“Kau bahkan menangis saat kukoyak pertahananmu, Baby. Tapi tetap kau biarkan aku masuk, seperti tubuhmu tahu… ini memang tempatku.”
Suara itu rendah, nyaris berbisik, namun membawa bara yang membakar pelan-pelan kulit Malika. Alex bicara seolah menancapkan tiap katanya ke dalam dada Malika yang bergetar hebat, di atas ranjang hotel mewah itu. Tubuhnya sendiri masih terasa mati rasa. Perih. Terluka. Tapi juga… hangat oleh kontradiksi yang tak sanggup ia pahami. "Aku ingin menjadi luka pertamamu... dan yang tak bisa kau sembuhkan seumur hidupmu." Bisik Alex lagi, sebelum bi-birnya menyusuri pipi Malika yang basah air mata. Malam itu terasa panjang. Dunia seperti berhenti. Dan waktu hanya milik mereka berdua. Milik Malika yang kehilangan, dan milik Alex yang memetik bunga di musim duka. ********** Beberapa jam sebelumnya… Langkah kaki Malika tergesa-gesa menapaki lorong rumah sakit, menembus aroma obat-obatan yang menusuk hidung. Nafasnya terengah, keringat membasahi pelipis meski malam sudah larut. Tangan kanannya menggenggam ponsel erat-erat, sementara tangan kirinya mencengkram lembaran kertas kecil yang nyaris basah oleh keringat. Dia baru saja pulang kerja saat telepon dari Bu Rasti, tetangga kontrakannya yang biasa ia titip ibunya. "Lika... Ibumu pingsan, Nak. Kami sudah bawa ke rumah sakit!" Kalimat itu membuatnya nyaris pingsan. Dan disinilah dia sekarang. Berlari. Setengah gila. Setiba di ruang tunggu ICU, pandangannya langsung menemukan Bu Rasti duduk bersandar di kursi plastik. Napas Bu Rasti juga masih terengah. “Bu... Gimana Ibu saya?” Suara Malika nyaris pecah. Bu Rasti memandangnya, menelan ludah. “Dokter bilang... Ibumu kritis, Lik. Harus segera dioperasi malam ini.” Deg. Langkah Malika terasa goyah. Dia memegang dinding agar tidak jatuh. "Berapa, Bu... biayanya?" Bu Rasti menggeleng. “Tanya langsung sama dokternya aja, Nak. Barusan doktee bilang mau ketemu keluarga pasien.” Dengan kaki gemetar, Malika berjalan menghampiri dokter yang berdiri tak jauh dari sana. Dokter itu tampak lelah, tapi sorot matanya tajam. “Dok... Saya anak dari pasien.” Ucapnya terbata. “Bagaimana kondisi Ibu saya, Dok?” Dokter menarik napas panjang. “Ibu kamu butuh dioperasi secepatnya, kondisinya semakin memburuk. Kalau lewat besok, kemungkinan nyawanya tak tertolong lagi.” Malika nyaris jatuh. Tangannya memegang dada. “Berapa kira-kira biayanya, Dok?” Suaranya lirih, bergetar. “Perkiraan awal seratus juta rupiah. Belum termasuk rawat inap dan perawatan lanjutan.” “Seratus juta?” Gumamnya tak percaya Angka itu menamparnya lebih keras daripada tamparan Pedro, ayahnya, dulu. Dokter mengangguk, lalu pamit pergi. Kini di sudut lorong rumah sakit, Malika terduduk di kursi plastik. Tubuhnya lunglai. Pandangannya kosong menatap lantai. Jemarinya gemetar saat meraih lipatan kertas kumal di saku celana kerjanya. Nomor telepon. Nama tertulis, Madam Deria. Ucapan Rere, teman kerjanya, berputar di kepalanya. “Lika, aku kasihan sama kamu, dan bukan maksudku membuatmu terjerumus. Aku hanya kasih saran. Kamu hubungi nomor ini, namanya Madam Deria. Bayaran di sana fantastis. Sekali tidur, kamu bisa bayar semua hutang ayahmu, dan biaya berobat ibumu. Bahkan lebih. Hanya sekali, Lika.” Malika menahan napas. Bibirnya gemetar. Air mata menetes membasahi pipi pucatnya. “Demi Ibu, aku akan ikuti saran Rere. Aku masih butuh Ibu disisiku. Aku belum siap kehilangan Ibu. Lagian Rere udah janji nggak akan kasih tau orang lain.” Gumam pelan Tangannya kemudian bergerak sendiri. Dia menekan nomor itu di layar ponsel. Tut... tut... “Ha-lo. . M-Madam Deria?” Sapanya dengan suara bergetar “Ya, ini saya? Dengan siapa ini?” Suara di ujung sana terdengar seksi dan berwibawa. Malika bisa membayangkan wanita dewasa dengan bibir merah dan mata tajam. “Sa-ya... Malika, Madam. Saya... ingin—” Suaranya terputus. Malu, takut, jijik pada dirinya sendiri. “Ingin apa, sayang? Katakan. Madam mendengarkan.” Suara itu lembut, namun tegas. “Aku... mau... m-menjual... keperawananku.” Kalimat itu akhirnya lolos dari bibirnya. Hening beberapa detik. Lalu, tawa tipis terdengar. “Oke sayang. Panggilan video, ya. Madam mau lihat dulu walahmu.” Dengan tangan gemetar, Malika menekan accept. Wajahnya muncul di layar. Rambut panjang kusut, mata sembab, bibir bergetar. Madam Deria tersenyum. “Cantik. Bahkan sedang menangis pun kamu tetap cantik. Madam suka.” “Terima kasih Madam. Aku butuh uang. Ibuku... harus operasi malam ini. Dokter bilang seratus juta untuk biaya operasinya aja.” Mata Madam Deria menyipit, tapi senyum tetap terjaga. “Seratus juta? Baik. Kirimkan omor rekening kamu, sayang.” “T-tapi bisa sekarang kan Madam? Ibuku harus dioperasi malam ini.” “Tentu. Madam percaya kamu. Tapi ingat, jangan coba-coba menipuku. Kalau kamu berani, maka bukan hanya nyawa Ibumu yang melayang, tapi kamu juga akan hancur.” Malika seketika bergidik ngeri. “Baik Madam. Aku akan berikan nomor rekeningku.” Malika buru-buru menyebutkan nomor rekening. Air matanya tak henti jatuh. Detik berikutnya, notifikasi masukn. Transfer Bank Rp100.000.000,- Tangisnya pecah. “Terima kasih... Madam. Terima kasih banyak.” “Sudah cukup.” Potong Madam Deria. “Sekarang, bodyguardku akan jemput kamu di depan rumah sakit. Kamu cuci muka. Malam ini kamu akan bertemu tamu spesial.” “Baik Madam.” Sambungan telepon pun berakhir. Malika berdiri. Lututnya nyaris tak kuat menahan tubuh. Dia menuju bagian administrasi, membayar biaya operasi. Suster mengangguk cepat, lalu bergegas ke ICU. Dia kemudian menemui Bu Rasti dan meminta tolong untuk menemani ibunya malam ini. Dan mengatakan dia akan berusaha cari pinjaman. Bu Rasti pun setuju. Setelah selesai, dia keluar. Udara malam menusuk tulang. Matanya masih basah, tapi tak ada waktu. Di parkiran depan rumah sakit, dua pria berbadan besar bersetelan hitam menunggunya. Satu membuka pintu mobil. “Noma Malika?” Tanya pria berwajah garang. Malika hanya mengangguk. Kaki gemetar. “Masuk!” Dia menelan ludah, melangkah masuk ke kursi belakang. Mobil melaju meninggalkan rumah sakit. Menjauh dari ibunya yang terbaring kritis. Sepanjang perjalanan, Malika menggigit bibir, menahan tangis. “Apa yang kulakukan ini dosa? Tapi ini demi Ibu. Aku tetap akan melakukannya. Aku nggak mau ingkar janji. Madam Deria udah bantu aku.” Batinnya ********** Malika dan dua bodyguard itu sudah tiba di sebuah Club malam. Dia langsung dibawa masuk ke dalam lewat pintu belakang. Suara langkah kaki bodyguard berhenti di hadapan pintu kayu tebal dengan ukiran rumit. Pintu itu terkesan berat, mewah, dan sedikit menakutkan. Salah seorang bodyguard mengetuk perlahan. "Madam, gadisnya sudah tiba." Ucap salah satu dari bodyguard itu datar. Pintu terbuka perlahan, menampakkan ruangan yang hangat berbau parfum bunga mahal. Lampu gantung kristal memantulkan cahaya lembut di dinding bercat merah gelap. Di tengah ruangan, duduk seorang wanita paruh baya dengan gaun hitam ketat. Wajahnya putih mulus, bibir merah darah melengkung membentuk senyum tipis yang misterius. Matanya tajam, menilai Malika dari kepala hingga kaki hanya dalam satu kedipan. "Malika?" Tanyanya lembut, meski ada kekuatan mengintimidasi dalam nada suaranya. "Y-ya, Madam" Sahut Malika terbata, kepalanya tertunduk. "Masuklah, sayang. Jangan takut. Duduk di sini." Ucap Madam Deria sambil menepuk sofa beludru merah di sampingnya. Malika menurut. Langkahnya berat. Lututnya gemetar. Madam Deria mengamati Malika cukup lama, hingga gadis itu menahan napas, gugup bukan main. "Aku dengar ceritamu." Bisik Madam. "Demi ibumu yang sedang kritis… kamu memutuskan menyerahkan hal paling berharga kamu. Benar?" Mata Malika berkaca-kaca. "I-iya, Madam." Madam Deria menghela napas, lalu tersenyum lebih lebar. "Sayang… kau tidak tahu betapa berharganya dirimu malam ini. Wajahmu cantik alami, tubuhmu juga… luar biasa. Kau akan jadi rebutan, aku jamin.” Malika langsung menunduk. Dia gugup. Seolah membaca kegugupan Malika, Madam Deria mencondongkan tubuhnya sedikit. "Tenanglah, sayang. Aku nggak akan membiarkan mereka menyakitimu. Kamu hanya perlu satu hal, yaitu diam dan patuh. Malam ini masalahmu akan selesai. Karena setelah ini hidupmu akan berubah. Kamu tidak akan kesulitan lagi.” Tubuh Malika bergidik. Dadanya sesak. Di satu sisi ada rasa syukur, di sisi lain rasa takut akan apa yang menantinya. Madam Deria bertepuk tangan kecil. Dua asisten perempuan berpakaian hitam segera masuk. "Dandani dia. Aku ingin dia terlihat seperti permata." “Baik Madam.” Salah satu asisten menggiring Malika ke meja rias besar. Cermin raksasa memantulkan wajah pucatnya yang penuh cemas. Tangan-tangan cekatan mulai bekerja membersihkan wajah, merapikan alis, membubuhkan eyeshadow gelap, maskara, lipstik merah muda. "Tarik napas, dan relakan." Bisik salah satu asisten sambil mengoleskan concealer di bawah mata Malika yang sembab. Gaun satin siver press body disodorkan. Namun tidak menampilkan belahan dadanya, hanya saja belahan paha sedikit tinggi. Malika menatapnya dengan mata membulat, dan ragu. "Pakailah." Desak asisten. Tangan Malika gemetar saat melepas pakaiannya. Tubuhnya kurus berisi, pinggang ramping, dada cukup penuh untuk gadis seusianya. Saat gaun itu meluncur menutupi tubuhnya, ia nyaris tak mengenali bayangan di cermin. Sepatu hak tinggi 9 cm melengkapi penampilannya. Malika berdiri goyah, hampir terjatuh. "Kau cantik sekali, sayang." Madam Deria muncul di belakangnya, menatap Malika melalui cermin. "Lihatlah dirimu. Bahkan tanpa usaha pun, kau sudah memikat." Malika menggigit bibir. "Madam… a-aku… takut." Cicitnya Madam Deria menepuk bahunya pelan. "Semua gadis pertama kali takut. Tapi percayalah, malam ini ku akan keluar dari pintu club ini sebagai gadis yang berbeda. Kau akan punya uang, harga diri, dan peluang baru. Sekarang ayo. Tamu sudah menunggu. Dengan ragu, Malika mengangguk. Perlahan, mereka berjalan menuju lorong yang lebih remang. Dindingnya hitam dengan lukisan abstrak berwarna emas. Lampu gantung menambah suasana eksklusif. Di hadapan mereka, sebuah pintu besar bertuliskan VVIP Lounge. Malika berhenti. Napasnya tercekat. "Madam…." Bisiknya pelan, nyaris seperti gumaman doa. "Ada apa, sayang?" Tanya Madam Deria, berbalik menatapnya. Malika menggenggam tangan sendiri erat-erat. Suara hatinya memohon. "Kalau boleh, tolong Madam pilihkan tamu yang belum menikah. Aku… aku nggak mau… menyakiti hati seorang istri. Ibuku juga seorang istri." Pintanya Madam Deria menatap Malika sedikit lebih lama. Mata wanita itu melunak sekejap, senyum tipis muncul. "Permintaan yang aneh… tapi sangat indah, sayang." "Tapi tenang saja." Lanjutnya. "Di dalam hanya ada dua pria beristri. Sisanya lajang. Dan ada satu orang… dia Tuan Muda paling banyak mau, paling sering menolak gadis. Tapi kalau dia tertarik… dia tak segan mengeluarkan uang ratusan juta." Malika menelan ludah. "Dia… dia seperti apa, Madam?" Madam Deria menghela napas. "Dia dingin, kasar, kadang kejam. Tapi dia sangat royal. Dia hanya tidur sekali dengan setiap gadis… dan hanya dengan gadis perawan. Dia benci kebohongan. Kalau kau ketahuan berbohong dengan mengaku-ngaku masih perawan, maka dia nggak akan segan-segan untuk menghancurkanmu. Karena sudah ada korbannya. Maka dari itu, jangan pernah membohonginya.” Mata Malika bergetar. "Apa… dia akan memilihku?" Madam Deria tersenyum samar, penuh misteri. "Aku yakin dia akan tertarik padamu, sayang. Dan kamu hanya malam ini saja tidur di dengannya. Sesuai yang saya bilang tadi, dia hanya akan tidur dengan gadis perawan. Dan kamu juga hanya ingin malam ini saja menjual tubuhmu. Jadi kalian punya prinsip yang sama.” Malika mengangguk. Tangan Madam Deria meraih gagang pintu besar berwarna hitam mengkilap. Malika menghela napas panjang, telapak tangannya dingin dan basah oleh keringat. Jantungnya berdetak kencang, hampir membuatnya pusing. Perlahan, pintu itu terbuka… Cahaya temaram lampu kristal memancar, menyingkap ruangan VVIP yang luas, penuh aroma cerutu mahal dan parfum maskulin yang tajam. Deru musik pelan mengalun, suara gelas kristal saling beradu terdengar samar. Di dalam, sekitar delapan pria berjas mahal duduk melingkar di sofa mewah, beberapa di antaranya sedang merundingkan sesuatu dengan ekspresi serius. Dan saat pintu terbuka sempurna, semua kepala serempak menoleh. Mata mereka mengunci pada satu sosok di ambang pintu, yaitu Malika. Waktu seolah berhenti. Tatapan mereka tajam, menelanjangi, menilai… dan terpukau. Malika berdiri kaku. Tubuhnya gemetar, napasnya tercekat. Ruangan besar itu sunyi sesaat, hanya degup jantungnya sendiri yang terdengar. Deg.Roda mobil Alex berhenti perlahan di depan sebuah gerbang besi tinggi yang menjulang angkuh. Lampu-lampu pilar di sisi gerbang menyala terang, memantulkan kilau ke bodi mobil hitam yang mereka tumpangi. Malika menatap ke luar jendela dengan napas tercekat. Di balik pagar, terlihat sebuah bangunan megah bergaya klasik modern, dengan pilar-pilar besar dan taman yang tertata rapi. Lampu-lampu taman berwarna keemasan memantul di permukaan air mancur yang berdiri di tengah halaman depan.Mobil perlahan masuk setelah pintu gerbang otomatis terbuka. Deru mesin terdengar berat saat melintasi jalan berbatu halus menuju depan mansion. Malika menelan ludah, jemarinya yang tadi menggenggam ujung kaos kini berpindah ke pangkuan, saling meremas. Ini pertama kalinya ia melihat tempat sebesar ini. Sebelumnya, Alex membawanya ke apartemen pria itu, bukan ke rumah sebesar ini.Begitu mobil berhenti di depan tangga utama, beberapa pria berbadan besar berseragam hitam berbaris rapi di sisi kanan dan kir
Alex dan Malika kini sudah sampai di parkiran mobil. Udara malam terasa lembap, aroma aspal bercampur bensin menusuk hidung. Lampu-lampu jalanan berwarna kuning pucat menyorot kendaraan-kendaraan yang terparkir di sekitarnya. Malika menunduk, nafasnya tersengal-sengal karena kejadian barusan. Tangannya gemetar, keringat dingin masih menempel di pelipisnya.“Masuk,” ucap Alex pendek, nadanya datar tapi mengandung tekanan.Malika langsung menuruti perintah itu tanpa menjawab apa pun. Ia hanya ingin segera pergi dari tempat itu, menjauh dari semua pandangan mata. Tangannya meremas ujung kaosnya sendiri, mencoba mengendalikan guncangan di dada. Dengan langkah terburu-buru ia masuk ke mobil, aroma kulit jok yang khas langsung menyergapnya.Begitu Malika masuk ke dalam mobil, Alex yang sejak tadi menunggu langsung menutup pintu mobil rapat. Bunyi klik kunci pintu terdengar tegas di telinga Malika, membuatnya sedikit terlonjak. Alex kemudian mengitari kap mobil, membuka pintu bagian depan ke
BUGH…Suara pukulan itu menggema keras di ruangan besar itu. Pedro terhuyung ke belakang, punggungnya menabrak sudut meja. Nafasnya langsung berat, terdengar suara ringisan yang ia tahan-tahan. Tangan kirinya terangkat menutupi rahang yang kini memerah akibat hantaman Alex.Malika tersentak, matanya membelalak melihat ayahnya terhantam keras. Namun bibirnya menutup rapat, tak ada sedikit pun niat untuk menghentikan Alex. Jemarinya justru menggenggam kain sofa lebih erat, menahan seluruh emosi yang meledak di dadanya.Alex melangkah maju, nafasnya stabil namun sorot matanya tak lagi manusiawi. Suara gesekan sepatu mahalnya di lantai marmer terdengar jelas, setiap langkahnya seperti ancaman. Pedro yang tadi masih berlagak berani kini memandang Alex dengan tatapan ngeri, tubuhnya sedikit membungkuk menahan sakit.“Rasakan ini,” ulang Alex dengan nada lebih rendah, namun lebih mematikan dari sebelumnya. Tangannya kembali terangkat.Pedro mengangkat kedua tangannya di depan dada, mencoba m
Seketika Alex tersenyum penuh kemenangan. Sementara Pedro dan yang lain menganga mendengar itu. Mereka baru tahu ternyata Malika mengenai Alex. Alex memandangi Malika lama. Sorot matanya dingin, tapi di balik itu ada sesuatu yang menyala. Rahangnya mengeras, tangan yang menggenggam lengan Malika terasa semakin kuat. Abas dan Mark yang berdiri di belakangnya sudah tahu betul, ini tanda Alex mulai tidak bisa menahan diri.Pria yang membeli Malika itu terkekeh pelan, masih berusaha menunjukkan dirinya berkuasa. “Tuan Alex… jangan ikut campur. Dia sudah jadi milikku. Anda punya banyak perempuan, bukan? Ambil saja yang lain.” Ucapnya penuh percaya diri.Alex tidak menoleh sedikitpun. Matanya tetap menatap Malika. “Sekali lagi,” suaranya pelan tapi menusuk. “ucapkan padaku.”Malika menelan ludah, tubuhnya gemetar. “Aku mohon… selamatkan aku, Alex. Aku nggak mau disentuh pria itu. Aku… aku akan melakukan apapun yang kamu mau.”Suara gadis itu pecah. Air matanya jatuh satu-satu di lantai mar
Suasana di ruangan VIP itu hening seketika. Udara terasa pekat. Lampu kristal di atas ruangan berpendar redup, menciptakan bayangan panjang di lantai marmer. Semua orang di dalam ruangan seolah membeku, hanya detak jam dinding yang terdengar. Semua kaget saat tiba-tiba benda itu jatuh nyaring ke lantai. Suara pecahan gelas memantul, memecah keheningan.“MALIKA!” Teriak Pedro. Wajahnya langsung merah padam penuh amarah saat Malika melemparkan gelas yang didekatkan pria yang membelinya ke wajahnya. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras.“APA? HAH!” Balas Malika berteriak, suaranya pecah oleh amarah dan ketakutan. Bahunya naik turun, matanya memandang semua orang dengan pandangan penuh tantangan.“Jangan jadi pembangkang kamu!” Sentak Pedro lagi. Dia melangkah cepat mendekati Malika, nafasnya memburu, aroma alkohol tercium dari mulutnya. Tangannya langsung memegang kuat lengan Malika yang terus memberontak, berusaha melepaskan diri.“Lepasin! Anda gak berhak atas diriku. Anda bukan siap
“Lepaskan!” Teriak Malika sekuat tenaga, suara seraknya memantul di dinding lorong gelap. Tubuhnya meronta keras, kedua tangannya berusaha menarik diri dari cengkeraman Pedro. Nafasnya terengah-engah, rambutnya berantakan menutupi sebagian wajahnya. “Tidak akan pernah.” Sahut Pedro dingin. Rahangnya mengeras. Dia semakin kuat menekan tangan Malika sampai pergelangan gadis itu terasa perih. Tatapan matanya kosong, penuh nafsu kekuasaan, seolah tak ada lagi darah keluarga di tubuhnya. Pria yang berada di dalam mobil itu langsung membukakan pintu lebar-lebar. Aroma asap rokok dan parfum tajam menyeruak keluar. “Cepat bawa dia masuk ke dalam.” Ucap pria itu datar, suaranya dalam dan serak seperti orang yang terbiasa berteriak memberi perintah. “Siap, Juragan.” Sahut Pedro tanpa menoleh, suaranya terdengar tergesa. Dia menarik lengan Malika makin keras. Pria yang berada dalam mobil itu memang Juragan Opi. Pria tu