"Rosa, lo lihat tatapan Abang itu selalu mengarah ke sini," bisik Meity, sahabatnya.
"Enggaklah, kau yang kegeeran kulihat," sahut Rosa, ketus. Ia kembali fokus pada pekerjaannya membereskan peralatan fotografi.
"Eiiits, enak aja lo bilang gue kegeeran. Jelas-jelas Abang itu yang curi-curi pandang ke mari!" pekik Meity, mengagetkan Rosa. Ia kemudian menutup mulut Meity dengan tangan kiri dan menempelkan jari telunjuk kanan ke bibirnya.
"Jangan berisik, Meity. Malulah aku kalau kau salah," bisik Rosa sembari menengok ke segala arah, khawatir ada yang mendengar mereka.
Saat itu, mereka sedang berada di gedung ukema. Tempat untuk unit kegiatan mahasiswa berlangsung. Di dalam gedung tersebut terdiri dari ruang-ruang yang diberikan kepada para penanggung jawab ukema. Salah satunya adalah Rosa. Ia menjadi penanggung jawab ukema fotografi.
Ruangan fotografi berada paling pojok jauh dari pintu masuk gedung. Setiap kali Rosa hendak ke ruang tersebut, ia harus melewati ruang-ruang ukema lain. Nyaris semua penanggung jawab mengenalnya dan hampir sebagian besar adalah lelaki.
Sebelumnya, penanggung jawab fotografi adalah senior tahun ke empat, bernama Nelson Bara. Namun, senior tersebut sedang sibuk dengan tugas akhir, maka ia menyerahkannya kepada anggota ukema fotografi yang paling rajin ikut perlombaan dan menang. Orang itu adalah Rosanna Jung.
Gadis batak kelahiran Berastagi itu memang hobi memotret semenjak duduk di bangku sekolah menengah atas. Hobi yang sangat didukung oleh abangnya, Anjun Ananta Jung, yang usianya berbeda sepuluh tahun. Abangnya menganggap bahwa Rosa akan fokus dengan hobinya dan tidak terlalu memikirkan lelaki atau pacar.
Usia remaja Rosa dihabiskan dengan melakukan kegiatan yang berhubungan dengan memotret dan berbagai lomba tingkat kabupaten maupun propinsi, baik lomba fotografi atau akademik. Suatu prestasi yang membanggakan bagi keluarganya yang berprofesi sebagai pengusaha perkebunan jeruk. Mereka hanya tahu tentang pertanian dan pemasaran. Harapan kedua orang tuanya, Rosa dapat meneruskan usaha keluarganya. Mereka sudah tidak berharap kepada Anjun.
Anjun memiliki karier yang bagus. Ia telah menjadi jaksa yang cukup populer di kalangan petinggi-petinggi pemerintahan kota Medan. Jasanya dalam mengatasi kasus cukup mengesankan. Aritha Johan Jung, ayahnya, begitu bangga kepadanya. Ia melepaskan hak anak sulung lelakinya itu atas warisan perkebunan jeruk dan memberikannya kepada Rosa.
Rosa terpaksa menuruti kemauan ayahnya. Ia lolos seleksi SMPTN di Fakultas Pertanian Unpad Jatinangor, Bandung, Jawa Barat. Sebagai bekalnya nanti saat mengelola perkebunan jeruk.
Meskipun enggan, tetapi Rosa tetap menempuh pendidikannya dengan sebaik-baiknya. Ia memiliki nilai yang baik, walaupun bukan yang terbaik. Ia ingin menunjukkan kepada keluarganya, bahwa keputusannya untuk merantau ke Jawa, tidaklah sia-sia.
Rosa begitu ingin merantau ke Jawa hanya untuk menghindari abangnya yang overprotektif. Ia ingin bebas melakukan kegiatan yang diinginkannya. Terutama ingin merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta. Ia ingin mencari cinta sejatinya.
Setelah dua tahun berada di Bandung, ia tak kunjung dapat menjalin hubungan. Entah terlalu tidak peka atau terlalu polos. Padahal banyak lelaki yang terpesona terhadap kecantikannya. Mereka menganggap Rosa sebagai gadis sempurna. Cantik dan cerdas.
Ternyata kecantikannya tak cukup untuk menarik satu pun pria. Mereka menjadikan Rosa sebagai idola. Bintang yang tak mudah dijangkau. Beberapa kali ada lelaki mendekat, tetapi Rosa terlalu sibuk untuk memperhatikan mereka. Terkadang ia takut untuk mengakui bahwa mereka menyukainya.
Rosa kembali teringat kenangannya di SMA ....
***
"Weh ... Abang kau datang pakai lamborghini baru." Celetukan ejekan dari Meta, gadis populer yang selalu iri dengan Rosa di SMA.
"Kenapa pula Abang ke mari?" gumam Rosa, kesal.
"Woi! Cepetan sebelum yang lain mengerubungi Abang kau! Hahaha!" seru Meta dengan nada mengejek dan terbahak setelahnya.
Rosa menunduk kesal. Sudah berkali-kali ia mengatakan kepada Anjun untuk tidak menjemputnya. Namun, berkali-kali pula abangnya itu menolak dengan alasan senggang atau kebetulan lewat.
Saat akan menemui abangnya di pintu gerbang sekolah, seorang pemuda dari kelas XII menyapa Rosa. Ia menyambut niat baik kakak kelasnya tersebut. Balas menyapa dengan ramah. Mereka mengobrol sebentar. Setelah itu, ia segera menuju mobil abangnya.
Rupanya, Anjun melihat Rosa dan pemuda itu. Ia begitu marah melihat pemuda itu mendekati adiknya. Rosa yang tidak tahu apa-apa datang membuka pintu mobil dan merajuk.
"Abang! Sudah kubilang sama kau, janganlah jemput aku. Pakai mobil sport kau pula. Malu aku, Bang!"
Anjun terkejut mendengarnya. Ia tak pernah membayangkan adiknya itu akan merasa malu kepadanya. Semua orang mengenal Anjun dengan baik. Ia pengacara terbaik di Berastagi.
"Kenapa kau malu bersamaku?" tanya Anjun. "Aku ini pengacara lumayan terkenal di sini. Kau tak bangga?"
"Bukan begitu, Bang. Aku diejek kawan-kawan. Terutama si Meta itu," sungut Rosa, bibir ranumnya mengerucut maju membuat Anjun tertawa melihat.
"Coba lihat muka kau jelek sekali!" seru Anjun, mengejek.
"Abang ...."
Anjun tersenyum dan mengusap kepala Rosa. Kemudian, ia mulai memutar kemudi untuk putar arah dan pulang ke perkebunan. Di perjalanan, Anjun bertanya, "Siapa lelaki yang bicara dengan kau tadi?"
"Eh? Dia abang kelasku. Kenapa?" sahut Rosa, acuh tak acuh.
"Jangan kau dekat-dekat lelaki! Nanti kau sakit hati, kau dengar omonganku!" seru Anjun, memperingatkan.
"Sakit hati kenapa, Bang?"
"Mereka cuma mau manfaatkan kau saja, tau!"
Rosa mengangguk paham.
***
Sudah empat tahun berlalu, peringatan Anjun tentang lelaki selalu terngiang dalam ingatan Rosa. Ia bukannya trauma, hanya takut apa yang dikatakan abangnya itu menjadi kenyataan. Selama ini, ia agak menjaga jarak bila harus berhubungan dengan lelaki dalam hal apa saja. Termasuk akademik.
Pernah satu kali, Rosa harus mengerjakan tugas kelompok. Ia berkelompok dengan Guntur, lelaki Jawa, bicaranya lemah lembut dan sopan. Ia tidak pernah mengerjakan tugas itu bersama. Ia akan mengerjakannya terlebih dahulu, kemudian Guntur menyelesaikan sisanya.
Pada kenyataannya, Guntur sempat keberatan dengan pembagian tugas tersebut. Seharusnya mereka bisa berdiskusi, tetapi ia telah mendengar banyak rumor tentang gadis itu dan membiarkan tugas-tugas itu diselesaikan dengan caranya Rosa. Untuk selanjutnya, jika mereka satu kelas, Rosa akan meminta berkelompok dengan Guntur. Mereka telah membuat kesepakatan.
Rumor itu sendiri telah santer terdengar sejak tahun ke dua Rosa berkuliah. Para lelaki mengembuskan rumor dengan sesama mereka. Walaupun begitu, mereka tetap mengidolakan gadis berparas bak manekin itu.
***
"Ayo, sudah selesai! Kau masih betah di sini?" tanya Rosa kepada sahabatnya, Meity.
"Ssst ... lo gak liat itu? Ada anak baru masuk ke ukema basket." Ucapan retorika dari bibir Meity tanpa melepaskan pandangan dari sosok tinggi di ruangan UKEMA basket yang selisih sekitar lima ruang jaraknya dari ruangan fotografi.
Rosa melayangkan pandang ke arah yang dilihat oleh Meity. Sesosok pemuda tinggi dan tegap melihat ke arahnya. Mereka saling bertukar pandang satu sama lain.
Bersambung
Rosa dan Jo saling bertatapan. Jarak tak menghalangi pandangan mereka. Jo melemparkan senyum khasnya kepada Rosa.Melihat hal tersebut, Rosa langsung menunduk. Ia menghindari tatapan Jo. Hal itu membuat Jo terheran-heran. Gadis yang dikenalnya selalu menyambut setiap kali ia tersenyum kepada mereka. Namun, tidak dengan Rosa."Ayo, kita ke luar dari sini. Aku ada kuliah," ajak Rosa kepada Meity yang masih terpana. Ia menyenggol lengan Meity dengan sikunya.Meity tersadar. Ia mengangguk dan bergegas mengikuti langkah Rosa yang telah mendahuluinya. Mereka melewati gerombolan lelaki bertubuh tinggi yang merupakan tim inti pemain basket di kampus.Saat Rosa melewati mereka, pandangan Jo tak lepas dari Rosa. Hingga gadis berambut panjang itu sudah tidak tampak lagi. Menghilang di balik pintu.Kapten mereka menepuk bahu Jo dan memperingati, "Dia idol di kalangan ukema. Hati-hati!"Mata Jo berbinar. 'Tangkapan yang bagus. Aku akan menyiapkan umpan y
"Abang, takut kali aku!" seru Rosa, ditelepon. Hampir menangis.Mendengar ketakutan Rosa, Anjun langsung bergerak. Ia menelepon pemilik indekos tersebut dan memastikan kalau Rosa baik-baik saja. "Kau tolong urus di sana sekarang! Aku sedang menuju ke bandara!"Rosa menanti dengan gelisah. Tak lama pintu kamarnya yang berada di lantai dua diketuk. Dengan perasaan kalut, ia membukanya. Terlihat Susan—anak pemilik indekos—berdiri di balik pintu."Ada apa, Rosa? Kau mengagetkanku saja. Abang kau sedang ada di bandara untuk mendatangi kau," ujar Susan, kesal melihat anak manja yang ada di depannya."Abang mau ke sini? Malam-malam?" tanya Rosa, terkejut."Gara-gara kau pun!" Susan menoyor kepala Rosa yang usianya lebih muda lima tahun.Rosa menunduk, menyesali perbuatannya. "Maaf, Kak.""Oke .... Ada apa memangnya malam-malam heboh kali?""Itu indekos sebrang siapa yang menyewa? Dia menguntit aku barusan, Kak,
Rosa berjalan dengan ringan menuju ruang kelasnya. Ia merasa amat bahagia. Setidaknya, ada hal menyenangkan yang akan ia lakukan siang nanti.Di depan fakultas pertanian, Esa Sandjaya sudah berdiri sendirian bersandar pada tembok menunggu Rosa. Ia langsung berdiri tegak dan merapikan kaus yang dikenakannya."Hai, gimana nyenyak tidurnya?" tanya Esa, ia membatin, "Aaah, pertanyaan macam apa itu?""Nyenyak, kok, Bang. Kenapa?" sahut Rosa, kebingungan."He-he-he. Pantes segeran," jawab Esa, asal.Rosa tersenyum malu-malu. Antara mau, tetapi was-was saat ia menerima ajakan Esa. Entah apa yang akan diutarakan pria dari Jakarta itu, ia akan menunggu dengan debaran jantung yang tak biasa."Jadi, kan, makan siang bareng?" tanya Esa, penuh harap."Iya, biar aku kuliah dululah, Bang. Kau tunggu aku di sini nanti siang, ya!"Esa mengangguk dengan mata berbinar. Bagai anak kecil yang diiming-imingi permen. Harapannya melambung tinggi
Rosa dan Jo berjalan menyusuri trotoar jalan raya. Mereka akan makan di tenda pinggir jalan. Pilihan jatuh pada warung lamongan dengan menu Pecel Lele. Setelah memesan, mereka makan sambil mengobrol banyak hal.Jo melontarkan guyonan yang membuat Rosa tergelak. Ia berhasil membuat Rosa merasa nyaman saat bersama. Gadis bermata lebar itu tak menyangka dapat mengobrol akrab dengan seorang lelaki selain Anjun.Sebentar bersama Jo, Rosa telah memberikan nomor ponsel dan WA-nya. Berbeda ketika mengenal Esa untuk pertama kalinya, ia begitu acuh. Ia merasa bertemu Jo seperti bertemu teman atau saudara yang telah lama tidak berjumpa. Mereka menjadi akrab satu sama lain.Di dalam indekos, Rosa menelepon mamaknya di Berastagi. Mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Ia menanyakan kabar Anjun yang tidak meneleponnya seharian itu."Abang ke mana, Mak? Tak ditelpon nyah aku seharian," ucap Rosa, keheranan."Abang kau itu sedang ke Medan. Ada
"Lo yakin? Gak mungkin Rosa kayak gitu. Selama ini cuma akal-akalan kita doang, kan?""Yakin banget!""Lagian udah lulus juga bukan halangan besar! Tinggal si Jo yang harus kita tangani. Gak ada yang boleh memiliki Rossa!"***Jo menyudahi permainannya. Ia melihat sekeliling lapangan telah kosong. Tak menyadari teman-teman setimnya telah meninggalkannya sedari tadi.Jo tidak peduli. Ia akan pulang ke indekos dan menunggu Rossa untuk kembali menguntitnya seperti yang pernah dilakukannya beberapa hari lalu. Kamar Jo dan Esa bersebelahan. Rosa salah mengenali jendela waktu itu. Mengira kalau di kamar Esa lah si penguntit berada, Rosa panik saat itu.Kamar Esa kosong. Pemuda itu harus pindah ke indekos lain karena ayahnya sudah tidak mau mengiriminya uang saku. Padahal ia belum mendapatkan pekerjaan.Jo menyeringai melihat pintu kamar yang terbuka. Tanda bahwa penghuninya telah pergi. Hal itu kesempatan baginya untuk men
Sudah seminggu berlalu. Rosa tidak melihat Esa di mana-mana, baik di kampus, Ukema, maupun sekitar Jatinangor. Ia juga tidak bisa dihubungi. Panggilannya tidak diangkat. "Kenapa rasanya seperti dipe-ha-pe nyah aku, Mei?" keluh Rosa, suatu hari saat sedang di ruang kelas. "Isssh, mungkin doi lagi sibuk. Katanya lagi cari kerja, 'kan?" "Cari kerja tapi hape tak diangkat pun," rengek Rosa, memperlihatkan ponsel canggih miliknya. Meity merangkul pundak Rosa. Ia berbisik, "Lo, tuh, cakep. Mending lo jadian aja sama yang lain. Ngapain coba nungguin Bang Esa yang gak jelas." "Hidih, mana bisa. Aku udah suka sama dia sejak awal masuk ukema tau," sanggah Rosa, mendelik marah. "Iya, deh. Bucin! Ha-ha-ha!" Meity tertawa keras. Tiba-tiba tersedak karena dosen masuk ke ruangan yang masih kosong tersebut. "Loh, pada ke mana ini?""Anu, Pak. Masih pada makan siang mungkin," sahut Meity, genit. Ternyata yang masuk merupakan dosen muda
"Kok, kayaknya seneng banget lo?" tanya Meity, kebingungan dengan sikap Rosa. Tadi di kelas mengeluh, ditinggal sebentar wajahnya sudah terlihat bunga-bunga. Namun, itu hanya khayalan Meity saja. "Iya, tadi Esa datang menemuiku," sahut Rosa, senyum-senyum sendiri. "Sejak jalan dengan Esa, lo jadi suka ketawa sendiri," ejek Meity, membuat Rosa menimpuk sahabatnya dengan kertas fotokopi yang dipegangnya. "Aku hanya merasa bahagia tak boleh?" dengkus Rosa, mendelik kesal. Meity tidak menjawab. Ia hanya mesam-mesem menggoda Rosa yang mulai salah tingkah. Sembari menyeruput minumannya, ia menatap wajah Rosa yang memerah. Rosa segera menghabiskan makan siangnya. Ia masih bersungut, "Ayo, abis ini aku mau cari tempat magang!" "Ciee, marah ...." Meity menyenggol bahu Rosa. "Mana ada nyah, Mei. Seriuslah sikit," keluh Rosa, mengambil tas ranselnya dan beranjak. Rosa berjalan mendahului Meity keluar dari kantin. Meity
"Lo lihat tadi?" tanya Meity, tersenyum penuh arti."Lihat apa?" sahut Rosa, acuh tak acuh. Ia sebenarnya paham apa yang dimaksud Meity, hanya saja ia tidak tertarik."Baiklah, gue jadi bingung pingin kenal Abang lo ... apa Mas Angga, ya?" Rosa menoyor kepala Meity yang duduk di sebelahnya. Saat itu, mereka sedang menikmati pemandangan Lembang di kafe strawberi. Sejenak melihat-lihat situasi di kafe tersebut. "Kau, nih, jangan permainkan abangku, yak!" seru Rosa, pura-pura marah."Iya, iya, gue akan selalu setia." Meity merangkul Rosa. "Yok, ke kosan gue. Capek banget pengen tidur." Rosa pulang ke indekos Meity. Masih di sekitar Jatinangor, tetapi agak jauh dari kampus. Mereka beristirahat di kamar berukuran 3x3 meter tersebut. Meity langsung tertidur pulas di ranjang bersprei serba pink itu. Rosa menggeleng, ia memperhatikan ponsel miliknya menunggu kabar dari Esa. Namun, hingga pukul 15.00WIB, Esa belum juga menghubunginya. "A