Share

Fitnah

Author: Els Arrow
last update Last Updated: 2025-07-23 18:34:25

Nayara memalingkan muka mendengar gelak tawa sepasang kekasih itu.

Ia berjalan gontai menuju dapur, tangannya gemetar saat menyendok nasi ke piring, menata lauk seadanya.

Saat tangannya meletakkan piring di meja, Calysta kembali melirik sejenak, lalu mencebik.

“Ini makanan manusia?” tanyanya ketus.

“Kelihatannya nggak enak. Apaan sayur tumis kayak gitu?! Aku, kan, sudah bilang nggak mau pakai minyak!”

Nayara diam-diam menghela napas, berusaha menahan diri. “Biar aku ganti.”

Devanka hanya mendengus. Sementara Calysta kembali menggelendot manja di dada kekasihnya.

“Siapa namamu?” tanya Calysta saat Nayara hendak berbalik ke dapur.

“Nayara Ishvara.”

Calysta tersenyum remeh. “Nggak punya nama belakang? Keluargamu bukan orang terpandang, ya? Beda jauh, dong, sama keluargaku. Pantas saja Devanka lebih milih aku, selain lebih cantik aku juga lebih kaya, lebih unggul dari apapun dibanding kamu!”

Nayara memilih membuang muka, lawan dua orang jelas ia kalah. Energinya habis terkuras seharian ini, akan semakin menyiksa kalau memaksa berdebat.

“Ngapain masih berdiri di sini? Ngerusak pemandangan aja! Sekalian nanti ambilin camilan, ya. Seingatku masih banyak stok kacang mede,” kata Calysta, berlaku bak nyonya menyuruh Nayara seenaknya.

Sementara Devanka sama sekali tak peduli. Ia lebih asyik menciumi Calysta, tak peduli mata Nayara memanas melihatnya.

Wanita itu lantas beranjak ke dapur, air matanya menitik turun saat tubuhnya berbalik. Ia diperlakukan begitu rendah, tanpa seorangpun berdiri di sisinya.

“Aku tiba-tiba ngantuk, Dev. Nggak kuat kalau nggak minum susu hangat,” ujar Calysta tiba-tiba sambil merebahkan tubuh di sofa.

“Sayang, bisa suruh istrimu bikinin?”

Devanka mengangguk mengiyakan. “Suruh aja.”

Calysta tersenyum lebar. Ia bangkit, berjalan angkuh ke dapur dan mendapati Nayara tengah merebus sayuran baru. “Bikinin aku susu!” titahnya.

Tidak ada jawaban, Nayara sendiri pun masih fokus menata hati agar kakinya masih kuat berdiri. Namun, hal itu membuat Calysta naik pitam. Ia mendekat dan mendorong bahu Nayara dengan kasar.

“Heh! Denger nggak, sih?! Bikinin aku susu!” sentaknya. “Jangan kebanyakan air. Panasnya juga jangan asal. Aku alergi kalau terlalu panas.”

“Iya, tunggu sebentar,” kata Nayara, tak punya energi untuk mendebat.

Calysta memutar bola matanya malas, lalu duduk di kursi kecil sambil terus memperhatikan Nayara dari belakang.

Ada perasaan menyentil hatinya. Seharusnya ia lah yang dinikahi Devanka.

Ini membuatnya iri dan ingin menghancurkan Nayara. Lagipula, Devanka pasti akan lebih mendukungnya.

Beberapa saat kemudian, segelas susu sudah siap dan Nayara beranjak ke dekat Calysta untuk menyerahkan minuman itu.

Namun, belum sempat diletakkan di meja, Calysta menyenggol tangannya dengan sengaja.

PRANG!

Gelas itu jatuh, pecah. Susu tumpah membasahi lantai.

“Astaga! Liat, kan? Aku bilang jangan terlalu panas!” Calysta menjerit keras, suaranya mengundang Devanka yang langsung berlari dari arah ruang tamu.

“Ada apa ini?” tanya Devanka, menghampiri.

Calysta langsung memeluk kekasihnya, menangis kecil. “Aku cuma minta dibuatin susu, Dev … tapi dia kayaknya nggak ikhlas dan malah numpahin ke tanganku. Panas banget, lho ... kulitku sampai melepuh!”

Nayara ternganga. “Apa?! Aku nggak—”

“Dia juga ngedumel terus dari tadi, Sayang!” Calysta menambahkan, suaranya bergetar seolah memang tengah menangis. “Dia bilang ... kehadiranku di sini cuma nyusahin, aku ganggu malam pertama kalian. Dia juga bilang lambat laun kamu pasti akan jatuh cinta sama dia dan melupakan aku, terus tadi dia minta aku pergi saja ....”

Apa katanya?!

Nayara benar-benar syok, bisa-bisanya Calysta mengada-ada seperti itu!

“Aku nggak pernah bilang begitu!” ujar Nayara dengan suara gemetar karena terkejut dan tidak terima.

Tapi Devanka sudah mendelik marah. “Cukup, Nayara! Jangan bikin malu. Buatkan Calysta yang baru.”

“Tapi—”

“Kamu pikir kamu siapa bisa ngomongin Calysta kayak gitu? Dia wanita yang aku cintai! Sementara kamu?!”

Hati Nayara nyeri. Bahkan ia tak diberi kesempatan membela diri.

“Mulai sekarang, jangan macam-macam. Dan jangan berani lagi bikin Calysta nggak nyaman di sini.”

Nayara menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan air mata agar tak tumpah. Ia ingin bicara, tapi suaminya sudah pergi dengan merangkul Calysta, melangkah menuju kamar dan hilang di balik pintu.

Ia segera meracik susu yang baru, lantas mengantarkannya ke kamar Devanka dan pergi mengunci dirinya di kamar sendiri.

Sayup-sayup suara tawa dan desahan Calysta terdengar dari kamar sebelah. Sepertinya memang sengaja agar dirinya panas, tetapi ia mencoba tak peduli dan memilih tidur dengan membekap telinga.

Pagi harinya, Nayara bangun paling awal. Ia ke dapur dan masih mendapati pecahan gelas semalam. Ia segera membereskannya, lalu memasak bubur dari sisa nasi semalam.

“Aaahh ... udah, dong, Dev. Masa kurang semalam?” Suara manja itu diiringi cekikikan geli.

Nayara menoleh dan mendapati suaminya dan sang kekasih bergandengan masuk ke dapur. Ia menghela napas panjang, matanya tertuju pada leher jenjang Calysta yang penuh bercak merah.

Tangannya tetap fokus mengaduk bubur, padahal hati dan kakinya terasa mengambang.

“Hmm ... kayaknya buburnya nggak enak. Aku nggak mau sarapan, ah,” kata Calysta tanpa rasa bersalah, melongok menatap panci. “Aku pulang saja, ya, Dev. Ada pemotretan jam tujuh nanti.”

“Aku antar. Sekalian kita cari sarapan.”

Dua sejoli itu pergi setelahnya, meninggalkan Nayara yang makin mengeratkan pegangannya pada centong sayur.

Entah berapa hinaan yang sudah ia dapat, padahal belum ada dua puluh empat jam menjadi istri Devanka.

Suaminya pasti akan selalu membela wanitanya, dan Nayara yakin selamanya akan terus begitu.

Perjalanan masih panjang, harga dirinya akan terus terluka sepanjang hari.

Apakah dirinya mampu bertahan? Sementara, seolah tak ada celah untuk Devanka melunak.

“Kalau pergi … aku harus pergi ke mana?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Natasha
ini nanti nay bahagia gak?
goodnovel comment avatar
bunga daisy
jangan lemah dong nayara
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Bab 87. Mengungkap Pelaku

    Berbeda dengan Dian yang sibuk memanjakan menantunya, Seno justru melangkah mendekat ke arah putranya. Tatapannya serius, meski tetap berusaha ramah di depan keluarga.“Dev, Papa mau bicara sebentar soal perusahaan.” Nada suaranya rendah, seolah tak ingin terdengar oleh Dian maupun Nayara.Devanka menghela napas singkat, lalu menggeleng. “Nggak sekarang, Pa. Aku mau langsung ke kantor.”Seno mengerutkan kening. “Langsung? Baru turun pesawat, kamu pasti masih jet lag. Istirahat dulu, at least satu-dua jam. Besok pun masih bisa kita bahas.”“Enggak, Pa.” Devanka berdiri, merapikan jas yang tadi sempat ia buka. “Ada yang harus aku selesaikan segera. Aku nggak bisa nunda.”Seno menatap lekat wajah putranya, menyadari gurat pucat yang jelas terlihat. “Tapi kamu pucat banget. Jangan maksain diri.”Devanka tersenyum tipis. “Aku baik-baik aja.” Ia lalu menoleh ke bodyguard yang berdiri di sisi pintu. “Siapkan mobil, antar aku ke perusahaan sekarang.”“Baik, Tuan.”Dian sempat menahan, “Dev, m

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Bab 86. Menyembunyikan Duka

    Nayara menarik napas panjang, mencoba menahan amarah yang sudah sejak kemarin menumpuk. Namun begitu Yoona makin menjadi-jadi, kesabarannya habis. Ia menurunkan kacamata hitamnya, menatap tajam dengan mata yang masih sembab.“Udah cukup, Mbak!” jawab Nayara lirih, tapi menusuk. “Saya nggak peduli kamu siapa, ya ... Yoona, Calysta, atau siapa pun yang pernah ada di masa lalu suami saya. Mau kalian punya seribu cerita sekalipun, itu urusan kalian. Saya berdiri di sini sebagai istrinya, dan ikatan kami berdasar pada hukum agama dan negara. Mau sejuta kenangan kalian pun, tetap saya pemenangnya. Titik!”Yoona tersentak, lalu tertawa kecil, sinis. “Istrinya? Hahaha … jadi kamu bangga banget jadi istri Devanka? Padahal jelas-jelas dia masih bisa digoda kapan aja. Kamu itu cuma pelengkap, Sayang. Bisa saja kamu bukan satu-satunya, tapi hanya salah satunya, kan?”Nayara berdiri dari kursinya, tegak menatap Yoona. Wajahnya pucat karena lelah, tapi sorot matanya tajam dan anggun. “Kalau memang

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Bab 85. Memaksa Pulang

    Begitu mobil berhenti di depan villa, Devanka langsung turun. Gerbang terkunci rapat, lampu taman padam, dini hari benar-benar sepi. Ia cepat-cepat membuka pintu utama dengan kunci cadangan.“Semoga Nayara belum bangun,” gumamnya, meski nada suaranya berat, lebih seperti doa cemas.Langkahnya menapak tangga, jantung berdegup liar. Saat pintu kamar terbuka, pandangannya beku.Nayara tergeletak di lantai, bersandar lemah di tepi ranjang. Rambut berantakan, pipi basah bekas air mata, bibir pucat.“Nayara?!” suara Devanka pecah. Ia berlari, berlutut, mengguncang tubuh istrinya. Kulitnya dingin. “Astaga!”Ia buru-buru mengangkat Nayara ke ranjang, memeluk erat, lalu mencari minyak kayu putih di laci. Dengan tangan gemetar ia menggosokkan ke dada, leher, kaki istrinya. “Sayang, bangun … tolong buka mata.”Namun Nayara tetap terpejam. Hanya bibirnya bergerak kecil tanpa suara.Devanka panik. Ia meraih ponselnya—mati. Baterai habis. “Sial!” desisnya. Kakinya menginjak benda keras kala tak se

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Bab 84

    Nayara duduk di ranjang dengan ponsel di tangan. Lampu kamar sudah diredupkan, selimut menyelimuti setengah tubuhnya. Kantuk sebenarnya mulai menekan matanya, tapi ia bersikeras menahan diri."Mas belum pulang juga, udah jam berapa ini? Apa urusannya se-urgent itu sampai nggak pulang-pulang?" gumamnya seraya mengusap mata memaksa untuk tetap terbuka.Ia menatap layar ponsel yang mati-nyala, jemarinya menggulir layar berulang tanpa arah. Sekadar membuka galeri, menatap foto mereka berdua. Senyum Devanka di sana membuat hatinya hangat, meski kini ada getir menyelip.“Aku mau kasih tahu kabar bahagia ini langsung ke Mas,” bisiknya, sambil mengelus perutnya yang masih rata. Napasnya tersendat, senyum tipis mengembang. “Aku hamil, Mas pasti seneng banget. Ah, tapi Mas malah nggak pulang-pulang.”Detik berikutnya, benda pipih itu bergetar di genggamannya. Notifikasi pesan masuk dari nomor asing. Alisnya bertaut bingung “Siapa ini jam segini?” gumamnya.Dengan jempol bergetar, ia membuka

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Dijebak

    “Ibu … ini sudah saya belikan,” ucap staf villa itu saat baru saja kembali, ia membawa kantong plastik kecil dari apotek. “Saya beli beberapa jenis tespek, biar lebih meyakinkan. Tapi sebaiknya dicoba besok pagi, ya, Bu. Hasilnya lebih akurat kalau pakai urine pertama setelah bangun tidur.” Nayara mengangguk cepat, tangannya bergetar saat menerima kantong itu. “O-oke, terima kasih banyak.” “Ya, Bu. Tidak perlu khawatir, tidur cepat saja malam ini dan besok bangun langsung tespek. Jangan begadang, Bu.” Nayara tersenyum manis. “Iya, saya ke kamar dulu.” Ia naik ke kamarnya dengan langkah pelan, kantong plastik itu ia peluk erat. Sesampainya di kamar, Nayara menatap benda itu lama. Dadanya berdebar kencang, napasnya tersengal. “Besok pagi katanya … tapi, aku nggak bisa nunggu,” bisiknya. Dengan tangan gemetar, ia membuka bungkus tespek pertama. Plastik bening robek, lalu batang putih kecil itu sudah tergenggam. Ia masuk ke kamar mandi, menyalakan lampu, dan duduk di kloset. Gera

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Bab 82

    “Mas, sudahlah ... aku pusing,” bisiknya lirih,menghentikan ucapan suaminya. Jemarinya meremas pelan tepi ujung bajunya. “Aku mau ke kamar aja. Kepalaku mendadak pening, rasanya nggak kuat kalau berdiri atau duduk lama.”Tanpa banyak bicara, pria itu langsung meraih lengan istrinya dengan lembut “Ayo ke kamar kalau begitu, bair nanti makanannya diantar saja sama stafnya,” jawabnya.Ia menggiring Nayara menuju kamar. Langkah Devanka tegap, tapi perlahan, menyesuaikan langkah istrinya yang mulai limbung. Sesampainya di kamar, ia membantu Nayara naik ke ranjang, menyingkap selimut, lalu membiarkan istrinya berbaring.Nayara menutup mata, wajahnya lelah. “Aku tidur dulu ya, Mas.”Devanka mengangguk tipis. Ia duduk di tepi ranjang, mengusap kepala istrinya perlahan, jemarinya bergerak tenang di antara helaian rambut yang basah oleh keringat tipis. Napas Nayara mulai teratur, tubuhnya tenggelam dalam buaian mimpi.Beberapa menit Devanka hanya diam, menatap wajah istrinya yang damai. Namun

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status