Share

Dendam Manis Suami Sempurna
Dendam Manis Suami Sempurna
Author: Erumanstory

TAKDIR YANG TAK ADIL

Tidak ada lagi kebahagiaan yang tersisa. Seakan semuanya terenggut begitu saja. Begitu pula dengan hari ini. Hari di mana Alma merasa harga dirinya tergadai. Dia dipaksa ibu tirinya untuk menikah dengan seseorang yang dia benci.

"Tidak! Aku tidak sudi menikah dengan laki-laki itu, Ma. Dia sudah beristri. Tolong, jangan lakukan ini padaku, kumohon ..."

Alma meronta saat dua orang laki-laki asing datang untuk membawa dia keluar dari rumah peninggalan ayahnya.

Di antara dua orang itu, ada satu lelaki yang memimpin. Namanya Bastian, atau biasa dipanggil Tian. Pria itu musuh bebuyutan Alma saat mereka duduk di bangku SMA. Wanita itu mengetahui status Tian dari unggahan di sosial media lelaki itu. Dia sudah menikah lima tahun lalu dan memiliki seorang putri.

Bastian hanya duduk dan menyilangkan kedua tangan. Tatapannya dingin, tanpa belas kasihan. Di masa lalu, Alma memang pernah menjahili lelaki itu, tetapi balasan yang dia terima sekarang jelas tidak adil. Alma benci harus dijodohkan dengan pria beristri seperti dia.

Plak! Plak!

Dua buah tamparan yang langsung membuat Alma pusing mendarat dengan cantik di pipi mulusnya. Darah segar merembes dari sisi bibir gadis itu. Rasa perih merambat, memaksa air mata Alma mengalir semakin deras. Gambar telapak tangan berwarna semu merah menempel di kedua belah pipi mulus gadis yang malang tersebut.

"Tidak perlu jual mahal begitu, Alma! Ah, tapi benar juga, Tian sudah membayarmu mahal. Setara dengan semua uang suamiku yang sudah dihabiskan untuk membesarkanmu. Bukankah kamu lebih baik menjadi istri kedua daripada menjadi gembel di jalanan?" Pertanyaan itu terasa menyakitkan di telinga gadis dua puluh tujuh tahun itu.

Seringai wanita paruh baya yang Alma panggil dengan sebutan mama itu terlihat begitu mengerikan.

Dia bukan ibu kandung Alma, melainkan ibu tiri. Wanita yang datang dan merusak kehidupan rumah tangga orang tua kandung gadis itu. Ibunya yang sudah lama sakit-sakitan, meninggal dengan cara sadis, yaitu bunuh diri.

"Tanah di kuburan papaku saja belum kering, mengapa Mama tega menjualku? Apa harta peninggalan papa tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan Mama? Apa Mama sudah tidak sabar untuk menguasai semua harta papa?"

Alma mencoba mengajukan semua pertanyaan itu dengan menatap lekat kedua mata ibu tirinya, tetapi wanita itu segera melengos, membuang wajahnya ke arah lain. Seolah tatapan Alma begitu menjijikkan.

"Tutup mulutmu, Bocah! Kamu tahu apa, hah? Aku memang sudah lama ingin menyingkirkanmu. Tapi ... daripada membuangmu cuma-cuma, lebih bagus kalau ada orang yang mau membelimu dengan harga fantastis. Jadi, silakan kamu pergi. Karena kehadiranmu di sini sudah sangat tidak diinginkan."

Rosa menuding pintu keluar. Sementara Alma dengan susah payah menghapus air matanya. Dia sudah dijual, mau apa lagi selain ikut dengan Tian. Bukankah lelaki itu memang berhak atas dirinya?

"Sampai kapanpun, aku tidak pernah rela mengikhlaskan kejahatan yang sudah Mama perbuat. Suatu hari, Mama akan mendapatkan balasan setimpal atas apa yang sudah Mama lakukan. Ingat itu, Ma!" teriak Alma, sebelum akhirnya kedua tangan gadis itu dipegang oleh dua orang lelaki suruhan Tian dan bersiap menyeretnya.

"Kamu sudah aku buat hidup enak. Menikah dengan orang kaya, hidup bergelimang harta. Begitukah balasanmu, Gadis Cantik? Simpan saja semua omong kosongmu itu! Hahaha, kamu pikir aku akan takut? Oh, tentu saja tidak. Rosa akan selalu bahagia dan mendapatkan apa yang dia inginkan. Enyahlah! Aku sudah muak melihat wajahmu." Rosa mengibaskan tangan sebagai perintah untuk membawa Alma keluar dari rumahnya.

"Wanita jahat! Semua air mata yang sudah kujatuhkan hari ini kau akan membayarnya! Kau tidak akan hidup tenang. Tidak akan pernah!" Gigi Alma gemeretak. Dia menatap Rosa dengan penuh kebencian. Wajahnya memerah menahan emosi yang meluap-luap.

"Nyonya Rosa, Abaikan saja gadis mungilmu itu. Ah ya, semoga kau bersenang-senang dengan semua uang yang aku berikan. Anda sudah menandatangani kontrak itu, artinya Alma sepenuhnya milikku. Tidak ada hubungan apapun lagi denganmu. Uang itu jaminan seumur hidup Alma, tidak ada tambahan sedikitpun. Jelas?" Tian yang tadinya duduk, berdiri. Dia mengulang perjanjian yang sudah disepakati antara dirinya dan Rosa.

Wanita itu tersenyum lebar. Memandang tiga buah koper berisi  uang yang terbuka di hadapannya dengan penuh kepuasan.

"Tentu saja. Alma sepenuhnya milikmu dan aku tidak akan mengusik kalian lagi," jawab Rosa pasti.

"Bagus. Kalau begitu, aku akan membawa calon istriku pergi. Selamat tinggal."

Tian melangkah keluar lebih dulu. Sementara dua pesuruhnya membawa Alma tanpa perlawanan. Gadis itu pasrah. Dia tidak peduli, bagaimana Tian akan memperlakukan dia di masa depan.

Alma sempat menoleh ke rumahnya sebelum masuk ke dalam mobil Tian. Rumah dimana dia, ayah, dan juga ibunya tinggal dengan semua kenangan indah yang mereka miliki. Tetes air mata gadis itu tak terbendung. Di dalam hatinya, dia menyempatkan diri mengucapkan selamat tinggal.

Pintu mobil terbuka otomatis, dia masuk dan duduk di samping lelaki yang sama sekali tidak dia inginkan. Gadis itu berusaha tegar, menghapus kasar air mata yang terus memaksa untuk keluar. Tidak ada guna lagi menangis, karena dia tahu, Tian tidak akan mau melepaskan dia begitu saja.

Mobil mulai berjalan. Alma menyandarkan kepalanya ke headboard. Pandangan gadis itu lurus ke depan, kosong. Putaran memori di kepala Alma mengingatkan dia kembali pada peristiwa satu minggu lalu. Dimana ayahnya mengembuskan napas terakhir di depan matanya. Sekarang, keperihan kembali terjadi. Dia harus menikah dengan orang yang tidak diinginkan. Lebih parah dari sekedar menikah paksa, dia dijual.

"Berhentilah menangis. Kehidupanmu juga tidak akan lebih baik kalau kamu tetap tinggal dengan wanita mata duitan itu." Tian yang semula diam mengeluarkan suara.

Alma mengepalkan tangan. Mendengar suaranya saja sudah membuat gadis itu merasa jijik. Bagaimana mungkin dia akan hidup bersama dalam satu rumah dengan lelaki yang tidak memiliki satu pun kenangan manis dengannya. Bukankah itu mengerikan?

"Lantas, apa kamu pikir hidupku akan lebih baik setelah kamu beli? Aku juga tidak akan bahagia menikah denganmu. Apa kamu tahu apa yang aku inginkan sekarang? Apa kamu bisa mengerti bagaimana perasaanku saat ini?" Alma mengajukan semua pertanyaan itu dengan nada dingin. Dia tidak ingin bermulut manis dengan lelaki bernama lengkap Giorgino Bastian tersebut.

"Mungkin belum untuk sekarang, tetapi nanti pasti aku akan bisa seperti yang kamu inginkan," ucap Tian tenang.

Alma mual. Bukan karena mabuk kendaraan, tetapi dia tidak bisa menerima bualan yang diberikan oleh Tian. Dia tidak akan bisa menjadi apa yang Alma inginkan, karena gadis itu tidak pernah menginginkan lelaki seperti Tian.

"Apa kamu tidak puas dengan satu istri hingga kamu begitu berambisi untuk menikahiku?" sarkas Alma. Dia pikir, tidak perlu berkata sok manis di hadapan lelaki tak berhati seperti Tian.

"Anggap saja begitu," jawab lelaki itu santai. Dia tidak menunjukkan sikap tersinggung.

"Dasar sinting! Apakah setelah menikahiku kamu akan mencari wanita lain lagi untuk kamu nikahi?"

"Bisa jadi. Aku punya segalanya dan bisa melakukan apapun dengan uangku."

Jawaban congkak dari seorang Bastian membuat Alma semakin muak. Dari dulu sikap lelaki itu tidak berubah. Selalu saja menyebalkan dan membuat emosi.

"Seharusnya Tuhan melumpuhkan milikmu, supaya kamu tahu bagaimana rasanya menjadi tidak berguna walau kamu memiliki banyak uang."

"Cara bicaramu tidak semanis wajahmu, Alma. Sikap anti patimu itu membuatku semakin ingin memilikimu. Menikmati setiap menit yang menggairahkan bersamamu di malam pertama kita. Aku sudah membayangkan betapa cantiknya tubuhmu saat tanpa busana." Tian mencolek dagu Alma dan dengan cekatan wanita itu menepisnya kasar.

"Dasar lelaki gila!"

"Terus saja umpat aku, Cantik. Karena waktumu untuk mengumpat akan segera berakhir dengan desahan," bisik Tian tepat di telinga Alma.

"Kita lihat saja nanti. Semua itu akan menjadi kenyataan atau hanya akan menjadi mimpimu saja, Tian." Alma membalas penuh penekanan dengan tatap menyiratkan kebencian.

Gadis itu merasa terhina, tetapi dia tidak bisa berbuat apapun. Dia hanya bisa diam mematung dengan tetesan air mata yang keluar tanpa komando. Meratapi nasib? Ah, lebih tepat dengan sebutan meratapi dirinya yang sudah tidak berharga lagi. Dia hanya dihargai tiga koper uang oleh lelaki yang sedang tersenyum congkak di sisinya. Bukankah itu terlalu murah? Kalau bisa memilih, Alma tidak akan mau dibeli walau dengan seribu koper uang sekalipun.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status