Home / Romansa / Demi Ibu, Aku Jual Keperawanan / 1. Demi Ibu, Aku Rela

Share

Demi Ibu, Aku Jual Keperawanan
Demi Ibu, Aku Jual Keperawanan
Author: MessiAjh 02

1. Demi Ibu, Aku Rela

Author: MessiAjh 02
last update Last Updated: 2025-07-16 13:41:47

“Kau bahkan menangis saat kukoyak pertahananmu, Baby. Tapi tetap kau biarkan aku masuk, seperti tubuhmu tahu… ini memang tempatku.”

Suara itu rendah, nyaris berbisik, namun membawa bara yang membakar pelan-pelan kulit Malika. Alex bicara seolah menancapkan tiap katanya ke dalam dada Malika yang bergetar hebat, di atas ranjang hotel mewah itu. Tubuhnya sendiri masih terasa mati rasa. Perih. Terluka. Tapi juga… hangat oleh kontradiksi yang tak sanggup ia pahami.

"Aku ingin menjadi luka pertamamu... dan yang tak bisa kau sembuhkan seumur hidupmu." Bisik Alex lagi, sebelum bi-birnya menyusuri pipi Malika yang basah air mata.

Malam itu terasa panjang. Dunia seperti berhenti. Dan waktu hanya milik mereka berdua. Milik Malika yang kehilangan, dan milik Alex yang memetik bunga di musim duka.

**********

Beberapa jam sebelumnya…

Langkah kaki Malika tergesa-gesa menapaki lorong rumah sakit, menembus aroma obat-obatan yang menusuk hidung. Nafasnya terengah, keringat membasahi pelipis meski malam sudah larut. Tangan kanannya menggenggam ponsel erat-erat, sementara tangan kirinya mencengkram lembaran kertas kecil yang nyaris basah oleh keringat.

Dia baru saja pulang kerja saat telepon dari Bu Rasti, tetangga kontrakannya yang biasa ia titip ibunya.

"Lika... Ibumu pingsan, Nak. Kami sudah bawa ke rumah sakit!"

Kalimat itu membuatnya nyaris pingsan.

Dan disinilah dia sekarang. Berlari. Setengah gila.

Setiba di ruang tunggu ICU, pandangannya langsung menemukan Bu Rasti duduk bersandar di kursi plastik. Napas Bu Rasti juga masih terengah.

“Bu... Gimana Ibu saya?” Suara Malika nyaris pecah.

Bu Rasti memandangnya, menelan ludah. “Dokter bilang... Ibumu kritis, Lik. Harus segera dioperasi malam ini.”

Deg.

Langkah Malika terasa goyah. Dia memegang dinding agar tidak jatuh.

"Berapa, Bu... biayanya?"

Bu Rasti menggeleng. “Tanya langsung sama dokternya aja, Nak. Barusan doktee bilang mau ketemu keluarga pasien.”

Dengan kaki gemetar, Malika berjalan menghampiri dokter yang berdiri tak jauh dari sana. Dokter itu tampak lelah, tapi sorot matanya tajam.

“Dok... Saya anak dari pasien.” Ucapnya terbata. “Bagaimana kondisi Ibu saya, Dok?”

Dokter menarik napas panjang. “Ibu kamu butuh dioperasi secepatnya, kondisinya semakin memburuk. Kalau lewat besok, kemungkinan nyawanya tak tertolong lagi.”

Malika nyaris jatuh. Tangannya memegang dada.

“Berapa kira-kira biayanya, Dok?” Suaranya lirih, bergetar.

“Perkiraan awal seratus juta rupiah. Belum termasuk rawat inap dan perawatan lanjutan.”

“Seratus juta?” Gumamnya tak percaya

Angka itu menamparnya lebih keras daripada tamparan Pedro, ayahnya, dulu.

Dokter mengangguk, lalu pamit pergi.

Kini di sudut lorong rumah sakit, Malika terduduk di kursi plastik. Tubuhnya lunglai. Pandangannya kosong menatap lantai. Jemarinya gemetar saat meraih lipatan kertas kumal di saku celana kerjanya.

Nomor telepon.

Nama tertulis, Madam Deria.

Ucapan Rere, teman kerjanya, berputar di kepalanya.

“Lika, aku kasihan sama kamu, dan bukan maksudku membuatmu terjerumus. Aku hanya kasih saran. Kamu hubungi nomor ini, namanya Madam Deria. Bayaran di sana fantastis. Sekali tidur, kamu bisa bayar semua hutang ayahmu, dan biaya berobat ibumu. Bahkan lebih. Hanya sekali, Lika.”

Malika menahan napas. Bibirnya gemetar. Air mata menetes membasahi pipi pucatnya.

“Demi Ibu, aku akan ikuti saran Rere. Aku masih butuh Ibu disisiku. Aku belum siap kehilangan Ibu. Lagian Rere udah janji nggak akan kasih tau orang lain.” Gumam pelan

Tangannya kemudian bergerak sendiri. Dia menekan nomor itu di layar ponsel.

Tut... tut...

“Ha-lo. . M-Madam Deria?” Sapanya dengan suara bergetar

“Ya, ini saya? Dengan siapa ini?”

Suara di ujung sana terdengar seksi dan berwibawa. Malika bisa membayangkan wanita dewasa dengan bibir merah dan mata tajam.

“Sa-ya... Malika, Madam. Saya... ingin—”

Suaranya terputus. Malu, takut, jijik pada dirinya sendiri.

“Ingin apa, sayang? Katakan. Madam mendengarkan.” Suara itu lembut, namun tegas.

“Aku... mau... m-menjual... keperawananku.” Kalimat itu akhirnya lolos dari bibirnya.

Hening beberapa detik.

Lalu, tawa tipis terdengar. “Oke sayang. Panggilan video, ya. Madam mau lihat dulu walahmu.”

Dengan tangan gemetar, Malika menekan accept. Wajahnya muncul di layar. Rambut panjang kusut, mata sembab, bibir bergetar.

Madam Deria tersenyum. “Cantik. Bahkan sedang menangis pun kamu tetap cantik. Madam suka.”

“Terima kasih Madam. Aku butuh uang. Ibuku... harus operasi malam ini. Dokter bilang seratus juta untuk biaya operasinya aja.”

Mata Madam Deria menyipit, tapi senyum tetap terjaga. “Seratus juta? Baik. Kirimkan omor rekening kamu, sayang.”

“T-tapi bisa sekarang kan Madam? Ibuku harus dioperasi malam ini.”

“Tentu. Madam percaya kamu. Tapi ingat, jangan coba-coba menipuku. Kalau kamu berani, maka bukan hanya nyawa Ibumu yang melayang, tapi kamu juga akan hancur.”

Malika seketika bergidik ngeri.

“Baik Madam. Aku akan berikan nomor rekeningku.”

Malika buru-buru menyebutkan nomor rekening. Air matanya tak henti jatuh.

Detik berikutnya, notifikasi masukn. Transfer Bank Rp100.000.000,-

Tangisnya pecah.

“Terima kasih... Madam. Terima kasih banyak.”

“Sudah cukup.” Potong Madam Deria. “Sekarang, bodyguardku akan jemput kamu di depan rumah sakit. Kamu cuci muka. Malam ini kamu akan bertemu tamu spesial.”

“Baik Madam.”

Sambungan telepon pun berakhir.

Malika berdiri. Lututnya nyaris tak kuat menahan tubuh. Dia menuju bagian administrasi, membayar biaya operasi. Suster mengangguk cepat, lalu bergegas ke ICU. Dia kemudian menemui Bu Rasti dan meminta tolong untuk menemani ibunya malam ini. Dan mengatakan dia akan berusaha cari pinjaman. Bu Rasti pun setuju.

Setelah selesai, dia keluar. Udara malam menusuk tulang. Matanya masih basah, tapi tak ada waktu.

Di parkiran depan rumah sakit, dua pria berbadan besar bersetelan hitam menunggunya. Satu membuka pintu mobil.

“Noma Malika?” Tanya pria berwajah garang.

Malika hanya mengangguk. Kaki gemetar.

“Masuk!”

Dia menelan ludah, melangkah masuk ke kursi belakang. Mobil melaju meninggalkan rumah sakit. Menjauh dari ibunya yang terbaring kritis.

Sepanjang perjalanan, Malika menggigit bibir, menahan tangis.

“Apa yang kulakukan ini dosa?

Tapi ini demi Ibu. Aku tetap akan melakukannya. Aku nggak mau ingkar janji. Madam Deria udah bantu aku.” Batinnya

**********

Malika dan dua bodyguard itu sudah tiba di sebuah Club malam. Dia langsung dibawa masuk ke dalam lewat pintu belakang.

Suara langkah kaki bodyguard berhenti di hadapan pintu kayu tebal dengan ukiran rumit. Pintu itu terkesan berat, mewah, dan sedikit menakutkan. Salah seorang bodyguard mengetuk perlahan.

"Madam, gadisnya sudah tiba." Ucap salah satu dari bodyguard itu datar.

Pintu terbuka perlahan, menampakkan ruangan yang hangat berbau parfum bunga mahal. Lampu gantung kristal memantulkan cahaya lembut di dinding bercat merah gelap. Di tengah ruangan, duduk seorang wanita paruh baya dengan gaun hitam ketat. Wajahnya putih mulus, bibir merah darah melengkung membentuk senyum tipis yang misterius.

Matanya tajam, menilai Malika dari kepala hingga kaki hanya dalam satu kedipan.

"Malika?" Tanyanya lembut, meski ada kekuatan mengintimidasi dalam nada suaranya.

"Y-ya, Madam" Sahut Malika terbata, kepalanya tertunduk.

"Masuklah, sayang. Jangan takut. Duduk di sini." Ucap Madam Deria sambil menepuk sofa beludru merah di sampingnya.

Malika menurut. Langkahnya berat. Lututnya gemetar.

Madam Deria mengamati Malika cukup lama, hingga gadis itu menahan napas, gugup bukan main.

"Aku dengar ceritamu." Bisik Madam. "Demi ibumu yang sedang kritis… kamu memutuskan menyerahkan hal paling berharga kamu. Benar?"

Mata Malika berkaca-kaca. "I-iya, Madam."

Madam Deria menghela napas, lalu tersenyum lebih lebar. "Sayang… kau tidak tahu betapa berharganya dirimu malam ini. Wajahmu cantik alami, tubuhmu juga… luar biasa. Kau akan jadi rebutan, aku jamin.”

Malika langsung menunduk. Dia gugup.

Seolah membaca kegugupan Malika, Madam Deria mencondongkan tubuhnya sedikit.

"Tenanglah, sayang. Aku nggak akan membiarkan mereka menyakitimu. Kamu hanya perlu satu hal, yaitu diam dan patuh. Malam ini masalahmu akan selesai.

Karena setelah ini hidupmu akan berubah. Kamu tidak akan kesulitan lagi.”

Tubuh Malika bergidik. Dadanya sesak. Di satu sisi ada rasa syukur, di sisi lain rasa takut akan apa yang menantinya.

Madam Deria bertepuk tangan kecil. Dua asisten perempuan berpakaian hitam segera masuk.

"Dandani dia. Aku ingin dia terlihat seperti permata."

“Baik Madam.”

Salah satu asisten menggiring Malika ke meja rias besar. Cermin raksasa memantulkan wajah pucatnya yang penuh cemas. Tangan-tangan cekatan mulai bekerja membersihkan wajah, merapikan alis, membubuhkan eyeshadow gelap, maskara, lipstik merah muda.

"Tarik napas, dan relakan." Bisik salah satu asisten sambil mengoleskan concealer di bawah mata Malika yang sembab.

Gaun satin siver press body disodorkan. Namun tidak menampilkan belahan dadanya, hanya saja belahan paha sedikit tinggi. Malika menatapnya dengan mata membulat, dan ragu.

"Pakailah." Desak asisten.

Tangan Malika gemetar saat melepas pakaiannya. Tubuhnya kurus berisi, pinggang ramping, dada cukup penuh untuk gadis seusianya. Saat gaun itu meluncur menutupi tubuhnya, ia nyaris tak mengenali bayangan di cermin.

Sepatu hak tinggi 9 cm melengkapi penampilannya. Malika berdiri goyah, hampir terjatuh.

"Kau cantik sekali, sayang."

Madam Deria muncul di belakangnya, menatap Malika melalui cermin. "Lihatlah dirimu. Bahkan tanpa usaha pun, kau sudah memikat."

Malika menggigit bibir. "Madam… a-aku… takut." Cicitnya

Madam Deria menepuk bahunya pelan.

"Semua gadis pertama kali takut. Tapi percayalah, malam ini ku akan keluar dari pintu club ini sebagai gadis yang berbeda. Kau akan punya uang, harga diri, dan peluang baru. Sekarang ayo. Tamu sudah menunggu.

Dengan ragu, Malika mengangguk.

Perlahan, mereka berjalan menuju lorong yang lebih remang. Dindingnya hitam dengan lukisan abstrak berwarna emas. Lampu gantung menambah suasana eksklusif.

Di hadapan mereka, sebuah pintu besar bertuliskan VVIP Lounge.

Malika berhenti. Napasnya tercekat.

"Madam…." Bisiknya pelan, nyaris seperti gumaman doa.

"Ada apa, sayang?" Tanya Madam Deria, berbalik menatapnya.

Malika menggenggam tangan sendiri erat-erat. Suara hatinya memohon.

"Kalau boleh, tolong Madam pilihkan tamu yang belum menikah. Aku… aku nggak mau… menyakiti hati seorang istri. Ibuku juga seorang istri." Pintanya

Madam Deria menatap Malika sedikit lebih lama. Mata wanita itu melunak sekejap, senyum tipis muncul. "Permintaan yang aneh… tapi sangat indah, sayang."

"Tapi tenang saja." Lanjutnya. "Di dalam hanya ada dua pria beristri. Sisanya lajang. Dan ada satu orang… dia Tuan Muda paling banyak mau, paling sering menolak gadis. Tapi kalau dia tertarik… dia tak segan mengeluarkan uang ratusan juta."

Malika menelan ludah. "Dia… dia seperti apa, Madam?"

Madam Deria menghela napas. "Dia dingin, kasar, kadang kejam. Tapi dia sangat royal. Dia hanya tidur sekali dengan setiap gadis… dan hanya dengan gadis perawan. Dia benci kebohongan. Kalau kau ketahuan berbohong dengan mengaku-ngaku masih perawan, maka dia nggak akan segan-segan untuk menghancurkanmu. Karena sudah ada korbannya. Maka dari itu, jangan pernah membohonginya.”

Mata Malika bergetar. "Apa… dia akan memilihku?"

Madam Deria tersenyum samar, penuh misteri. "Aku yakin dia akan tertarik padamu, sayang. Dan kamu hanya malam ini saja tidur di dengannya. Sesuai yang saya bilang tadi, dia hanya akan tidur dengan gadis perawan. Dan kamu juga hanya ingin malam ini saja menjual tubuhmu. Jadi kalian punya prinsip yang sama.”

Malika mengangguk.

Tangan Madam Deria meraih gagang pintu besar berwarna hitam mengkilap. Malika menghela napas panjang, telapak tangannya dingin dan basah oleh keringat. Jantungnya berdetak kencang, hampir membuatnya pusing.

Perlahan, pintu itu terbuka…

Cahaya temaram lampu kristal memancar, menyingkap ruangan VVIP yang luas, penuh aroma cerutu mahal dan parfum maskulin yang tajam.

Deru musik pelan mengalun, suara gelas kristal saling beradu terdengar samar. Di dalam, sekitar delapan pria berjas mahal duduk melingkar di sofa mewah, beberapa di antaranya sedang merundingkan sesuatu dengan ekspresi serius.

Dan saat pintu terbuka sempurna, semua kepala serempak menoleh.

Mata mereka mengunci pada satu sosok di ambang pintu, yaitu Malika.

Waktu seolah berhenti.

Tatapan mereka tajam, menelanjangi, menilai… dan terpukau.

Malika berdiri kaku. Tubuhnya gemetar, napasnya tercekat.

Ruangan besar itu sunyi sesaat, hanya degup jantungnya sendiri yang terdengar.

Deg.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Demi Ibu, Aku Jual Keperawanan    58. Nyaman

    “Aku serius, Baby. Aku yang menggantikan peranmu untuk memenuhi kebutuhan Ibu.” Ucap Alex mantap.Malika terdiam. Matanya berkedip cepat, mencoba mengusir air mata yang hendak jatuh. Ia mendongak pelan, menatap wajah tegas suaminya yang terasa begitu dekat.Alex mengusap pelan pipinya dengan ibu jari. “Kita udah jadi satu, Baby. Uangku juga uangmu. Dan tanggung jawabmu juga tanggung jawabku.”Malika menelan ludah. Dadanya bergetar.“Jangankan untuk menanggung biaya hidup Ibu, bahkan membuat hidup Ibu mewah dan membelikan rumah dan segalanya untuk Ibu, aku juga sanggup, Baby.”Kemudian Alex tersenyum nakal.“Ibu makannya sedikit. Sangat gampang ditanggung.”Mira langsung tersenyum malu, sementara Malika memukul pelan lengan Alex.“Kamu ih…”Aku jujur sayang.” Alex terkekeh pelan. “Ibu terlalu makan sedikit. Ibu harus makan banyak biar cepat sembuh. Biar kita bisa bawa ibu menemui mantan suaminya yang tidak tahu diri itu.”Mira mengangguk, matanya berbinar penuh semangat.“Iya Nak Alex.

  • Demi Ibu, Aku Jual Keperawanan    57. Bebanmu, Bebanku Juga

    “Alex, aku bisa sendiri…” Ucap Malika “Aku tahu.” Alex tersenyum tipis. “Tapi aku mau.”Dengan perlahan ia memotong steak Malika menjadi potongan kecil, tidak kasar seperti biasanya kalau ia makan sendiri. Setiap gerakan terlihat hati-hati dan lembut, seolah ia memegang sesuatu yang sangat penting.Malika menatapnya lama lalu menunduk, senyumnya muncul tanpa bisa ditahan.Xander melihat adegan itu. Dadanya hangat, hangat yang sangat jarang ia rasakan.Dalam hati, ia membisikkan sesuatu yang bahkan tidak ditujukan pada siapapun yang ada di ruangan itu.“Jose… putramu yang aku anggap anak kandungku, dia berubah. Lihat, Jose. Sekarang sudah ada senyum di wajahnya. Senyum yang dulu hilang sejak hari itu. Hari di mana kamu memutuskan untuk menyerah.”Tatapan Xander tertuju pada Alex yang kini menaruh piring berisi steak yang sudah dipotong di depan Malika.“Dia menemukan gadis baik, sederhana, polos, tapi tulus mencintainya. Dan putramu, dia juga mencintai gadis itu yang sekarang jadi ist

  • Demi Ibu, Aku Jual Keperawanan    56. Kehangatan

    Kini, Alex mengangkat Malika dari pangkuannya dan membaringkannya di bathtub. Ia menatapnya dengan tatapan penuh cinta, seolah ingin mengabadikan setiap detail wajahnya."Aku mencintaimu, Malika," bisiknya tulus, lalu kembali mencium bibir Malika dengan lembut.Malika membalas ciuman Alex dengan penuh gairah. Ia melingkarkan tangannya di leher Alex, menariknya semakin dekat.Ciuman mereka semakin dalam dan intens, seolah menyalurkan semua rasa cinta dan has-rat yang selama ini mereka pendam. Tangan Alex semakin berani menjelajahi tubuh Malika, membuatnya semakin ber-gai-rah."Alex..." de-sah Malika lagi, saat Alex mulai menciumi payudaranya."Aku tahu kamu menginginkannya, Sayang," bisik Alex di telinga Malika, lalu kembali memberikan sentuhan-sentuhan yang membuatnya meremang.Malika tidak bisa menahan diri lagi. Ia membiarkan Alex menguasai tubuhnya, memberikan ke-nik-ma-tan yang tak terhingga. Ia merasa seperti melayang di awan, hanya ada dia dan Alex di dunia ini.Beberapa saat ke

  • Demi Ibu, Aku Jual Keperawanan    55. Adegan Di Kamar Mandi

    Malika menatap lekat Alex.“Maksudnya? Aku nggak paham, Alex.” Alex mengalihkan pandangannya, selalu menghalang nafas sejenak, kemudian menjawab."Aku bukan orang biasa, Malika. Aku bukan hanya seorang CEO dan pemilik perusahaan, tapi aku juga punya bisnis gelap," ungkap Alex, akhirnya membuka semua rahasianya pada Malika. Ia ingin istrinya tahu siapa dia sebenarnya, tanpa ada yang ditutupi.Malika semakin kaget. Ia juga terlihat panik. Dunia yang selama ini ia impikan bersama Alex ternyata jauh dari kata aman dan bahagia."Apa kamu menyesal setelah tahu aku bukan orang baik?" selidik Alex, menatap Malika dengan tatapan intens. Ia takut Malika akan meninggalkannya setelah mengetahui kebenaran tentang dirinya.Malika menggeleng cepat. "Bukan itu, Alex. Aku sama sekali nggak menyesal. Aku juga nggak peduli mau kamu seorang mafia ataupun bukan. Karena aku tahu kamu punya alasan kenapa memilih jalan itu. Tapi aku takut, Alex. Aku takut kamu kenapa-kenapa," bebernya dengan wajah sedih. Ia

  • Demi Ibu, Aku Jual Keperawanan    54. Bukan Orang Biasa

    Sinar mentari pagi menyelinap masuk melalui celah gorden, menerangi kamar tidur dengan cahaya keemasan yang lembut. Malika menggeliat dalam tidurnya, merasakan kehangatan yang menyelimuti tubuhnya. Ia membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan diri dengan cahaya.Pandangannya tertuju pada sosok pria yang masih terlelap di sampingnya. Alex. Wajahnya terlihat damai dan tenang, jauh dari kesan dingin dan menakutkan yang biasa ia lihat. Malika tersenyum, mengusap lembut rambut Alex yang berantakan.Semalam, mereka telah menyatukan cinta mereka dalam keintiman yang tak terlupakan. Luka masa lalu seolah menghilang, tergantikan oleh harapan dan impian untuk masa depan yang lebih baik. Malika merasa bahagia dan aman berada di dekat Alex, pria yang kini telah menjadi bagian dari hidupnya.Perlahan, Alex membuka matanya, menatap Malika dengan tatapan yang penuh cinta. Ia tersenyum, lalu menarik Malika ke dalam pelukannya."Selamat pagi," bisiknya lirih, mencium kening Mal

  • Demi Ibu, Aku Jual Keperawanan    53. Malam Pertama

    Malika diam sejenak. Tatapannya terpaku pada wajah Alex yang kini begitu dekat dengannya, mata yang dulu menakutkan, kini justru tampak lembut dan tulus. Ia bisa merasakan detak jantung pria itu yang berdegup pelan tapi pasti di dada bidangnya.Dan entah kenapa, malam ini terasa berbeda. Malam ini bukan lagi tentang ketakutan atau paksaan seperti dulu. Bukan tentang ancaman, atau rasa putus asa yang membuatnya pasrah. Ini adalah malam pertama mereka sebagai suami istri yang sah, malam yang seharusnya lahir dari cinta, bukan luka.Alex menatap balik, ekspresinya ragu namun hangat. Jemarinya menyentuh lembut pipi Malika, ibu jarinya menyapu sisa air mata yang masih menggantung di sana.“Kalau kamu nggak mau… atau belum siap malam ini,” ucapnya lirih, suaranya nyaris seperti bisikan, “aku nggak apa-apa, Malika. Aku akan menunggu dan nggak akan maksa. Aku cuma ingin kamu tahu kalau aku benar-benar menginginkanmu bukan karena nafsu, tapi karena aku mulai mencintaimu.”Kata-kata itu membuat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status