Hari ini tibalah hari pernikahan Bima dan Jihan, sampai detik ini pun Aisyah si wanita malang itu masih terus menyembunyikan masalah rumah tangganya dengan kedua orang tuanya, tak sedikit pun ia bercerita tentang semua hal yang sudah terjadi.
“Kasian ya Aisyah, padahal dia masih hidup tapi suaminya malah nikah lagi.”
“Iya, kasian banget. Amit-amit deh bu, semoga suami-suami kita nggak ada ngelakuin aneh-aneh.”
“Katanya sih, denger-denger Bima nikah lagi karena si Aisyah mandul.”
Desas-desus sekumpulan ibu-ibu yang datang ke acara pernikahan itu sedang menggosipkan Aisyah tak sengaja terdengar oleh wanita malang itu dan tak terasa air mata Aisyah terjatuh, bukan karena suaminya menikah lagi melainkan karena berita ia belum bisa mempunyai seorang anak sudah sampai ke telinga tetangga. Meskipun demikian, Aisyah tetap menabahkan hatinya hingga hari ini, ia masih tampak tegar membantu persiapan pernikahan suaminya sendiri, padahal bagi seorang istri menerima kenyataan suaminya menikahi perempuan lain adalah hal yang sangat menyayat hati.
Bima dan Jihan sudah siap untuk melangsungkan pernikahan mereka, keduanya terlihat bahagia dengan pakaian pengantin serba putih. Setelah semuanya siap proses ijab kabul segera di mulai.
“Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau Bima Kusuma Wijaya bin Ahmad Tangkas Wijaya dengan anak saya yang bernama Jihan Sudirdja, dengan maskawinnya berupa 10 gram emas beserta uang sebesar dua puluh lima juta rupiah, dibayar tunai.”
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Jihan Sudirdja binti Dahlan Sudirdja dengan maskawin 10 gram emas beserta uang sebesar dua puluh lima juta rupiah, dibayar tunai,” ucap Bima dengan lantang tanpa keraguan sedikit pun.
“Bagaimana saksi? Sah?”
Semuanya serentak, “Sah.”
“Alhamdulillah.”
Dengan begitu Bima dan Jihan sudah sah menjadi suami istri, di sisi lain Aisyah tampak menghela napas panjang kemudian berdiri, seketika semua tatapan orang-orang yang hadir dalam pernikahan itu tertuju pada Aisyah. Bima yang menyaksikan semua itu lantas menatap Aisyah tajam, keduanya saling beradu pandang dalam beberapa detik.
“Aku minta kamu ceraikan aku sekarang, Mas!” ucap Aisyah tegas.
Sejenak semuanya hening, Bima pun seketika terkejut dan langsung berdiri, ia menarik lengan Aisyah dan membawanya menjahui para tamu undangan.
“Kamu ini apa-apaan sih! Kamu sengaja ya ngerusak hari bahagiaku, hah!” ujar Bima marah.
“Aku udah nggak tahan, Mas! Sekarang intinya aku minta cerai dari kamu!”
“Kamu udah mempermalukan aku di depan banyak orang, jangan harap hidup kamu tenang setelah ini,” ancam Bima pada Aisyah.
“Kamu pikir hidup aku sebelumnya tenang-tenang aja sama kamu, Mas? Enggak…bahkan untuk napas aja rasanya susah, Mas. Aku udah nggak peduli lagi kamu mau ngancem aku kayak gimana, aku udah nggak takut kehidupan aku setelah ini bakalan kayak gimana, karena bagi aku hidup sama kamu itu sama kayak siksa neraka,” ucap Aisyah berlinang air mata.
“Sombong juga kamu, ya. Oke, kalau itu mau kamu, sekarang juga kamu kemasi barang-barang dari rumah aku. Tenang aja aku bakalan ngabulin semua permintaan kamu, setelah ini aku akan segera ngurus surat perceraian kita.”
Aisyah yang sudah sesenggukan itu berjalan terhuyung-huyung untuk segera mengemasi barang-barangnya. Sementara itu, Bima segera menghampiri para tamu undangan untuk mencairkan suasana.
Jihan menghampiri Aisyah yang tengah sibuk mengemasi barang-barangnya, “Berani juga kamu ngambil keputusan ini, Ya. Aku akui kamu hebat, tapi kali ini aku yang menang! Baguslah kamu sadar kalau posisi kamu di sini sudah nggak dibutuhin lagi,” ucap Jihan merendahkan Aisyah.
“Ingat ya, karena ulah kamu tadi jangan harap setelah ini aku bakalan ngasi kamu harta gono-gini! Kamu udah nginjek-nginjek harga diri aku di depan banyak orang!”
“Maaf, Mas. Bahkan aku nggak sudi nerima sepeser pun dari kamu!”
“Dasar perempuan nggak tahu diri!”
“Bagus deh, kamu sadar diri lagian ini semua hasil kerja keras anak saya!” timpal wanita tua itu.
Aisyah sudah siap dengan semua barang-barangnya, setelah tamu undangan pulang ia bergegas angkat kaki dari rumah yang telah menciptakan banyak kenangan buruk selama pernikahannya. Sampai detik ini Aisyah masih tampak tegar, sampai di mana ia mulai bingung harus melangkahkan kaki ke mana mengingat ia tidak pernah menceritakan semua masalah rumah tangganya dengan orang tuanya, air mata wanita malang itu pecah, mana mungkin Aisyah berani tiba-tiba pulang dengan keadaan seperti ini, ia takut akan membuat kedua orang tuanya sangat terkejut dan sakit hati mengetahui semua masalah ini.
Aisyah menangis tersedu dan nampak kebingungan, “Aisyah takut ya Allah jika harus menghadap orang tua dalam keadaan seperti ini, Bapak sama Ibu pasti bakalan shock. Ya Allah, aku harus ke mana sekarang?"
Satu minggu telah berlalu, setelah ia memutuskan untuk menyewa kontrakan sementara, akhirnya Aisyah menyudahi pikiran keras kepalanya untuk memberanikan diri pulang ke rumah orang tuanya, Aisyah bergegas mengemasi barang dan membulatkan tekad untuk segera beranjak dari Jakarta ke Surabaya. Aisyah lekas berangkat ke stasiun kereta api, sembari menunggu kedatangan kereta ia duduk sejenak dan mulutnya terus komat-kamit seperti sedang menghapalkan sesuatu. “Pak, Bu maafkan Aisyah baru cerita … ah bukan.” “Bu, Yaya tau Ibu pasti kecewa … nggak-nggak gitu!” Aisyah sibuk menghapalkan kata apa yang harus ia ucapkan untuk menjelaskan apa yang terjadi pada kedua orang tuanya. “Huek … huek … huk (segera menutup mulutnya).” Aisyah tiba-tiba mual Wanita malang itu berlari ke toilet, “Duh, kenapa ya (sembari menyentuh keningnya) enggak anget kok, apa karena belum sarapan ya.” Aisyah tak terlalu memikirkan terlalu jauh tentang hal ini, karena ada hal lain yang s
“Alhamdulilah ya, akhirnya perjuanganmu selama hampir 4 tahun dijawab juga sama Allah. Bapak doakan semoga kamu sama bayimu sehat-sehat terus ya.” “Amin. Ow iya Nak, kamu mau ngomongin apa?” “Sebelumnya, Aisyah harap Bapak sama Ibu setelah obrolan ini tidak kecewa sama Aisyah,” ucap Aisyah yang sudah mencoba memberanikan diri. Seketika suasana berubah menjadi senyap. “Maksudmu apa to, Nak?” Aisyah menarik napas dalam, “Hah, sebenarnya…aku sama Mas Bima sudah cerai, Pak Bu.” Gelas teh yang dipegang Ayahnya seketika terjatuh, “Apa? Cerai, astaghfirullah Nak, kamu jangan becanda ya!” ucapnya memastikan. “Ya, ini beneran?” tanya Asih-ibunya. “Iya, Bu. Aisyah nggak becanda.” Aisyah tertunduk lesu “Kalian kenapa bisa memutuskan untuk bercerai? Saat perjuangan kalian berdua dijawab sama Allah.” “Bukan berdua, Bu tapi cuma Aisyah.” “Maksud kamu?” “Aisyah yang meminta cerai dari Mas Bima, karena Mas Bima memutuskan untuk menikah lagi dengan alasan aku tidak segera hami
“Kasihan banget, ya. Nanti kalau anaknya lahir udah jadi anak broken home,” ucap ibu-ibu berdaster merah.“Iya, kasihan banget. Belum lagi sekarang apa-apa serba mahal kalau nggak ada suami gimana caranya ngidupin anak, bisa melarat hidup anaknya nanti,” timpal ibu paruh baya yang sedang memilah sayuran.“Nak, mending kamu istirahat di dalam ya, di sini nanti kamu masuk angin,” bujuk ibu Aisyah. Ibunya khawatir Aisyah akan stres mendengar perkataan tetangga.Aisyah hanya duduk termenung di teras sembari mengelus perutnya, “Bu, Aisyah nggak pantes ya jadi seorang istri? Aisyah masih banyak kurangnya ya, makanya Mas Bima milih perempuan lain.”“Hus … kamu jangan ngomong begitu, bukan kamu yang nggak pantes tapi memang Bima yang nggak bersyukur punya istri baik kayak kamu,” sahutnya menenangkan.“Bu, apa Aisyah bakal sanggup ngebesarin anak ini sendirian nanti?” tanya Aisyah lirih.Tangan ibunya meraih pipi Aisyah dan menyeka air mata anaknya, “Siapa bilang anak Ibu sendirian? Ibu masih
Pandangan Aisyah liar, ia melihat sekelilingnya ramai. Seketika rasa takut menghampiri dirinya, perihal cibiran orang-orang tentangnya yang hamil tanpa didampingi suami sangat membebani dirinya hingga saat ini, tangannya gemetar langkahnya pun ragu.“Kamu kenapa, Nak?”“Nggak papa, Bu,” sahut Aisyah menenangkan ibunya.“Kamu nggak usah takut, di sini kan ada Ibu.”Pandangan Aisyah lurus, kepalanya sedikit di angkat, “Terima kasih ya, Bu.”“Mau gimana pun kondisi kamu sekarang, kan masih ada Ibu di sini. Kita saling menguatkan, Bapak kamu juga masih sehat, kita berjuang sama-sama,” tuturnya lembut.“Permisi, dok.”“Iya, silahkan masuk.”Aisyah menghentikan langkahnya, “Kamu?”“Em … Aisyah kan?” tanyanya meyakinkan, bahwa ia tak salah orang.“Iya, saya Aisyah. Kamu Hendra kan yang wa
“Boleh tapi harus atas persetujuan Mamaku,” ucap Bima tegas.“Aku nggak salah denger, Mas? Ini anak aku loh! Lagian kita kan udah sah suami istri jadi anak aku ya anak kamu juga, gimana sih?” sahut Jihan terheran, atas pendapat Bima yang tak terduga.“Ya itu terserah kamu! Kalau kamu nggak setuju, Mas juga nggak maksa kamu. Lagian kan di rumah ini selain aku yang ngatur masih ada Mama aku yang bertanggung jawab.”“Terus aku di sini kamu anggap apa, Mas? Kok kamu gitu sih?”“Nggak gitu maksud Mas, sayang. Kamu kan tau kalau Mas sayang banget sama Mama, jadi kamu sebagai istri aku mulai sekarang harus mulai belajar menghormati Mama aku. Mas harap kamu paham sampai sini ya, soalnya Mas nggak suka orang bawel.”“Tau deh, Mas. Aku nggak habis pikir aja ternyata kamu bisa bersikap kayak gini sama aku,” ujar Jihan kecewa.&n
“Assalamualaikum.”“Walaikumsalam, eh Hen-dra, kamu ngapain ke sini?” ucapnya terkejut.Lelaki itu mengusap-usap tengkuknya, “E-e anu.”Aisyah mengerinyitkan dahinya, ia bingung dengan sikap Hendra yang gelagapan, “Anu apa?”“Ada yang kurang!” sahutnya lepas.“Ha? Kurang?” Aisyah semakin dibuat bingung“Kemarin, kan saya baru kenalan sama ibu saja alangkah baiknya saya kenalan dengan bapak juga karena saya merasa kurang lengkap rasanya,” ujar Hendra berkilah.Aisyah tertawa, “Astaga Hendra, saya kira kamu kenapa.”“Maaf, saya tiba-tiba datang ke rumah tanpa ngabarin kamu.”“Tidak apa, ngomong-ngomong kamu bisa tau rumah saya di sini dari mana?” tanyanya terheran.“Kamu kan pasien saya, jadi saya tau dari data pasien, sekali lagi maaf kalau saya lancang,” jelas Hendra sungkan.&
“Aisyah, Aisyah, Aisyah! Terus aja kamu bandingin aku sama dia!” ujar Jihan kesal.“Siapa suruh kamu jadi pembangkang! Jangan mentang-mentang kamu sekarang sudah jadi istri aku, kamu bisa sebebasnya bertindak ya!”“Sebenarnya kamu nikahin aku tujuannya buat apa sih, Mas? Pas pacaran aja kamu bersikap baik sama aku, sekarang? Aku malah curiga bakalan jadi korban kamu selanjutnya.”“Makanya kalau mau aku bersikap baik sama kamu, bersikap baik juga sama aku. Coba aja kamu jadi istri yang penurut dan lemah lembut, mana mungkin aku protes masalah sikap kamu,” bantahnya tegas.“Aku? Nurut sama suami yang modelan sikapnya kayak kamu? Mana sudi aku, Mas. Pantes aja Aisyah ninggalin kamu!”“KURANG AJAR KAMU YA!” pekiknya tajam, sembari mengangkat tangannya.“Apa? Kamu mau nampar aku? Tampar Mas, tampar sampai kamu puas! Kamu pikir aku bakalan rela disakitin sama kamu? Oh tunggu dulu, aku nggak sepolos mantan istri kamu itu, sedikit saja kamu nyentuh aku habis kamu!” ancam Jihan.Bima menurunka
“Mas kita perlu bicara!”“Aku sibuk!”“Mas ini penting, aku mau kita bicara masalah hubungan kita ini.”“Duh kenapa lagi sih? Bisa nggak sih kamu nggak usah ganggu aku sehari aja.” Bima beranjak dari sofa dengan pakaian yang kemas dan stik golf yang sudah ditenteng di tangannya. “Mau ke mana kamu?”“Aku mau main sama temen-temen.”“Oh, temen kamu lebih penting ya sekarang ketimbang istri kamu sendiri!”“Apaan sih kamu! Apa salahnya kalau aku nyari hiburan, aku tu sumpek di rumah mulu apalagi kamu ngocehhh nggak ada henti-hentinya.”“Mas! Aku begini juga gara-gara kamu!”“Tuhkan! Baru juga aku ngomong.” Bima tak mendengarkan perkataan Jihan, ia lekas beranjak.“MAS!” pekiknya, sembari memegangi stik golf yang dibawa suaminya.“Lepas nggak!”“Nggak! Kamu sekali-kali harus dikasi paham, kamu itu laki-laki Mas harusnya Mas bisa bersikap lebih dewasa lagi nggak gini caranya!”Bima menatap Jihan tajam dengan napas yang menggebu, “AKU BILANG LEPAS!”“Nggak! Aku perlu kamu Mas,
***“Nak, semoga kamu nggak dendam sama Ibu ya. Ibu ngelakuin ini demi kebaikan kamu, Ibu nggak mau kamu sampai tahu kelakuan Ayah kandung kamu seperti apa, Ibu takut kamu kecewa berat Nak.” Aisyah berpikir keras. Aisyah masih meratapi nasibnya serta anaknya, ia takut tentang ke depannya akan ada masalah yang datang hingga menyangkutpautkan masa lalunya kembali dengan Bima dan Aisyah tidak akan pernah rela bila Arkanza terlibat di dalamnya. Wanita itu takut jika anaknya akan memiliki ingatan kelam tentang kedua orang tuanya terutama sesosok ayahnya yang begitu keji terhadap ibunya dan dirinya.“Ayo Nak, kita pergi sebelum ayah kamu dateng.” Aisyah tampak berkemas, ia pergi membawa Arkanza.* Jantung Aisyah berdegup kencang, tangannya gemetar, keringat pun membasahi keningnya. Langkahnya tampak berat.“Hahhh, bismilah ya Nak semoga ini sudah memang keputusan yang baik buat kita semua.” Aisyah berusaha meyakinkan dirinya.“Ada yang bisa dibantu ibu?”“
***“Arka sayang, Ibu udah lama sekali nggak lihat wajah kamu ini! Ibu kangen Nak, Ibu khawatir sama kamu sayang. Kamu pasti selama ini haus banget ya Nak,” ucapnya penuh kasih. Setelah sekian lama, akhirnya Aisyah kembali merasakan kehangatan tubuh bayi mungilnya. Ia terpaksa tak menjalankan peran seorang ibu untuk beberapa waktu yang lumayan menyiksanya, wanita itu tampak sudah sangat lelah dengan kejadian yang telah terjadi. Sangat menguras emosi dan perasaan seorang ibu.“Nanti tunggu Ayah pulang ya Nak, kita jalan-jalan ke rumah Nenek semuanya sudah nungguin kamu di sana, mereka kangen sekali dengan kesayangan mereka. Kamu anak yang kuat sayang, terima kasih ya sudah bertahan sejauh ini, anak Ibu pintar sekali.”“Assalamualaikum,” ucap seseorang dibalik pintu.“Waalaikumsalam, eh Mas. Kamu udah pulang rupanya.”“Iya, Ya. Halo anak Ayah, Ayah kangen Nak!” ucapnya lembut.“Ganti pakaian dulu Mas, makanan udah aku siapin di meja.”“Iya sayang, makasi ya.” Akh
***“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, kasian sekali. Di mana keluarganya Ya Allah?”“Sudah berumur, seharusnya dijaga dengan baik! Anak-anaknya ke mana?”“Sepertinya ibu ini sudah bingung karena faktor umur, kasian sekali!” Di ujung jalan besar tampak terjadi insiden yang menggegerkan orang sekitar hingga menimbulkan kerumunan. Bercak darah berlumuran di jalan, sepertinya terjadi kecelakaan. Mobil ambulance dan polisi segera datang, kondisi korban sudah sangat memprihatinkan dilihat dari kondisi badannya sepertinya sudah tak bernyawa. Kepalanya terus mengeluarkan darah dan terdapat beberapa luka dibagian kaki serta tangannya, ia sudah tak sadarkan diri. Petugas segera melarikannya ke rumah sakit.“Ih, serem banget!” tukas orang yang lalu lalang.*“Apakah korban telah berhasil di identifikasi?”“Belum berhasil pak, kami cukup kesulitan karena tanda pengenal korban tidak ditemukan saat di lokasi kejadian. Namun, karena korban saat ditemukan mengenakan pakaian pasien kemu
“Bima!” Lelaki itu lekas memalingkan pandangannya, Aisyah menghampiri Bima-mantan suaminya.“Tega kamu Bima! Kamu pikir apa yang kamu lakukan ini sudah akan menguntungkan kamu? Sampai segitunya kamu terobsesi ingin memiliki dia, Arka itu darah daging kamu bisa-bisanya kamu nyakitin dia,” tukasnya kesal.“Gua nggak pernah nyakitin dia, lu yang rebut Arka dari gua Aisyah! Mungkin kalau lu nggak misahin gua dengan dia gua nggak bakalan berbuat nekat kayak gini!” bantahnya.“Apa? Aku nggak salah denger Bima? Bukan aku yang jauhin kamu tapi kamu yang nggak pernah mau nganggep dia sebagai anak kamu, kamu lupa ya gimana biadabnya kamu ngusir aku sama almarhum ayah aku saat itu … saat itu aku ngemis dihadapan kamu Bima! Tapi apa kata kamu dan keluarga kamu justru malah nuduh aku dan menghina aku, dan kamu malah memilih menikah dengan perempuan lain yang kamu anggap bakalan bisa ngasi kamu keturunan karena kamu nuduh aku mandul kan!” ucapnya geram.“Ya itu kan dulu! Karena aku mema
*“Jadi di sini kamu sembunyikan anak saya!” ucap Aisyah geram.“Sabar ya.” Hendra berusaha menenangkan. Polisi mengerahkan seluruh pasukannya untuk mengepung tempat persembunyian Bima, tentunya ini menjadi bagian yang sangat menegangkan mengingat lelaki bejat itu bisa saja nekat melakukan sesuatu yang bisa membahayakan nyawa Arkanza.TOK! TOK! TOK! Polisi berusaha mengetuk pintu rumah, mereka berharap Bima bisa ditangkap dengan mudah.“Permisi! Bapak Bima, kami ada urusan penting dengan anda!” Tampak seperti tak ada siapa pun di dalam rumah. Tidak ada suara sahutan seorang pun.“Permisi!” Polisi masih terus mencoba. Sementara itu di dalam rumah, Bima, Jihan dan Kiara tengah makan bersama di meja makan. Mereka rupanya mendengar suara sayup-sayup dari luar.“Siapa Mas? Perasaan seperti manggil nama kamu!” ucapnya penasaran.“Mana aku tau!”“Kamu buat masalah lagi ya? Atau kamu ada ngutang lagi? Jangan-jangan itu debt collector yang waktu
***“Gimana Mas?” tanya Aisyah penuh harap. Hendra terkulai, ia tampak lemas. Napasnya terengah-engah dengan keringat mengucur dari dahinya. Dokter itu kelelahan.“Nggak ketemu Ya, maafin Mas ya. Mas juga udah usaha keras buat nemuin anak kita,” jelasnya lesu.Aisyah menarik napas dalam, “Hah, gimana ya Mas? Aku juga bingung harus gimana lagi, aku tau kok Mas, Papa sama Mama juga udah usaha keras buat nemuin anak kita tapi aku juga nggak bisa bohong tentang perasaan aku.”Hendra meraih tubuh istrinya, ia memeluk tubuh Aisyah erat. Mereka berdua berakhir menangis bersama.Drrttt! Drrrttt! Drrrrt! [gawai Hendra berdering]Hendra gegas mengusap air matanya dan segera meraih gawainya.“Ha-halo,” jawabnya terbata.“Halo, selamat siang. Dengan bapak Hendra?”“Siang, iya dengan saya sendiri. Ada apa ya Pak?”“Baik, bapak Hendra kami dari kepolisian maksud menelpon bapak izin memberitahukan informasi terkait pencarian putra bapak!” jelasnya.DEG!!! Dada Hendra terasa b
***“HAH! BERISIK!” pekik Jihan keras. Wanita itu merasa muak mendengar tangis Arkanza tanpa henti. “Bisa diam nggak sih! Gua itu udah pusing mikirin urusan rumah sama bapak lu yang sampai sekarang nggak pulang-pulang, lu nggak usah lagi nambahin beban gua ya!” Jihan tampak stress, penampilannya awut-awutan. Seharian dia hanya menaruh perhatian penuh pada Arkanza karena takut dengan ancaman Bima jika ia pulang ke rumah.“Ma, aku lapar! Aku mau makan, Ma!” rengeknya.“Sabar sayang, Mama lagi sibuk ini!” sahutnya sembari sibuk menenangkan Arkanza yang tangisnya makin keras.“Mama nggak sayang sama aku lagi! Katanya adik itu bukan adik aku tapi Mama lebih sayang sama dia, dari tadi sama adik itu mulu!” keluhnya merasa tak dipedulikan. Jihan yang mendengar perkataan anaknya yang demikian lantas tertegun, ia tak menyangka jika ia harus menempatkan anaknya mengalami perasaan demikian. Tubuhnya melemas, wanita itu tak berdaya.“Sayang, maafin Mama Nak. Ini semua salah
***“Mas, aku udah nggak berdaya lagi. Ini sudah delapan hari berlalu tapi Arka anak kesayangan aku nggak ketemu-ketemu. Apa Arka baik-baik aja Mas?” Aisyah tampak sedikit putus asa.“Aisyah, Mas tau kalau kamu khawatir dan juga rindu dengan Arka … kita semua juga merasakan hal yang sama. Kita usaha kuat dan sabar dulu ya, Mas yakin Arka pasti ketemu dan baik-baik aja sekarang.”“Mas, kok kamu bisa setenang ini sih Mas?” tanyanya. Sepertinya Aisyah sedikit kesal dengan suaminya itu karena Hendra tampak begitu tenang di tengah keresahan Aisyah yang sudah memuncak.“Aisyah sayang, meskipun kamu lihat Mas tenang itu semua tidak seperti apa yang kamu pikirkan. Mas hanya sedang berusaha kuat untuk kamu dan tentunya buat anak kita juga … seperti yang Mas bilang tadi kita semua sedang merasakan hal yang sama. Kamu percaya kuasa Allah kan? Kita serahkan semuanya sama yang di atas, kita mohon petunjuk dan memohon agar Arkanza segera ditemukan,” ucap Hendra berusaha menenangkan. Dalam kondisi in
“Terus aja kamu ungkit-ungkit!”“Ya kan emang kenyataannya kayak gitu! Kenapa kamu mau nyangkal yang jelas-jelas udah faktanya?” Bima pergi ke kamar begitu saja, ia tampak seperti orang yang kalah berdebat.**TOK! TOK! TOK! Jihan menggedor pintu kamar dengan keras.“Kenapa sih kamu berisik banget dari tadi? Kalau Arka bangun gimana? Aku udah susah payah nidurin dia!” Bima tampak kesal.“Enak banget ya kamu Mas, kerjaannya cuma leyeh-leyeh doang di rumah. Kerja enggak, bantu beres-beresin rumah juga enggak!”“Jaga ya mulut kamu Jihan, aku kan lagi ngerawat anak aku!”“Alasan kamu itu aja ya Mas, kayak nggak ada yang lain, perasaan kalau anak kamu itu nangis juga ujung-ujungnya kamu manggil aku kan. Mending besok kamu kerja deh Mas, ini beras udah mau habis! Kalau kita kayak gini terus lama-lama bisa mati kepalaran di sini. Mending kita balik aja ke rumah yang dulu, setidaknya kalau kita mati masih mati dengan tenang di rumah mewah bukan di kontrakan kumuh ini!”