Bab 14[Sayang, lagi apa? Kenapa teleponku tidak diangkat?] [Sayang sedang sibuk, ya? Nanti kalau sudah tidak sibuk hubungi Mas ya. Mas rindu.][Adik bayi apa baik-baik saja? Sayang jangan lupa istirahat, Mas tidak mau kamu kelelahan. Tolong jaga calon anak kita baik-baik ya, Sayang.]Membaca sebagian pesan itu, bukannya merasa senang atau terkesan, Nida justru jadi mual. Apa Hans tidak salah kirim? Rasanya sudah lama sekali mereka tidak berkirim pesan dengan kata-kata manis seperti ini. Nida jadi merasa aneh, karena suaminya tiba-tiba berubah hanya dalam waktu beberapa hari saja. Namun, karena tak ingin terlalu memikirkan pesan yang dianggapnya tidak penting itu, Nida pun segera melakukan panggilan ke nomor suaminya. "Halo, Sayang." Suara Hans terdengar begitu lembut dari seberang sana. Laki-laki itu sepertinya memang sedang memegang ponsel, sehingga bisa menerima panggilan Nida dengan cepat. "Halo, Mas. Maaf aku mengganggu waktu kamu. Kata Bi Retno, kamu mau pulang ke sini unt
Bab 15"Maaf Mbak, aku terlambat." Gisel yang baru datang, langsung duduk di kursi yang berada di hadapan Nida. "Mbak Nida sudah datang dari tadi?" tanyanya dengan perasaan tak enak, karena takut Nida sudah menunggunya terlalu lama, sementara pertemuan ini adalah permintaan darinya. "Aku juga belum lama datang. Lagi pula ini belum jam 2, jadi kamu tidak terlambat sama sekali," balas Nida dengan memberikan senyum tipisnya ke arah Gisel. Sebelum memulai obrolan, Gisel memesan minuman terlebih dulu. Sementara Nida sudah memesan jus buah dan kue tiramisu sebelum Gisel datang. "Kata ayah dan Ibu, Mbak Nida hamil? Selamat ya, Mbak, akhirnya Mbak hamil juga setelah menunggu beberapa tahun ini," ujar Gisel setelah pelayan yang mencatat pesanannya pergi dari meja yang mereka tempati. Mendengar ucapan selamat dari Gisel yang terdengar begitu tulus, Nida refleks mengusap lembut perutnya. Ia sendiri bahkan masih tak menyangka jika dirinya ternyata bisa hamil setelah bertahun-tahun lamanya pre
Bab 16"Sayang, kamu sudah pulang?" Hans bertanya setelah ia membukakan pintu rumah untuk Nida yang baru saja datang dari luar. Senyum laki-laki itu terlihat begitu manis saat menyambut sang istri yang sudah ia tunggu kedatangannya sejak tadi. Nida sendiri merasa terkejut saat melihat bukan Bi Retno yang membukakan pintu untuknya, tetapi justru suaminya sendiri. "Em, iya," kata Nida, membalas pertanyaan retoris suaminya. Setelahnya, Nida langsung masuk ke dalam rumah, disusul oleh Hans yang segera mensejajarkan langkah mereka setelah sebelumnya menutup kembali pintu rumahnya. "Tadi ke mana saja dengan Gisel? Kenapa baru pulang semalam ini, Sayang?" tanya Hans di sela langkah mereka menuju kamar. Ini memang sudah jam delapan malam. Sejak tadi siang bahkan Hans sudah menghubungi Nida, tetapi wanita itu tak menjawab panggilannya satu kali pun hingga membuatnya merasa khawatir. Maka dari itu, Hans sengaja menunggu kepulangan Nid
Bab 17"Hari ini Mas sepertinya akan pulang terlambat. Kamu ingat 'kan kalau hari ini sedang pembukuan bulanan di restorant? Jadi sepertinya Mas harus lembur. Tidak apa-apa kan kalau Mas pulang terlambat?" ujar Hans ketika ia dan Nida tengah menikmati sarapan. Nida hanya mengangguk sebagai respons atas ucapan suaminya. Memangnya kenapa kalau Hans pulang terlambat? Toh saat Hans jarang pulang ke rumah ini pun Nida merasa baik-baik saja. "Soal apa yang kamu minta tadi malam, Mas akan menyetujuinya. Kamu ingin mengelola salah satu restoran kita, seperti halnya Diaz, 'kan? Mas akan meminta Diaz untuk menyerahkan salah satu restoran untuk kamu kelola," ujar Hans lagi. Ia telah memikirkan hal itu semalaman dan berpikir tidak ada salahnya jika ia memberikan kesempatan pada Nida untuk mengelola salah satu cabang restorannya.Nida yang sebelumnya hanya fokus pada makanan di depannya, seketika mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Hans. "Buka
Bab 18Pagi ini, Lily tampak sudah berada di rumah putrinya untuk menumpang sarapan. Ia memang sengaja mengunjungi anak sulungnya itu karena tahu hari ini Hans masih berada di rumah istri pertamanya. Tentu saja kedatangan Lily bukan tanpa tujuan berarti. Ia sebenarnya memiliki sebuah rencana yang hendak ia utarakan kepada Diaz. "Kalau kita buat perempuan bodoh itu celaka hingga kandungannya tidak dapat diselamatkan, menurutmu bagaimana, Diaz?" tanya Lily kepada putrinya. Wanita paruh yang selalu berpenampilan glamor itu berbicara di sela-sela acara sarapannya bersama sang putri. "Aku sudah pernah bilang, kan? Itu terlalu beresiko, Bu. Bagaimana kalau kita ketahuan? Yang ada justru kita yang akan dirugikan," kata Diaz, yang lagi-lagi menolak usulan dari ibunya untuk membuat hubungan Nida dan Hans kembali merenggang. "Lalu kamu mau bagaimana? Tidak mungkin kita diam saja dan membiarkan suamimu kembali mesra dengan istri tuanya, 'kan?" Lily hanya
Bab 19Di restoran, Hans tampak sibuk dengan pekerjaannya. Ia mulai mengecek hasil penjualan restoran satu bulan ini, mengecek stok persediaan dapur, juga soal gaji karyawan yang akan diberikan tiga hari ke depan. Namun, di tengah kesibukannya itu Hans tiba-tiba teringat dengan perkataan Nida tadi pagi. Istri pertamanya itu mengatakan jika kedua restoran cabangnya hampir bangkrut. Ia jadi bertanya-tanya, kenapa Nida bisa berkata seperti itu? Apa benar hanya karena ingin menjelek-jelekkan Diaz? Namun, karena Hans tahu jika Nida bukan tipe orang yang suka bicara omong kosong, perkataan wanita itu tadi pagi ternyata mulai memengaruhi pikirannya. "Apa aku tanya Diaz saja ya? Tapi selama ini Diaz selalu memberikan laporan keuangan restoran cabang dan pendapatan di sana selalu stabil. Tidak mungkin Diaz berbohong padaku, 'kan?" Hans bermonolog. Ia ingin mempercayai Diaz dengan semua laporan keuangan yang rutin diberikan padanya, tetapi ucapan Nida tadi pagi ju
Bab 20Diaz dan Heru yang melihat kedatangan Hans yang tanpa aba-aba, jelas saja merasa sangat terkejut. Mereka langsung panik, saling menjauhkan diri yang tadi begitu rapat, tapi akhirnya hanya bisa tertahan di ranjang saat sadar mereka hanya terbungkus selimut, sementara tubuh mereka tak mengenakan apa-apa lagi di dalam sana. "M-mas Hans, kenapa kamu tidak menghubungiku dulu sebelum pulang?" cicit Diaz, yang suaranya bahkan hampir tidak terdengar. Hans tersenyum sinis saat menatap ke arah istrinya. Bisa-bisanya Diaz masih berani berbicara seperti itu, setelah kebusukannya telah terpampang dengan nyata. Hans benar-benar tak menyangka, istri yang selama ini begitu ia cintai, bahkan karena kehadiran Diaz pula ia sampai mengabaikan istrinya pertamanya, ternyata tega berbuat seperti ini padanya. Hans baru merasakan sekarang, jika ternyata dikhianati rasanya sesakit ini. Apa ini juga yang Nida rasakan ketika dulu ia memaksa wanita itu untuk menyet
Bab 21Setelah mendapati kenyataan menyakitkan tentang perselingkuhan istri kesayangannya, kini satu-satunya yang ada di pikiran Hans hanyalah pulang ke rumah sang istri pertama. Ia benar-benar merasa kalut dan berharap dengan bertemu Nida suasana hatinya akan membaik. Perjalanan dari rumah Diaz ke kediaman Nida yang sebenarnya tidak terlalu jauh, entah kenapa sekarang terasa begitu lama bagi Hans. Padahal pria itu sudah mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, tapi rasanya ia tidak sampai-sampai di rumah Nida. Saking kesalnya dengan keadaan ini, ia bahkan sampai mengumpat setiap menemui kemacetan atau ada yang menyalip mobilnya. Sampai akhirnya, Hans tiba di kediaman Nida. Ia dengan cepat melangkahkan kakinya memasuki rumah untuk mencari istrinya. "Nida! Sayang! Kamu di mana?" panggil Hans seperti orang yang tengah kesetanan. Ia bahkan berteriak dengan kencang, padahal rumah itu jelas tidak terlalu besar. "Tuan? Ada a