Share

HANCUR SUDAH

Citra yang duduknya berhadapan dengan Rani, segera menoleh ke belakang mengikuti arah Rani melihat. 

Seketika mata Citra langsung membulat sempurna.

Begitu juga Firman. Pria itu tak menyangka Citra, istrinya, ada di Surabaya. 

“Citra!” Citra mengulurkan tangannya sambil tersenyum menyebutkan namanya, seolah tidak mengenal Firman. 

Firman ragu melihat uluran tangan itu. Namun, demi menutupi fakta yang sesungguhnya di depan Rani, terpaksa dia menerima uluran tangan singkat itu. 

“Mas, ini Citra sahabatku SMA.”

Bak disambar petir mendengar ucapan Rani. Mata Firman seketika membulat, lalu segera mencoba mengendalikan diri. Firman segera menunduk, tak berani menatap Citra lebih lama. Gemuruh di dadanya tak karuan. Degup jantungnya menjadi tak menentu. Rasa bersalah dan malu pada istrinya, bercampur menjadi satu. 

Bersamaan dengan itu, Rani pindah posisi duduk, mendekat ke Citra. Kini, kedua istrinya duduk bersebelahan, membuat denyut jantung Firman semakin tak karuan. 

Sedang Citra berlaku sebaliknya. Meski hatinya hancur, tapi mata wanita itu tajam menatap pada Firman. Lelaki yang sudah bertahun didampinginya, dari bukan siapa-siapa. Dan kini, setelah sedikit saja menjadi orang, nyatanya telah berani bermain api di belakangnya. 

“Ohya, Rani. Aku naik pesawat jam enam. Jadi, mesti buru-buru ke bandara. Aku duluan, ya.” Citra berucap dengan suara bergetar, menahan luka yang menganga. 

“Citra, kami antar, ya. Ya, Mas?” Rani yang berbahagia, dapat memamerkan punya suami pada sahabatnya ini, tak segan memberi tawaran, sekaligus memohon pada suaminya agar bersedia mengantar sahabatnya ke bandara. 

Firman tergagap. Ia ingung antara menghiyakan atau menolak. Posisinya sungguh sulit. 

“Ngga usah, Rani. Aku sudah pesan taksi. Sampai ketemu lagi ya.” Citra setengah berlari kecil menuju lift setelah memberikan pelukan pada sahabatnya. Hatinya sudah hancur. Air matanya pun tak kuasa terbendung. 

Dia menolak karena sudah tak tahan lagi. Tak mungkin dia akan bersama Firman dan Rani lebih lama lagi. Apalagi, Rani tampak sangat bahagia. 

Di dalam taksi menuju bandara, pikiran Citra berkelana tak tentu arah. Salah apa dia dengan Firman hingga suaminya itu dengan tega mengkianatinya. Tragisnya, dengan sahabatnya sendiri. 

Apa yang kurang dari Citra? Apakah dia kurang baik dalam melayani Firman?

Citra menggeleng. Selama ini, kehidupan mereka baik-baik saja. Setiap ada pertengkaran, hanya pertengkaran kecil yang tak berarti. Semua akan selesai dengan pelukan hangat dan saling memaafkan. Lalu mengapa Firman berpaling? 

Sampai di Jakarta, Citra segera membersihkan diri. Anak-anak sudah tertidur pulas. Besok adalah jadwal Firman kembali ke Jakarta. Citra harus sudah bisa berfikir jernih dan tidak mengedepankan emosi. Saat ini, yang dipikirkan Citra adalah nasib ke tiga buah hatinya.

"Aku tak boleh rapuh," desis Citra. 

Malam semakin larut, Citra pun tak dapat memicingkan mata. Bulir bening di matanya tak jua berhenti mengalir. Bayangan Firman dan Rani masih tampak jelas di pelupuk mata.

"Kenapa harus Rani? Kenapa?" tanya Citra dalam hati. 

"Mas Firman, apa yang kamu inginkan sesungguhnya, Mas? Apakah kamu selama ini tak bahagia denganku? Atau sebenarnya kamu tidak mencintaiku?" desis Citra lagi. 

Citra menggeleng.

Semuanya seperti hanya mimpi. Bukan nyata. Kegembiraannya bertemu teman lama, justru membawanya melihat kenyataan yang sama sekali di luar dugaan. 

***ETW***

Rani sudah tertidur pulas. Namun mata Firman tak juga terpejam. Pikirannya sibuk menyiapkan apa yang akan dikatakan esok kepada Citra. Alasan apa yang bisa dia sampaikan? Khilaf? Apa benar khilaf? Terlalu klise!

Ada penyesalan dalam lubuk hati Firman. Tapi semuanya sudah terlanjur. Bahkan, Firman pun belum sanggup mengatakan yang sesungguhnya kepada Rani. Terlebih orang tua Rani. 

Ini memang sebuah kesalahan. Tapi bagaimana ia dapat memperbaikinya? 

Apa yang harus Firman katakan nanti, kepada orangtua Citra, kepada orang tuanya tentang status barunya. Penyesalan pun tiada berarti. 

Akankah Citra menerima Rani? Ataukan Citra akan menerima maafnya? Berbagai kemungkinan memenuhi otak Firman. 

“Mas, bangun. Sudah pagi. Kamu harus berangkat dengan penerbangan pertama kan?” Rani menggoyang-goyang bahu Firman. Pria itu tertidur kala pagi hampir menyapa, sehingga membuatnya bangun kesiangan.

Firman segera beranjak ke kamar mandi. Pikirannya masih dipenuhi hal-hal yang meresahkan. Tak pernah dia merasakan seresah ini. Dia sangat mengkawatirkan penerimaan Citra setiba di Jakarta nanti. 

“Kamu kenapa, Mas? Kok seperti ngga senang mau balik ke Jakarta? Mau besok aja balik Jakarta?” goda Rani.

Rani tentu saja masih ingin bersama Firman lebih lama. Kalau tidak kerja, rasanya ingin ikut Firman ke Jakarta. 

“Mas, boleh ngga akhir pekan ini aku yang ke Jakarta? Aku juga ingin jalan-jalan dan nginep di rumahmu,” kata Rani saat mengantar Firman ke bandara. 

“Mas, kok diem aja.” Rani menyenggol lengan Firman.

“Eh—Iya boleh. Nanti Mas atur,” jawab Firman tergagap. Sepertinya Firman harus menyiapkan apartemen jika sewaktu-waktu Rani memaksa datang ke Jakarta. Tidak mungkin diajak menginap di rumahnya atau di hotel. 

Tapi yang terpenting sekarang adalah, bagaimana dia harus berbicara dengan Citra, dan mengambil hati Citra kembali, pikirnya.

Mobil yang membawa Firman dari Bandara Soekarno-Hatta sudah tiba di depan rumah Firman. Rumah di daerah penyangga Jakarta. Rumah yang dibangun dengan keringatnya bersama Citra. Tak ada arti apa-apa Firman tanpa Citra. 

“Papa pulang!” teriak Rio dan Romi sambil menghambur ke luar rumah. Anak-anak yang berumur 5 dan 3 tahun ini memang sedang aktif-aktifnya. 

Firman segera membentangkan tangannya dan memeluk kedua buah hatinya. 

“Adik Rara mana?” tanya Firman sambil menciumi kedua putranya. 

“Lagi sama Mama,” jawab Rio sambil berlarian masuk kembali ke rumah. 

Jantung Firman bergemuruh saat dia melangkah masuk ke dalam rumah. Dia sudah membayangkan bagaimana Citra akan marah kepadanya. 

Dipindainya dalam rumah. Tidak ada Citra di ruang tamu, ruang tengah ataupun ruang makan. Firman bergegas ke kamarnya sambil membawa kopernya. 

Kosong!

Firman menghela nafasnya. Mempersiapkan mentalnya untuk bicara dengan Citra. Wanita yang sepanjang hidupnya setia padanya, tak pernah sedikitpun membuatnya marah dan kesal. Tapi kini, dia telah menyakitinya, di depan mata kepalanya. 

Firman beranjak ke kamar Rara. Dibukanya pintu kamar itu perlahan. Jantungnya bergemuruh saat dilihatnya ada Citra di sana sedang duduk dikursi membelakanginya. Menghadap ke jendela besar yang menghadap ke luar. Tentu saja, Citra pasti sudah tau kedatangannya. Dari jendela itu, Citra bisa melihat lalu lalang di depan rumahnya. 

Pelan-pelan Firman berjalan mendekati Citra. 

“Dik, “ panggil Firman.

Citra tak bergeming. Air mata Citra belum juga berhenti menetes. 

Sejak pagi memang dia memutuskan mengurung diri di kamar Rara dan meminta Mbak Susi, pengasuh Rio dan Romi, untuk mengajak anak-anak bermain tanpa mengganggunya.

Citra ingin sendiri. Hanya Rara yang ada dipelukannya. 

“Dik, Mas minta maaf,” bisik Firman sambil membungkukkan badannya, mendekap tubuh Citra dari belakang. 

Rara yang sedang menyusu, langsung bangun begitu melihat Papanya. Tangan Rara mengapai-gapai papanya seperti minta digendong. Rara serta-merta terkekeh begitu melihat papanya melepas rengkuhan ke mamanya dan menyambut gapaian tangannya. 

Citra tetap bergeming. Pandangannya masih kosong ke luar jendela.

Firman dibuat salah tingkah melihat Citra yang hanya berdiam. Biasanya, istrinya itu selalu hangat menyambut kedatangannya, meski selama ini, diam-diam dia telah berkhianat. 

Hingga malam menjelang, Citra masih saja belum mengucapkan sepatah kata pun pada Firman. Lidahnya masih kelu. Citra hanya berbicara ke anak-anak, seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi, tidak ke Firman. 

“Dik, kamu ngga tidur di kamar?” tanya Firman saat sudah larut malam, Citra masih di kamar Rara. Hati Firman sangat pedih. 

Jika ingin memilih, sepertinya lebih baik Citra memarahinya, memakinya, dibandingkan didiamkan seperti ini. Citra yang biasanya periang dan cerewet, tiba-tiba berubah menjadi dingin. 

Firman duduk di tepi ranjang milik Rara, di mana Citra terbaring membelakanginya sambil memeluk Rara. Diraihnya jemari tangan Citra. Wanita itu tak menepisnya, tapi juga tidak menyambutnya.

Citra seperti sudah mati. 

“Dik, Mas minta maaf.” Diciumnya jemari tangan itu. 

Air mata Firman pun tak kuasa dibendung. Menetes hingga terjatuh membasahi selimut yang menutupi tubuh Citra. Namun Citra bergeming. 

***ETW***

Saat pagi menjelang, Citra terbangun. Dan Firman masih tertidur dengan posisi duduk di lantai dan kelapa menyandar di kasur.

Pelan-pelan Citra beranjak dari kamar Rara. 

Seperti biasa, Citra segera menunaikan tugas rumah tangganya dari pagi buta, termasuk menyiapkan perlengkapan kerja Firman. Lalu, semua hal di rumah itu berjalan normal, seperti tak terjadi apa-apa. 

"Papa masih capek, ya, Ma?" Begitu Rio dan Romi bertanya. Mereka sudah paham kalau kadang ada saat Papanya tidak bisa diganggu. 

Firman pun terbangun saat matahari menyoroti dalam kamar, dan terdengar suara rengekan Rara.

Pria itu memindai sekitar setelah mengerjap. Tak ada Citra di kamar. Hanya bayi mungil itu yang mulai tak nyaman karena hari telah siang. 

Segera Firman meraih Rara dalam gendongan dan membawanya turun untuk mencari Citra. 

“Mbok, Bu Citra mana?” tanya Firman ke Mbok Sumi, asisten rumah tangganya. 

“Sudah berangkat barusan, sama anak-anak,” jawab Mbok Sumi sambil meraih Rara untuk segera dimandikan. 

Firman menghela nafas.

Sakit sekali rasanya didiamkan oleh Citra. Baru kali ini dalam hidupnya dia tidak dianggap. 

[Mas, Sabtu ini aku jadi ke Jakarta, ya. Aku sudah pesan tiket. Antar aku ketemu Citra, ya!]. 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Makanya jangan bertingkah jadi suami sudah punya anak tiga malahan selingkuh
goodnovel comment avatar
Isabella
bikin dag Dig dug
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status