Share

DONT CALL ME DADDY!!!
DONT CALL ME DADDY!!!
Author: Rico Amanda

Bab 1 - The Little Girl Born From Space Capsule: Part One.

Setahun yang lalu, pada pertengahan bulan musim semi, aku mengungkapkan perasaanku kepada seorang kakak kelas. Dia cantik, dengan mata hijau yang memikat, tinggi, berpostur ramping, dan proporsional. Nama gadis itu adalah Yukari Amai.

Mungkin jika kau pernah mengunjungi Distrik Shinjuku, pasti kau familiar dengan sebuah toko manis yang selalu jadi tempat wisata bagi mereka yang datang berkunjung. Toko itu bernama Amai, dan Yukari Amai adalah cucu dari pemilik toko manis terkenal itu. Adikku sering mampir ke sana setelah pulang sekolah.

Saat itu, aku menyatakan perasaanku tanpa memikirkan risiko penolakan. Sebenarnya, aku sudah memikirkan berbagai situasi ketika mengucapkan kalimat sakral seperti "Aku mencintaimu, maukah menjadi pacarku?" atau "Ayo mulai hidup bersama!" dan sejenisnya.

Jika kau bertanya berapa simulasi yang telah kucoba, jawabannya tak terhitung. Mengapa? Sebagai seorang otaku maniak seperti aku, perasaan menyatakan cinta tentu sangat kompleks. Apakah pernah terpikir bagaimana perasaan seorang otaku menyatakan cinta?

Mungkin kau akan menganggapnya menjijikkan. Tapi ini aku, seseorang yang juga ingin dicintai, manusia biasa, tahu?

Kembali ke pengakuan cintaku pada Yukari Amai. Itu terjadi di hari terakhirnya di SMA, saat aku akan memasuki tahun ketigaku di SMA Hinagiku. Sengaja memilih momen terakhir ini karena bagiku, ini adalah awal dan akhir. Awal dan akhir ketika aku menyatakan perasaanku. Jika ditolak, tidak akan kulakukan lagi. Pikiranku saat itu sembari mengirimkan pesan singkat ke nomor ponselnya.

Aku mengundangnya ke bukit belakang sekolah, tempat terdapat pohon sakura tertua sebelum gedung sekolah ini dibangun. Suatu pemandangan langka di Distrik Shibuya yang dikenal sibuk.

Aku menunggu di sana, melihat Yukari mendekat dengan surat di tangan. Dari jarak 5 meter, kulihat kecantikannya yang luar biasa.

Deg!

Ah...

Jantungku berdetak kencang lagi. Biasa terjadi saat aku gugup. Aku berusaha tetap seperti biasa, tapi detak jantungku tak mau kompromi. Sial, jantungku!

Akhirnya dia berada di depanku. Orang yang kucintai. Aku harus menyatakan perasaanku.

"Ada apa, Uehara-kun? Tidak seperti biasanya mengajakku ke tempat seperti ini?"

"A-nu…"

"Hmm?"

Senyum manisnya memberiku semangat. Aku memutar pikiranku untuk menyampaikan perasaanku. Angin lembut membuat rambutnya tersibak. Jantungku berdetak keras.

"Se-senior Yukari. Sejak dulu, aku selalu mengagumimu. Aku tahu, kamu memandangku sebagai adik. Tapi!" Kata terakhir ditekan, merasakan getaran tubuh dan detak jantungku sendiri.

"Tapi, aku tak bisa menyembunyikan perasaanku lebih lama. Jadi, maukah kamu menjadi kekasihku?"

"Eh?"

Akhirnya kukatakannya!

Akhirnya kukatakannya!

Sial! Tapi jantungku tak mau berhenti. Tenangkan dirimu, jantungku! Aku mohon!

Yukari terlihat terkejut. Dia membalikkan badannya, memandang pohon sakura dengan wajah sedih.

"Maaf, saat ini, aku tak bisa memberikan jawaban. Tapi, aku akan selalu mengingat pengakuanmu, Uehara-kun…"

"A-aku bisa menunggu kapan Senior siap untuk memberikan jawaban nya..."

Yukari tak menjawab, masih membelakangiku, seolah enggan memberikan jawaban. Tidak, dia sudah memberikan jawaban. Dia menolakku.

"Ah… Maaf, Senior! Aku berkata yang tidak-tidak, ahahaha!"

Aku melakukannya agar ini menjadi hari terakhirku mengakui perasaanku kepada siapapun. Yukari membalikkan badannya, menampilkan wajah cantik dan senyuman indahnya.

"Tidak apa-apa. Tapi serius, aku belum bisa memberikan jawaban. Ka—"

"Mungkin karena Senior sudah menemukan seseorang yang kamu cintai?"

"Eh?"

"Ahaha, jangan terlalu dipikirkan. Hanya karena aku terlalu terpaku pada komik romantis yang Senior sarankan!"

"Ah benar juga!" Kusodorkan beberapa volume komik romantis yang kupinjam darinya.

"Ini komik yang kubaca kemarin," ucapku sambil memberikannya.

"Tapi, Uehara-kun. Dengar apa yang ingin kuku—"

"Ah, tunggu sebentar. Ada upacara perpisahan? Cepat! Senior akan terlambat membuat pidato perpisahannya!" kataku sambil menarik tangannya yang halus.

"Tu-tunggu, Uehara-kun!"

"Ayo, ayo kita meriahkan pidatomu!"

Aku bicara terlalu banyak hari ini. Aku melakukannya agar dia tak perlu menolakku langsung. Ini lebih baik, memungkinkanku melupakan masalah ini untuk beberapa tahun ke depan.

Perpisahan anak tahun ketiga SMA Hinagiku berlangsung di gedung serbaguna. Di dinding berwarna biru, tergantung spanduk ucapan selamat dari junior kepada senior mereka, lengkap dengan tanda tangan.

Aku duduk di depan, di kelas tahun kedua. Kulihat Yukari duduk di kursi siswa terbaik tahun ini, wajahnya sedih. Aku tak tahu mengapa dia bersedih. Seharusnya aku yang bersedih, bukan dia.

Setelah kepala sekolah selesai memberikan pidato perpisahan, giliran Yukari untuk berbicara di depan siswa dan guru.

"Terima kasih semuanya atas kesempatan terbaik ini untuk mengucapkan perpisahan kepada kalian semua."

"Seperti yang kalian lihat, kita akan meninggalkan sekolah ini segera dan menghadapi kehidupan di masyarakat. Beberapa dari kami akan bekerja, sementara yang lain akan melanjutkan pendidikan di luar kota atau negeri."

"Oleh karena itu, aku, Yukari Amai, sebagai perwakilan anak tahun ketiga di SMA Hinagiku, mengucapkan terima kasih kepada seluruh guru, orang tua, dan junior yang membuat kami bangga. Sekali lagi, terima kasih semuanya."

Yukari membungkuk setelah menyampaikan kata-kata terakhirnya. Seluruh gedung serbaguna bersorak memberikan tepuk tangan meriah kepadanya.

Ya, sejak saat itu, aku tak pernah melihatnya lagi. Kudengar, dia pindah ke kota lain pada hari itu juga.

Dan setahun berlalu sejak saat itu. Aku telah menyelesaikan pendidikan SMA dan memilih hidup sendiri di Distrik Ueno. Meski jaraknya cukup jauh dari Distrik Shibuya tempatku tinggal, aku memutuskan tetap di sana, kuliah, dan mencari pekerjaan.

Setidaknya, itu yang kupikirkan. Namun, semuanya berubah ketika adikku memutuskan untuk tinggal bersamaku di apartemen ini.

Aku menyewa apartemen tua dengan dinding yang retak dan lumut hijau. Meski terlihat jelek, kamarnya cukup luas dan nyaman untuk dua hingga tiga orang.

Adik perempuanku, Rima Uehara, datang tiba-tiba. Aku melihatnya duduk di dekat pintu kamarku dengan pakaian terbuka pada perut dan lengannya. Celana jeans pendeknya menampilkan paha putih mulus.

Benar, tindakan bodoh di musim dingin seperti ini. Dia selalu membuatku khawatir.

"Rima, kenapa kamu datang kemari dengan pakaian seperti itu?"

Rima membalikkan wajahnya yang memerah. Dia bersin sebelum bisa mengatakan sesuatu.

"Uh... Boleh masuk sekarang? Aku tak bisa menghubungimu karena perlengkapanku tertinggal di kereta..."

Aku menghela napas dan mengizinkannya masuk. Saat melihat keadaan kamar yang berantakan, dia menatapku dengan tatapan kesal.

"Bagaimana seorang gadis bisa tinggal di sini jika kakak membiarkan ruangan ini berantakan ?"

Kuletakkan selimut tebal di dadanya. "Aku tahu. Tapi jangan khawatir. Tidak ada gadis lain yang tinggal bersamaku kecuali adikku ini."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status