Share

BALASAN DOSA MASA LALU

Mobil yang mereka tumpangi masuk ke area sebuah mansion mewah. Struktur bangunan yang sebagian besar terbuat dari kaca premium membuat bangunan besar itu tampak terbuat dari susunan kristal yang indah. Tidak bisa dipungkiri, Alma terpesona dengan kemegahan yang ditawarkan mansion milik Tian tersebut.

Kendaraan roda empat itu berhenti saat pandangan Alma masih menyisir bagian luar bangunan yang bisa dia lihat. Bastian bisa melihat sorot kekaguman dari mata Alma karena sekarang dia sudah turun dan membukakan pintu untuk gadis itu. Mendengar bunyi pintu mobil yang terbuka, Alma sedikit tersentak.

"Silakan turun, Tuan Puteri. Mulai hari ini dan seterusnya kamu akan tinggal di dalam mansion besar ini. Aku yakin, tempat ini seratus kali lebih baik daripada rumah lamamu itu." Tian mengedarkan tatapan sombong ke arah mansionnya, lalu menatap Alma seraya tersenyum miring.

Alma tertawa kecil, bukan tawa yang tulus.

"Kamu pikir tempat ini lebih baik untukku? Kamu salah, Tian! Rumahku jauh lebih menenangkan. Di sana aku menikmati waktu bersama kedua orang tuaku." Alma memutuskan untuk turun. Dia tidak ingin membuat Tian menunggu.

"Itu dulu, Alma. Sekarang rumah itu tidak nyaman untukmu. Jangan munafik. Aku tahu siapa nyonya Rosa. Hidup bersamanya hanya akan membuatmu merasakan neraka setiap hari." Tian menghempaskan pintu mobilnya dan menggandeng tangan Alma.

Apa yang dikatakan Tian memang benar. Semua sikap buruk Rosa terlihat setelah papanya meninggal. Posisi Alma di rumah itu sama dengan budak. Tidak ada kasih sayang dan kehangatan. Yang ada hanya hawa dingin yang mencekam. Menciptakan ketakutan yang abadi di dalam benak gadis dua puluh tujuh tahun itu.

"Hidup dengan siapa dan bagaimana kehidupanku ke depan bukan urusanmu, Tian! Kamu tidak berhak untuk mencampuri kehidupan orang lain sampai seperti ini. Apalagi sampai membeli harga diri seseorang hanya dengan uang kotormu itu! Lepas!"  Alma memberontak, tetapi Tian meremas tangannya sedikit keras hingga membuat gadis itu meringis.

"Jangan banyak tingkah, Alma! Kamu sudah menjadi milikku. Aku tidak peduli bagaimana kamu akan berkomentar tentang diriku. Sekarang bersikaplah manis dan tetap di sisiku, atau anak buahku akan menyeretmu seperti binatang," bisik Tian penuh penekanan.

Kalimat itu sukses membuat mata Alma melebar dan bulu kuduknya merinding. Gadis itu hanya bisa menahan rasa sesak yang kini sukses merajai hati hatinya.

Mata Alma berair, tetapi gadis itu mati-matian berusaha untuk tidak menangis. Dia tidak ingin menunjukkan kelemahan yang dia miliki di hadapan Tian. Orang yang sudah membelinya dari Rosa.

Sekarang Alma memilih diam. Dia merasa tidak ada gunanya terus beradu mulut dengan pria keras kepala itu. Dari zaman masih sekolah menengah atas, Tian memang memiliki kepribadian yang tidak menyenangkan. Dia egois dan ambisius. Apa yang dia inginkan, dia akan menghalalkan segala cara untuk meraih targetnya tersebut.

Langkah mereka memasuki mansion. Di sisi kiri dan kanan pintu masuk tersebut berdiri banyak pelayan Bastian terdiri dari wanita dan pria. Dari pakaiannya, bisa diperkirakan kalau mereka semua bekerja untuk merawat mansion besar itu. Mungkin di antara mereka juga ada sopir dan staf keamanan. Alma tidak terlalu peduli tentang itu.

Sejak di halaman, mereka sudah menapakkan kaki di atas karpet merah. Sepertinya kedatangan Tian dan Alma memang dipersiapkan dengan sangat baik. Mereka layaknya sepasang raja dan ratu yang sedang memasuki istana. Deretan orang-orang yang tak lain merupakan bawahan Bastian itu membungkuk hormat. Mereka kembali berdiri tegap  saat sang tuan telah berlalu dari hadapan mereka.

"Seperti yang kalian ketahui, aku akan membawa dia ke mansion ini. Dia calon istri keduaku. Selama aku tidak ada di sini, jaga dia dengan ketat. Jangan sampai dia kabur, atau nyawa kalian yang menjadi taruhannya," ucap Tian serius setelah berbalik dan menghadap ke arah deretan pegawainya.

Mau tidak mau Alma terpaksa mengikuti apa yang dilakukan oleh Bastian. Hal itu terjadi karena tangannya tidak dilepaskan oleh lelaki itu.

"Untuk kalian para pelayan, penuhi semua kebutuhan Alma. Jangan sampai dia kekurangan apapun. Segera lapor kalau dia membutuhkan sesuatu yang tidak tersedia di mansion ini," imbuhnya.

"Apa kalian mengerti?" Tian menuntut jawaban.

"Kami mengerti, Tuan." Mereka menyahut hampir bersamaan.

"Bagus," ucap Tian singkat. Setelahnya lelaki itu kembali berbalik dan membawa Alma ikut serta.

Mereka berjalan jauh masuk ke dalam. Langkah mereka mengarah ke tangga dan naik ke lantai atas. Alma panik. Apakah dia akan disekap? Alma sudah membayangkan sebuah ruangan sempit dan pengap yang akan dia tinggali. Mungkin kaki dan tangannya juga akan diikat. Mengingat di belakang mereka masih ada dua pengawal yang tadi membantu Tian menyeret dia keluar dari rumahnya. Rumah yang sekarang sudah dikuasai oleh Rosa.

"Tian, tolong lepaskan aku. Apapun dosaku selama kita masih sekolah, aku akan menebusnya dengan cara lain. Jangan menyiksaku seperti ini, Tian." Alma memelas. Lebih tepatnya dia sedang berakting menjadi sosok menyedihkan agar menimbulkan rasa belas kasihan Bastian.

"Apa kamu yakin? Coba kamu ingat kembali seberapa banyak kejahilan yang sudah kamu lakukan padaku saat SMA."

"Aku akan mengingatkan kembali padamu."

"Kamu pernah memberi lem di kursi tempatku duduk sampai celanaku sobek dan ditertawakan satu kelas. Mengambil fotoku tanpa izin saat aku tidur dan memajangnya di majalah dinding sekolah. Oh, kamu juga pernah membuat aku dijemur dua jam pelajaran matematika karena buku tugasku kamu sembunyikan, dan masih banyak lagi."

"Apa kamu masih ingin aku mengingatkan yang lainnya? Asal kamu tahu, tidak ada cara menebusnya selain dengan menikah denganku." Bastian memberikan penegasan.

"Itu hanya sebuah candaan, Bastian. Hal sepele yang biasa dilakukan oleh para remaja pada umumnya!" Alma menyergah.

"Apa kamu menganggap semuanya serius? Kamu sungguh lucu! Berhentilah berpikir kekanakan. Memangnya berapa usiamu sekarang?" tanya Alma seraya berdecak kesal.

"Aku rasa ini semua tidak sebanding. Apa karena kamu sudah berubah menjadi kaya dan berkuasa, jadi kamu merasa apa yang kamu lakukan ini wajar? Dasar gila!" umpat Alma kemudian.

Tian menarik tangan Alma dan otomatis membuat jarak di antara mereka terkikis. Hidung mereka bahkan nyaris bersentuhan. Tatapan mereka bertemu satu sama lain.

"Aku sudah bilang kalau aku tidak peduli kamu menganggap aku ini apa. Itu tidak penting! Hal yang paling penting di sini tentu saja kamu sudah menjadi milikku, dan aku ..." Tian menjeda kalimatnya sejenak.

"Tidak akan membiarkan kamu keluar dari mansion ini tanpa seizinku walau hanya satu langkah," sambung Bastian dengan tatapan mengintimidasi.

Apa yang dia lakukan sukses membuat nyali Alma menciut. Gadis itu mematung dengan mulut terbuka tanpa sanggup mengucap sepatah kata pun.

"Oh, jadi ini alasanmu membeli sebuah mansion mewah?" Suara seorang wanita berhasil menyita perhatian semua orang. Bastian, Alma, dan dua pengawal mereka mengalihkan pandangan ke arah sumber suara.

Raut wajah Bastian seketika berubah.

Lelaki itu segera mengalihkan perhatian ke arah kedua pengawalnya.

"Baim, Gio, cepat antar Alma ke kamarnya!" perintah Bastian tegas.

"Baik, Bos!" jawab mereka serempak.

Alma tentu tidak ingin diseret para pria berbadan kekar itu. Dia memilih untuk berjalan mandiri ke arah kamar yang ditunjukkan oleh mereka.

Bastian turun dari tangga dan melangkah  ke arah wanita yang tadi menegurnya secara tidak langsung.

"Kamu benar-benar ingin tahu alasanku? Baiklah. Bagaimana kalau kita mengobrol santai di gazebo? Aku takut pembicaraan kita yang panjang akan membuatmu sakit pinggang. Bukankah itu terdengar romantis, Sayang?" Bastian berlagak sok manis. Terlihat jelas dari caranya bicara, dia tidak sedang benar-benar ingin memanjakan wanita itu.

Lelaki itu hanya berpikir kalau pembicaraan mereka termasuk hal pribadi yang tidak boleh menjadi konsumsi publik.

"Dasar mulut buaya! Cepat jelaskan semua ini sebelum aku ..." Tian meletakkan telunjuknya di permukaan bibir wanita itu sebagai isyarat untuk diam.

"Jangan banyak bicara, dan ikuti aku!"

Bastian melangkah ke arah pintu samping yang menghubungkan dengan gazebo dengan langkah santai. Lelaki itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Wanita yang Bastian minta untuk mengikuti berjalan patuh di belakang lelaki itu dengan jarak kurang dari setengah meter.

Bisa dipastikan, mata wanita itu memancarkan kekaguman kala menatap punggung tegap milik Bastian. Sebuah senyuman penuh arti terukir di wajahnya.

Siapa sebenarnya wanita itu? Bagaimana nasib Alma selanjutnya? Akankah dia bisa melepaskan diri dari cengkraman Bastian?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status