pembicaraan, setelah Dest