Rosa dan Jo saling bertatapan. Jarak tak menghalangi pandangan mereka. Jo melemparkan senyum khasnya kepada Rosa.
Melihat hal tersebut, Rosa langsung menunduk. Ia menghindari tatapan Jo. Hal itu membuat Jo terheran-heran. Gadis yang dikenalnya selalu menyambut setiap kali ia tersenyum kepada mereka. Namun, tidak dengan Rosa.
"Ayo, kita ke luar dari sini. Aku ada kuliah," ajak Rosa kepada Meity yang masih terpana. Ia menyenggol lengan Meity dengan sikunya.
Meity tersadar. Ia mengangguk dan bergegas mengikuti langkah Rosa yang telah mendahuluinya. Mereka melewati gerombolan lelaki bertubuh tinggi yang merupakan tim inti pemain basket di kampus.
Saat Rosa melewati mereka, pandangan Jo tak lepas dari Rosa. Hingga gadis berambut panjang itu sudah tidak tampak lagi. Menghilang di balik pintu.
Kapten mereka menepuk bahu Jo dan memperingati, "Dia idol di kalangan ukema. Hati-hati!"
Mata Jo berbinar. 'Tangkapan yang bagus. Aku akan menyiapkan umpan yang besar untuk gadis itu.'
"Dia cantik banget. Siapa namanya?" tanya Jo, penasaran.
"Rosanna Jung."
Jo tersenyum simpul ketika mendengar jawaban sang kapten. Ia akan mendapatkan gadis itu bagaimanapun caranya.
***
Rosa berbohong kepada Meity. Hari itu, ia senggang sebenarnya. Beberapa kelas di semester lima telah ia ambil di semester sebelumnya, sehingga ia lebih banyak masuk kelas di atasnya. Bergabung bersama para senior.
Gadis bermata besar itu cukup terkenal dan berprestasi. Banyak senior yang segan kepadanya. Selain cantik bagai boneka manekin, ia juga cerdas. Perpaduan yang sempurna.
Hal yang membuatnya buruk adalah rumor tentang perilaku Rosa. Para lelaki tak ingin seorang pun dari mereka mendapatkan gadis itu. Jika ada yang mendekatinya, maka yang lain akan menghalangi dengan menceritakan tentang kebiasaan Rosa berganti-ganti pasangan. Padahal itu semua adalah kebohongan. Mereka ingin Rosa menjadi milik bersama layaknya idola.
Rosa menidakacuhkan kabar itu. Ia tak peduli selama tidak mengganggu kehidupan, hobi, dan akademiknya. Sahabatnya pun cuek saat mendengar rumor tersebut.
Ternyata tidak bagi Esa Sandjaya—penanggung jawab ukema fotografi yang digantikan oleh Rosa. Rumor tersebut cukup mengganggunya. Baginya Rosa adalah cinta pertama yang tak bisa diungkapkan. Selain itu, ia benar-benar takut memulai hubungan dengan gadis itu karena rumor yang telah ada sejak Rosa menjadi mahasiswi semester dua. Ia takut kecewa.
Setelah mengenal Rosa lebih dari dua semester di ukema fotografi, ia sadar gadis itu tidak seperti yang dikatakan orang-orang. Hanya saja waktunya sempit, ia harus mengejar wisudanya terlebih dahulu. Tanpa disadarinya ada musuh yang siap mengambilnya kapan saja.
Rosa sendiri tak mengetahui perasaan Esa terhadapnya. Ia agak cuek untuk urusan perasaan. Walaupun ingin sekali merasakan jatuh cinta dan dicintai, tetapi tak ada yang menggetarkan hatinya selama ini. Ditambah rasa cemas akan pikirannya bahwa lelaki hanya ingin memanfaatkan saja.
Rosa segera berpamitan kepada Meity untuk kembali ke indekos. Ia sedikit lelah hari ini. Ingin segera berbaring di ranjang empuk yang dibelikan Anjun untuknya.
Selain ranjang, abangnya itu memberikan kredit card platinum untuknya. Rosa tak pernah menggunakan karena kiriman ayahnya sudah lebih dari cukup. Anjun benar-benar memanjakan adiknya. Salah satunya dengan mencarikan kamar indekos terbaik di sekitar Jatinangor.
Rumah indekos bak hotel atau guest house itu benar-benar memiliki fasilitas mewah. Selain memiliki AC di masing-masing kamar, pihak manajemen juga menyediakan water heater dengan fasilitas bathtub. Udara Bandung yang sejuk dan cukup dingin itu tak membuat Rosa merasa menggigil lagi.
Rosa berendam air hangat untuk mengendurkan otot-otot tegang pada bahu dan punggungnya. Kegiatannya yang padat, membuat ia begitu lelah. Namun, dengan berkegiatan, ia dapat mengesampingkan perasaannya.
'Cintai dan sakiti hatiku
Kalau itu dapat membawamuKembali kepelukanku lagiAku rela memberi segalanya untukmu'Terdengar suara ponsel dari arah kamar. Rosa mendesah kesal. Itu pasti panggilan dari Anjun. Sudah lima kali abangnya itu menelpon. Namun, tak dijawabnya karena ia sedang di kelas.
"Kenapa Abang tak menikah saja?" keluh Rosa, pelan.
Rosa beranjak dari bathtub dan keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk melingkar di tubuh rampingnya. Ia mengambil ponsel yang suaranya semakin lama semakin nyaring bagi pendengarannya. Ia menarik napas panjang lalu menjawab panggilan.
"Ya, Bang? Ada apa?"
"Kenapa tak kau angkat telpunku, hah?! Kau buat apa dengan lelaki?!" gertak Anjun, kesal.
Rosa menghela napas. "Aku tak buat apa-apa, Bang! Kau tau kuliahku padat! Sudah kukirimkan tangkapan layar jadwal setiap hari sama kau!"
Semakin lama nada suara Rosa semakin meninggi karena geram atas sikap overprotektif Anjun. Ia mendaratkan pantatnya di ranjang dengan wajah cemberut. Mood-nya semakin ambyar. Ingin sekali ia memaki Anjun, tetapi tak berani dilakukannya.
"Oke, oke, okeee! Kau sedang apa sekarang?" tanya Anjun, mengalah.
Di balik sikap garang dan overprotektifnya, Anjun tetap tak bisa menguasai kelakuan Rosa saat sedang merajuk dan marah. Ia akan lebih banyak mengalah dan memberikan apa saja yang dipinta adik kesayangannya itu.
"Aku sedang mandi tadi dan kau menelepon," sahut Rosa, merajuk.
"Baeklah, aku tak akan ganggu kau lagi. Sana berpakaianlah dahulu," timpal Anjun, lalu mematuskan panggilan.
Rosa tercengang, bingung akan sikap abangnya hingga mengetahui kalau ia belum berpakaian. "Abang mengintip? Atau memasang kamera rahasia?"
Rosa begitu gelisah. Ia segera berpakaian dan memeriksa setiap sudut kamar berukuran 6x6 meter tersebut. Namun, tak menemukan apa-apa.
Sebuah jendela besar mengarah ke balkon dengan pemandangan taman di sebelah rumah indekos tersebut. Rosa memeriksanya. Ada sebuah kamera tergantung di depan balkon mengarah ke taman. Taman tersebut dibagi dua oleh pemiliknya.
Pemilik indekos tinggal di tempat lain. Ia datang pada pagi hari hanya untuk memeriksa karyawan yang bekerja di sana. Ada dua rumah besar di kawasan tersebut. Sang pemilik memasang pagar kawat beraliran listrik untuk memisahkan antara rumah indekos putri dan putra.
"Tak mungkin Abang memasang kamera untuk mengintipku. Dia sayang kepadaku," gumam Rosa yang mematung di balkon.
Hari itu langit masih terang padahal waktu telah menunjukkan pukul 17.45 WIB. Rosa dapat melihat jelas rumah besar di seberang taman. Ada seorang pria yang berdiri sejajar dengannya pada balkon yang juga sejajar. Rupanya sang pemilik membuat dua rumah yang serupa.
Satu orang itu terlihat meneropong ke arah Rosa. Ia terkejut dan langsung menyembunyikan benda tersebut saat mengetahui Rosa memperhatikan. Kemudian, masuk ke kamarnya.
Rosa memicingkan mata. Ia tak dapat melihat jelas orang tersebut. Ia hanya tahu, sosok itu adalah seorang pria.
"Apa orang itu penguntit?" pikir Rosa, "Bah!"
Rosa masuk ke kamar dan segera menelepon abangnya. Ia lupa kalau abangnya barusan bertingkah seperti penguntit. Sejak kanak-kanak, setiap hal yang membuatnya ketakutan, Rosa akan mendatangi abangnya sembari menangis. Anjun akan membereskan semuanya. Termasuk menghajar kakak kelas yang berusaha mendekatinya.
"Abang! Ada yang meneropong aku di kos-kosan lelaki, Bang. Aku takut kali!" seru Rosa, pucat pasi.
Bersambung
"Abang, takut kali aku!" seru Rosa, ditelepon. Hampir menangis.Mendengar ketakutan Rosa, Anjun langsung bergerak. Ia menelepon pemilik indekos tersebut dan memastikan kalau Rosa baik-baik saja. "Kau tolong urus di sana sekarang! Aku sedang menuju ke bandara!"Rosa menanti dengan gelisah. Tak lama pintu kamarnya yang berada di lantai dua diketuk. Dengan perasaan kalut, ia membukanya. Terlihat Susan—anak pemilik indekos—berdiri di balik pintu."Ada apa, Rosa? Kau mengagetkanku saja. Abang kau sedang ada di bandara untuk mendatangi kau," ujar Susan, kesal melihat anak manja yang ada di depannya."Abang mau ke sini? Malam-malam?" tanya Rosa, terkejut."Gara-gara kau pun!" Susan menoyor kepala Rosa yang usianya lebih muda lima tahun.Rosa menunduk, menyesali perbuatannya. "Maaf, Kak.""Oke .... Ada apa memangnya malam-malam heboh kali?""Itu indekos sebrang siapa yang menyewa? Dia menguntit aku barusan, Kak,
Rosa berjalan dengan ringan menuju ruang kelasnya. Ia merasa amat bahagia. Setidaknya, ada hal menyenangkan yang akan ia lakukan siang nanti.Di depan fakultas pertanian, Esa Sandjaya sudah berdiri sendirian bersandar pada tembok menunggu Rosa. Ia langsung berdiri tegak dan merapikan kaus yang dikenakannya."Hai, gimana nyenyak tidurnya?" tanya Esa, ia membatin, "Aaah, pertanyaan macam apa itu?""Nyenyak, kok, Bang. Kenapa?" sahut Rosa, kebingungan."He-he-he. Pantes segeran," jawab Esa, asal.Rosa tersenyum malu-malu. Antara mau, tetapi was-was saat ia menerima ajakan Esa. Entah apa yang akan diutarakan pria dari Jakarta itu, ia akan menunggu dengan debaran jantung yang tak biasa."Jadi, kan, makan siang bareng?" tanya Esa, penuh harap."Iya, biar aku kuliah dululah, Bang. Kau tunggu aku di sini nanti siang, ya!"Esa mengangguk dengan mata berbinar. Bagai anak kecil yang diiming-imingi permen. Harapannya melambung tinggi
Rosa dan Jo berjalan menyusuri trotoar jalan raya. Mereka akan makan di tenda pinggir jalan. Pilihan jatuh pada warung lamongan dengan menu Pecel Lele. Setelah memesan, mereka makan sambil mengobrol banyak hal.Jo melontarkan guyonan yang membuat Rosa tergelak. Ia berhasil membuat Rosa merasa nyaman saat bersama. Gadis bermata lebar itu tak menyangka dapat mengobrol akrab dengan seorang lelaki selain Anjun.Sebentar bersama Jo, Rosa telah memberikan nomor ponsel dan WA-nya. Berbeda ketika mengenal Esa untuk pertama kalinya, ia begitu acuh. Ia merasa bertemu Jo seperti bertemu teman atau saudara yang telah lama tidak berjumpa. Mereka menjadi akrab satu sama lain.Di dalam indekos, Rosa menelepon mamaknya di Berastagi. Mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Ia menanyakan kabar Anjun yang tidak meneleponnya seharian itu."Abang ke mana, Mak? Tak ditelpon nyah aku seharian," ucap Rosa, keheranan."Abang kau itu sedang ke Medan. Ada
"Lo yakin? Gak mungkin Rosa kayak gitu. Selama ini cuma akal-akalan kita doang, kan?""Yakin banget!""Lagian udah lulus juga bukan halangan besar! Tinggal si Jo yang harus kita tangani. Gak ada yang boleh memiliki Rossa!"***Jo menyudahi permainannya. Ia melihat sekeliling lapangan telah kosong. Tak menyadari teman-teman setimnya telah meninggalkannya sedari tadi.Jo tidak peduli. Ia akan pulang ke indekos dan menunggu Rossa untuk kembali menguntitnya seperti yang pernah dilakukannya beberapa hari lalu. Kamar Jo dan Esa bersebelahan. Rosa salah mengenali jendela waktu itu. Mengira kalau di kamar Esa lah si penguntit berada, Rosa panik saat itu.Kamar Esa kosong. Pemuda itu harus pindah ke indekos lain karena ayahnya sudah tidak mau mengiriminya uang saku. Padahal ia belum mendapatkan pekerjaan.Jo menyeringai melihat pintu kamar yang terbuka. Tanda bahwa penghuninya telah pergi. Hal itu kesempatan baginya untuk men
Sudah seminggu berlalu. Rosa tidak melihat Esa di mana-mana, baik di kampus, Ukema, maupun sekitar Jatinangor. Ia juga tidak bisa dihubungi. Panggilannya tidak diangkat. "Kenapa rasanya seperti dipe-ha-pe nyah aku, Mei?" keluh Rosa, suatu hari saat sedang di ruang kelas. "Isssh, mungkin doi lagi sibuk. Katanya lagi cari kerja, 'kan?" "Cari kerja tapi hape tak diangkat pun," rengek Rosa, memperlihatkan ponsel canggih miliknya. Meity merangkul pundak Rosa. Ia berbisik, "Lo, tuh, cakep. Mending lo jadian aja sama yang lain. Ngapain coba nungguin Bang Esa yang gak jelas." "Hidih, mana bisa. Aku udah suka sama dia sejak awal masuk ukema tau," sanggah Rosa, mendelik marah. "Iya, deh. Bucin! Ha-ha-ha!" Meity tertawa keras. Tiba-tiba tersedak karena dosen masuk ke ruangan yang masih kosong tersebut. "Loh, pada ke mana ini?""Anu, Pak. Masih pada makan siang mungkin," sahut Meity, genit. Ternyata yang masuk merupakan dosen muda
"Kok, kayaknya seneng banget lo?" tanya Meity, kebingungan dengan sikap Rosa. Tadi di kelas mengeluh, ditinggal sebentar wajahnya sudah terlihat bunga-bunga. Namun, itu hanya khayalan Meity saja. "Iya, tadi Esa datang menemuiku," sahut Rosa, senyum-senyum sendiri. "Sejak jalan dengan Esa, lo jadi suka ketawa sendiri," ejek Meity, membuat Rosa menimpuk sahabatnya dengan kertas fotokopi yang dipegangnya. "Aku hanya merasa bahagia tak boleh?" dengkus Rosa, mendelik kesal. Meity tidak menjawab. Ia hanya mesam-mesem menggoda Rosa yang mulai salah tingkah. Sembari menyeruput minumannya, ia menatap wajah Rosa yang memerah. Rosa segera menghabiskan makan siangnya. Ia masih bersungut, "Ayo, abis ini aku mau cari tempat magang!" "Ciee, marah ...." Meity menyenggol bahu Rosa. "Mana ada nyah, Mei. Seriuslah sikit," keluh Rosa, mengambil tas ranselnya dan beranjak. Rosa berjalan mendahului Meity keluar dari kantin. Meity
"Lo lihat tadi?" tanya Meity, tersenyum penuh arti."Lihat apa?" sahut Rosa, acuh tak acuh. Ia sebenarnya paham apa yang dimaksud Meity, hanya saja ia tidak tertarik."Baiklah, gue jadi bingung pingin kenal Abang lo ... apa Mas Angga, ya?" Rosa menoyor kepala Meity yang duduk di sebelahnya. Saat itu, mereka sedang menikmati pemandangan Lembang di kafe strawberi. Sejenak melihat-lihat situasi di kafe tersebut. "Kau, nih, jangan permainkan abangku, yak!" seru Rosa, pura-pura marah."Iya, iya, gue akan selalu setia." Meity merangkul Rosa. "Yok, ke kosan gue. Capek banget pengen tidur." Rosa pulang ke indekos Meity. Masih di sekitar Jatinangor, tetapi agak jauh dari kampus. Mereka beristirahat di kamar berukuran 3x3 meter tersebut. Meity langsung tertidur pulas di ranjang bersprei serba pink itu. Rosa menggeleng, ia memperhatikan ponsel miliknya menunggu kabar dari Esa. Namun, hingga pukul 15.00WIB, Esa belum juga menghubunginya. "A
"Ya, jangan kau dekati!" seru Rosa, membuat Esa tersenyum bahagia. "Kamu cemburu?""Ha-ha-ha! Tak lah, Bang. Mana pantas ...." Rosa mencari kata-kata yang pas sebagai alasan, tetapi ia tidak menemukannya. "Cemburu juga gak apa-apa. Saya mempunyai kejutan buat kamu nanti. Bersabarlah," ucap Esa, menciptakan rasa penasaran dalam diri Rosa. Rosa menunduk malu. Ia tidak bisa berkata-kata. Setidaknya ia masih bisa menjaga agar tidak terlalu bucin kepada Esa. "Aku menantikan, Bang," timpal Rosa dengan wajah merona. Mereka menikmati momen berdua saling mengenal satu sama lain. Bercerita banyak hal tentang perkuliahan Rosa, keluarga, dan abangnya, Anjun. Esa harus mengetahui tentang Anjun yang begitu melindungi Rosa. "Kau tahu abangku, tuh, tak akan membiarkan aku tinggal di Jawa kalau Bapak tidak mengizinkan," ungkap Rosa, "beruntung Bapak seorang yang terbuka akan hal baru, ia ingin aku meneruskan perkebunan jeruknya