Nayara memalingkan muka mendengar gelak tawa sepasang kekasih itu.
Ia berjalan gontai menuju dapur, tangannya gemetar saat menyendok nasi ke piring, menata lauk seadanya. Saat tangannya meletakkan piring di meja, Calysta kembali melirik sejenak, lalu mencebik. “Ini makanan manusia?” tanyanya ketus. “Kelihatannya nggak enak. Apaan sayur tumis kayak gitu?! Aku, kan, sudah bilang nggak mau pakai minyak!” Nayara diam-diam menghela napas, berusaha menahan diri. “Biar aku ganti.” Devanka hanya mendengus. Sementara Calysta kembali menggelendot manja di dada kekasihnya. “Siapa namamu?” tanya Calysta saat Nayara hendak berbalik ke dapur. “Nayara Ishvara.” Calysta tersenyum remeh. “Nggak punya nama belakang? Keluargamu bukan orang terpandang, ya? Beda jauh, dong, sama keluargaku. Pantas saja Devanka lebih milih aku, selain lebih cantik aku juga lebih kaya, lebih unggul dari apapun dibanding kamu!” Nayara memilih membuang muka, lawan dua orang jelas ia kalah. Energinya habis terkuras seharian ini, akan semakin menyiksa kalau memaksa berdebat. “Ngapain masih berdiri di sini? Ngerusak pemandangan aja! Sekalian nanti ambilin camilan, ya. Seingatku masih banyak stok kacang mede,” kata Calysta, berlaku bak nyonya menyuruh Nayara seenaknya. Sementara Devanka sama sekali tak peduli. Ia lebih asyik menciumi Calysta, tak peduli mata Nayara memanas melihatnya. Wanita itu lantas beranjak ke dapur, air matanya menitik turun saat tubuhnya berbalik. Ia diperlakukan begitu rendah, tanpa seorangpun berdiri di sisinya. “Aku tiba-tiba ngantuk, Dev. Nggak kuat kalau nggak minum susu hangat,” ujar Calysta tiba-tiba sambil merebahkan tubuh di sofa. “Sayang, bisa suruh istrimu bikinin?” Devanka mengangguk mengiyakan. “Suruh aja.” Calysta tersenyum lebar. Ia bangkit, berjalan angkuh ke dapur dan mendapati Nayara tengah merebus sayuran baru. “Bikinin aku susu!” titahnya. Tidak ada jawaban, Nayara sendiri pun masih fokus menata hati agar kakinya masih kuat berdiri. Namun, hal itu membuat Calysta naik pitam. Ia mendekat dan mendorong bahu Nayara dengan kasar. “Heh! Denger nggak, sih?! Bikinin aku susu!” sentaknya. “Jangan kebanyakan air. Panasnya juga jangan asal. Aku alergi kalau terlalu panas.” “Iya, tunggu sebentar,” kata Nayara, tak punya energi untuk mendebat. Calysta memutar bola matanya malas, lalu duduk di kursi kecil sambil terus memperhatikan Nayara dari belakang. Ada perasaan menyentil hatinya. Seharusnya ia lah yang dinikahi Devanka. Ini membuatnya iri dan ingin menghancurkan Nayara. Lagipula, Devanka pasti akan lebih mendukungnya. Beberapa saat kemudian, segelas susu sudah siap dan Nayara beranjak ke dekat Calysta untuk menyerahkan minuman itu. Namun, belum sempat diletakkan di meja, Calysta menyenggol tangannya dengan sengaja. PRANG! Gelas itu jatuh, pecah. Susu tumpah membasahi lantai. “Astaga! Liat, kan? Aku bilang jangan terlalu panas!” Calysta menjerit keras, suaranya mengundang Devanka yang langsung berlari dari arah ruang tamu. “Ada apa ini?” tanya Devanka, menghampiri. Calysta langsung memeluk kekasihnya, menangis kecil. “Aku cuma minta dibuatin susu, Dev … tapi dia kayaknya nggak ikhlas dan malah numpahin ke tanganku. Panas banget, lho ... kulitku sampai melepuh!” Nayara ternganga. “Apa?! Aku nggak—” “Dia juga ngedumel terus dari tadi, Sayang!” Calysta menambahkan, suaranya bergetar seolah memang tengah menangis. “Dia bilang ... kehadiranku di sini cuma nyusahin, aku ganggu malam pertama kalian. Dia juga bilang lambat laun kamu pasti akan jatuh cinta sama dia dan melupakan aku, terus tadi dia minta aku pergi saja ....” Apa katanya?! Nayara benar-benar syok, bisa-bisanya Calysta mengada-ada seperti itu! “Aku nggak pernah bilang begitu!” ujar Nayara dengan suara gemetar karena terkejut dan tidak terima. Tapi Devanka sudah mendelik marah. “Cukup, Nayara! Jangan bikin malu. Buatkan Calysta yang baru.” “Tapi—” “Kamu pikir kamu siapa bisa ngomongin Calysta kayak gitu? Dia wanita yang aku cintai! Sementara kamu?!” Hati Nayara nyeri. Bahkan ia tak diberi kesempatan membela diri. “Mulai sekarang, jangan macam-macam. Dan jangan berani lagi bikin Calysta nggak nyaman di sini.” Nayara menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan air mata agar tak tumpah. Ia ingin bicara, tapi suaminya sudah pergi dengan merangkul Calysta, melangkah menuju kamar dan hilang di balik pintu. Ia segera meracik susu yang baru, lantas mengantarkannya ke kamar Devanka dan pergi mengunci dirinya di kamar sendiri. Sayup-sayup suara tawa dan desahan Calysta terdengar dari kamar sebelah. Sepertinya memang sengaja agar dirinya panas, tetapi ia mencoba tak peduli dan memilih tidur dengan membekap telinga. Pagi harinya, Nayara bangun paling awal. Ia ke dapur dan masih mendapati pecahan gelas semalam. Ia segera membereskannya, lalu memasak bubur dari sisa nasi semalam. “Aaahh ... udah, dong, Dev. Masa kurang semalam?” Suara manja itu diiringi cekikikan geli. Nayara menoleh dan mendapati suaminya dan sang kekasih bergandengan masuk ke dapur. Ia menghela napas panjang, matanya tertuju pada leher jenjang Calysta yang penuh bercak merah. Tangannya tetap fokus mengaduk bubur, padahal hati dan kakinya terasa mengambang. “Hmm ... kayaknya buburnya nggak enak. Aku nggak mau sarapan, ah,” kata Calysta tanpa rasa bersalah, melongok menatap panci. “Aku pulang saja, ya, Dev. Ada pemotretan jam tujuh nanti.” “Aku antar. Sekalian kita cari sarapan.” Dua sejoli itu pergi setelahnya, meninggalkan Nayara yang makin mengeratkan pegangannya pada centong sayur. Entah berapa hinaan yang sudah ia dapat, padahal belum ada dua puluh empat jam menjadi istri Devanka. Suaminya pasti akan selalu membela wanitanya, dan Nayara yakin selamanya akan terus begitu. Perjalanan masih panjang, harga dirinya akan terus terluka sepanjang hari. Apakah dirinya mampu bertahan? Sementara, seolah tak ada celah untuk Devanka melunak. “Kalau pergi … aku harus pergi ke mana?”Jarum jam sudah melewati angka dua dini hari ketika tubuh Nayara menggeliat pelan di atas ranjang. Suhu tubuhnya masih panas, tapi rasa nyeri di perutnya mulai sedikit mereda setelah cairan infus mengalir selama beberapa jam. Ia membuka matanya perlahan, napasnya berat. Tenggorokannya kering. Dan yang lebih mendesak lagi, ia ingin buang air kecil.Dengan susah payah, Nayara menggulingkan tubuhnya ke sisi ranjang. Tangannya gemetar saat berusaha melepaskan selimut. Tubuhnya masih terasa lemas, dan infus di tangannya menghambat geraknya.Devanka, yang duduk di sofa tidak jauh dari ranjang, masih terjaga, mengecek perkejaannya via ponsel.Begitu melihat gerakan dari ranjang, alis pria itu terangkat sedikit.“Apa lagi?” gumamnya datar.Nayara tidak menjawab. Ia menggertakkan gigi, mencoba bangkit. Namun ketika satu kaki turun ke lantai dan tubuhnya miring, pandangannya langsung berkunang.Tubuhnya oleng.Dalam sepersekian detik sebelum ia jatuh, tangan Devanka sudah lebih dulu menyambar
Nayara menggenggam perutnya erat-erat, tubuhnya gemetar hebat. Ia nyaris terjatuh sebelum berhasil mencapai kamar mandi. Suara muntah terdengar keras, menggema dalam ruangan kecil berubin putih itu. Air matanya bercucuran, bercampur keringat dingin yang membasahi wajah dan lehernya."Astaga ... kenapa ini ...," isaknya lirih, tubuhnya menggeliat kesakitan.Tak lama, ia kembali muntah. Isi perutnya nyaris habis, tapi rasa mual dan nyeri terus bergejolak.Beberapa menit kemudian, dengan tubuh lemas, Nayara merangkak keluar dari kamar mandi. Ia tertatih-tatih ke arah ranjang dan menjatuhkan diri di sisi kasur, napasnya berat dan terengah.Dengan tangan gemetar, ia meraih ponsel dari meja samping."Hallo ...?" Suaranya terdengar serak. "T-tolong kirimkan dokter, perut saya sakit sekali setelah makan makanan yang tadi kalian kirim. Kamar 1210.""Baik, Ma'am. Kami akan segera memanggil dokter. Mohon tunggu beberapa menit."Nayara meletakkan ponselnya kembali, lalu menutup mata, pening ka
"Jalan-jalan aja, deh. Sayang juga kalau habis sarapan langsung balik ke hotel, kayaknya pemandangannya bagus," gumamnya. Nayara memutuskan berjalan menyusuri trotoar di sepanjang area resort. Ia juga masuk ke beberapa toko suvenir, butik khas Eropa, dan toko cokelat lokal yang harum aroma manisnya. Ia membeli syal bermotif salju untuk dirinya, serta beberapa oleh-oleh seperti cokelat, mug, dan selimut hangat berbahan wol untuk mama mertuanya.Di tengah asyiknya berbelanja, muncul empat pria kekar berpakaian serba hitam, wajah-wajah khas Asia Timur dengan jas dan earset kecil di telinga mereka. Mereka mendekat dengan sopan."Nona Nayara, kami bodyguard yang disewa Tuan Seno untuk memantau perjalanan Anda dengan Tuan Devanka. Maaf kalau sejak kemarin kami hanya mengawasi dari kejauhan karena ada Tuan Devanka di sisi Nona. Sekarang, kami akan mengawasi jarak dekat saat Nona keluar sendiri," ucap salah satu pria itu dengan sopan.Nayara mengangguk pelan. Ia tidak kaget, sejak awal, ia
“Halo? Nayara? Kamu baik-baik aja?” Suara pria dari seberang telepon terdengar cemas.Devanka langsung membentak, “Siapa kau?!” “Eh, maaf, saya temannya Nayara dari—”“Denger baik-baik, dasar brengsek! Jangan pernah hubungi istriku lagi!” sembur Devanka, suaranya meledak seperti bom. “Dia udah nikah! Dan aku suaminya!”“Tunggu, saya nggak ada maksud—”Klik!Panggilan dimatikan sepihak. Dengan geram, Devanka melempar ponsel itu ke kasur, lalu mengambil jaketnya dan berjalan keluar kamar tanpa satu kata pun.Pintu tertutup keras di belakangnya.Di dalam kamar mandi, Nayara mendongak. Suara pintu itu membuatnya tahu Devanka telah pergi. Ia berdiri, menggenggam wastafel untuk menopang tubuhnya yang gemetar. Begitu keluar, wajahnya tampak hancur, matanya sembab, pipinya pucat, dan rambutnya sedikit kusut.Tanpa pikir panjang, ia langsung melompat ke ranjang, menarik selimut tebal hingga menutupi tubuhnya, memejamkan mata erat-erat. Sampai keesokan harinya, hotel mewah yang terkenal deng
“Aku harus balik ke kamar sekarang. Suamiku nyariin,” gumam Nayara sambil menatap layar ponselnya yang masih menyala.Vanya langsung menatapnya tajam. “Nay, denger, ya,” ujarnya serius, tangannya mencengkeram jemari sahabatnya. “Kamu nggak boleh terus lemah. Orang yang terlalu lemah itu gampang diinjak, Nay. Kalau kamu memang memutuskan bertahan, kamu harus lawan. Tegas! Jangan biarin dirimu sendiri terus disiksa begini!”Nayara menunduk, mengangguk kecil.“Jangan ngangguk doang. Kamu harus inget, kamu berharga. Kalau dia anggap kamu beban, itu karena dia terlalu buta buat lihat siapa kamu sebenernya.”“Aku ngerti, Van. Makasih, ya,” kata Nayara dengan suara nyaris pecah.Vanya menghela napas. “Oke. Tapi nanti kamu harus telepon aku, ya. Ceritain kelanjutannya, jangan disimpen sendiri.”“Iya, aku telepon.”“Janji?”“Janji.”Nayara pun berdiri dan berjalan cepat ke arah lift, meninggalkan Vanya yang masih menatap punggungnya dengan cemas.***Pintu kamar terbuka pelan. Napas Nayara ter
“Devanka! Buka pintunya sekarang juga!” suara Calysta terdengar lantang dari balik pintu.Dengan rahang mengeras, Devanka melangkah cepat dan membuka pintu kamar. Di ambang pintu berdirilah Calysta, tangan mencengkeram pinggul, dagu terangkat tinggi.“GILA KAMU, YA?!” semburnya langsung. “Tinggalin aku begitu aja demi Nayara?! Aku sendirian di sana kayak orang bego nungguin kamu balik!”Napasnya memburu, mata menyipit tajam.“Kamu pilih cewek kampung itu daripada aku?! Dia yang nyari masalah, kok, kamu yang jadi repot? Kamu liat, tuh—” Calysta menunjuk ke arah Nayara yang masih terbaring lemah di ranjang. “Liat! Udah nyusahin, sekarang malah jadi beban! Harusnya kamu nggak usah bawa dia ke Swiss! Dia itu cuma—”Ceklek!Devanka mendorong tubuh Calysta ke luar ambang pintu.“Ayo pergi, Calysta. Jangan gaduh di sini, nanti ganggu pengunjung lain,” bisiknya.“Hah? Pengunjung lain atau istrimu itu yang kamu maksut?”Devanka tidak menjawab, langsung menggandeng tangan Calysta ke kamar khusu