Alurnya ngebut yaaa. Pak Bin udah pamitan aja di bab 18 ~
“Ayah tidur di sini malam ini.”“Nggak usah.” Sinar berbalik memunggungi sang ayah yang baru masuk ke kamar sang bunda. Ia tengah berbaring di ranjang mendiang bundanya dan memeluk daster yang dipakai Rani terakhir kali. “Nggak ada gunanya.”“Nar, jangan begini.” Prabu duduk di tepi tempat tidur. Mengusap pelan puncak kepala Sinar. “Kamu itu anak ayah.”Sinar mendengus keras. Andai tenaganya tidak terkuras, saat ini ia pasti sudah berteriak pada Praba. Menumpahkan semua kebenciannya. “Aku anak bunda.”“Sinar—”“Keluar dari kamar bunda,” sela Sinar semakin mengeratkan pelukannya pada daster milik Rani. “Ayah nggak pantas dan nggak berhak ada di rumah ini, apalagi kamar ini.”Kali ini, Praba tidak membalas. Ia memilih diam karena bisa mengerti dengan kehilangan yang dialami putrinya. Sinar hanya perlu waktu untuk melerai luka dan sembuh, meski semua tidak akan lagi seperti sedia kala.Tanpa kata, Praba keluar dan menutup pintunya. Ia pergi ke ruang tamu, untuk menemui para pelayat yang
Sinar keluar dan berlari setelah mobil Bima berhenti di depan rumah sakit. Langkahnya tergesa, menembus kerumunan yang ada. Ia sudah tidak peduli pada suara Bima yang memanggil dari belakang. Napasnya memburu, dadanya terasa sempit, sesak.“IGD di—”“Nar!”Panggilan seseorang membuat Sinar berbalik dan tidak jadi bertanya. Ia kembali berlari, menghampiri Lala yang sudah menghubunginya beberapa waktu lalu.“Bunda, La? Di mana!” Melihat mata merah Lala dan wajah sembabnya, membuat perasaan Sinar semakin tidak karuan.Lala memeluk Sinar. Mengusap punggung gadis itu sebentar lalu menunjuk ke balik tirai putih tanpa suara.Sinar menahan napas. Tangannya terulur pelan, lalu menepis tirai dengan jemari yang bergetar hebat. Pandangannya langsung terpaku.Di balik tirai itu, sesosok tubuh terbujur kaku di atas ranjang, dibalut selimut putih yang baru dibuka hingga sebatas dada karena kedatangannya. Wajah yang sangat dikenalnya kini tampak pucat, tanpa ekspresi, tanpa kehidupan.“Bunda ...”“Ik
“Nar! Sinar!”Sinar mengerjap. Menatap Daisy yang sudah berdiri hadapannya dengan beberapa berkas. Sejak tadi, tatapannya menerawang dan pikirannya entah berada di mana. Namun, satu hal yang pasti, dirinya merindukan Bintang.Di saat-saat seperti ini, pria itu akan selalu bisa menjadi tempatnya pulang. Menumpahkan semuanya, tanpa ada yang harus disembunyikan. Bintang tidak pernah menghakimi dan selalu bisa memahaminya.“Napa Dai?” Sinar menggeleng sesaat. Mengusir semua pikiran pelik yang ada di kepala.Daisy meletakkan berkas yang dibawanya di meja Sinar dan membaginya. “Minta tanda tangan pak Harsa untuk yang dimap biru. Terus, surat-suratnya bagi ke reporter yang bersangkutan.”Sinar menggangguk. “Ada lagi?”“Emm ...” Daisy melihat ke area kubikel. “Mas El belum datang?”Mas?Apa Sinar tidak salah dengar? Daisy memanggil Elo dengan sebutan Mas? Bukan Bapak, seperti pertama kali Sinar memperkenalkan kedua orang itu?Apakah kedua orang itu sedang menjalin hubungan?“Pak El?” Sinar be
“Hei, Bim.” Elo menghampiri Bima yang tampak santai duduk di dalam mobilnya. Ia baru saja tiba, ketika melihat mobil Bima terparkir dengan kaca jendela terbuka sepenuhnya. “Jemput Sinar?”“Eh, Mas!” Bima meletakkan ponselnya di door pocket, kemudian keluar dari mobil. “Nggak. Gue ditugasin tuan besar ke sini, ngurus iklan. Baru aja selesai. Je bawa motor katanya, jadi bentar lagi gue pulang.”Elo mengeluarkan sebungkus rokok dari saku kemeja, menyodorkan ke Bima.“Nggak ngerokok gue, Mas,” tolak Bima dengan kibasan tangannya. “Bisa dipecat jadi anak sama nyonya besar, kalau ketahuan ngerokok.”Elok terkekeh. Niat untuk mengisap batang nikotin itu pun ia urungkan. Mengembalikan bungkus rokoknya kembali di saku kemeja.Tuan besar dan nyonya besar. Itu pasti sebutan untuk ayah dan ibunya Bima, Kaisar dan Eila.“Bokap apa kabar?” tanya Elo. “Aku udah lama nggak ketemu.”“Baik.” Bima bersandar pada pintu mobil. “Mau nyalon. Makanya lagi merepet ke media-media. Biasa, pencitraan dulu.”“Wali
Elo berhenti di depan meja Sinar yang kosong. Rapat redaksi baru saja selesai dan aneh rasanya tidak melihat gadis itu ada di mejanya.Masalah Violet sudah diselesaikan dengan mudah, karena Elo sempat mengancam gadis itu sebelumnya. Jadi, terhitung hari itu Violet sendiri yang mengundurkan diri. Tanpa drama apa pun.Elo mencoba menghubungi Sinar, tetapi, lagi-lagi gadis itu tidak menerima panggilannya. Bahkan, pesan yang Elo kirimkan sejak kemarin tidak ada satu pun yang dibalas. Hanya dibaca dan dibiarkan begitu saja.Untuk itu, Elo akhirnya memutuskan pergi ke rumah Sinar setelah menyelesaikan pekerjaannya.Elo berhenti tepat di depan rumah berpagar hitam. Tempat di mana ia mengantarkan Sinar kala itu. Berkali mengetuk dan mengucap salam, tetapi tidak ada tanda-tanda kehidupan.“Pak Josep sama istrinya keluar kota, Mas,” ucap seorang ibu muda yang muncul di sebelah rumah. “Jenguk anaknya yang baru lahiran.”“Ohh ...” Elo mengangguk-angguk karena tidak tahu nama orang tua Sinar. “Jadi
Elo masuk ke dalam kamarnya dan melihat Sinar masih meringkuk di balik selimut. Ia melihat nampan yang masih berada di meja dan makanan yang dipesannya tadi malam tidak tersentuh sama sekali.Kalau sudah begini, rasanya benar-benar ingin menumpahkan amarahnya pada Sinar.Lantas, ia pun menghampiri tempat tidur dan berdiri menatap Sinar dari dekat.“Bau rokok,” gumam Sinar menarik selimutnya hingga menutup seluruh tubuh.Elo berdecak. Ternyata gadis itu sudah bangun.“Cuma sebatang, Nar,” ujar Elo segera mencium kaosnya sendiri. Apa iya aroma tembakau yang menempel sampai setajam itu, hingga Sinar langsung bisa menciumnya. “Kenapa makanannya nggak disentuh?” tanyanya sembari duduk di samping gadis itu.“Ngantuk.”Elo menarik paksa selimut Sinar, hingga wajah gadis itu kembali terlihat. “Ayo sarapan! Buru mandi, ganti baju.”“Saya sudah mandi.” Sinar kembali menutup kepalanya dengan selimut.“Sarapan kalau gitu.” Elo kembali menarik selimut Sinar. “Nanti sakit kalau perutmu nggak diisi.”
“He, Nar.” Elo berlutut di depan Sinar, setelah mendudukkan gadis itu di lobi. Menepuk-nepuk pipi gadis itu, karena pikiran Sinar seolah mengambang entah ke mana. “Aku El, Nar. Nar!”Sinar menatap Elo. Namun, pikirannya berputar pada semua kejadian yang dialaminya bersama Violet.“Nar!”“Pak El ...” Sinar mencebik, berujar lirih. “Saya ... mau mual ...”“Mau muntah?” Elo baru saja hendak berdiri ketika Sinar mencengkram sisi kemejanya. Detik berikutnya, Elo tidak sempat menghindar. Ia hanya bisa membeku, saat Sinar memuntahkan isi perutnya, tepat mengenai bajunya.“Maaf ...”Sinar menunduk, menarik kedua tangannya perlahan lalu mengusap mulutnya. Ia tidak berani menatap Elo dan hanya terpaku pada noda di kemeja dan celana pria itu.Tiba-tiba saja, Sinar khawatir jika Elo akan bersikap galak. Memarahinya, seperti saat pria itu mengomel para reporter yang lalai dengan tugasnya.“Nggak sengaja, Pak El ...”Tubuh Sinar berguncang pelan, suaranya nyaris tercekat. Air matanya menitik tanpa
Sinar mengira, ia akan memakai baju batik milik Elo agar bisa seragam dengan yang lainnya. Namun, ternyata seragam yang dimaksud adalah seragam kantor tempatnya bekerja, yakni kemeja Metro.“Kirain pake seragam batik!” Sinar berdecak setelah keluar dari kamar mandi. Memakai seragam Metro yang kebesaran dan ujungnya dimasukkan ke dalam celana jeans. Elo mengangkat kedua alisnya sembari mengancing seragam batik yang baru ia pakai.“Terima kasih kembali.” Elo berdecak lalu berbalik. Melihat tampilan dirinya dari cermin dan memastikan semuanya sempurna. “Jadi orang nggak ada syukurnya sama sekali.”“Syukur,” kata Sinar berdiri di samping Elo dan bergegas mengeluarkan bedak dan lipstik dari tas. “Oia, Pak El buka kamar sendiri? Soalnya aku nggak lihat daftar nama Pak El di list.”“Iya.” Elo mundur lalu duduk pada tepi ranjang. “Aku besok ambil libur, jadi mau santai di hotel.”“Loh!” Sinar berbalik cepat. “Kok, nggak lapor ke saya kalau besok ambil libur.”“Barusan ini aku laporan.” Elo m
Elo baru menutup pintu mobil, ketika melihat sebuah motor melintas di depannya. Dua orang di atasnya tampak tertawa dan Elo spontan mengumpat detik itu juga.Elo melangkah pelan menuju pelataran gedung, berhenti tepat di depan pintu masuk, menanti keduanya datang mendekat.“Vio, masuk!” titah Elo datar dan tegas. “Sinar, ikut aku.”“Buru, Vi, masuk,” bisik Sinar. “Tanduknya muncul.”“Permisi, Pak El,” pamit Violet bergegas masuk ke dalam kantor, daripada melihat wajah galak Elo.“Ikut ke mana?” tanya Sinar sambil menggaruk leher.Dengan cepat, Elo menarik Sinar ke arah parkiran mobil. “Kenapa kamu berangkat ke kantor sama Vio?”Sinar menggembungkan pipi sebentar. “Emang kenapa?”“Kenapa kamu berangkat ke kantor sama Vio?” tanya Elo sekali lagi. “Dia jemput kamu?”Sinar menggeleng. “Saya tidur di kontrakannya tadi mal—”“APA!”“Iss!” Sinar menjauh satu langkah. “Nggak usah teriak-teriak.”“Kamu ... kamu tidur di kontrakan Vio tadi malam?” tanya Elo memastikan lagi.“Iya.” Sinar mengangg