Share

DIMADU DENGAN SAHABAT SENDIRI
DIMADU DENGAN SAHABAT SENDIRI
Author: ET. Widyastuti

PERTEMUAN TAK TERDUGA

“Jadi, Nak Firman, kapan orang tua nya akan datang melamar Rani?” tanya Ayah Rani.

Namanya Maharani. Usianya nyaris kepala tiga. Karir di kantornya bagus, hingga dia melupakan mencari pendamping. Di saat semua teman sekolah dan teman kuliah sudah membahas masalah menikah dan berkeluarga, Rani justru sibuk dengan karirnya. Lama-kelamaan, dia menarik diri dari aktivitas sosialnya.

Entah bagaimana awalnya, Firman, penanggungjawab proyek yang bekerjasama dengan kantor Rani menjalin hubungan dekat dengannya. Yang tadinya hanya sebatas urusan kerja, lama-kelamaan hubungan keduanya menjadi nyaman dan saling bergantung. Tak jarang Firman bertandang ke rumah Rani dari sekedar mengantar pulang, hingga benar-benar menghabiskan waktu di saat luang.

Firman yang tidak menyangka dengan pertanyaan Ayah Rani tergagap. Dia tak menyangka jika harapan orang tua Rani sampai sejauh itu. Karena Firman sendiri selama ini hanya ingin mengisi kekosongan selama mengerjakan proyek di Surabaya.

Kantor Pusat tempat Firman bekerja ada di Jakarta. Begitu juga dengan keluarganya. Di Surabaya, dia hanya bertugas sementara hingga proyeknya selesai. Karena hanya sementara, tak mungkin istrinya harus keluar kerja untuk mengikuti penugasannya.

“Tidak enak sama tetangga, Rani anak gadis, sering pergi dengan laki-laki yang bukan siapa-siapanya,” sambung Ayah Rani sebelum Firman menjawab.

“Maaf, Om. Saya belum bisa memastikan. Soalnya sampai tahun depan kantor saya di Jakarta sedang sibuk-sibuknya. Dan sepertinya tidak bisa saya tinggalkan.“ Firman mencoba mencari alasan. 

Ingin menjawab yang sesungguhnya, kalau sebenarnya dia adalah pria beristri, sepertinya bukan saat yang tepat. Bagaimana bisa seorang pria beristri dekat dengan wanita lain? Jika dia melakukannya, pasti Ayah Rani akan mengusirnya. Firman pikir, lebih baik untuk mengulur waktu, sementara dia punya jawaban yang tepat.

“Kami paham dengan kesibukan Nak Firman. Begini saja, saya sebagai orang tua, takut kalau kenapa-kenapa. Apalagi Rani kan anak perempuan kami satu-satunya. Bagaimana kalau kalian menikah dulu saja. Nanti, kalau Nak Firman sudah longgar, kita bisa perkenalan orang tua, sekaligus mengurus untuk meresmikannya.” Ayah Rani memberi solusi.

Pria paruh baya itu sudah sangat menginginkan Rani segera mengakhiri masa lajang. Usia hampir kepala tiga adalah usia yang rawan. Apalagi Rani punya karir yang bagus. Pria biasa saja, pasti akan minder mendekati Rani.

Dulu, saat Rani belum jadi siapa-siapa, ayahnya sudah berusaha mengenalkan dengan beberapa anak sahabatnya. Namun, selalu saja ditolak. Kini, anak-anak sahabatnya satu persatu sudah berkeluarga. Hanya Firman satu-satunya lelaki yang terlihat serius dengan Rani.

Selain tampang rupawan, Firman terlihat sebagai pria baik-baik. Pria rumahan yang bertanggungjawab. Juga tidak neko-neko. Jadi, apalagi yang harus diragukan? Apalagi usia Firman yang masih muda, seumuran dengan Rani terlihat mereka adalah pasangan yang cocok.

Entah apa yang ada dalam otak Firman saat itu. Dia menerima saja tawaran dari Ayah Rani, tanpa memikirkan keluarganya di Jakarta. Pernikahan siri yang dilakukan hanya mengundang tetangga kanan kiri, memang tak membuat tetangga curiga. Justru tasyakuran yang dilakukan untuk memperjelas hubungan mereka dan menyampaikan alasan tentang kesibukan Firman. Ayah Rani berjanji akan segera meresmikan hubungan keduanya di Kantor Urusan Agama, begitu proyek Firman selesai.

Tak terasa, pernikahan mereka sudah menginjak usia empat bulan. Proyek Firman di Surabaya juga sudah usai. Firman sudah kembali ke Jakarta, dengan alasan pekerjaan di kantor pusat, namun sesekali juga mengunjungi Rani. Apalagi Jakarta-Surabaya bukanlah jarak yang jauh.

Citra, istri Firman yang di Jakarta, tak pernah sedikit pun menaruh curiga. Firman masih sama seperti sebelumnya. Sering ke luar kota, karena memang itulah pekerjaannya. Citra juga tidak pernah mempermasalahkan keuangan karena dia juga bekerja. Gaji Firman memang 100% Citra yang pegang. Tapi, semua bonus ada di tangan Firman. 

Di samping itu, Rani yang juga wanita karir tak pernah menuntut materi dari Firman. Sehingga empat bulan punya dapur dua, tak pernah sedikit pun terendus oleh kedua istrinya.

“Sayang, minggu ini aku akan meninjau proyek di Surabaya selama seminggu,” kata Firman saat sarapan pagi bersama Citra dan anak-anaknya. 

Citra sudah biasa ditinggal dinas ke luar kota oleh Firman. Dia merasa tak pernah ada yang aneh. Apalagi kehidupan keluarganya baik-baik saja. 

Citra adalah cinta pertama Firman. Mereka kuliah satu kampus. Citra adik tingkat Firman dan salah satu mahasiswi popular. Namun, cintanya jatuh pada Firman.

Mereka berdua nikah muda, saat baru lulus kuliah. Kala itu, Firman belum siapa-siapa. Citra rela hidup susah tinggal mengontrak di rumah petak. Saat Firman masih sibuk sana sini mencari pekerjaan, Citra sudah bekerja sebagai staf admin di salah satu perusahaan swasta.

Seiring waktu, Firman diterima bekerja di tempatnya yang sekarang. Atas dukungan Citra, karirnya melesat. Citra sendiri tak pernah memikirkan karir. Dia sudah merasa cukup meski sudah senior hanya sebagai staf. Dia lebih mementingkan keluarga dan sering menolak untuk dipromosikan karena khawatir tidak sebebas sekarang jika tanggung jawab pekerjaan bertambah.

Sebagai wanita rumahan, Citra pun lebih mementingkan keluarga. Tak heran jika karirnya hanya begitu-begitu saja. Kalah jauh dengan yuniornya. Selain itu, Citra juga menarik diri dari aktivitas media sosial. Dia sering merasa minder dengan teman-temannya. Dia yang dulu popular, sekarang kalah jauh dengan teman-temannya.

“Iya, Sayang. Ohya. Aku juga minta ijin, sabtu ini ada reuni, boleh ya?” sahut Citra. 

Citra sebenarnya kurang menyukai acara kumpul-kumpul. Tapi, karena acara reuni kali ini hanya reuni kecil geng nya SMA, rasanya tak ingin untuk dilewatkan meskipun dia harus menempuh ratusan kilometer. Dia sudah kangen mengenang masa mudanya setelah sekian lama berjibaku dengan urusan rumah tangga. 

“Ya boleh, terserah mama. Yang penting hati-hati,” jawab Firman. Pria itu mengecup kening istrinya, sebelum kemudian meninggalkan Citra untuk berangkat ke kantor. Anak-anak biasanya urusan Citra.

***ETW***

“Jadi kapan kita akan menikah secara resmi?” tanya Rani sambil bermanja di bahu Firman. Minggu ini Firman sedang dinas ke Surabaya selama seminggu. Setiap dinas ke Surabaya, tentu saja Firman akan menginap di rumah Rani. 

“Nanti sayang. Mas belum sempat mengurus surat-suratnya,” dalih Firman. 

Rani hanya dapat menghela nafas untuk bersabar. Bagaimanapun Rani sangat ingin segera meresmikan hubungan mereka dan mengundang teman-temannya untuk hadir di acara resepsi pernikahannya. Rani selalu merasa risih jika bertemu teman lamanya dan ditanya statusnya. Sebuah buku nikah, jauh lebih berharga dibandingkan hanya gambar foto berdua dengan Firman.

“Ngga usah sedih, pasti nanti segera aku urus,” bujuk Firman sambil menjawil dagu Rani. 

***ETW***

Sore itu Rani dan Firman sengaja jalan-jalan di salah satu pusat perbelanjaan. Apalagi yang tidak dia lakukan selain menghabiskan waktu dengan Firman mumpung dia sedang di Surabaya. 

“Makan yuk, Mas. Aku lapar, “ ajak Rani sambil menggamit lengan Firman menuju Foodcourt di lantai lima pusat perbelanjaan terbesar di kota Surabaya. 

“Aku ke toilet dulu ya, Ran,” kata Firman setelah memesan menu.

Sedang Rani memilih menunggu menu yang dipesan sambil memainkan ponselnya. 

“Hai! Rani kan? Maharani?” Seorang wanita dengan baju tunik dan jilbab pasmina menyapa Rani. Dia mendekat, memastikan yang disapa adalah benar sahabatnya saat SMA dahulu.

Sekilas Rani mengingat-ingat. 

“Ya ampun Citra! Apa kabar?” Rani bangkit dari duduknya. Ia segera menghambur ke pelukan Citra.

Mereka berdua bersahabat saat masih SMA. Rani hampir tak mengenal Citra. Ibu muda itu jauh berbeda dengan saat SMA dulu. Dulu dia terlihat modis dan berkelas. Sementara sekarang, jauh terlihat sederhana.

Sejak lulus SMA keduanya terpisah. Mereka kuliah di kampus yang berbeda. Keadaan juga yang membuat keduanya tidak saling kontak. Rani yang menarik diri dari aktivitas sosial karena belum berkeluarga. Citra yang menarik diri karena kesibukan bekerja dan punya tiga orang anak di usia belum genap tiga puluh tahun.

“Sedang apa di Surabaya? Sama Siapa?” Rani memindai sekitar, memastikan ada seseorang yang sedang bersama Citra.

Bahkan, Citra belum sempat menjawab pertanyaan Rani sebelumnya.

“Ya ampun, Ran. Kan tadi ada reunian khusus teman-teman sekelas kita, cewek-cewek aja. Ternyata temen-temen kelas kita banyak yang di Surabaya. Kamu tadi di cari-cari lho. Acara ini 'kan sudah diposting di grup. Sudah lama dan sering dibahas,” ujar Citra antusias.

Sebenarnya, Citra tahu acara itu juga karena ada salah satu yang men-japri-nya. Tapi, ia sama sekali tidak ingat untuk menghubungi salah satu sahabatnya, Rani. Waktu itu malah kepikiran kalau Rani salah satu yang bakal datang, karena memang orang tua Rani orang Surabaya.

Kebetulan mereka dahulu SMA di Solo, saat orang tua Rani yang asli Surabaya pindah tugas ke kota itu. Sementara, Citra sendiri asli Solo.

Rani tertegun sejenak. Dia memang malas mengecek percakapan di grup alumni sekolah maupun kuliah. Bahkan sampai ribuan notifikasi, saking tidak pernah dibukanya kedua grup itu.

“Trus yang lain mana?” tanya Rani penasaran. 

“Udah bubar semua. Cuma sebentar kok tadi. Makan-makan, udah,” Citra menjawab dengan antusias.

“Kamu nginep dimana?” tanya Rani. Dia ingin menawarkan sahabatnya menginap di rumahnya. Bisa ngobrol-ngobrol sampai malam, seperti saat masih gadis dulu.

“Aku nggak lama. Ini langsung balik Jakarta. Kebetulan papanya anak-anak juga lagi keluar kota,” jelas Citra.

Ada rona kecewa di wajah Rani. “Padahal aku kangen. Dah lama banget nggak ketemu,” sungut Rani. Masih seperti dulu.

“Kamu apa kabar?” tanya Citra seraya mengambil tempat duduk berhadapan dengan Rani. 

“Baik!” Pandangan Rani yang semula ke Citra, beralih ke belakang Citra. “Eh, aku kenalin ya sama suami aku,” kata Rani saat melihat Firman menghampirinya. 

Citra yang duduknya berhadapan dengan Rani, segera menoleh ke belakang mengikuti arah Rani melihat. 

Seketika mata Citra langsung membulat sempurna. Begitu juga Firman. Firman tak menyangka Citra ada di Surabaya. 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Hallo author ijin baca ceritanya.Nah lho firman ketahuan deh oleh citra
goodnovel comment avatar
Isabella
awal yg bagus
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status