Share

7. Mesin Pembunuh

Author: Evita Maria
last update Last Updated: 2025-12-05 13:23:12

Mata robotik Evan mencoba memindai Elara, menganalisis identitas dan data diri wanita misterius itu. Tapi anehnya, sistem analisisnya seperti menabrak tembok. Tidak ada data. Tidak ada informasi, seolah wanita itu tidak pernah ada di database manapun.

"Kau tidak akan menemukan jawabannya di situ," Elara tersenyum sambil menunjuk mata Evan. "Teknologi canggih memang menakjubkan, tapi ada hal-hal yang tidak bisa dianalisis."

Evan bergerak cepat, mencoba menangkap pergelangan tangan Elara. Tapi wanita itu sudah mengantisipasi. Mereka terlibat pertarungan singkat, Evan dengan kekuatan cybernetic-nya, Elara dengan kelincahan dan teknik yang luar biasa.

Selama beberapa detik, mereka bertukar serangan dengan kecepatan tinggi. Tinju Evan ditangkis dengan lengan Elara. Tendangan Elara ditangkis dengan lutut Evan. Mereka bergerak dalam tarian maut yang brutal sekaligus indah.

Tiba-tiba, mata mereka bertemu. Hijau zamrud bertemu dengan merah cybernetic. Waktu seolah berhenti.

Ada sesuatu dalam tatapan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Evan merasa seperti menatap cermin yang memantulkan dirinya sendiri, sama-sama misterius, sama-sama berbahaya, sama-sama terikat oleh misi yang tidak bisa mereka tinggalkan.

Evan melepaskan cengkeramannya. Elara mundur selangkah, masih menatap matanya.

"Sampai jumpa lagi, Evan tanpa marga," Elara tersenyum, senyumnya mampu membuat jantung naga Evan berdetak lebih cepat.

Suara helikopter terdengar di luar jendela. Elara mundur ke ambang jendela, mengeluarkan pistol pelontar kait lagi.

Kait menancap di landing skid helikopter. Elara melompat keluar jendela, tubuhnya terbang di udara malam sebelum ditarik naik oleh tali.

Evan berlari ke jendela, menatap ke atas. Elara sudah hampir mencapai helikopter, tapi dia masih sempat melambai ke arahnya dengan senyum kemenangan yang menggoda.

Helikopter itu menghilang dalam kegelapan, membawa wanita misterius beserta berkas yang dicurinya.

Evan berdiri di sana, menatap langit malam. Untuk pertama kalinya sejak transformasinya, ia menemukan seseorang yang bisa menandingi dirinya.

Mata robotiknya merekam wajah Elara Phoenix ke dalam memori permanen. Suatu hari, mereka akan bertemu lagi. Dan saat itu tiba, Evan akan mendapatkan jawaban atas semua pertanyaannya.

"Misi selesai," pemuda itu bergumam, meski matanya masih tertuju ke langit.

***

Ruang Kontrol VVIC

Kepala Godfather Lorenzo melayang dan mendarat dengan benturan keras di atas meja kontrol. Dr. Reema dan empat peneliti lainnya refleks melompat mundur dengan wajah pucat.

Darah masih menetes dari potongan leher itu. Mata Lorenzo melotot menatap mereka dengan tatapan kosong yang mengerikan.

"Ya Tuhan..." salah satu asisten bergumam sambil menutupi mulutnya, mendadak mual dan ingin muntah.

Sementara orang yang mengantarkan kepala Lorenzo kepada mereka sudah meninggalkan ruangan. Evan Pendragon berjalan santai menuju ruang kapsul, tempatnya beristirahat.

Dr. Reema menatap monitor yang memutar ulang rekaman yang menampilkan Evan berdiri tenang di tengah mansion yang dipenuhi mayat. Tidak ada tanda-tanda kelelahan, pemuda itu bergerak seperti mesin pembunuh yang sempurna.                                                                                                           

"Dr. Reema," asisten berambut pirang bernama Sarah berkata dengan suara gemetar. "Ini... ini sudah di lluar ekspektasi kita. Dia membunuh Godfather Lorenzo seperti menginjak semut."

"Dan lima kultivator Lima Harimau Gunung Vandar," asisten lain bernama Marcus menambahkan sambil memperhatikan data di layar. "Mereka semua pembunuh bayaran yang tak pernah gagal, bagaimana bisa dia menghabisi nyaris semuanya tanpa berkedip."

Dr. Reema menggeleng bingung. "Aku juga tak menyangka sama sekali, sepertinya ia memiliki kekuatan asing yang tidak kita ketahui."

Sarah menatap kepala Lorenzo dengan ngeri. "Potongannya sangat rapi. Seperti dilakukan oleh ahli bedah, bukan pejuang."

"Itulah yang membuatnya sempurna," Dr. Reema tersenyum tipis meski tangannya masih gemetar. "Evan bukan hanya kuat secara fisik. Serangannya juga selalu tepat sasaran, terkendali, dan tidak emosional dalam membunuh."

Marcus mundur beberapa langkah dari kepala Lorenzo. "Bukankah ini terlalu berbahaya? Sepertinya kita menciptakan pembunuh yang mungkin sulit dikendalikan."

"Justru itulah yang dibutuhkan Jenderal Magnus," Dr. Reema mengambil telepon satelit dan menekan nomor yang sudah lama menunggu panggilan ini. "Senjata yang tidak bisa dikalahkan siapapun."

Dr. Reema menyapa begitu teleponnya terangkat, "Jenderal Magnus, saya sudah menemukan prajurit yang Anda cari."

Di ujung sambungan, suara tawa mencemooh meresponsnya. "Jangan omong besar dulu, Reema! Tunjukkan videonya!"

Dr. Reema mengirimkan rekaman lengkap misi Evan melalui koneksi satelit yang aman. Rekaman pertarungan di mansion Lorenzo, pembantaian empat dari Lima Harimau, hingga eksekusi Lorenzo yang terakhir.

Tiga menit kemudian, Jenderal Magnus menghubunginya dengan nada suara yang sangat berbeda.

"Luar biasa!" Magnus tertawa lagi, kali ini penuh kekaguman. "Benar-benar luar biasa! Ini dia prajurit yang sudah bertahun-tahun kucari."

Sarah dan Marcus saling bertukar pandang cemas mendengar antusiasme Jenderal Magnus.

"Persiapkan anak itu dengan matang, Reema!" Magnus melanjutkan dengan antusias. "Dua tahun lagi, aku akan merekrutnya."

"Apakah tidak terlalu cepat, Jenderal?" tanya Dr. Reema ragu meski sudah menduga jawabannya.

"Negara sedang membutuhkan prajurit tangguh dan berani mati seperti dia," jawab Magnus dengan nada yang membuat bulu kuduk merinding. "Evan Pendragon akan menjadi legenda yang membuat musuh-musuh negara ini gemetar ketakutan."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dendam Membara Sang Dewa Perang   25. Sekutu Pertama di Inferium

    Patrick dan Amir saling bertukar pandang, mata mereka kini juga membelalak tak percaya. Bagaimana mungkin tahanan baru yang kemarin baru masuk bisa mengalahkan Boris yang sudah bertahun-tahun menguasai Blok E?Evan mengangkat pandangan dari bukunya dengan gerakan yang sangat lambat, menatap ketiga sipir itu dengan pandangan datar tanpa ekspresi."Ah, kalian datang," Evan berkata dengan nada santai seolah menyambut tamu. "Kebetulan sekali… bisakah kalian membawanya pergi?"Eric masih terpaku di ambang pintu, otaknya berusaha memahami pemandangan yang mustahil ini. Boris yang tidak terkalahkan... pingsan di tangan seorang anak baru?"Bagaimana…?" Eric akhirnya berhasil mengeluarkan suara, meski terdengar bergetar.Evan tersenyum tipis saat menutup novelnya. "Pria ini terpeleset dan kepalanya terbentur rangka besi tempat tidur. Hmm, kalian harus lebih hati-hati dengan lantai yang licin di sini."Kebohongan Evan disampaikan dengan nada paling polos yang pernah mereka dengar, tapi tidak ad

  • Dendam Membara Sang Dewa Perang   24. Boris Tumbang

    BRAKK!Boris menabrakkan tubuh Theo ke tembok beton. Suara benturan menggema di sel sempit itu. Theo terbatuk-batuk dan meringis kesakitanSeketika mata Evan berubah. Aura dingin mengalir dari tubuhnya, energi naga berputar dengan kecepatan tinggi. Boris boleh menyakiti dirinya, tapi tidak orang lain yang tidak bersalah."Lepaskan dia!" perintah Evan dengan suara serak. Boris yang merasa ditantang malah semakin marah. Dia menendang perut Theo sebagai bentuk tantangan balik."Theo, keluar dari sini!" perintah Evan.Dengan menahan sakit di seluruh tubuh, Theo berlari keluar sel sambil memegangi tulang rusuknya yang nyeri bukan main.Kini tinggal Evan dan Boris dalam ruang sempit itu. Atmosfer berubah mencekam, seperti sebelum badai dahsyat."Akhirnya!" Boris menyeringai sambil meregangkan jari-jarinya. "Sekarang kita bisa bermain dengan serius, Bocah!"Boris mengangkat kedua tangannya dalam posisi siap bertarung. "Ayo duel seperti pria sejati! Atau kau mau terus bersembunyi di ketiak ka

  • Dendam Membara Sang Dewa Perang   23. Terror Boris

    Dada Evan bergemuruh mendengar konfirmasi itu. Dr. William, satu-satunya orang baik di neraka ini, telah dibunuh."Kasusnya ditutup begitu saja sepuluh tahun yang lalu," Sasha melanjutkan dengan suara bergetar. "Polisi menganggapnya kecelakaan biasa. Ibuku berusaha memperjuangkan keadilan karena dia yakin suaminya dibunuh, tapi sia-sia. Tekanan dan stres itu akhirnya membuat ibu terkena stroke."Hati Evan tersentuh mendalam mendengar penderitaan yang dialami keluarga William. Pria baik itu tidak hanya kehilangan nyawa, tapi keluarganya juga hancur karenanya.*Aku bersumpah,* Evan mengetatkan gerahamnya, *aku akan mencari pembunuh Dr. William dan membalaskan dendam kalian.*"Di mana Dr. William ditemukan meninggal?" Evan bertanya ingin tahu.Sasha mengusap air mata dengan punggung tangannya sebelum menjawab. "Ayahku ditemukan di hutan, hanya satu kilometer dari Penjara Inferium. Kondisinya..." suaranya terputus sejenak. "Kondisinya mengerikan, ia disiksa sebelum dibunuh."Evan mengepal

  • Dendam Membara Sang Dewa Perang   22. Dokter Budiman Itu Telah Pergi

    Evan dan Theo berjalan bersama menuju ruang medis di lantai satu. Saat mereka menuruni tangga menuju lantai satu, semua mata memandang Evan dengan tatapan penasaran dan heran. Bisikan-bisikan mulai terdengar di antara para napi."Itu dia anak baru yang baru dihajar Boris tadi," salah satu napi berbisik."Lihat mukanya, kok seperti luka ringan saja?" yang lain menimpali.“Aneh, biasanya Boris menghajar orang pasti sampai buat mereka merangkak pun tak sanggup. Mengapa anak ini masih berjalan gagah?”Theo yang sebenarnya gugup diperhatikan napi begitu banyak, malah berbisik berusaha menenangkan Evan, "Jangan takut, aku akan melindungimu."Evan menahan senyum geli mendengar kata-kata itu. Dengan nada dingin ia menjawab, "Aku tak butuh perlindunganmu.""Aku adalah mastermu di sel 47," Theo bersikeras dengan bangga. "Jadi sudah sewajarnya aku melindungimu dari bahaya."Mereka melewati area tempat Boris sedang berkumpul dengan Samson dan beberapa napi lain. Boris sedang menceritakan dengan p

  • Dendam Membara Sang Dewa Perang   21. Menahan Diri

    Evan berpegangan erat pada lis pagar, menahan keseimbangan tubuhnya agar tidak benar-benar terjatuh. Sebenarnya sangat mudah baginya untuk menghancurkan Boris hingga menjadi serpihan, tapi ia harus menahan diri demi menjaga penyamarannya.Boris dalam hati mulai merasa aneh. Ketika ia memukul perut Evan tadi, tangannya sendiri yang terasa sakit seperti menghantam baja. Dan sekarang, meski ia sudah menggunakan seluruh kekuatannya untuk mendorong, pemuda ini tidak bergeming sama sekali.*Ada yang tidak beres dengan anak ini,* Boris berpikir sambil terus menekan. *Tapi di depan semua orang, aku tidak boleh terlihat lemah.*"Lihat dia gemetar ketakutan!" Boris berteriak ke bawah, menyembunyikan kebingungannya. "Inilah yang terjadi pada siapa saja yang berani melawan kekuasaan Monster Boys!"Para napi di bawah bersorak lebih keras, tapi Evan hanya tersenyum. Dia tahu penyamaran ini harus dimainkan dengan hati-hati. Terlalu kuat akan membongkar penyamarannya, terlalu lemah akan membuatnya me

  • Dendam Membara Sang Dewa Perang   20. Perkenalan Dari Boris

    Evan tetap sibuk merapikan tempat tidurnya, memasang sprei tipis dengan gerakan tenang seperti tak ada seorang pun di dalam sel kecuali dirinya. Sikap acuh tak acuh yang membuat Boris naik pitam. Ia belum pernah diremehkan sebelumnya."Hei Tuli, kau tidak dengar aku bicara?!" bentak Boris nyaris meledak karena merasa diabaikan habis-habisan.Evan akhirnya menoleh dengan gerakan sangat perlahan, menatap Boris dengan mata yang datar dan kosong dari emosi apapun. "Aku dengar. Tapi aku tidak tertarik dengan permainan anak kecil."Boris tertegun sejenak, tidak ada tahanan baru yang pernah meresponnya dengan sikap sedingin es seperti itu. Biasanya mereka sudah gemetar ketakutan atau berlutut memohon ampun sebelum ia berbuat apa-apa."Kau butuh pelajaran tentang rasa hormat," Boris melangkah mendekat dengan mata yang menyala berbahaya, tangannya yang sebesar palu godam hendak mencengkeram kepala Evan. "Dan aku akan memberikannya dengan sangat... sangat menyenangkan!"Tapi yang tidak disadari

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status