Share

DIPAKSA JADI TKW
DIPAKSA JADI TKW
Penulis: Norma Yunita

Ego Sang Suami

Part.1 #Ego_Sang_Suami

Siang itu di dalam kamar kami. Mas Bagas menatapku dengan tajam, wajahnya terlihat serius hingga timbul urat-urat halus di keningnya. Jika sudah begini aku harus mempersiapkan tubuh. Sikapnya yang suka main tangan saat emosi sungguh menakutkan.

Kami kembali berdebat. Lagi-lagi Mas Bagas menyuruhku untuk pergi ke luar negeri, ke Arab Saudi tepatnya.

"Aku tidak mau pergi Mas, kasian anak kita.

"Lebih kasian lagi kalo nanti dia besar mau jajan atau mainan kita gak bisa membelikannya!" dalihnya.

Aku menggelengkan kepala, "Tapi, itu tugasmu sebagai kepala keluarga!" 

Aku membantah kata-kata Mas Bagas berusaha mengingatkannya kembali mana tugas tulang punggung dan tugas tulang rusuk. Mungkin ia sudah lupa tugasnya sebagai kepala rumah tangga.

Sementara aku adalah seorang ibu rumah tangga. Tugasku adalah mengurusi rumah, menjaga dan mendidik anak. Mencari uang bukanlah tugasku.

"Apa salahnya kamu bantu aku?! Pergilah ke Arab sana biar aku punya modal untuk buka usaha."

Tentu saja orang keras kepala seperti Mas Bagas takkan mau mengalah meski dia salah.

"Tapi anak kita masih bayi Mas, dia baru enam bulan, masih butuh ASI dan kasih sayangku."

"Banyak sufor dan aku bisa memberikan kasih sayang sebagai ayah dan ibu untuknya sekaligus!"

Aku segera membantah, "Aku tidak mau jauh dari anakku aku tidak mau!"

Plaaakkk!!!

Tamparan ini terasa panas sekali di pipi kananku tapi ini bukan yang pertama bagiku. Ini yang kesekian kali kuterima dari Mas Bagas, suamiku. Setiap dia marah tak ayal aku jadi bulan-bulanannya dan aku hanya bisa menangis .

Air mata kembali menuruni pipiku. Bekas gambar tangan Mas Bagas mendarat di pipiku lagi. Selama menikah dengannya jangankan membelikanku skincare, ia malah kerap menampar jika sedang emosi.

Oeee … oeee … oeee …. 

Bayiku menangis, mungkin dia terganggu pertengkaran kami. Segera kuangkat dia dari ayunan kain dan kuberi ASI, tak lama dia pun tidur lagi. Kembali kuletakkan di ayunan. Aku bergegas ke dapur membuat kopi untuk Mas Bagas.

"Minum kopinya, Mas "

"Hemmm," jawabnya tanpa menoleh padaku.

"Kamu itu pengen kita hidup seperti ini terus? Gak punya apa-apa, terus-terusan numpang di rumah orang tuaku, hah!"

Aku tak menjawab, takut ditampar lagi. Menundukkan kepala. Manatap lantai yang belum dikeramik, hanya disemen kasar.

"Dua tahun itu ga lama dan aku yakin kita bisa sukses. Kamu kerja di Saudi dan aku buka rental motor." 

Mas Bagas masih terus membahas masalah kerja menjadi TKW. Baginya dua tahun itu mungkin tidak lama. Tapi bagiku, itu adalah penderitaan. Jauh dari anak yang baru berumur enam bulan. Dia takkan tahu bagaimana rasanya payudaraku kesakitan dan bengkak jika Saheer tak segera meminum ASI.

Memang Mas Bagas punya keahlian otomotif. Dia bisa memperbaiki motor rusak dan pandai memperjualbelikan motor bekas milik temannya. Dari situlah dia dapat upah tapi jarang job seperti itu dia dapat. Aku sendiri memang ingin membantunya. Namun, tidak dengan pergi ke luar negri. 

Aku takut pergi sejauh itu ditambah lagi aku baru punya anak berumur enam bulan. Tidak, aku tidak sanggup jauh dari buah hatiku. Entah bagaimana lagi menghadapi suamiku yg keras kepala ini. Tolong aku Ya Allah.

"Mas, ini hari Jum'at. Mas sholat Jum'at, ya? Mandilah biar aku siapkan sarung dan pecimu." 

Aku berusaha mengingatkannya. Sebagai seorang lelaki apalagi dia adalah seorang kepala rumah tangga. Berharap dengan datang ke masjid mendengarkan tausiyah dan berkumpul dengan orang-orang baik sifatnya sedikit berubah. Minimal tak suka main kasar.

"Tidak perlu!" jawabnya ketus sambil menghisap rokok.

"Apa Mas ingat sudah berapa kali Jumat yang kamu lewatkan Mas, itu sudah dosa!"

"Tau apa kamu soal dosa, haaahh?"

Mas Bagas mengambil ponselnya lalu menelpon seseorang. Ia keluar dari kamar.

Aku menatap bayi berumur enam bulan dalam ayunan kain. Tak sanggup membayangkan harus jauh darinya. Belum jika tiba waktunya minum ASI. Siapa yang akan merawatnya nanti?

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Terdengar suara salam dari pintu masuk. Aku segera keluar kamar, "Eh, udah pulang Dek Nina, Meri mana tumben ga bareng?" sapaku kepada adik iparku yang baru pulang sekolah, dia masih SMP.

"Meri tadi kerumah temennya Mba, katanya ada tugas kelompok." 

"Oh, ya, sudah ganti baju terus makan sana!"

"Iya mba, ehhh, Mba, pipinya kenapa kok, merah? Ditampar Mas Bagas lagi, ya?" selidik Nina.

Dan aku hanya diam. Adik- adik Mas Bagas memang peduli padaku, mereka seperti adikku sendiri dan seperti orang asing dengan kakak mereka sendiri. 

***

"Assalamualaikum."

Menginjak sore hari aku dikagetkan dengan suara salam seorang lelaki. Tak biasanya rumah kami kedatangan tamu. Mas Bagas bergegas membuka pintu.

"Waalaikumussalam," jawab Mas Bagas. Wajah Mas Bagas terlihat sumringah saat kedatangan tamu. Firasatku mengatakan ada sesuatu dibalik senyum suamiku itu.

"Eh, Mas Guntur, mari masuk, Mas."

"Iya, Gas, makasih," ucap tamu itu.

"Esih, buatin minum ada tamu, nih!" perintah Mas Bagas dari arah ruang tamu.

Ruang tamu keluarga mertuaku sangat sederhana. Hanya ada empat kursi sofa yang bantalannya lusuh. Kayu penyangganya pun sudah lapuk dimakan usia. Entah, sudah berapa lama usia kursi itu.

"Iya, Mas." sahutku dari dalam kamar.

Tak berapa lama minuman yang kubuat telah siap. Aku berjalan pelan menuju ruang tamu. Membawa nampan kayu yang berisi dua gelas minuman kecokelatan beraroma melati. Sajian terbaik yang bisa kami berikan pada tamu ketika berkunjung.

"Ini tehnya silakan diminum." Aku berbasa-basi menawarkan minuman pada sang tamu. Melirik lelaki yang dipanggil Mas Guntur oleh suamiku itu. Ia mengamatiku sekilas. Lalu tersenyum.

Aku tak membalas senyuman Mas Guntur. Langsung masuk ke dapur, menaruh nampan. 

Segera meraih satu gelas air putih yang kutuang tadi. Meminumnya hingga tandas.

"Silakan Mas, diminum tehnya." Mas Bagas kembali menawarkan minuman beraroma melati pada tamu kami itu.

"Iya, makasih." Tamu tadi tersenyum padaku, "Jadi itu tadi istrimu Gas, yang mau ke Saudi?"

"Iya, Mas, itu tadi Esih, istri saya."

Deg.

"Yaa Allah," batinku. Mereka benar-benar sedang membicarakanku.

Jangan-jangan Mas Bagas akan mengirimku ke luar negeri melalui lelaki itu?

Siapa Mas Guntur itu?

"Apa rencana Mas Bagas sebenarnya?"

Sambil menajamkan indera pendengaran aku terus bergumam seorang diri di dapur.

Suamiku benar-benar sudah gila. Kenapa menyuruhku pergi ke luar negeri, kenapa bukan dirinya sana yang pergi mencari kerja.

Apa yang direncanakan Mas Bagas?

"Mengenai pertanyaanku kemarin bagaimana, Mas?" Suamiku memulai obrolan. Ia menaikkan satu kakinya di atas kaki lain, "Rokok Mas," tawarnya sambil menyodorkan sebungkus rokok.

"Itu gampang. Kamu juga akan mendapatkan komisi jika mendapat orang lain," terang Mas Guntur.

Aku mengernyit, "Apa yang akan dilakukan suamiku?"

***Dipaksa Jadi TKW***

To Be Continued ….

Part.1 #Ego_Sang_Suami

Siang itu di dalam kamar kami. Mas Bagas menatapku dengan tajam, wajahnya terlihat serius hingga timbul urat-urat halus di keningnya. Jika sudah begini aku harus mempersiapkan tubuh. Sikapnya yang suka main tangan saat emosi sungguh menakutkan.

Kami kembali berdebat. Lagi-lagi Mas Bagas menyuruhku untuk pergi ke luar negeri, ke Arab Saudi tepatnya.

"Aku tidak mau pergi Mas, kasian anak kita.

"Lebih kasian lagi kalo nanti dia besar mau jajan atau mainan kita gak bisa membelikannya!" dalihnya.

Aku menggelengkan kepala, "Tapi, itu tugasmu sebagai kepala keluarga!" 

Aku membantah kata-kata Mas Bagas berusaha mengingatkannya kembali mana tugas tulang punggung dan tugas tulang rusuk. Mungkin ia sudah lupa tugasnya sebagai kepala rumah tangga.

Sementara aku adalah seorang ibu rumah tangga. Tugasku adalah mengurusi rumah, menjaga dan mendidik anak. Mencari uang bukanlah tugasku.

"Apa salahnya kamu bantu aku?! Pergilah ke Arab sana biar aku punya modal untuk buka usaha."

Tentu saja orang keras kepala seperti Mas Bagas takkan mau mengalah meski dia salah.

"Tapi anak kita masih bayi Mas, dia baru enam bulan, masih butuh ASI dan kasih sayangku."

"Banyak sufor dan aku bisa memberikan kasih sayang sebagai ayah dan ibu untuknya sekaligus!"

Aku segera membantah, "Aku tidak mau jauh dari anakku aku tidak mau!"

Plaaakkk!!!

Tamparan ini terasa panas sekali di pipi kananku tapi ini bukan yang pertama bagiku. Ini yang kesekian kali kuterima dari Mas Bagas, suamiku. Setiap dia marah tak ayal aku jadi bulan-bulanannya dan aku hanya bisa menangis .

Air mata kembali menuruni pipiku. Bekas gambar tangan Mas Bagas mendarat di pipiku lagi. Selama menikah dengannya jangankan membelikanku skincare, ia malah kerap menampar jika sedang emosi.

Oeee … oeee … oeee …. 

Bayiku menangis, mungkin dia terganggu pertengkaran kami. Segera kuangkat dia dari ayunan kain dan kuberi ASI, tak lama dia pun tidur lagi. Kembali kuletakkan di ayunan. Aku bergegas ke dapur membuat kopi untuk Mas Bagas.

"Minum kopinya, Mas "

"Hemmm," jawabnya tanpa menoleh padaku.

"Kamu itu pengen kita hidup seperti ini terus? Gak punya apa-apa, terus-terusan numpang di rumah orang tuaku, hah!"

Aku tak menjawab, takut ditampar lagi. Menundukkan kepala. Manatap lantai yang belum dikeramik, hanya disemen kasar.

"Dua tahun itu ga lama dan aku yakin kita bisa sukses. Kamu kerja di Saudi dan aku buka rental motor." 

Mas Bagas masih terus membahas masalah kerja menjadi TKW. Baginya dua tahun itu mungkin tidak lama. Tapi bagiku, itu adalah penderitaan. Jauh dari anak yang baru berumur enam bulan. Dia takkan tahu bagaimana rasanya payudaraku kesakitan dan bengkak jika Saheer tak segera meminum ASI.

Memang Mas Bagas punya keahlian otomotif. Dia bisa memperbaiki motor rusak dan pandai memperjualbelikan motor bekas milik temannya. Dari situlah dia dapat upah tapi jarang job seperti itu dia dapat. Aku sendiri memang ingin membantunya. Namun, tidak dengan pergi ke luar negri. 

Aku takut pergi sejauh itu ditambah lagi aku baru punya anak berumur enam bulan. Tidak, aku tidak sanggup jauh dari buah hatiku. Entah bagaimana lagi menghadapi suamiku yg keras kepala ini. Tolong aku Ya Allah.

"Mas, ini hari Jum'at. Mas sholat Jum'at, ya? Mandilah biar aku siapkan sarung dan pecimu." 

Aku berusaha mengingatkannya. Sebagai seorang lelaki apalagi dia adalah seorang kepala rumah tangga. Berharap dengan datang ke masjid mendengarkan tausiyah dan berkumpul dengan orang-orang baik sifatnya sedikit berubah. Minimal tak suka main kasar.

"Tidak perlu!" jawabnya ketus sambil menghisap rokok.

"Apa Mas ingat sudah berapa kali Jumat yang kamu lewatkan Mas, itu sudah dosa!"

"Tau apa kamu soal dosa, haaahh?"

Mas Bagas mengambil ponselnya lalu menelpon seseorang. Ia keluar dari kamar.

Aku menatap bayi berumur enam bulan dalam ayunan kain. Tak sanggup membayangkan harus jauh darinya. Belum jika tiba waktunya minum ASI. Siapa yang akan merawatnya nanti?

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Terdengar suara salam dari pintu masuk. Aku segera keluar kamar, "Eh, udah pulang Dek Nina, Meri mana tumben ga bareng?" sapaku kepada adik iparku yang baru pulang sekolah, dia masih SMP.

"Meri tadi kerumah temennya Mba, katanya ada tugas kelompok." 

"Oh, ya, sudah ganti baju terus makan sana!"

"Iya mba, ehhh, Mba, pipinya kenapa kok, merah? Ditampar Mas Bagas lagi, ya?" selidik Nina.

Dan aku hanya diam. Adik- adik Mas Bagas memang peduli padaku, mereka seperti adikku sendiri dan seperti orang asing dengan kakak mereka sendiri. 

***

"Assalamualaikum."

Menginjak sore hari aku dikagetkan dengan suara salam seorang lelaki. Tak biasanya rumah kami kedatangan tamu. Mas Bagas bergegas membuka pintu.

"Waalaikumussalam," jawab Mas Bagas. Wajah Mas Bagas terlihat sumringah saat kedatangan tamu. Firasatku mengatakan ada sesuatu dibalik senyum suamiku itu.

"Eh, Mas Guntur, mari masuk, Mas."

"Iya, Gas, makasih," ucap tamu itu.

"Esih, buatin minum ada tamu, nih!" perintah Mas Bagas dari arah ruang tamu.

Ruang tamu keluarga mertuaku sangat sederhana. Hanya ada empat kursi sofa yang bantalannya lusuh. Kayu penyangganya pun sudah lapuk dimakan usia. Entah, sudah berapa lama usia kursi itu.

"Iya, Mas." sahutku dari dalam kamar.

Tak berapa lama minuman yang kubuat telah siap. Aku berjalan pelan menuju ruang tamu. Membawa nampan kayu yang berisi dua gelas minuman kecokelatan beraroma melati. Sajian terbaik yang bisa kami berikan pada tamu ketika berkunjung.

"Ini tehnya silakan diminum." Aku berbasa-basi menawarkan minuman pada sang tamu. Melirik lelaki yang dipanggil Mas Guntur oleh suamiku itu. Ia mengamatiku sekilas. Lalu tersenyum.

Aku tak membalas senyuman Mas Guntur. Langsung masuk ke dapur, menaruh nampan. 

Segera meraih satu gelas air putih yang kutuang tadi. Meminumnya hingga tandas.

"Silakan Mas, diminum tehnya." Mas Bagas kembali menawarkan minuman beraroma melati pada tamu kami itu.

"Iya, makasih." Tamu tadi tersenyum padaku, "Jadi itu tadi istrimu Gas, yang mau ke Saudi?"

"Iya, Mas, itu tadi Esih, istri saya."

Deg.

"Yaa Allah," batinku. Mereka benar-benar sedang membicarakanku.

Jangan-jangan Mas Bagas akan mengirimku ke luar negeri melalui lelaki itu?

Siapa Mas Guntur itu?

"Apa rencana Mas Bagas sebenarnya?"

Sambil menajamkan indera pendengaran aku terus bergumam seorang diri di dapur.

Suamiku benar-benar sudah gila. Kenapa menyuruhku pergi ke luar negeri, kenapa bukan dirinya sana yang pergi mencari kerja.

Apa yang direncanakan Mas Bagas?

"Mengenai pertanyaanku kemarin bagaimana, Mas?" Suamiku memulai obrolan. Ia menaikkan satu kakinya di atas kaki lain, "Rokok Mas," tawarnya sambil menyodorkan sebungkus rokok.

"Itu gampang. Kamu juga akan mendapatkan komisi jika mendapat orang lain," terang Mas Guntur.

Aku mengernyit, "Apa yang akan dilakukan suamiku?"

***Dipaksa Jadi TKW***

To Be Continued ….

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status