"Tidak!" Rengganis berteriak lantang, wanita itu membuka mata. Didapati suasana samar dalam gelap dalam pantulan obor. Mbok Berek menatap majikannya dengan seksama. Rengganis memejamkan mata sebentar, menetralkan jantung yang bergemuruh.
"Kamu mimpi buruk, Nduk?" Mbok Berek membantu Rengganis beringsut duduk.
Wanita ayu menatap ke sekeliling, baru sadar mereka berada di sebuah gua. Saat ini dirinya berada di atas bebatuan, punggung terasa sakit, tidak pernah Rengganis, selama ini dia tidur di tempat yang nyaman dan empuk. Dia melongok keluar gelap, ah hari sudah malam rupanya, begitu pikir Rengganis.
"Minumlah!" kata wanita tua tersebut menyerahkan tempat minum dari bambu untuk Rengganis. Wanita itu meneguk hingga tandas.
"Aku mendengar Permaisuri berteriak." Khandra muncul dari luar dengan membawa kayu bakar.
"Ah, tidak ada apa-apa, Permaisuri hanya mimpi buruk," terang Mbok Berek. Apa yang kau bawa Khandra?" tanyanya.
Lelaki tersebut meletakkan kayu di ujung gua, menggunakan obor untuk menyalakan api. Mbok Berek, berjalan mendekati Khandra, membuka bungkus daun pisang yang diletakkan pemuda itu di atas bebatuan. Wnaita gempal itu tersenyum, lalu menoleh ke arah Rengganis.
"Genduk ayu, kita akan makan burung bakar," ucap Mbok Berek sumringah.
Rengganis tersenyum, dia melihat punggung Khandra, lelaki itu sudah berganti pakaian menggunakan pakaian warna putih bagian perut melilit, bersimpul, kain batik sampai ke atas lutut.
"Maaf Nduk, sepertinya untuk saat ini kamu harus hidup susah, makan seadanya," ujar Mbok Berek mengingat Rengganis tidak pernah makan makanan rakyat jelata.
"Bukankah sepatutnya saya bersyukur, Simbok? Masih hidup sampai saat ini," kata Rengganis terdengar menyentuh di hati kedua orang yang masih setia menemani.
"Saya akan kumpulkan pasukan kita untuk merebut Kerajaan Baskara kembali dari tangan Raja Abra, Permaisuri." Khandra bangkit berdiri membalikkan tubuh.
Dalam remang api menyala, Rengganis dapat melihat wajah gagah yang sudah bersih itu. Baru dia memperhatikan Khandra setelah sekian lama. Dahulu lelaki itu selalu berdiri di belakangnya, menjaga. Ah, sudah sangat lama, bayangan kedua orang tua Rengganis mampir, mata wanita tersebut berembun. Dia menghapus segera.
"Terima kasih Senapati, Mbok Berek," kata Rengganis. Rengganis mengelus perutnya yang terasa kosong. "Saya lapar." Rengganis turun dari batu itu mendekati mereka.
"Kami hanya punya singkong bakar, saya akan mencari buah …." Khandra bergerak hendak melangkah.
"Khandra." Rengganis memotong pembicaraan, meraih tangan lelaki itu. Darah Khandra berdesir, lelaki itu menelan saliva menatap hangat. "Aku akan memakan seadanya." Senyum merekah Rengganis membuat jantung Khandra kembali meletup.
Rengganis melepas genggaman tangan lalu duduk di antara bebatuan. Khandra membungkuk memperhatikan sejenak singkong yang ditaruh di perapian.
"Tidak apa aku bisa menunggu matang," sanggah Rengganis sebelum Khandra berucap.
Rengganis menatap kobaran api kecil itu mengingat akan sosok bersisik dalam mimpi tadi.
*KarRa*
Jelas teringat, wanita cantik setengah ular mengejar, Rengganis kelimpungan naik ke daratan berlari tanpa henti, jatuh bangkit. Suara gamelan tiba-tiba terdengar tanpa wujud, Rengganis celingukan.
Tubuh mendadak lumpuh, dia mematung tanpa daya. Sosok manusia setengah ular mendekati, keringat bercucuran, jantung bukan main berdentum seakan ingin loncat keluar. Bergetar Rengganis menyaksikan sosok mengerikan itu, mendadak lidah keluh tidak mampu berucap, dan tenggorokan tercekat, terasa sulit untuk menelan saliva sekali pun. Suara tawa melengking membuat telinga Rengganis sakit. Dia meringis. Dadanya kembang kempis, napas memburu, air mata meleleh jatuh, takut sudah pasti menghantui Rengganis.
"Ojo wedi Cah Ayu, aku mung arep kenalan," kata wanita ular itu. (Jangan takut Cah Ayu, aku hanya ingin kenalan).
Suara gamelan mendadak berhenti seiring tubuh menyusut, ekor yang meliuk-liuk hilang, berganti kaki dalam balutan jarik hitam senada kebaya yang dikenakan. Selendang warna merah bersandar di pundak, menjuntai di lengan putih mulus. Rengganis tercekat, dedemit muncul di hadapannya, tubuh luruh, merosot dan terduduk tanpa daya di tumpukan ranting, dedaunan kering. Secantik apa pun, wanita itu adalah demit.
Wanita setengah ular tersenyum, sangat rupawan, dia tidak ubahnya sosok wanita biasa jika Rengganis tidak ingat kejadian tadi. "Siapa kau?" tanya Rengganis dengan napas terputus-putus. Masih merasa sesak dada.
"Aku Nyi Gendeng Sukmo, Rengganis," ucapnya.
'Nyi Gendeng Sukmo?' Rengganis mengernyit lalu bertanya, "Bagaimana kau bisa mengenalku?"
"Mudah saja bagiku untuk melihat apa yang terjadi," jawabnya ramah. "Kalian datang ke tempat kekuasaanku, jarang sekali aku melihat ada orang yang datang kemari. Bukankah sudah sepantasnya aku menyapa tamu mampir. Menurut penglihatanku, kau sangat menyedihkan, konspirasi dari seorang selir untuk melenyapkan dirimu, juga lelaki bodoh yang mengambil segala yang kau miliki. Harusnya kau menjadi Ratu, Rengganis," ejek wanita itu sembari membukuk, membantu Rengganis berdiri. "Sayang wajah ayumu, jika kau mati sia-sia saat tertangkap mereka." Wanita setengah ular itu mengelus pipi Rengganis yang masih tidak habis pikir.
Rengganis lalu tertawa, menekan ketakutan luar biasa mengukung. Dia tidak ingin terlihat lemah di mata manusia jejadian tersebut. "Aku benar-benar bodoh bagaimana bisa menjadi Ratu, mengurus diri saja tidak mampu," cebiknya, lebih tepat umpat Rengganis pada diri sendiri.
"Aku bisa membantu dirimu, jika pesona tidak mampu meluluhkan, maka ajian yang akan menjeratnya," jawab Nyi Gendeng Sukmo tertawa memainkan ujung selendang yang dikenakan.
"Aku ragu," jawab Rengganis.
"Kau bisa pasrah dengan nasib jika ingin mati di tangan mereka, menunggu hukum gantung atau hukum pancung?" cemooh Nyi Gendeng. Itu kata-kata terakhir yang dia dengar sebelum terbangun.
Mengingat sang ibunda meninggal dengan cara mengenaskan, membuat Rengganis membayang, bagaimana jika Raja Abra tanpa ampun mencabik-cabik tubuhnya. Membunuh mertua saja dia mampu apalagi dirinya yang tanpa daya. Sungguh mengerikan jika dibayangkan.
*KarRa*
Mbok Berek meraih singkong bakar dari perapian, dia menggunakan potongan kayu untuk membelah singkong panas itu lalu meletakkan di atas daun pisang. Khandra masih sibuk memanggang burung yang sudah ditancapkan pada ujung bambu runcing.
"Ndok, ini silakan dimakan," ucap Mbok Berek. Wanita itu mengernyit lantaran Rengganis tidak menjawab. Dia menyenggol lutut dengan jari telunjuk. Membuat Rengganis tersadar dari lamunan. "Jangan banyak melamun, Ndok," saran Mbok Berek.
"Iya, Mbok." Rengganis termenung.
"Sebentar lagi saya akan kembali ke perbatasan, agar Raja Abra tidak curiga, saya juga telah mengumpulkan bawahan untuk menyingkir ke markas rahasia. Besok pagi Permaisuri ikuti Mbok Berek dan kedua ksatria yang berjaga untuk menuju lokasi," terang Khandra.
"Aku harap kalian tidak memanggilku Permaisuri, aku tidak lagi punya gelar tersebut. Aku …."
"Bagi kami, Permaisuri Rengganis calon Ratu yang tepat untuk memimpin kerajaan Baskara." Mbok Berek memotong pembicaraan.
"Aku tidak yakin, Mbok, aku lemah aku …."
"Permaisuri, banyak prajurit dan juga ksatria bayaran yang disebar mendiang Raja Arkha untuk berjaga di beberapa wilayah yang pernah kami taklukkan. Mereka telah terlatih dengan baik juga dapat dipercaya, tinggal menunggu perintah Permaisuri maka kami siap berkumpul." Khandra meyakinkan.
"Bagaimana caranya?" Rengganis mencoba untuk bangkit, agar mereka yang mendukung tidak kecewa.
"Berikan saja hiasan lengan Permaisuri, untuk diserahkan sebagai bukti. Aksesoris yang Permaisuri kenakan semua terdapat ukiran nama, itu cukup," terang Khandra.
"Tidak perlu mengambil perhiasan yang dikenakannya, Khandra. Aku sudah mengamankan semua benda yang terdapat ukiran calon Ratu kita." Mbok Berek berjalan menuju batu besar yang tadi dikenakan untuk Rengganis tidur.
Wanita bertubuh gempal tersebut meraih sebuah kotak kayu berukiran matahari, lambang dari kerajaan Baskara. Dia menyerahkan benda tersebut pada Rengganis. Paham dengan maksud bawahannya, Rengganis membuka dan kemudian mengambil beberapa aksesoris berupa cincin dan anting.
"Apa ini cukup?" tanya Rengganis.
"Cukup," jawab Khandra meraih dari tangan Rengganis dan memasukkan ke dalam kantong kain warna gelap. "Sendiko dawuh, Permaisuri calon Ratu kerajaan Baskara." Khandra menyatukan kedua tangan memberi hormat sebelum pergi.
"Khandra," panggil Rengganis membuat lelaki itu menoleh ke arah samping di mana Rengganis berada.
Wanita itu bangkit berdiri, "Berhati-hatilah," ucapnya mengelus pipi Khandra. Tatapan Rengganis penuh harap. Khandra mengangguk mantap.
Bersambung….
@lovely_karra
Rengganis mengganti pakaian dengan lebih sederhana. Selipat kain batik melilit tubuh serta selendang warna hitam menutup bagian atas. Semua aksesoris dilepas termasuk mahkota. Agar tidak ada yang curiga saat melewati pedesaan. Semua dirancang sedemikian rupa oleh Mbok Berek. Berjalan menyusuri sungai, melewati semak belukar tidak terasa matahari sudah berdiri di atas kepala. Rengganis menelan saliva menahan haus dan lapar yang tertahan, sejak pagi mereka belum makan apa pun, jalan mulai sempoyongan. Rengganis menatap ke arah atas langit cerah, burung berterbangan riang, nyiur melambai-lambai tertiup angin. Wanita itu meneguk air dari bumbung bambu. “Apa masih jauh, Mbok?” tanya Rengganis. Mbok Berek menggeleng kepala, “Tidak, Nduk di depan sana ada jalan setapak, kita memasuki perkampungan. Singgah sebentar ke pasar dan kedai makan,” jawab Mbok Berek, “ingat, kita sedang berperan sebagai keluarga pura-pura. Kalian jangan keceplosan memanggil dia Permaisuri.”
Mbok Berek menarik Rengganis untuk segera meninggalkan pedesaan, tidak aman berada terlalu lama di sana. Mereka kembali masuk ke dalam hutan, kemudian berhenti di sebuah gua. Rengganis menelengkan kepala, lagi-lagi dia menemui gua. Ksatria yang menghantar Rengganis bersiul tiga kali. Rengganis seperti melihat bayangan hitam lewat di hadapan. Dia menelan saliva saat seorang lelaki berdiri di belakangnya. “Mohon ampun Permaisuri, kami hanya takut ada penyusup,” kata seorang lelaki asing. Rengganis menoleh ke belakang, melihat sosok pemuda tampan bertubuh tinggi membungkukkan badan dengan posisi berjongkok. “Apa yang kau lakukan, siapa kau?” Rengganis membungkuk. Pemuda tadi mendongakkan kepala. “Saya Kayana, salah satu prajurit pilihan mendiang Raja Arkha,” ucapnya tersenyum genit. “Amboi, cantiknya,” katanya lagi. Bletak! “Dasar tidak sopan!” Mbok Berek memukul kepala pemuda bernama kayana itu. “Aw, sakit Mbok!” pekik Kayana mengelus kepala nyengir. “
Tubuh Rengganis bergetar melihat sosok wanita cantik terlihat tidak asing baginya. Pernah ditemui di dalam mimpi mengerikan. Sosok wanita setengah ular terapi. Jantung berdegup kencang seperti hendak loncat keluar, tubuhnya menggigil bersamaan keringat dingin mengucur di pelipis. Rengganis menahan sekuat tenaga agar tidak luruh, dia mengepalkan tangan, menggenggam selendang yang dikenakan. Asap putih mengepul mengelilingi tubuh wanita itu perlahan memudar, lenyap. Kini dia berdiri berhadapan dengannya. Mata Rengganis melebar, "Nyi Gendeng Sukmo," lirihnya. Dalam hati merasa lega tak diperlihatkan tubuh setengah ular Nyi Gendeng Sukmo. Kesadaran perlahan menghampiri, berhasil berdiam, tenang. "Bagaimana keadaan dirimu, Cah Ayu." Suara Nyi Gendeng datar, wajahnya menatap tanpa ekspresi. "Syukurlah kau tidak tersesat menuju kemari," kata Nyi Gendeng raut berubah sekejap, tersenyum ramah. Rengganis tidak menjawab, dia mengedarkan pandang ke segala penjuru. Mengi
Mengingat beberapa waktu silam, Nyi Gendeng Sukmo begitu berambisi pada keinginan untuk tetap awet muda dan memiliki kekuatan abadi tiada tanding. Semua berawal dari pertemuan dirinya pada sosok siluman ular api bernama Sawer Geni. Kecantikan Nyi Gendeng Sukmo mampu memikat lelaki dari bangsa manusia maupun siluman. Termasuk Sawer Geni yang tidak sengaja melihat tubuh menggoda Nyi Gendeng yang sedang berendam di danau, dekat air terjun Sidangkrong tempat dirinya tinggal. Kedatangan Sawer Geni, ular besar berbalut api di sekujur tubuhnya tidak membuat Nyi Gendeng Sukmo takut. Melihat siluman dan hal janggal semenjak menjadi murid Empu Jagat Trengginas adalah hal biasa. Wanita itu masih tetap mandi dengan santai, menghiraukan Sawer Geni menyaksikan dari pinggir danau. Kejadian berulang hingga beberapa hari kemudian, Nyi Gendeng yang awalnya diam, melompat dari bawah air mengibaskan tangan, menutup tubuh telanjang dengan gumpalan air yang ikut naik seiring tarian tangan yang di
“Aku Sawer Geni, tidak akan mati dengan mudah. Aku kekal abadi, kau tahu.” Ular itu perlahan seperti melebur, kepulan api dalam tubuhnya lenyap, Sawer Geni berubah menjadi sosok lelaki bertubuh putih mulus seputih kapas. Nyi Gendeng Sukmo melihat lengan lelaki tersebut memeluk perutnya. “Aku bisa berganti tubuh saat raga ini menua, mulai tidak berguna.” Sapuan napas lelaki itu terasa hangat di pipi Nyi Gendeng Sukmo. “Lepas, bajingan!” Nyi Gendeng mengerakkan keris, tangan lelaki itu menyibakkanya dengan mudah. Pyash! Keris berubah kembali menjadi selendang. Lelaki itu tertawa kemudian membalikkan tubuh Nyi Gendeng Sukmo, kini gadis tersebut dapat melihat sosok gagah pemuda ular itu. “Jadilah anak buahku, Nyi Gendeng Sukmo. Sudah begitu lama aku memperhatikan dirimu dan yeah. Kau sosok sempurna yang aku pilih. Akan aku berikan ilmu kekebalan juga keabadian. Kau bisa hidup kekal, menguasai jagat raya,” terang Sawer Geni. “Aku tidak yakin kau lebih hebat dari guruk
Gendeng Sukmo, merapalkan ajian mantra jaran goyang pada ritual sebuah malam selesai bersetubuh dengan Sawer Geni. Atas bimbingan lelaki ular api tersebut, Nyi Gendeng mampu menuntaskan ajian dalam waktu singkat. Tiga hari tiga malam dia melakukan tirakat, dan tepat tengah malam ini, dirinya untuk kesekian kali menggunakan ajian tersebut untuk memikat lawan jenis demi tumbal yang dia butuhkan untuk keabadian. Saat terbit wajar lalu ketika terbenam matahari, mantra tersebut dirapalkan Gendeng Sukmo. Tumbal ketujuh dia butuhkan sebagai syarat dari Sawer Geni yang mengatakan sebagai syarat keabadian pertama dia harus mencari tujuh pemuda. Gendeng Sukmo memerlukan ajian jaran goyang, ilmu pelet yang dia temui dalam catatan kitab Empu Jagat Trengginas untuk kelancaran memikat lawan jenis, selagi keduanya pernah berjumpa, bertegur sapa bukan hal sulit untuk melancarkan ajian jaran goyang tersebut. “Sungguh disayangkan kitab ini hanya bagian depan saja yang aku dapatkan,” keluh
Kerajaan Baskara Istana Utama sedang gaduh atas kaburnya Rengganis dari menara Istana Dingin tanpa ada jejak sama sekali membuat Raja Abra murka. Bersamaan dengan itu Senapati Khandra juga prajurit yang pergi berperang memasuki aula istana. Tidak ada penyambutan sama sekali pada pahlawan yang telah mempertahankan perbatasan. Hanya ada beberapa abdi dalem menghampiri lalu mengungkapkan murka sang raja. Dari obrolan yang terjadi, Khandra merasa sangat miris, Abra benar telah memonopoli keadaan istana. Walau dia tahu ada beberapa anggota pendukung Permaisuri Rengganis namun, lelaki tersebut tidak mungkin bisa bergerak sembarangan, banyak mata melihat. "Selamat datang para Ksatria hebat Kerajaan Baskara," ucap Ki Kastara menyambut. Khandra tersenyum, dia paham benar bahwa sanya lelaki tua tersebut pasti ikut andil dalam penggulingan permaisuri. Selir Madhavi tidak mungkin bergerak sendiri. "Ah, terima kasih atas sambutan Ki Kastara, di medan perang
Seorang berjubah hitam dengan kepala tertutup tudung melompat dari atas pohon ke sebuah bangunan di Kerajaan Baskara. Sayup terdengar dentuman musik gamelan mengalun bersama tembang yang dilantunkan pesinden. Dia menyipitkan mata untuk melihat ke bawah, ke sebuah pondok. Ah benar saja, pesta penyambutan untuk kedatangan prajurit yang kembali dari medan perang. Tawa terdengar menggelegar, ada penari melenggak-lenggok nan gemulai. Bibirnya menyeringai, kembali dia melompat lalu menengok ke arah sekeliling. Melompat ke bawah dan masuk lewat jendela kayu ke dalam sebuah bangunan. 'Syukurlah aku bisa masuk tanpa ketahuan,' ucapnya kemudian. Lampu minyak Remang-remang menyinari sebuah kamar ukuran kecil. Hanya ada satu dipan dan meja kayu pendek di sana. Lantai beralaskan tikar dari daun pandan, sama seperti alas dipan di sampingnya. Dia kemudian meletakkan pedang miliknya, melucuti tudung dan jubah hitam miliknya kemudian merebahkan tubuh di dipan kayu tersebut.