Share

Dada Malam, Nafas Pagi
Dada Malam, Nafas Pagi
Author: Ophira Noctis

Suara Itu

Author: Ophira Noctis
last update Last Updated: 2025-05-16 15:28:09

Apartemen di Unit 23B selalu sunyi, bukan sunyi yang damai, tapi sunyi yang mengancam—seperti museum yang terlupakan waktu dan manusia. Di sana, hanya suara jam dinding yang berdetak monoton, ritme yang membelah sunyi di keheningan jam dua dini hari. Listrik berdengung pelan dari balik kulkas tua yang nyaris tak pernah berhenti bekerja. Lampu jalan di luar jendela memantulkan cahaya temaram, menciptakan bayangan samar menari di dinding.

Kania duduk terpaku di kursi malasnya yang kusam, memeluk segelas wine murahan yang terasa getir di lidahnya. Anggur itu adalah teman jujurnya. Tiga bulan terakhir hidupnya hanyalah pengulangan yang menyakitkan: kesepian yang membungkusnya rapat, sebuah benteng dari luka lama. Ia sudah berjanji, tidak ada lagi drama. Tidak ada lagi keterlibatan.

Malam ini berbeda. Janjinya terancam.

Kania menegang. Ia mendengar suara itu.

Bukan televisi. Bukan radio. Tapi sesuatu yang asing dan sangat dekat, datang dari balik dinding tipis Unit 23A, unit yang sudah berbulan-bulan kosong. Suara napas itu berat, tertahan, lalu dilepaskan pelan. Bukan napas tidur. Melainkan napas yang berjuang melawan sesuatu yang tak terlihat.

Punggung Kania merinding. Rasa takut bercampur dengan rasa ingin tahu yang kuat—rasa yang lama ia kubur. Ia harus mengabaikannya. Ini bukan urusannya. Tapi suara itu terus mendesak, seolah mencari bantuan. Erangan rendah, seperti menahan sakit, disusul keheningan yang menyesakkan.

Kania bangkit. Ia letakkan gelas wine itu di meja dengan bunyi denting terburu-buru. Ia berjalan menjauh dari dinding, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya suara bangunan lama. Namun, suara itu datang lagi.

Lagi.

Kali ini lebih jelas. Sebuah bunyi benturan pelan diikuti tarikan napas kasar, seolah udara direbut paksa. "Seseorang terluka," bisik Kania, nyaris tidak bersuara. Ia tahu, di dunia apartemen ini, tak ada yang mau ikut campur. Tapi ia tidak bisa membiarkannya.

Kania melangkah pelan, mendekat ke dinding pembatas, telapak tangannya menempel pada lapisan cat yang dingin. Ia bisa merasakan getaran samar di baliknya.

Ia meraih ponselnya. Jantungnya berdetak kencang. Ia menimbang-nimbang antara menelepon keamanan—yang pasti akan datang terlambat—atau menghadapi langsung.

Ia menghela napas panjang. "Sialan," gumamnya. Drama, selalu drama.

Kania menggeser kunci ganda di pintu apartemennya. Keputusannya sudah dibuat.

Tepat saat ia membuka kunci, sebuah suara lirih datang dari balik dinding.

"Tolong..."

Suara laki-laki. Serak. Penuh keputusasaan.

Kania memejamkan mata. Ia sudah berjanji pada dirinya untuk tidak lagi terlibat. Tapi suara itu... Suara itu memanggil sisi kemanusiaannya yang ia kira sudah mati.

Ia membuka pintu, melangkah ke lorong sunyi. Di sana, di depan unit 23A, hanya ada kegelapan dan keheningan yang mencekam.

Ia menarik napas, mengangkat tangan, dan menggedor pintu 23A dengan kepalan tangannya.

"Halo! Siapa di dalam? Anda butuh bantuan?"

Keheningan. Tidak ada jawaban.

Kania menggedor lagi, lebih keras. "Saya akan panggil polisi jika Anda tidak menjawab! Saya serius!"

Pintu itu tiba-tiba terbuka pelan, hanya selebar celah kecil. Dari celah itu, muncul mata gelap yang menatapnya tajam. Mata itu kelelahan, penuh amarah, dan berbahaya. Bau besi dan alkohol samar-samar tercium di udara.

"Pergi," desis suara itu. Suara yang sama, tapi kini lebih kuat, lebih mengancam.

Kania terkejut, namun ia menahan diri. Ia melihat sekilas bayangan tubuh yang besar dan tegap di balik pintu. "Saya dengar Anda kesakitan," balas Kania, mencoba menjaga suaranya tetap tegas. "Apa yang terjadi? Saya bisa bantu panggil ambulans."

Sosok itu tidak bergerak, hanya mata gelap yang menatap Kania. Lorong itu terasa membeku.

"Aku bilang, pergi," ulangnya, pelan, tetapi setiap kata terasa seperti ancaman. "Jangan pernah ikut campur urusanku."

Kania menatapnya lurus, amarahnya muncul, memadamkan rasa takutnya. "Jika aku membiarkanmu, dan terjadi sesuatu, aku juga yang akan repot dengan polisi. Jadi, bicaralah. Siapa namamu?"

Sosok itu akhirnya bergeser, membuka pintu lebih lebar, mengungkapkan sebagian tubuhnya yang besar. Sebuah luka di bahu yang berdarah samar terlihat jelas. Dia adalah Arsa.

"Namaku Arsa," desisnya. "Dan sekarang, tutup pintumu dan kembali ke wine murahanmu itu." Arsa membanting pintu, suara debuman keras membelah lorong.

Kania terdiam, menggigil di depan pintu unit 23A. Dia tahu, dia baru saja bertemu masalah—masalah yang menarik.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Widya Pratiwi
ceritanya seru banget
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dada Malam, Nafas Pagi   Syarat Kepemilikan

    Kania, Lena, dan Gio berada di sebuah rumah sewa di Kepulauan Canary, Spanyol. Pulau yang cerah itu terasa seperti tempat yang aman, tetapi Kania tahu itu hanya masalah waktu. Setelah ia memutus kalung pelacak, Arsa akan datang.Lima hari setelah pelanggaran fatal itu, Gio mendapat sinyal. Bukan dari Vanya, melainkan dari Arsa."Dia tahu di mana kita berada?" tanya Kania, jantungnya berdebar."Dia tidak tahu pasti, tapi dia menyusul jejak Dimitri di Madrid, dan Dimitri menyusul Lena," kata Gio. "Arsa tahu kita tidak mungkin jauh. Dia akan tiba dalam 24 jam. Tapi bukan hanya dia."Gio menunjuk layar monitor. "Jejak Vanya dan Dimitri berkumpul. Mereka datang bersama. Mereka tahu Lena dan kau adalah satu-satunya cara untuk memancing Arsa."Kania meraih Lena, memeluknya erat-erat. "Kita harus pergi.""Terlambat," kata Gio. "Bandara sudah diawasi. Kita akan bertarung di sini. Ini adalah tempat terakhir di mana Arsa akan mengharapkan kita."Kania mengambil pistol dari ranselnya. Ia bukan la

  • Dada Malam, Nafas Pagi   Perburuan Posesif

    Roma, Italia. Arsa duduk di balik meja marmer di penthouse sewaannya, menatap layar monitor yang kini hanya menampilkan titik hijau terakhir di Portugal, yang sudah pudar. Sinyal dari kalung pelacak Kania telah hilang.Titik itu tidak hanya hilang; titik itu diputus.Amukan Arsa tidak berbentuk teriakan atau penghancuran. Amukannya berupa ketenangan yang mematikan, sebuah badai yang membeku.Ia memejamkan mata, merasakan kosong di lehernya sendiri, tempat ia biasa meletakkan tangannya saat memeluk Kania. Kania telah memutuskan kontrak teritorial mereka.Arsa mengaktifkan saluran komunikasi aman. "Gio. Laporkan."Suara Gio terdengar tegang. “Sinyal terputus, Arsa. Vanya menyerang rumah aman. Mereka lari. Aku membawa mereka.”"Kau bohong," desis Arsa, suaranya sedalam ancaman. "Jika Vanya yang memutuskannya, sinyal itu akan mati di rumah itu. Tapi sinyal itu mati saat mereka berada di laut. Dia yang melepaskannya."Gio terdiam lama. “Dia melanggar, Arsa. Dia melanggar untuk menyelamatka

  • Dada Malam, Nafas Pagi   Hukuman yang Pasti Datang

    Laut Atlantik bergemuruh di sekitar kapal layar kecil itu, mencerminkan badai emosional di geladak. Kania berdiri, pistol Arsa yang diambilnya dari Dresden kini diacungkan ke Gio. Pistol itu goyah di tangannya, tetapi tekad di matanya keras."Aku tidak akan meninggalkan Lena," ulang Kania. Suaranya serak karena angin dan ketegangan. "Arsa membuat kontrak denganku. Aku adalah Bayangannya. Dan aku adalah penyelamat anak ini."Gio, seorang profesional yang dingin, menurunkan pistolnya, tetapi matanya tetap tajam dan penuh perhitungan. "Kau melanggar perintah paling fundamental Arsa. Kau memutus rantai. Kau tahu apa artinya itu?""Aku tahu. Artinya dia akan datang untuk menghukumku," jawab Kania. "Dan dia akan menghukumku karena aku memilih untuk tidak menjadi kelemahannya. Aku memilih untuk menjadi sekutunya yang benar."Gio menghela napas, memasukkan kembali pistolnya. "Kau tidak tahu seberapa buruk 'hukuman' yang bisa Arsa berikan saat ia merasa dikhianati. Terakhir kali, kau hanya men

  • Dada Malam, Nafas Pagi   Lautan Pengkhianatan

    Kania, Lena, dan Gio berada di atas kapal layar kecil yang bergerak cepat meninggalkan pesisir Portugal. Laut Atlantik terasa dingin dan luas, sebuah isolasi tak berujung yang seharusnya aman, tetapi terasa penuh ancaman.Lena tertidur di bawah dek, kelelahan. Kania duduk di geladak, di samping Gio yang mengendalikan layar. Angin laut yang dingin menerpa wajah Kania.Di leher Kania, kalung perak itu terasa semakin dingin. Itu adalah pengingat konstan akan kontrol posesif Arsa dari jarak jauh. Namun, kini kalung itu terasa seperti bom waktu."Gio," kata Kania, suaranya pelan. "Apakah Vanya bisa menggunakan sinyal pelacak ini untuk menemukan kita?"Gio tidak menoleh. Dia fokus pada kompas. "Jika dia cukup pintar, ya. Tapi pelacak itu hanya mengirimkan sinyal ke satelit Arsa. Vanya harus meretas jaringan Arsa.""Arsa melarangku melepasnya," bisik Kania. "Itu adalah hukuman dan klaimnya."Gio akhirnya menoleh, matanya tajam. "Arsa tidak tahu seberapa dekat Vanya dengan teknologinya. Arsa

  • Dada Malam, Nafas Pagi   Jejak di Portugal

    Kania dan Lena tiba di sebuah rumah aman yang disediakan Gio di pesisir Portugal. Rumah itu terpencil, mewah, dan sepenuhnya dijaga. Itu seharusnya menjadi tempat peristirahatan, tetapi bagi Kania, itu terasa seperti penjara berlapis emas.Beberapa hari telah berlalu sejak perpisahan mereka di Pyrenees. Arsa kini berada di Italia, menarik perhatian musuh. Kania tahu Arsa berisiko, dan setiap detak jantungnya terasa seperti peringatan.Di leher Kania, kalung rantai perak tipis itu terasa dingin dan berat. Itu adalah ikatan terakhir Arsa—sebuah kalung pelacak yang menegaskan kendali posesifnya dari jarak ribuan kilometer.Lena perlahan mulai pulih. Kania berhasil membuatnya tertawa dan bermain di taman belakang yang berpagar tinggi. Kania, tanpa sadar, mulai mengambil peran sebagai figur ibu yang Lena butuhkan.Gio, yang mengawasi mereka, sering terlihat gelisah. Ia selalu membawa radio komunikasi dan senjatanya.Suatu sore, saat Kania sedang menyuapi Lena makan siang di teras yang cera

  • Dada Malam, Nafas Pagi   Pertemuan di Pegunungan Pyrenees

    Udara Pegunungan Pyrenees terasa tajam dan beku. Arsa membawa mobil curian itu menyusup melalui jalur gunung tersembunyi yang Kania identifikasi di peta. Kabut tebal menyelimuti puncak-puncak batu, memberikan rasa isolasi yang sempurna.Mereka tiba di tempat yang ditentukan: sebuah pondok perburuan kecil yang sudah ditinggalkan. Arsa memarkir mobil di balik tebing batu.Lena terbangun. Dia melihat ke luar jendela dan meringkuk ketakutan. Kania segera memeluknya."Kita sudah sampai," kata Arsa, matanya menyapu sekeliling. "Gio ada di sini. Dia akan membawa kalian ke tempat yang aman."Kania menegang. "Kau bilang kami. Kau tidak ikut?""Aku tidak bisa," jawab Arsa. Ia menoleh ke Kania, wajahnya menunjukkan ketegasan yang dingin. "Dimitri dan Vanya akan melacak keberadaanku. Aku harus menarik perhatian mereka menjauh dari Spanyol. Aku akan ke Italia. Kau dan Lena akan ke Portugal, bersembunyi di bawah pengawasan Gio.""Aku tidak akan meninggalkanmu," desis Kania. Ia melanggar perintah po

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status