“Di mana saya…”
Kesadaran menerjang Zahira seperti badai. Ia membuka mata dalam gelap, tubuh menggigil di lantai tanah yang basah dan busuk. Seharusnya, saat ini ia sedang menolong pasien anak kecil di UGD. Namun, mengapa sekarang justru ia berada di dalam ruang kumuh dengan obor tergantung di tembok batu lembab, lantai tanah, dan jeruji karat? Ia meringis pelan, belum percaya dengan apa yang ia lihat. Namun, tiba-tiba kepalanya terasa sakit dengan hebat. Kilasan ingatan seseorang menghantamnya. Selir Elina? Kerajaan Azmeria? “Aku kembali ke zaman kuno?!” batin Zahira terkejut, sambil memegang kepalanya. “Bukankah kerajaan itu sudah lama menghilang dari sejarah?” gumam Zahira lagi. Selir Elina adalah istri kedua Pangeran Raeshan yang menjadi tawanan dari negeri Varindra. Ia juga dikenal angkuh dan pembangkang terhadap sang pangeran. Pangeran Raeshan sendiri dikenal kejam terhadap Elina karena ia bukan istri yang pangeran cintai. Raeshan jarang menemuinya, dan ketika datang hanya membawa kemarahan atau kekerasan. Pemilik tubuh ini sebenarnya sangat baik, tetapi menyimpan dendam besar pada Raeshan yang telah menghancurkan negeri Varindra dan membunuh keluarganya. Jadi ia selalu menentang dan mempermalukan Raeshan di depan para bangsawan. Saat masih dipenuhi kebingungan, telinga Zahira berdengung dan kepalanya mendadak pening. Zahira mengingat semuanya. Malam sebelumnya, Elina difitnah oleh Permaisuri Liora. Wanita cantik licik itu sengaja memberi racun ke dalam tehnya sendiri dan menuduh Elina hendak membunuhnya. Elina tak diberi kesempatan membela diri. Ia diseret, dicambuk, dan dilempar ke penjara bawah tanah. Liora juga secara pribadi pernah mencakar wajah Elina hingga luka panjang membekas dari tulang pipi hingga rahang. Luka itu belum benar-benar sembuh, mengering dengan kasar, menyisakan warna kehitaman di sepanjang sisi wajah kirinya. Zahira kini menyentuh bekas luka itu perlahan. Masih ada tersisa rasa perih dan bekas cambukan yang menembus kesadarannya, menyatu dengan trauma tubuh yang kini ia huni. Ditengah lamunan ingatannya, terdengar langkah mendekat. Pintu jeruji dibuka kasar. Seorang pelayan bertubuh besar datang membawa seember air kotor. Tanpa aba-aba … BYUURRR! Air busuk menyiram tubuh Zahira. “Kau pantas mati! Berani sekali kau racuni Permaisuri Liora?!” Pelayan mengangkat kakinya, siap menendang. Namun Zahira sudah bergerak duluan. Tangannya mencengkram pergelangan si pelayan, menarik tubuhnya maju, lalu dengan lutut menghantam perut wanita itu. BUGH! Pelayan terhuyung, kaget. Sebelum sempat bicara, Zahira mencengkram rambutnya, membanting wajahnya ke jeruji logam. CRAANG! “Cukup!” desis Zahira. “Kau pikir aku seseorang yang mudah kamu tindas?” Pelayan terjatuh, darah mengalir dari hidung. Ia ketakutan dan syok karena tak menyangka Selir Elina bisa melawan dan berubah dalam waktu semalam. Dulu pemilik tubuh ini, meski di permainkan dan di olok-olok para pelayan karena statusnya sebagai selir tidak di inginkan, ia tidak pernah melawan. Ia hanya kejam pada Pangeran Raeshan saja. Langkah berat menggema. Suara sepatu logam mendekat. Semua langsung membisu. Jeruji dibuka. Pelayan tadi langsung ditarik paksa oleh pengawal.Ia kini menatap melihat Zahira, atau yang semua orang di sini kenal sebagai Elina, berdiri tegak dengan luka di wajah dan tubuh kotor, tapi kini tersenyum tipis setelah berhasil membuat pelayan tadi ketakutan.
“Berani sekali kau masih bisa tersenyum setelah kemarin kau coba racuni permaisuri,” ujarnya tajam. Elina turun bersimpuh, menunduk. “Hamba mohon ampun, Yang Mulia,” suaranya serak. “Hamba rela dihukum. Tapi hamba bersumpah, hamba tak berniat menyentuh Permaisuri Liora apalagi meracuninya.” Raeshan mendekat, pandangannya menyelidik. “Lucu. Kau bisa bicara manis sekarang. Tapi bukankah mulut yang sama pernah menyebutku iblis?” Elina terdiam. Dadanya bergetar, wajahnya memucat. Ia buru-buru menunduk lebih dalam. “Itu kesalahan hamba, amarah sesaat. Mohon ampun, Yang Mulia. Hamba tak layak menghina Pangeran seperti itu.” Raeshan menatapnya lama. Ia mengenal Elina sebagai wanita yang tak pernah menyesal, apalagi meminta maaf padanya. Tapi kini suaranya terdengar tulus. Tiba-tiba Eina limbung. Tubuhnya nyaris roboh. Raeshan bergerak cepat, menangkapnya. Tubuh itu dingin seperti salju, ringan, dan melemah di pelukannya. “Buka jalan,” ucap Raeshan singkat. Ia mengangkat Elina ke dalam pelukannya. Ia melangkah dengan cepat namun situasi selanjutnya membuatnya harus pelan-pelan. Dalam kondisi setengah sadar, Elina melingkarkan kedua tangannya ke bahu Raeshan. Pelukannya lemah, tapi terasa pasrah dan hangat. Seperti ia mencari perlindungan. Raeshan menoleh. Jantungnya berdetak lebih cepat sejenak. Wajah wanita di pelukannya itu tampak damai meski tubuhnya penuh luka. Rambutnya basah menempel di pipi, bibirnya pucat, tapi terlihat lebih lembut. “T-Ternyata kau lebih dingin dari yang kuduga.” gumam Elina lirih, hampir seperti bisikan mimpi. Raeshan diam. Matanya memandangi wanita itu lama. “Kurang ajar,” gumamnya, pelan. Tapi nadanya nyaris seperti bisikan. Meskipun ia bisa saja mendorong pelukan itu, Raeshan justru mengeratkan pegangannya. Raeshan lalu membawa Elina ke Istana Barat. Tempat yang sejak lama telah menjadi “kediaman” resmi Selir Elina. Tempat itu sunyi, jauh dari pusat istana, dan hampir terlupakan. Penempatan yang jelas-jelas disengaja oleh Permaisuri Liora dan tentu saja, disetujui Raeshan sendiri. Ia tak mengatakan sepatah kata pun. Hanya diam menatap wanita itu untuk beberapa detik, lalu berbalik dan pergi. Begitu pintu tertutup dan suara langkahnya menjauh, Elina membuka matanya perlahan. Ia menghela napas, menahan nyeri yang menjalar di tubuhnya. Membayangkan wajah Reshan saja sudah membuatnya merinding. “Sekar,” panggilnya pelan. Pelayan setia pemilik tubuh itu, segera masuk dari balik tirai, matanya berkaca-kaca melihat keadaan tuannya. Namun Elina menenangkan dan tidak perlu khawatir, dia baik-baik saja. “Siapkan air dan ramuan. Luka-luka ini harus segera dibersihkan,” ujar Elina sesaat kemudian. Sekar mengangguk cepat, lalu bergegas keluar. Elina kini menyentuh pipinya yang bengkak, nafasnya berat begitu melihat wajahnya di cermin logam. “Aku tidak akan biarkan tubuh ini menderita lagi. Kalau mereka pikir aku akan tetap lemah mereka belum benar-benar mengenalku.”Cahaya lentera menyinari wajah Elina yang tampak pucat namun mulai membaik. Luka-lukanya dibalut rapi, napasnya perlahan stabil.Pangeran Raeshan kini duduk di tepi ranjang.Di tangannya, semangkuk kecil ramuan pahit yang bahkan membuat para tabib meringis mencium baunya.Elina masih setengah duduk, bersandar lemah pada bantal.“Minum.” Suara Raeshan terdengar datar, meski ada nada yang sulit dijelaskan antara kesal, cemas, dan bingung.Elina menatap mangkuk itu malas. “Aku tak kuat aromanya.”Raeshan mendesah tajam. Tanpa bicara, ia menyendokkan ramuan itu dan menyuapkannya langsung ke mulut Elina.Elina terkejut. Ia tak sempat mengelak.“Kalau kau bisa membedah tubuh seseorang dengan tangan berlumur darah, minum ini bukan hal sulit, kan?” ucap Raeshan tajam.Ramuan pahit itu mengalir melewati tenggorokannya. Elina hampir batuk, tapi ia menahan.Setelah dua suapan, ia menatap Raeshan dengan lirih. “Terima kasih.”Namun Raeshan langsung menatapnya dingin. “Jangan salah paham. Ini buka
Tangan Elina bergetar saat menggenggam pisau kecil yang diberikan Sekar dengan ragu-ragu.Di luar pintu, suasana mencekam. Para tabib berbisik-bisik, beberapa menghentakkan kaki tak sabar, dan Liora duduk anggun namun menyimpan senyum puas, yakin bahwa selir akan gagal mempermalukan dirinya sendiri.Sekar berdiri disisi Elina, wajahnya pucat. Kedua tangannya mencengkeram erat kusen kayu. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.“Tuan Putri… aku mohon, jangan lakukan ini. Kalau Dasman tidak tertolong, Anda bisa dihukum mati,” bisik Sekar panik, nyaris menangis.Elina menoleh sekilas, matanya tajam. “Aku tahu risikonya, Sekar. Tenanglah semuanya akan baik-baik saja.”Ia kembali menunduk. Nafasnya berat. Luka tusuk di dada Dasman sangat dalam tepat di bawah tulang rusuk keempat. Terlalu dekat dengan jantung dan paru-paru.Elina menekan sepotong kain bersih yang direndam cuka ke luka terbuka. Dasman menggeliat, meski tidak sadarkan diri. Tubuhnya kejang-kejang pelan. Nafasnya terputus-putu
Langkah-langkah tergesa menggema di lorong batu. Raeshan berjalan cepat, jubah gelapnya mengepak diterpa angin. Di belakangnya, Letnan Dasman membawa lentera, menyorot jalan sempit menuju kamar Elina.Begitu mereka sampai di ambang pintu jeritan terdengar dari dalam.“Awas!!”Pintu kamar terlempar terbuka. Seorang pria berpakaian hitam menerjang ke arah ranjang Elina, sebilah pisau panjang terangkat tinggi.“TUAN PUTRI ELINA!” teriak Sekar dari sudut ruangan.Dalam sepersekian detik, Dasman melompat lebih dulu, menahan lengan si penyusup. Mereka bergulat hebat di lantai batu. Raeshan mencabut pedangnya dan maju, namun terlalu lambat.Pisau di tangan penyusup berhasil lolos dari genggaman Dasman dan dalam satu ayunan tajam, menghujam tepat ke bawah tulang rusuk kiri Dasman.Suara crack terdengar pelan, diikuti semburan darah segar yang menyembur dari mulut Dasman. Penyusup itu telah mengenai organ vital limpa atau mungkin paru-paru.Dasman terhuyung, tubuhnya jatuh bersimpuh, matanya m
Senja menggantung merah di langit Azmeria saat derap kuda memenuhi halaman utama istana.Pangeran Raeshan tiba dengan wajah dingin, tubuhnya berbalut debu perjalanan, namun matanya menyala puas.Ekspedisi selama seminggu berakhir dengan kemenangan. Semua bandit dan pembelot yang merongrong stabilitas kerajaan telah ditangkap dan dieksekusi.Belum sempat ia beristirahat, dayang dari permaisuri Liora datang berlari-lari dengan wajah panik.“Yang Mulia!” ia berlutut tergesa. “Permaisuri… beliau terbaring lemah. Tuan Selir Elina menularkan penyakit pada Permaisuri.”Raeshan langsung melangkah cepat ke kediaman istrinya. Di sana, Liora tampak pucat dan berkeringat, terbaring tak berdaya di ranjang megahnya. Aroma obat dan rempah tajam memenuhi ruangan.“Siapa yang berani melakukannya pada permaisuriku?” suaranya dalam dan menahan amarah.Salah satu dayang bersujud. “Setelah beliau mengunjungi kediaman Selir Elina, beliau langsung jatuh sakit. Hanya itu, Paduka… hanya itu.”Raeshan mengepal
Saat Sekar sudah kembali dengan baskom berisi air hangat di tangannya.“Sekar,” ucapnya mantap. “Aku butuh bantuanmu lagi.”“Apa pun, Tuan Putri. Katakan saja.”“Saya butuh tanaman dan bahan-bahan. Kita akan buat masker dan salep untuk memudarkan luka dan lebam.”Sekar sempat terdiam. “Tapi… bahan apa yang Anda maksud?”Elina menatapnya dalam. “Bisa kau dapatkan daun lidah buaya, kunyit, madu, dan minyak kelapa.?”Sekar mengangguk cepat. “Saya akan cari sekarang.”Begitu bahan-bahan yang dibutuhkan terkumpul. Ia mulai meracik sendiri di atas meja.Pertama, ia memotong lidah buaya dan mengeruk gel beningnya ke dalam mangkuk. Ia menumbuk kunyit hingga halus dengan batu penumbuk. Lalu menambahkan madu dan minyak kelapa. Tangannya cekatan, seperti telah melakukannya seribu kali.Sekar hanya bisa menatap takjub.“Campuran ini akan membantu memudarkan luka dan memar. Kunyit untuk anti radang, madu untuk regenerasi kulit, dan lidah buaya untuk melembabkan dan mempercepat penyembuhan,” jelas
“Di mana saya…”Kesadaran menerjang Zahira seperti badai. Ia membuka mata dalam gelap, tubuh menggigil di lantai tanah yang basah dan busuk. Seharusnya, saat ini ia sedang menolong pasien anak kecil di UGD. Namun, mengapa sekarang justru ia berada di dalam ruang kumuh dengan obor tergantung di tembok batu lembab, lantai tanah, dan jeruji karat?Ia meringis pelan, belum percaya dengan apa yang ia lihat. Namun, tiba-tiba kepalanya terasa sakit dengan hebat.Kilasan ingatan seseorang menghantamnya.Selir Elina?Kerajaan Azmeria?“Aku kembali ke zaman kuno?!” batin Zahira terkejut, sambil memegang kepalanya.“Bukankah kerajaan itu sudah lama menghilang dari sejarah?” gumam Zahira lagi.Selir Elina adalah istri kedua Pangeran Raeshan yang menjadi tawanan dari negeri Varindra. Ia juga dikenal angkuh dan pembangkang terhadap sang pangeran.Pangeran Raeshan sendiri dikenal kejam terhadap Elina karena ia bukan istri yang pangeran cintai. Raeshan jarang menemuinya, dan ketika datang hanya memb